Mungkin “Bawakaraeng” juga menginginkan kemerdekaanya….?

>> Sunday, August 24, 2008


Nasionalisme di puncak-puncak Gunung
Tak kalah meriahnya, semarak perayaan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2008 di sudut-sudut kota dengan jubelan para pendaki dari yang amatir hingga yang berpengalaman berdesak-desakan melewati jalur pendakian puncak-puncak gunung salah satunya di Pegunungan Bawakaraeng, 2705 Mdpl , yang berlokasi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan , sekitar 70 Km dari kota Makassar, Ibu kota propinsi Sulawesi Selatan.
Diperkirakan sekitar 500-an orang memadari jalur pendakian Pegunungan Bawakaraeng. Mereka bermaksud mengikuti upacara pengibaran bendera merah putih di puncaknya. Kegiatan ini diprakarsai oleh beberapa anak muda yang juga ingin mengapresiasikan semangat, haru dan kebanggaan mereka menyambut kemerdekan yang telah diraih Republik Indonesia selama 63 tahun.
Entah sejak kapan kebiasaaan ini menjadi tradisi yang tidak boleh terlewatkan setiap perayaan kemerdekaan Indonesia. Tidak ada tanggal pasti. Yang jelas, kegiatan ini tak berbeda dengan sebentuk kegiatan-kegiatan lain yang ramai dilaksanakan dalam rangka kemerdekaan. Hanya mungkin kebiasaan terlihat aneh bagi sebagian kalangan. Tapi seperti itulah, dengan mendaki ke puncak-puncak gunung dan mengibarkan bendera merah putih sebagai sumbangsih mereka dalam perayaan kemerdekaan Indonesia.

Walaupun harus melewati medan terjal, suhu yang dingin menusuk tulang (antara 10-15 derajat) tak menyurutkan semangat anak muda, laki-laki, perempuan untuk melangkah menuju puncak. Teriakan merdeka-pun tak henti-hentinya terdengar lantang memekik telinga dari mulut para pendaki. Dengan hiasan bendera merah putih yang digantungkan di ransel para pendaki membawa semangat nasionalismenya menuju puncak.
Badai menghadang
Tak seperti syair lagu Ada Band “walau badai menghadang kukan selalu setia…? Para pendaki meninggalkan puncak karena badai yang kencang menerjang mereka. Tak diperkirakan sebelumnya badai kencang disertai hujan menyambut kehadiran para pendaki. Karena memang pada bulan agustus hujan tak pernah mengguyur sekitar kabupaten gowa, termasuk pegunungan bawakaraeng. Walaupun memang badai sejak 16 Agustus 2008 angin kencang sudah melanda sekitar puncak.
Semangat tak cukup menjadi alasan para pendaki tetap bertahan dengan badai kencang disertai hujan. Sekitar pukul 03.00, 17 Agustus 2008, badai makin kencang. Badai makin tak tertahankan karena disertai hujan. Badai ini menerjang tenda-tenda hingga pagi. Tenda-tendapun tak mampu menahan laju angin yang kencang. Tenda-tenda roboh. Satu persatu para pendaki meninggalkan puncak.
Upacara pengibaran benderapun tak terlaksana. Puncak dan setiap pos pendakian yang sebelumnya dipadati berangsur ditinggalkan. Terlihat raut kekecewaan para pendaki. Mau diapa lagi. Badai menghadang.

Dalam benak kuberfikir sejenak “mungkin bawakaraeng tak menginginkan kedatangan pendaki yang banyak, mungkin bawakaraeng tak tahan menanggung prilaku para pendaki yang mengusik ketenangannya, mungkin bawakaraeng enggan memberi tempat bagi sampah-sampah, kotoran para pendaki yang dibiarkan begitu saja, mungkin bawakaraeng juga menginginkan kemerdekaannya”

Read more...

sekilas ekspedisi sojol

>> Friday, August 1, 2008

EKSPEDISI BUDAYA FUYUL SOJOL 2008
“Bertualang untuk Ilmu Pengetahuan”
21 Agustus s/d 11 September 2008.

Bergiat di alam terbuka merupakan salah satu dari sekian banyak kegiatan yang dapat menghasilkan manfaat buat khalayak umum. Kegiatan seperti ini lahir ketika orang-orang berusaha mencari sesuatu yang dapat memacu adrenalin, sehingga mereka menjadi lebih teruji. Pada perkembangan selanjutnya, kegiatan alam terbuka tidak lagi berfungsii hanya sebagai pemicu adrenalin semata akan tetapi kegiatan ini telah menjadi salah satu cara untuk mengangkat dan mengharumkan nama bangsa seperti yang dilakukan oleh beberapa negara diantaranya Inggris pada tahun 1920 yang pertama kali melakukan ekspedisi ke Mount Everest, Nepal.
Pada dasarnya, tanpa disadari kegiatan alam terbuka telah ada sejak beberapa abad yang lalu. Mereka adalah orang-orang yang hidup di daerah pegunungan tinggi dan melakukan aktifitas itu seperti orang-orang di sekitar pegunungan Alpen di Eropa yang sudah mulai naik turun gunung untuk keperluan mata pencaharian dan spiritualnya. Ketika mata pencahariannya bukan lagi sebagai alasan utama akan tetapi lebih dari pada untuk mempelajari lingkungannya, mereka mulai mencari sesuatu yang baru hingga pada sekitar abad ke-16 orang-orang di desa sekitar pegunungan Alpen di Eropa dan Himalaya di Asia telah banyak membicarakan dan mendiskusikan teknik-teknik mendaki gunung.
Saat itu belum seorang pun pernah menginjakkan kakinya di puncak tertinggi pegunungan tersebut (Mount Blanc), orang-orang Inggris yang rata-rata aristokrat sering mengunjungi lembah Chamonix di kaki gunung Mount Blanc. Sebagian dari mereka yang memiliki tujuan penelitian pada masyarakat Chamonix yang sebagian besar pekerjaannya berburu dan mencari batu kristal di gunung menjadi pemandu-pemandu untuk para pendaki. Aktivitas keseharian orang-orang Chamonix membuat mereka menghafal setiap belokan di Alpen sehingga tidak lagi mendapat kesulitan dalam menemukan jalur.
Di Indonesia kegiatan seperti ini mulai berkembang dan merambah ke ranah masyarakat khususnya kalangan pemuda terjadi pada tahun 1960-an, selanjutnya kegiatan ini semakin banyak diminati dan semakin berkembang hingga sampai sekarang dan bertambah pula jenis kegiatannya seperti mendaki gunung, panjat tebing, selusur gua, susur sungai, susur pantai, arum jeram, para layang dan masih banyak lagi lainnya.
Terkait dengan kegiatan petualangan, banyak memberi manfaat. Ini bisa saja diperoleh dengan menciptakan berbagai penelitian demi tujuan keilmuan. Di wilayah yang sulit dijangkau oleh kendaraan selalu menjadi alternatif untuk mencapai wilayah tersebut dengan berjalan kaki dan didukung oleh pengetahuan bergiat di alam bebas. Selain itu, manfaat lain yang dapat diperoleh adalah wisata, yaitu menjadikan wilayah tersebut sebagai lokasi wisata yang sesuai dengan dukungan sumber daya yang ada. Manfaat lainnya adalah komersialisasi yaitu menjadikan wilayah tersebut sebagai kawasan yang dianggap unik seperti apa yang telah ditayangkan oleh TV sekarang ini, namun menfaat yang terakhir disebut diatas bukanlah tujuan yang ingin kami capai dalam kegiatan ini.
Kegiatan penelitian yang mengharuskan peneliti menjamah daerah-daerah yang dapat mendorong mereka untuk belajar dan mengaplikasikan skill petualangan serta sosialisasi dengan penghuni asli wilayah pedalaman terkait dengan beberapa bidang kajian keilmuan, seperti biologi, geologi, antropologi, arkeologi dan sosiologi desa. Khusus di Indonesia wilayah penelitian yang dapat membuat peneliti harus menguasai teknik bergiat di alam terbuka adalah penelitian suku anak dalam di Bukit Dua Belas Sumatra, masyarakat Dayak di belantara hutan hujan Kalimantan, orang-orang Asmat di pedalaman Papua dan masih banyak lagi lainnya.
UKM. PA. Edelweis yang bernaung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin memiliki misi yang tak jauh berbeda dengan apa yang telah diuraikan diatas, sebagai insan akademisi tentunya organisasi ini berusaha menciptakan iklim yang bernuansa petualangan ilmiah yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, oleh karena itu organisasi ini berusaha mengawinkan antara kegiatan petualangan dengan kegiatan penelitian budaya masyarakat yang ada disekitar obyek petualangan. Untuk kegiatan yang sekarang ini sedang berlangsung proses pelaksanaannya UKM. PA. Edelweis memilih suku Lauje yang berada di pedalaman kabupaten Donggala dan di sekitaran Gunung Sojol (Fuyul Sojol) sebagai objek kegiatan kali ini.
Budaya merupakan cerminan hidup manusia yang teraktualisasi lewat wujud budaya yang terdiri dari ide, aktifitas dan materi, oleh karena itu arti penting budaya sangat perlu diketahui dan dapat disaksikan lewat sikap, tata krama, tutur kata bahkan kepercayaan manusia dalam sebuah komunitas atau suku. Budaya secara umum diartikan sebagai hasil dari perbuatan manusia yang berlangsung dalam lingkungannya. Di Indonesia beraneka ragam suku dan komunitas manusia telah melahirkan budayanya masing-masing, lewat budaya ia mempertahankan akan status dirinya, akan tetapi dalam kondisi sekarang ini banyak budaya perlahan mulai hilang dan tergantikan dengan budaya baru. Alangkah ruginya kita sebagai bangsa Indonesia yang tidak mengenal keaneka ragaman budaya kita, apalagi budaya yang telah menjadi warisan nenek moyang masa lalu yang saat itu belum mengenal budaya popular seperti yang terjadi sekarang ini.


Maksud, Tujuan, dan Manfaat Kegiatan
Maksud
Maksud dari kegiatan ini adalah melakukan pendakian gunung Sojol dengan mendeskripsikan rute perjalanan (Kondisi medan, keadaan hutan, aktifitas selama pendakian) serta menentukan kordinat jalur pendakian. Selanjutnya adalah melakukan penelitian terhadap manusia pendukung suku Lauje dengan metode observasi dan wawancara.

Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan ini adalah:
1. Mencapai titik tertinggi (puncak) Gunung Sojol
2. Menguasai teknik dalam berkegiatan di alam bebas khusunya kegiatan pendakian gunung
3. Menciptakan individu yang dapat bekerjasama dalam satu team work
4. Mengaplikasikan metode penelitian budaya terhadap suku Lauje yang telah dipilih sebagai obyek penelitian
5. Mengetahui kondisi sebenarya yang telah terjadi dalam lingkungan suku Lauje
6. Menciptakan individu yang akan memahami arti penting sebuah budaya

Manfaat
Dalam kegiatan ini, manfaaat yang akan dihasilkan terdiri dari:
1. Tiap induvidu akan mengerti arti penting dalam kegiatan alam bebas dan memahami makna sebuah budaya sehingga akan melahirkan individu yang peduli pada alam, budaya local, kesederhanaan, dan sikap saling menghargai.
2. Memberikan informasi tentang keadaan alam yang terjadi sekarang ini di sekitaran Gunung Sojol
3. Menyajikan data mengenai kondisi sekarang ini yang telah terjadi dalam lingkungan masyarakat suku Lauje, sehingga orang-orang akan mengetahui tentang suku Lauje dan keberadaannya.

Gambaran Situasi Obyek Kegiatan
Gunung Sojol (Fuyul
Gunung Sojol terletak di kabupaten Donggala, Sulawesi tengah yang memiliki ketinggian kurang lebih 2878 mdpl.

Suku Lauje
Tentang suku Lauje, tak banyak data tertulis yang bisa ditemukan. Informasi yang didapatkan pun terpotong-potong menyebabkan kondisi suku ini tetap menjadi misteri yang menarik. Sebuah komunitas pencinta alam dari Surabaya, Pataga, yang melakukan pendakian ke Sojol pada bulan September 2007 lalu membagi pengalamannya lewat website mereka.
Pada tanggal 10 September, mereka meninggalkan dusun terakhir: “awalnya kami merasa agak takut karena bayang-bayang suku pedalaman Lauje dengan sumpit beracunnya yang masih primitif…”. Hari berikutnya mereka menemukan sumpit dan rumah pohon orang Lauje. Kemudian besoknya pada tanggal 12 September “masih teringat ketika kita mendapatkan informasi dari penduduk desa tentang kehidupan dan kebiasaan orang Suku Lauje yang sangat menyeramkan”. Tetapi mereka tidak menjelaskan apa maksud dari pernyataan tersebut.
“Setelah melewati hutan yang sangat lebat pemukiman Suku Lauje terlihat dari kejauhan dengan rasa khawatir kami turun perlahan dan bertemu dengan Suku Lauje yang merupakan orang rimba Gunung Sojol. Untungnya kami dapat sedikit menguasai bahasa setempat ditambah lagi kita dari rumah Pak Guru Patulia yang merupakan orang yang paling di segani oleh Suku pedalaman Gunung Sojol. Awalnya mereka takut dan lari melihat kedatangan kami, kemudian kami tawarkan rokok yang merupakan kesukaan orang-orang Lauje merekapun kami ajak untuk berkomunikasi dengan mengunakan bahasa Lauje.”

Read more...

  © e-production