Catatan Kecil dari Stasiun Dua: Catatan Ekspedisi Tebing Seorang Edelweiser)

>> Friday, December 7, 2012

Hari ini jelas tak sama seperti hari-hari biasanya. Tatkala fajar mulai mencumbui pagi hari dari tidurnya, kudapati tubuhku sedang berbaring tak karuan di atas kain parasut.susah untuk menggeliat, menguap dan menikmati bangun pagi. kain ini terasa kaku, sempit dan membatasi seperti kandang.masih setengah sadar baru mulai kurasakan hawa dingin dari balik kain tipis itu. Kain yang dibuat sedemikian rupa sehingga berubah wujud menjadi tempat tidur mahakarya para petualang.Aku tidak sedang di rumah, tapi di sebuah titik yang tinggi. Bermain-main dengan kabut tipis. Berselimut kain tipis pula, sekaligus sebagai ranjang yang menampung kantuk dan lelah. Rasanya asyik bukan main, meskipun digerogoti serangga-serangga liar di ketinggian. Hammock nama kain itu, nama yang diberi oleh entah siapa dan kami gunakan seperti layaknya peralatan yang lain. Tak penting lagi soal nama, fungsinya menjadi tolak ukur kami menyukainya. Suka entah karena hobi atau terjebak dalam rutinitas yang tiba-tiba hadir dalam keseharian sebagai mahasiswa pecinta alam. Masih pagi, bahkan pagi sekali kuraba-raba sekitarku. Yang ada hanya aku, tebing ini dan serangga-serangga yang tak pernah mau berdamai dengan keadaan. Tak lupa pula Tuhan yang selalu ada dalam tiap detiknya. Dingin sekali, bahkan terlampau dingin sampai aku harus terjaga di waktu yang tak semestinya, pada tempat yang tak sewajarnya. Lelah tubuhku kurasa menguras tapi raut-raut wajah mahakarya-Nya yang terbias oleh rangkaian sinar mentari pagi ini mengisi kembali seluruhraga ini dengan kekuatan-kekuatan yang di luar batas pengetahuanku. Barangkali disitu letak rahasia alam yang kadang-kadang tak kusadari adanya. 

Kuraih kamera kecil yang kugantung rapih di bebatuan runcing. Masih banyak persediaan tenaganya. Untungnya ada benda kecil ini, sedari kemarin dan sepanjang malam menemani waktu-waktu kosong yang mengharuskanku menunggu giliran untuk bergerak. Kunyalakan dan kuambil beberapa gambar pagi itu. Semoga bisa jadi bayangan nantinya, untuk kuingat-ingat bila aku tidak disini lagi, bahkan bisa hadir kembali meskipun aku tak berbaring lagi disini. Bahwa aku pernah berbaring dan tidur dalam rengkuhan bongkahan batu besar yang tinggi. Mencoba meraih puncak yang sebenarnya tak ada dalam hitungan sistem kredit semester. Ragam ekspresi dan momen kurekam sendiri. Alih-alih sendiri sampai tak tahu harus memotret dari sudut mana lagi. Sudah kumatikan, kunyalakan lagi, kurekam lagi. Dan pada akhirnya kuhentikan aktivitas itu. Toh masih panjang perjalanan ini. Masih banyak waktu dan tempat lain yang harus kurekam nantinya, meskipun dengan pengetahuan seadanya soal gambar-menggambar dengan kamera.

Kuperhatikan pengaman yang terkait erat di pinggangku. Lengkap dengan suku cadangnya. Mengikat satu dengan yang lain. Kuat dan meyakinkan, bahkan tertanam empat sampai lima sentimeter ke dalam tubuh bongkahan batu besar itu. Ada empat seingatku, belum lagi termasuk pengait pada kain parasut yang tadi sudah kusebutkan. Cukup banyak dan merekalah yang membuat hatiku bisa berdamai dengan detak jantung yang kencang. Kuambil juga gambarnya, karena mereka bagian dari semua perjalanan ini. Penyelamat raga ini dari tekanan dan angin yang bukan lagi sepoi-sepoi. Mereka menjadi tempat berkeluh kesah bila tangan tak lagi sanggup menghidupi jari-jari untuk berpegangan pada bebatuan cadas nan besar ini. Mereka terpasang dimana-mana bersama dengan saudara-saudaranya baik yang besar,kecil, panjang dan berat. Ada yang terbuat dari besi, terbuat dari karet bahkan dari benang-benang sehingga kuat demikian. “Terima kasih untukmu wahai para serdadu pengaman yang hebat dan budiman. Kalian membawa kami sampai pada tempat-tempat yang tidak selayaknya untuk seorang manusia berpijak”. Benda- benda inilah yang nantinya membawa kami pulang dengan damai dan senyum-senyum puas. Meskipun membawanya itu bukanlah pekerjaan mudah. Sampai kami harus menerjang semak belukar, melewati celah-celah sempit yang terjal dan lembah jurang dalam yang belum terjamah.

 Hari masih terlalu dini untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Oleh sebab itu, kunikmati semua yang ada padaku saat itu. Beberapa biji roti yang padat mengisi perutku. Tak seperti rasa roti yang lain. Roti ini adalah yang terbaik semenjak aku mengenal roti. Bukan mahal, bukan elit juga, bahkan sangat biasa. Entah kenapa pula aku menyebutnya demikian padahal bentuknya tak berbeda dengan yang lainnya di toko luar sana. Bahannya juga persis sama dengan warna khas roti dimana-mana. Tetap saja aku akan selalu menyebutnya roti yang terbaik. Pagi itu pula adalah terakhir kalinya aku menyantap roti itu karena setelahnya tak ada lagi roti yang menemani stasiunku(flying camp). Sambil mengunyah-ngunyah roti, aku suguhkan pula sekaleng susu di “meja makanku”. Sebuah cerukan yang lumayan datar tepat di samping pengaman yang kedua. Agak datar di dalamnya dan menjadi laci sekaligus meja makan untukku di tempat yang serba terbatas itu. Sempat pula aku berfikir kalau akulah yang terhebat dengan tingkah laku aneh di sini. Sendiri dan menikmati pagi hari di medan yang tak mengizinkan kaki berpijak, hanya bersandar dan bergerak seadanya dengan para pengaman dan peralatan yang setia menampung berat tubuhku beserta perbekalan yang tersisa.

 Sebenarnya aku berada di sini sehari yang lalu, menggantung dengan seutas tali yang saling menghubungkanku dengan yang lain. Beberapa waktu lagi kami akan berada lebih tinggi lagi sampai mencapai puncak bongkahan batu besar ini. Aku bersama dua saudaraku yang juga mengalami peristiwa yang sama dengan yang kuceritakan tadi. Hanya saja mereka tak di sampingku, tapi sedikit di bawah dan kebetulan pula berada pada titik yang sama. Hanya keadaan yang membuat aku harus memilih untuk menginap agak di atas. Sendiri bersama “mereka-mereka” yang setia mendampingi. Pagi ini masih sangat panjang. Masih banyak yang harus kuceritakan dan kurangkai ke dalam bait-bait ini. Tetapi terlalu banyak, bahkan kau akan bosan mendengarnya, kawan! Karena yang kulakukan seterusnya tidak jauh berbeda dengan beberapa menit yang lalu, beberapa jam yang lalu bahkan hari yang lalu. Saling mengamankan antara satu dengan yang lain. Mengikat tali, memasang pengait pada tempatnya dan seterusnya. Berteriak keras dan mendongak ke atas. Kalau bukan memasang lintasan, artinya aku akan membuka lintasan. Membersihkannya dan merapikannya kembali. Itulah rutinitas sebuah pemanjatan tebing secara artificial. Bedanya kami harus menginap dan merasakan dinginnya dinding batu besar ini. Membasahi tenggorokan dengan berbagai macam racikan yang kami ciptakan sendiri. Nikmatnya bukan kepalang. Rasanya aneh tapi sungguh memberikan pengalaman hebat tak ada duanya. Kau harus mencobanya, kawan! Apalagi saat menikmati setiap hisapan ramahnya tembakau khas negeri ini di atas teras batu yang sudah tercipta dari sekian ribu tahun yang lalu.

 sejenak kuangkat pandangan ke atas, sembari melayangan senyum pada awan dan burung yang berlalu.Yang ada hanya langit biru dan rumput-rumput benalu di bebatuan. Bila kubawa pandangan ke depan, ada lubang pada bebatuan cadas dan lumut kering yang melekat padanya. Ketika kubalikkan kepala dan layangkan mata jauh ke samping dan belakang, ada dunia yang terlalu indah untuk dituliskan dari ketinggian. Aku takut dengan kalimatku, itu tak bisa mewakili dan menafsirkannya ke dalam imajinasimu, karena tanganku masih sangat kaku untuk menuliskannya. Andai saja pulpen itu bisa dikokang seperti senjata, atau di pukul layaknya palu dan paku Phyton . Aku lebih memilih itu sebagai caraku menyampaikannya kepadamu, kawan.

Satu jam lebih aku berdiam diri dengan benda-benda ini. Suara teriakan dari bawah sekilas terekam oleh telingaku. Artinya kami akan segera melanjutkan pemanjatan. Semoga ini bukan terakhir kalinya kami melakukannya. Pagi itu Masih tertutup kabut tipis bersama anginnya yang menusuk hidung. Sekali-kali kulihat ke bawah, menunduk dan menarik nafas panjang. Tak bisa kusembunyikan rasa takut yang ada. Itulah manusia. Seberapa besar pun ia, takut itu adalah sifat dasarnya yang manusiawi. Tapi bila dipaksa dengan perlahan, akan berdamai jua dengan jiwa. Jadi mainan dan bertambah suka pula, bahkan menjadi candu yang mengalahkan hasrat masuk ruang kuliah. Bisa juga menjadi hiburan di waktu senggang. Mengikat jiwa di atas seutas tali pada ketinggian yang bisa membuat tak lagi ada mentari esok hari. Biarkanlah Tuhan menentukan takdirnya. Kami hanya ingin melihat ciptaan dan merasakan hebatnya mahakaryaNya. Oleh karena itu, biarkanlah kami merasakan dinginnya kabut tipis ini, dan kembali berpijak di tempat yang semestinya selayaknya dunia ini Dia ciptakan.

sekian yang sempat ku tuliskan untukmu kawan,
“karena jiwa saudaraku ada di tanganku,dengan seutas tali di tanganku jua.”
 _ untuk para rekan dan saudara-saudara Tim Ekspedisi Dua  Dekade _

dan tak lupa ucapan terima kasih kami kepada setiap unsur yang ada di muka bumi.. karena kalian kami ada di tempat ini...(IchalBhandot)

Read more...

Sedikit Cerita...

Kami adalah sekelompok anak muda yang ingin belajar untuk hidup
dari lebatnya hutan,
dari terjalnya tebing dan,
dari gelapnya gua…

UKM PA EDELWEIS merupakan satu-satunya UKM Kepencinta Alaman yang berada di Fakultas Sastra. Saya adalah salah seorang mahasiswa di fakultas sastra, ketika pertama kali menginjakkan kaki di fakultas ini tidak pernah terbesit dalam diriku untuk ikut dalam sebuah UKM apalagi UKM Pencita Alam. Yang ada kuliah dan cepat sarjanah. Seiring berjalannya waktu setelah sedikit berproses dalam lingkup sastra, begitu banyak hal yang menarik telah terjadi yang tidak sama sekali pernah terbayang dalam pikiranku sebelum menjadi mahasiswa
. Kala itu sekitar pertengahan semester II mulai terbuka pendaftaran-pendaftaran UKM baik dari universitas maupun Fakultas. Singkatnya saya pun ikut mendaftar dengan mengikuti proses yang cukup panjang, materi kelas, jogging sore, Diksar hingga hunting poin akhirnya namaku masuk dalam daftar peserta yang lulus. Proses ini berjalan cukup lama yang memakan waktu selama 4 bulan, harus korban liburan semester pada waktu itu.
UKM PA EDELWEIS dengan titik kordinat S : 5­8’ 7’’ dan E : 11929’ 26’’
. Itu lah letak lokasi MABES kami. Kebanyakan orang menggunakan kata sekret untuk tempat lokasi UKM mereka namun kami sedikit berbeda kami menamainya MABES (markas besar) UKM PA EDELWEIS. Kini sudah tahun kedua saya resmi menjadi anggota Edelweis. Begitu banyak pengalaman berharga yang tidak mungkin saya akan dapatkan dibangku kuliah. Yang membedakan kami dengan UKM pencita alam lainnya yaitu sewaktu kami akan berkegiatan seperti Ekpedisi misalnya maka kami juga akan membarengi dengan penelitian, jadi tidak hanya petualangannya saja yang didapat namun akademiknya juga. Sudah menjadi motto dalam organisasi kami yaitu “berpetualang dan meneliti”.

Skarf kuning merupakan kebanggaan kami, skarf tersebut merupakan identitas kami dengan lambang edelweis yang menjadi pembeda dengan skarf kuning lainnya. Edelweiser merupakan sebutan yang khas untuk kami. Walaupun kebanyakan masyarakat sering menyebut kami mapala (mahasiswa pencinta alam) namun sekiranya itu merupakan sebutan untuk anak pencinta alam UI. Sesuai dengan sejarah tentunya nama MAPALA muncul pertama kali di UI. Jadi kami adalah edelweiser.
 
UKM PA EDELWEIS sudah menjadi rumah bagi kami, rumah yang akan selalu menanti kedatangan kami saat keluar lapangan. Rumah yang pertama kali yang ditempati saat kami pergi dan ketika pulang. “Bagi kami alam merupakan media yang tidak dapat dimanipulasi dengan alam kami dapat memahami makna kebersamaan, pertolongan dan makna kemanusiaan”.  Disinilah kami mulai berproses dengan membentuk keluarga kecil, yang saling menjaga. Status keanggotaan UKM PA EDELWEIS adalah seumur hidup jadi walaupun sudah bukan mahasiswa lagi masih bisa eksis dalam keluarga EDELWEIS. Itulah kami sering menyebutkan MABES EDELWEIS adalah rumah abadi bagi kami, home for every young adventure. EDELWEIS punya cita-cita, EDELWEIS punya anggota dari pengabdian anggotanyalah EDELWEIS dapat tumbuh dan berkembang abadi selamanya.(FuadMachawa)
 
 
 

Read more...

Bersantai di atas ketinggian 2870 mdpl: Gunung Lompobattang

Malam itu aku berada di pos 9 lompobattang pas lagi panas-panasnya kota Makassar tentang isu kenaikan BBM. Para demostran turun ke jalan tapi aku malah mendaki gunung. Aku duduk dalam tenda ditemani segelas teh dingin padahal baru 5 menit yang lalu masih panas, udara yang menusuk hidung serta angin yang bertiup kencang. Syukurnya cuaca malam itu lagi cerah kutengok keluar begitu banyak bintang-bintang bertebaran diangkasa sana, sungguh indah, hiasan alam yang eksotik dan sangat jarang terlihat di kota-kota besar, karena cahaya lampu yang begitu terang dimalam hari. Kini kembali kupuaskan mataku melihat ke arah barat jelas nampak lampu-lampu kota yang tak kalah mengagumkan ditengahnya terdapat danau atau apalah itu terlihat hanya daerah tersebut yang gelap gulita. Aku tak lama berada diluar jaket berlapis yang ku kenakan mampu diterobos dinginnya gunung lompobattang. Ku lirik jam tangan ku kini tepat pukul 22.30 aku menuju pembaringan berharap besok akan cerah, tak sabar rasanya ingin melihat padang edelweis di atas tranggulasi.
         Matahari mulai menampakkan sosoknya udara masih terasa dingin, enggan rasanya menanggalkan slepping bag yang menutupi badanku. Kutengok jam tanganku ternyata sudah pukul 8 pagi. Aku segera begegas setelah mengumpulkan semangat kemudian cuci muka. Sebelum menuju tranggulasi kusempatkan membuat sarapan. Kali ini hanya beberapa potongan roti panggang saja yang mengisi perutku. Kabut mulai menutupi punggungan gunung, jarak pandang mulai terbatas kini tepat pukul 9 pagi akupun selesai sarapan. Kupasang sepatu boggie coklat ku yang sudah tua dengan beberapa goresan-goresan namun masih kokoh. Kini kumulai berdoa dan kemudian berangkat. Melewati semak-semak, berpegangan pada pohon-pohon bongsai dan mendaki beberapa tanjakan bebatuan yang cukup menguras tenaga namun semangatku memberi dorongan untuk terus melangkah. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit kini aku sudah tiba tepat di atas tranggulasi. Kabut masih menutupi jarak pandangku yang terlihat hanya punggungan gunung saja. Kuberistrahat sejenak sambil menunggu angin betiup membawa kabut yang berada tepat di hadapanku.
Sambil duduk santai kukeluarkan vedples yang berisi air putih yang cukup dingin dan sebungkus biscuit menemaniku meninkmati ketinggian 2870 mdpl. Selang beberapa menit yang kutunggu kini telah tiba, pemandangan yang sangat indah terpampang jelas di hadapaku. Terlihat sekeliling punggungan gunung tumbuh bunga edelweis (bunga abadi), bunganya berwana putih berukuran kecil ditengahnya berwana kuning. pemandangan yang sangat indah sangat memanjakan mata, tak puas memandangi padang bunga edelweis kini mataku tertuju pada pemandangan yang tak kalah indahnya. Kini telihat kumpulan awan yang berada diatas  kota dapat terlihat jelas bak lautan lepas, ditambah pemandangan lembah yang sangat hijau sunggguh panorama alam yang sangat eksotik. Terus saja kupuaskan diriku menikmati ciptaan Tuhan di puncak gunung Lompobattang
Waktu berjalan terasa begitu cepat kulihat jam tanganku lagi ternyata sudah pukul 1 siang, waktu nyantai kupun habis di ketinggian 2870 mdpl, aku pun bergegas turun. Setibanya di pos 9 aku langsung packing nanti di pos 3 baru makan siang pikirku. Sementara packing kabut kembali datang disertai rintik-rintik hujan. Kupercepat membereskan barang-barangku, pakaian, sleping bag, tenda, logistik dan terakhir trangia kini carrier ku pun siap di angkut. Kuearatkan tali sepatuku dan kembali kuberdoa setelah itu langsung tancap gas.(fuadM)

Read more...

Ekspedisi 2Dekade

>> Friday, October 19, 2012

Sebuah persembahan untuk memperingati hari jadi Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam (UKM PA) Edelweis FS-UH. Sebuah ekspedisi yang menggabungkan unsur petualangan dan penelitian. Panjat tebing sebagai salah satu pilihan petulangan adalah suatu aktifitas yang menggabungkan kemampuan otak dan otot, melatih kekuatan (power), kecepatan (speed), dan ketahanan (endurance). Observasi kehidupan masyarakat sekitar karst menjadi laboratorium alami untuk mengasah kemampuan dalam mengamati lingkungan sekitar.

Read more...

  © e-production