Carpe Diem
>> Thursday, August 16, 2007
Kurebahkan badanku yang masih merangkul carrier, rasa letih menguasaiku. Hanya hembusan halus angin yang sedikit membelai keringat yang masih bercucuran. Aku terkagum melihat hamparan alam yang membentang tanpa batas dihadapanku, aliran Sungai Jene berang yang memisahkan tempatku berdiri dengan sisi sebelah yang akan dibangun sebuah bendungan. Semua tampak bersahabat, terkecuali gemuruh air yang berlomba-lomba menapaki bebatuan besar di sungai.
Berselang beberapa menit kemudian kupaksakan sisa tenagaku membantu Petrick dan Nena mendirikan sebuah bivak yang nantinya mampu menahan rintikan hujan yang mungkin saja dengan nakalnya mengganggu peristirahatan kami. Benar, dugaanku benar hujan malam itu mengintai kami dalam lelapnya malam, membasahi sleping bag dan matras kami. Malam yang menyedihkan, semua nampak berlalu begitu saja ketika kutatap bintang yang bertaburan seakan tak pernah terjadi apa-apa. Kupikirkan panjangnya perjalanan dari sini, Takapala, menuju ke Lembah Ramma, warga sekitar menyebutnya sebagai Panaikang, benar semua tak salah, medan yang kami tempuh sejak meninggalkan camp pertama semakin menanjak, tak ada bonus (penurunan atau jalanan datar). Tetesan air yang jatuh begitu saja menemani sepanjang perjalanan kami ditambah lagi rasa dingin yang mengutuk tulang serasa membeku.
Kulihat hamparan sawah yang menghijau ditata dengan sistem teras sering, gunung yang menjulang tinggi seakan menjanjikan ketenangan, lembah yang curam dan landai ataupun terjal, air terjun yang membela hutan serta merta hutan pinus yang berjajar rapi menyambut siapa saja yang melewati daerah itu. Semuanya tampak indah, seolah tak ada celah keburukan. Sekali lagi aku terkagum memujiNYA.
Ada kedamaian hangat menyelimuti perasaanku berada diantara keajaiban alam yang sungguh menakjubkan, rasanya ingin aku tertidur dalam dekapannya sejenak menikmati ketenangan yang tiada tara. Sesekali kami plotting menentukan jalur mana yang akan ditempuh, berada pada ketinggian berapa tempat ini, atau hanya sekedar menguji keahlian navigasi darat.
Rintikan hujan, mentari yang malas muncul, awan tebal serta rasa capek menjadi satu adonan yang terbungkus rapi dalam jiwa kami dengan beralas harap kelak kami sampai cepat dan mengisi perut yang sudah keroncongan.
Semenjak kami menjalani tahap survive, begitu banyak pelajaran, ada satu kata dari ka Uche “ pantes kalian lapar sebab jalan hanya pakai fisik tanpa menggunakan hati kalian” mengena banget. Mungkin tepat apa yang dikatakannya, kami hanya mengunakan fisik semata, pikiran tapi jarang sekali menggunakan hatinya, ini salah satu faktor yang selalu menciptakan keserakahan, hanya nafsu belaka.
Pada tanggal 7 Juni 2007 kami tiba di Lembah Ramma, sebuah lembah yang berada di kaki Gunung Bawakaraeng, dikelilingi gunung yang menjulang tinggi, diapit oleh aliran sungai Jene berang yang konon merupakan sumber air minum masyarakat di Kabupaten Gowa dan Makassar beserta kota sekitarnya. Menakjubkan, kami mampu melihat sumber air itu yang menghidupi berjuta jiwa di sepanjang kota. Ditengah Lembah Ramma terdapat aliran sungai kecil dipadu bebatuan yang menambah panorama keindahannya, airnya sangat dingin, jernih dan akan sangat sulit untuk disentuh pada pagi hari. Sebuah jembatan menghubungkan tempat camp kami dengan sebuah rumah penduduk yang memang merupakan satu-satunya rumah dan penduduk di lembah tersebut. Tata Madong, demikian sapaan akrabnya. Ia survive di tengah kesunyian tanpa istri pula tanpa anak, hanya para pendakilah yang menjadi teman ngobrolnya ketika ada yang singgah mendirikan camp di sana.
Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan ke Lembana, menempuh medan yang bervariasi, ada sungai, bukit, penurunan dan sesekali penanjakan tajam. Sejenak kami singgah menyaksikan lekuk tubuh alam yang telanjang di Bukit Tallung, semua nampak jelas hanya saja Gunung Bawakaraeng seakan sombong, tak menampakkan wajahnya, ia tertutup kabut, kami hanya melihat sisa longsoran yang masih segar. Begitu banyak aliran air yang membela pegunungan, semua indah dan sempat terekam dalam memoriku, sebuah perjalanan yang rekreatif namun ilmiah.
Rain coat sesekalipun tak pernah lepas menghangati tubuh kami, memasuki lahan pinus di dekat perkampungan Lembana suhu terasa semakin menggingit apalagi diiringi rintihan hujan. Setiap langkah yang kupijakkan serasa tak sia-sia, aku menyaksikan sejuta misteri alam yang dengan nakalnya membuatku terkagum berat. Tawa renyah kami sesekali menyelinap diantara sejuta langkah yang penuh dengan cita-cita, impian dan harapan.
Jelasnya, aku tak pernah menyesali perjalanan ini. Kebersamaan, rasa saling memiliki, cinta dan kasih sayang tak pernah kosong dari jiwa yang penuh dengan semangat untuk menapaki apa saja yang kami impikan. Alam mengajari kami, menghibur dengan gemercik air di tengah malam yang begitu jelas pula bisikan malam dalam dinginnya angin. Ingin rasanya kupeluk erat-erat kawanku, merangkulnya, jalan beriringan, menjaga alam yang tuhan titipkan kepada manusia, bukan untuk dikhianati atau sekedar disakiti tapi, menjaga dan mencintainya lebih dekat.
Kubisikkan pada alam ”aku bersamamu dalam pijakan yang baik”. Aku selalu berangan andai manusia mampu mencintai alamnya seperti mereka mencintai kekasihnya, suaminya atau mungkin mencintai selingkuhannya maka yakin saja alam tak akan tertidur dalam bencana.
Aku letih jika memikirknnya dalam kesendirian, aku, kita, dan kalian akan lebih berarti jika mampu berbuat demi alam ini mulailah dari pribadi sendiri. Rebut harimu kawan!!!!
Created by
Pannawanawa_10007_wija to luwu