Hujan, Kado Terindah untuk Ulangtahun EdelweisTahun ini

>> Monday, October 13, 2008

Hujan tiba-tiba mengucur di lembah Ramma detik-detik memasuki tanggal 12 Oktober 2008 padahal sebelumya sangat cerah. Itupun hanya sekitar lima detik saja. Bagi orang China merupakan suatu berkah yang sangat besar bilamana tahun barunya disertai dengan turunnya hujan. Hujan adalah pembawa berkah apabila turun dengan porsi secukupnya.
Ulang tahun UKM PA Edelweis FIB UH dirayakan dengan sederhana di lembah Ramma_lembah gunung Bawakaraeng. Yang ikutpun tidak seberapa. Perayaan yang bertepatan tidak lama setelah libur lebaran dan adanya pemindahan jadwal kuliah ke hari sabtu, membuat banyak anggota yang batal berangkat. Yang jadi berangkat hanya K Enal Bolla, K Eman, K Jack (menyusul hari sabtu), Jo, Imran, Accang, Ashar, Dedy, Adel, Icha dan Rini. But the show must go on!
Kami memasuki Lembanna (Kampung terakhir) pada pukul 21.30. Kami memutuskan untuk jalan malam. Angin sangat kencang bertiup menghantam kami. Sekali kali kami memperhatikan pohon-pohon di samping, takut bila tiba-tiba jatuh. Perjalanan tidak terasa lama karena ada K Enal dan K Eman yang selalu melucu dan misteri siapa yang kentut?
Tidak ada yang istimewa dari perayaan ini. Tidak ada kue ulang tahun. Tidak ada tiup lilin yang berbentuk angka 16 dan tentunya tidak ada kado ulang tahun kecuali hujan tadi yang menurut kami adalah kado istimewa, tidak ada renungan kecuali sedikit diskusi kami di depan gubuk Tata Mandong (satu-satunya penduduk yang tinggal di Ramma) tentang kondisi Edelweis sekarang hingga K Jack ingin menyumbang tenda sebagai kado ulang tahun. Setelah itu kami main kartu (Joker) diterangi dua pelita. itupun tinggal K Enal, K Eman, K Jo, Accang dan Saya yang bertahan, yang lain sudah tidur. Memasuki pergantian tanggal ke 12 Oktober, Suasana lima orang tiba-tiba berubah menjadi suasana seperti lima puluh orang. Kami saling menyalami sampai berkali-kali dengan orang yang sama. Memaksa suasana menjadi meriah hingga semuanya terbangun. Terakhir kami meniup pelita. SELAMAT ULANG TAHUN EDELWEISKU...

Read more...

12 Oktober 1992 oleh Aldi Mulyadi E.005.92.L.B.74.FS-UH

>> Tuesday, September 23, 2008

1992
Tanggal 11 Oktober 1992 Aslan, M. Taufik, Ermansyah, Yusriadi, Aldi, dan Nurawal bersiap melakukan pendakian Gunung Bawakaraeng, waktu itu jam menunjukkan pukul 05:00 pagi waktu Lembanna. Kami bergerak naik dengan menenteng kantongan plastic warna hitam berisi nasi dan mie instant yang telah dicampur sebelumnya. Kami tidak membawa peralatn standar untuk pendakian karena rencananya kami turun setelah makan siang di puncak, tapi sebenarnya kami memng belum tahu tentang pendakian apalagi tentang peralatan apa saja yang perlu kami siapkan karena ini adalah pendakian pertama kami di gunung! Sekitar tengah hari kami sampai di puncak, kagum melihat apa yang terbentang di depan kami, senang rasanya sampai di puncak, kami berebutan untuk memetik bunga edelweiss yang katanya bunga abadi itu, sambil menyatukannya terbayang seseorang yang ada di Tamalanrea sana, girang kayak kesurupan membyangkn kami pulang disambut penuh suka cita serta linangn air mata dari mereka yang kmi sngka mengharapkan kami pulang….
Matahari tepat di atas kepala ketika kami mengelilingi kantong pelastik itu untuk makan siang, saat itu kabut tipis menemani kami makan seperti ayam. Setelah minum kopi yang kami bawa dari Lembanna kami bersiap untuk turun namun kabut semakin tebal, terjadi perdebatan tentang rencana selanjutnya tapi kami kami sambil jalan turun, hasil perdebatan itu adalah kami sampai di bibir jurang…kami berbalik tapi masih terus berdebat dan tempat dimana kami pertama kali berdebat tidak pernah kami temukan kembali hari itu. Waktu terus berputar seperti kami berputar-putar di tempat yang itu-itu lagi, akhirnya kami sepakat untuk berhenti berputar dan mengikuti punggung gunung itu ke bawah.
Kami terus turun kadangkala harus naik lagi karena ternyat di bawah sana sngat curam, kami berpikir cukup beruntung karena hny membawa sekantong makanan, termos kopi dan sebuah diary untuk menulis puisi-puisi, sebuah perjalanan yang sangat enteng apalagi isi kantong itu telah dibagi rata untuk dibawa di dalam perut masing-masing. Ketika malam dating, kami kemudian sadar bahwa kami tidak membawa alat penerangan kecuali sekotak korek kayu, ternyata kami tidak begitu beruntung! Salah seorang tampak frustasi.., lapar, haus, dan kelelahan. Buku diary dibakar helai demi helai sebagai alat penerang malm itu sambil terus bergerak turun. Lewat tengah malam buku diary itu habis, kami hanya punya bunga edelweis kering dan setengah kotak korek api. Dimana kau penduduk kampong…..???
“maafkan kami cintaku, kami harus membakarnya krena dia yang gampang terbakar dan memberikan terang untuk kami pulang”. Tidak ada perdebatan mengenai hal ini, kami tidak mampu lagi untuk berpikir apalagi kami selalu menemui jalan buntu. Jurang dan jurang lagi, sepertinya di dunia ini hanya ada hutan dan jurang saja…Edelweis terakhir telah jadi abu dan kami masih di hutan. Salah seorang berteriak kegirangan karena telah menginjak air, kamipun berlomba meminum air yang cokelat itu sebanyak-banyaknya, air minum yang kami bawa dari Lembanna telah habis sore harinya dan waktu itu telah pukul 3:30 pagi, setelah rasa haus hilang ternyata sekitar sepuluh meter dari tempat kami minum terdapat sebuah mata air. Sesaat kemudian kami kembali berdebat (kali ini sangat sengit) apakah jalan terus atau berhenti sambil menunggu pagi, kami putus asa, lalu seseorang mulai terisak-isak namun di sela-sela isakan itu sayup-sayup terdengar gonggongan anjing dari kejauhan, ada kampong di sana…
Kami mengikuti suara anjing itu dengan kaki yang diseret akibat kelelahan dan diselingi jatuh karena terantuk batu, akhirnya kira-kira satu jam kemudian kami menemukan sebuah rumah kebun, penghuni rumah kebun itulah yang memberikan petunjuk kea rah jalan raya. Butuh waktu kira-kira sejam untuk kami sampai di jalan raya dan kami mampir di sebuah warung kecil. Di warung itu kami saling diam dan mungkin merenungi apa yang telh kami lakukan dan apa yang sebenarnya terjadi tadi…kami saling pandang dn kemudian tertawa lebar ternyata kami di Kanreapia. Akhirnya kami putuskan untuk jalan kaki kembali ke Lembanna. Matahari telah muncul ketik kami sampai di Lembanna
Kembali ke Makassar kami mampir ke pasar malino untuk membeli sebuh harpan, bunga edelweiss !. seorang yng menerima edelweiss itu mungkin berpikir kami mendapatkannya di punck Bawakaraeng…
Sejak sat itu kami selalu membicarakan kejadian yng kmi almi bik di kampus maupun di mana saja kami berkumpul dan tentunya dibumbui agar kami bias tertawa dan saling mengejek. Saat itu pula kami (Yusriadi, Aldi, Ermansyah, Nurawal dan M Taufik) erencana untuk membuat kelompok cinta alam fakultas sastra karena kami terdiri dari beberapa jurusan di fakultas. Mulai saat itu kami mulai dikenal sebagai anak-anak edelweiss tanpa mereka ketahui ada apa di balik bunga edelweiss itu. Semakin hari kami bertambah banyak. Gusti Hawa, Neneng Rachmawati, Dostian, Risfayanti dan Yayuk ikut bergabung. Kami jadi lain di sastra, kemana mana kami bergerombol, penampilan melebihi seniman yang ada di sastra waktu itu membuat kami cepat dikenali sebagai sebuah komunitas baru dengan cirri dan karakter yang aneh pada zaman itu.

1993
Komunitas kami bertambah tidak hanya dari fakultas sastra saja. Tercatat fakultas MIPA diwakili oleh Dedi Asriadi, Fakultas kehutanan oleh Hatta, Fakultas teknik Muhammad Arsyad dan beberapa simpatisan dari fakultas Sospol ikut meramaikan kelompok kami. Pendakian Gunung Latimojong, adalah pendakian kami selanjutnya, kali ini kami mempersiapkannya dengan baik, di pendakian ini pula Nurdin Darwan (Tolle) bergabung dengan kami untuk pertama kalinya juga ada Imran (Imo) turut meramaikan pendakian ini.
Ketua senat terpilih Muhammad Ilham Rivai Hasan, menawarkan diri untuk membantu percepatan pembentukan lembaga yang dicita-citakan, kami (Yusriadi, Aldi, Ermansyh, Nurawal dan M. Taufik) mendiskusikan tawaran tersebut yang akhirnya disepakati untuk menerima dengan catatn kami independe. Dukungan dari berbagai pihak akan hobi kami berkumpul dan legitimasi kehadiran kami menjadi dasar tawaran itu kami terima. Kami tidak memilih ketua umum, ketua umum pada waktu itu di tunjuk oleh ketua senat dan Muhammad Nur menjadi pilihannya.
Pada saat itu kami mulai mengatur strategi agar keberadaan kami sebagai sebuah lembaga semakin kuat dan diakui, maka untuk urutan penomoran diberikan Drs. Nunding Ram, M.Ed. (pembantu Dekan I) sebagai senior 001 dan Drs Iwan Sumantri sebagai senior 002, langkah ini sebagai langkah strategis kami pada waktu itu untuk mendapatkan dukungan dari pihak fakultas.

1994
Musyawarah besar pertama kami lakukan, karena anggota edelweiss bukan hanya dari fakultas sastra maka dibentuklah serikat cinta alam edelweiss yang menggabungkan antara hobi dan kegiatan ilmiah, pada mubes itulah untuk pertama kalinya pula kami memilih ketua umum yaitu Risfayanti.

1995
Pada tahun 1995-1996 Dostian menjabat sebagai ketua umum menggantikan Rispayanti. Pada masa kepengurusannya edelweiss berada pada masa kritis, salh seorang pendiri edelweiss yaitu nurawal harus rela dicabut keanggotaannya, peristiwa ini sangat memukul kami, akan tetapi kami harus menghormati aturan yng kami buat sendiri. Berkat kemampuannya Dostian mampu melewati masa kritis tersebut.

Read more...

Mungkin “Bawakaraeng” juga menginginkan kemerdekaanya….?

>> Sunday, August 24, 2008


Nasionalisme di puncak-puncak Gunung
Tak kalah meriahnya, semarak perayaan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2008 di sudut-sudut kota dengan jubelan para pendaki dari yang amatir hingga yang berpengalaman berdesak-desakan melewati jalur pendakian puncak-puncak gunung salah satunya di Pegunungan Bawakaraeng, 2705 Mdpl , yang berlokasi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan , sekitar 70 Km dari kota Makassar, Ibu kota propinsi Sulawesi Selatan.
Diperkirakan sekitar 500-an orang memadari jalur pendakian Pegunungan Bawakaraeng. Mereka bermaksud mengikuti upacara pengibaran bendera merah putih di puncaknya. Kegiatan ini diprakarsai oleh beberapa anak muda yang juga ingin mengapresiasikan semangat, haru dan kebanggaan mereka menyambut kemerdekan yang telah diraih Republik Indonesia selama 63 tahun.
Entah sejak kapan kebiasaaan ini menjadi tradisi yang tidak boleh terlewatkan setiap perayaan kemerdekaan Indonesia. Tidak ada tanggal pasti. Yang jelas, kegiatan ini tak berbeda dengan sebentuk kegiatan-kegiatan lain yang ramai dilaksanakan dalam rangka kemerdekaan. Hanya mungkin kebiasaan terlihat aneh bagi sebagian kalangan. Tapi seperti itulah, dengan mendaki ke puncak-puncak gunung dan mengibarkan bendera merah putih sebagai sumbangsih mereka dalam perayaan kemerdekaan Indonesia.

Walaupun harus melewati medan terjal, suhu yang dingin menusuk tulang (antara 10-15 derajat) tak menyurutkan semangat anak muda, laki-laki, perempuan untuk melangkah menuju puncak. Teriakan merdeka-pun tak henti-hentinya terdengar lantang memekik telinga dari mulut para pendaki. Dengan hiasan bendera merah putih yang digantungkan di ransel para pendaki membawa semangat nasionalismenya menuju puncak.
Badai menghadang
Tak seperti syair lagu Ada Band “walau badai menghadang kukan selalu setia…? Para pendaki meninggalkan puncak karena badai yang kencang menerjang mereka. Tak diperkirakan sebelumnya badai kencang disertai hujan menyambut kehadiran para pendaki. Karena memang pada bulan agustus hujan tak pernah mengguyur sekitar kabupaten gowa, termasuk pegunungan bawakaraeng. Walaupun memang badai sejak 16 Agustus 2008 angin kencang sudah melanda sekitar puncak.
Semangat tak cukup menjadi alasan para pendaki tetap bertahan dengan badai kencang disertai hujan. Sekitar pukul 03.00, 17 Agustus 2008, badai makin kencang. Badai makin tak tertahankan karena disertai hujan. Badai ini menerjang tenda-tenda hingga pagi. Tenda-tendapun tak mampu menahan laju angin yang kencang. Tenda-tenda roboh. Satu persatu para pendaki meninggalkan puncak.
Upacara pengibaran benderapun tak terlaksana. Puncak dan setiap pos pendakian yang sebelumnya dipadati berangsur ditinggalkan. Terlihat raut kekecewaan para pendaki. Mau diapa lagi. Badai menghadang.

Dalam benak kuberfikir sejenak “mungkin bawakaraeng tak menginginkan kedatangan pendaki yang banyak, mungkin bawakaraeng tak tahan menanggung prilaku para pendaki yang mengusik ketenangannya, mungkin bawakaraeng enggan memberi tempat bagi sampah-sampah, kotoran para pendaki yang dibiarkan begitu saja, mungkin bawakaraeng juga menginginkan kemerdekaannya”

Read more...

sekilas ekspedisi sojol

>> Friday, August 1, 2008

EKSPEDISI BUDAYA FUYUL SOJOL 2008
“Bertualang untuk Ilmu Pengetahuan”
21 Agustus s/d 11 September 2008.

Bergiat di alam terbuka merupakan salah satu dari sekian banyak kegiatan yang dapat menghasilkan manfaat buat khalayak umum. Kegiatan seperti ini lahir ketika orang-orang berusaha mencari sesuatu yang dapat memacu adrenalin, sehingga mereka menjadi lebih teruji. Pada perkembangan selanjutnya, kegiatan alam terbuka tidak lagi berfungsii hanya sebagai pemicu adrenalin semata akan tetapi kegiatan ini telah menjadi salah satu cara untuk mengangkat dan mengharumkan nama bangsa seperti yang dilakukan oleh beberapa negara diantaranya Inggris pada tahun 1920 yang pertama kali melakukan ekspedisi ke Mount Everest, Nepal.
Pada dasarnya, tanpa disadari kegiatan alam terbuka telah ada sejak beberapa abad yang lalu. Mereka adalah orang-orang yang hidup di daerah pegunungan tinggi dan melakukan aktifitas itu seperti orang-orang di sekitar pegunungan Alpen di Eropa yang sudah mulai naik turun gunung untuk keperluan mata pencaharian dan spiritualnya. Ketika mata pencahariannya bukan lagi sebagai alasan utama akan tetapi lebih dari pada untuk mempelajari lingkungannya, mereka mulai mencari sesuatu yang baru hingga pada sekitar abad ke-16 orang-orang di desa sekitar pegunungan Alpen di Eropa dan Himalaya di Asia telah banyak membicarakan dan mendiskusikan teknik-teknik mendaki gunung.
Saat itu belum seorang pun pernah menginjakkan kakinya di puncak tertinggi pegunungan tersebut (Mount Blanc), orang-orang Inggris yang rata-rata aristokrat sering mengunjungi lembah Chamonix di kaki gunung Mount Blanc. Sebagian dari mereka yang memiliki tujuan penelitian pada masyarakat Chamonix yang sebagian besar pekerjaannya berburu dan mencari batu kristal di gunung menjadi pemandu-pemandu untuk para pendaki. Aktivitas keseharian orang-orang Chamonix membuat mereka menghafal setiap belokan di Alpen sehingga tidak lagi mendapat kesulitan dalam menemukan jalur.
Di Indonesia kegiatan seperti ini mulai berkembang dan merambah ke ranah masyarakat khususnya kalangan pemuda terjadi pada tahun 1960-an, selanjutnya kegiatan ini semakin banyak diminati dan semakin berkembang hingga sampai sekarang dan bertambah pula jenis kegiatannya seperti mendaki gunung, panjat tebing, selusur gua, susur sungai, susur pantai, arum jeram, para layang dan masih banyak lagi lainnya.
Terkait dengan kegiatan petualangan, banyak memberi manfaat. Ini bisa saja diperoleh dengan menciptakan berbagai penelitian demi tujuan keilmuan. Di wilayah yang sulit dijangkau oleh kendaraan selalu menjadi alternatif untuk mencapai wilayah tersebut dengan berjalan kaki dan didukung oleh pengetahuan bergiat di alam bebas. Selain itu, manfaat lain yang dapat diperoleh adalah wisata, yaitu menjadikan wilayah tersebut sebagai lokasi wisata yang sesuai dengan dukungan sumber daya yang ada. Manfaat lainnya adalah komersialisasi yaitu menjadikan wilayah tersebut sebagai kawasan yang dianggap unik seperti apa yang telah ditayangkan oleh TV sekarang ini, namun menfaat yang terakhir disebut diatas bukanlah tujuan yang ingin kami capai dalam kegiatan ini.
Kegiatan penelitian yang mengharuskan peneliti menjamah daerah-daerah yang dapat mendorong mereka untuk belajar dan mengaplikasikan skill petualangan serta sosialisasi dengan penghuni asli wilayah pedalaman terkait dengan beberapa bidang kajian keilmuan, seperti biologi, geologi, antropologi, arkeologi dan sosiologi desa. Khusus di Indonesia wilayah penelitian yang dapat membuat peneliti harus menguasai teknik bergiat di alam terbuka adalah penelitian suku anak dalam di Bukit Dua Belas Sumatra, masyarakat Dayak di belantara hutan hujan Kalimantan, orang-orang Asmat di pedalaman Papua dan masih banyak lagi lainnya.
UKM. PA. Edelweis yang bernaung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin memiliki misi yang tak jauh berbeda dengan apa yang telah diuraikan diatas, sebagai insan akademisi tentunya organisasi ini berusaha menciptakan iklim yang bernuansa petualangan ilmiah yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, oleh karena itu organisasi ini berusaha mengawinkan antara kegiatan petualangan dengan kegiatan penelitian budaya masyarakat yang ada disekitar obyek petualangan. Untuk kegiatan yang sekarang ini sedang berlangsung proses pelaksanaannya UKM. PA. Edelweis memilih suku Lauje yang berada di pedalaman kabupaten Donggala dan di sekitaran Gunung Sojol (Fuyul Sojol) sebagai objek kegiatan kali ini.
Budaya merupakan cerminan hidup manusia yang teraktualisasi lewat wujud budaya yang terdiri dari ide, aktifitas dan materi, oleh karena itu arti penting budaya sangat perlu diketahui dan dapat disaksikan lewat sikap, tata krama, tutur kata bahkan kepercayaan manusia dalam sebuah komunitas atau suku. Budaya secara umum diartikan sebagai hasil dari perbuatan manusia yang berlangsung dalam lingkungannya. Di Indonesia beraneka ragam suku dan komunitas manusia telah melahirkan budayanya masing-masing, lewat budaya ia mempertahankan akan status dirinya, akan tetapi dalam kondisi sekarang ini banyak budaya perlahan mulai hilang dan tergantikan dengan budaya baru. Alangkah ruginya kita sebagai bangsa Indonesia yang tidak mengenal keaneka ragaman budaya kita, apalagi budaya yang telah menjadi warisan nenek moyang masa lalu yang saat itu belum mengenal budaya popular seperti yang terjadi sekarang ini.


Maksud, Tujuan, dan Manfaat Kegiatan
Maksud
Maksud dari kegiatan ini adalah melakukan pendakian gunung Sojol dengan mendeskripsikan rute perjalanan (Kondisi medan, keadaan hutan, aktifitas selama pendakian) serta menentukan kordinat jalur pendakian. Selanjutnya adalah melakukan penelitian terhadap manusia pendukung suku Lauje dengan metode observasi dan wawancara.

Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan ini adalah:
1. Mencapai titik tertinggi (puncak) Gunung Sojol
2. Menguasai teknik dalam berkegiatan di alam bebas khusunya kegiatan pendakian gunung
3. Menciptakan individu yang dapat bekerjasama dalam satu team work
4. Mengaplikasikan metode penelitian budaya terhadap suku Lauje yang telah dipilih sebagai obyek penelitian
5. Mengetahui kondisi sebenarya yang telah terjadi dalam lingkungan suku Lauje
6. Menciptakan individu yang akan memahami arti penting sebuah budaya

Manfaat
Dalam kegiatan ini, manfaaat yang akan dihasilkan terdiri dari:
1. Tiap induvidu akan mengerti arti penting dalam kegiatan alam bebas dan memahami makna sebuah budaya sehingga akan melahirkan individu yang peduli pada alam, budaya local, kesederhanaan, dan sikap saling menghargai.
2. Memberikan informasi tentang keadaan alam yang terjadi sekarang ini di sekitaran Gunung Sojol
3. Menyajikan data mengenai kondisi sekarang ini yang telah terjadi dalam lingkungan masyarakat suku Lauje, sehingga orang-orang akan mengetahui tentang suku Lauje dan keberadaannya.

Gambaran Situasi Obyek Kegiatan
Gunung Sojol (Fuyul
Gunung Sojol terletak di kabupaten Donggala, Sulawesi tengah yang memiliki ketinggian kurang lebih 2878 mdpl.

Suku Lauje
Tentang suku Lauje, tak banyak data tertulis yang bisa ditemukan. Informasi yang didapatkan pun terpotong-potong menyebabkan kondisi suku ini tetap menjadi misteri yang menarik. Sebuah komunitas pencinta alam dari Surabaya, Pataga, yang melakukan pendakian ke Sojol pada bulan September 2007 lalu membagi pengalamannya lewat website mereka.
Pada tanggal 10 September, mereka meninggalkan dusun terakhir: “awalnya kami merasa agak takut karena bayang-bayang suku pedalaman Lauje dengan sumpit beracunnya yang masih primitif…”. Hari berikutnya mereka menemukan sumpit dan rumah pohon orang Lauje. Kemudian besoknya pada tanggal 12 September “masih teringat ketika kita mendapatkan informasi dari penduduk desa tentang kehidupan dan kebiasaan orang Suku Lauje yang sangat menyeramkan”. Tetapi mereka tidak menjelaskan apa maksud dari pernyataan tersebut.
“Setelah melewati hutan yang sangat lebat pemukiman Suku Lauje terlihat dari kejauhan dengan rasa khawatir kami turun perlahan dan bertemu dengan Suku Lauje yang merupakan orang rimba Gunung Sojol. Untungnya kami dapat sedikit menguasai bahasa setempat ditambah lagi kita dari rumah Pak Guru Patulia yang merupakan orang yang paling di segani oleh Suku pedalaman Gunung Sojol. Awalnya mereka takut dan lari melihat kedatangan kami, kemudian kami tawarkan rokok yang merupakan kesukaan orang-orang Lauje merekapun kami ajak untuk berkomunikasi dengan mengunakan bahasa Lauje.”

Read more...

MENJAGA HUTAN DENGAN CURUPIRA Review film “The Burning Season”

>> Tuesday, July 29, 2008


Walaupun Film yang bercerita tentang seorang pemuda bernama Chico Mendes yang bekerja sebagai penyadap karet di lebatnya hutan amazon ini adalah film yang terbilang film lama tetapi masih cocok untuk selalu menjadi bahan tontonan reflektif untuk siapa saja. Film ini mengisahkan perjuangan Chico Mendes menjaga hutan dari segala tindakan pengrusakan. Melanjutkan perjuangan pendahulunya, Wilson Pinheiro, chico mengorganisir rakyat yang bermukim di sekitar hutan amazon Brazil dan menggantungkan hidup dari hasil hutan non kayu berupa karet, untuk melawan segala bentuk pengrusakan atau pengambilalihan lahan mereka oleh investor asing yang berniat membangun peternakan sapi. Usahanya bukan berlangsung mulus. Investor ini didukung penuh oleh pemerintah, sehingga usaha Chico selalu terhalang. Chico, keluarganya, dan teman-temannya tak pernah berhenti diintimidasi hingga halus sampai kasar. Dengan perserikatan Pekerja Desa, sebuah organisasi yang mereka dirikan untuk mendukung usaha mereka, berbagai usaha yang dilakukan baik secara langsung melawan penebang hutan atau dengan berusaha mencari dukungan internasional. Walhasil Chico mendes berhasil menghentikan usaha pengrusakan hutan tersebut walapun harus dibayar dengan kematiannya di bawah senjata penembak misterius di depan rumahnya.

MITOS CURUPIRA

Hutan amazon sangat luas dan masih terjaga keasliaanya hingga disebut-sebut sebagai stok hutan hujan dunia yang merupakan sebagian besar paru-paru bumi selain hutan di Indonesia yang mengalami deforestasi besar-besaran. Banyak masyarakat yang bermukim di dalamnya yang sudah tinggal lama dan beranak pinak. Mereka sangat menggantungkan hidupnya dengan segala hasil hutannya. Hutan adalah kehidupan mereka. Tanpa hutan tak ada kehidupan bagi mereka. Karena itu, mereka sangat menjaga hutannya dari segala hal yang bisa merusaknya, menebang, membunuh binatang tanpa tujuan yang jelas, atau bahkan mengambil hasil hutan secara berlebihan.

Masyarakat tradisional, pada umumnya di Indonesia juga memiliki serangkaian cerita-cerita, dongeng atau legenda yang mereka pertahankan dengan menanamkan secara lisan kepada anak-cucu mereka untuk menjaga alam sekitar dari kerusakan atau tindakan serakah mengambil hasil alam. Mereka balut dengan cerita-cerita mitis, yang diartikan oleh manusia moderen dewasa ini sebagai hal yang tak masuk akal atau sama sekali tidak ilmiah. Padahal kalau kita cermati secara mendalam semua itu merupakan pengetahuan yang mereka alami puluhan tahun yang berulang hingga teruji kemudian menjadi rangkaian ilmu pengetahuan yang bisa kita sebut kearifan lokal. Kita dilarang mencuci alat makan yang kotor di sungai, karena kita akan dimakan makhluk menyerupai buaya. Itu dimaksudkan sisa-sisa makanan yang non organik maupun yang organik bisa mencemari sungai hingga bisa menimbulkan kerusakan yang akibatnya bisa merugikan kita. Atau di masyarakat suku kajang, masyarakatnya dilarang mengambil kayu secara berlebihan dari hutan, tanah ulayat mereka. Kalau mereka berniat membangun rumah maka harus dihitung terlebih dahulu jumlah kayu yang mereka butuh. Setelah itu mereka harus menanam pohon sejumlah kayu yang mereka butuh. Kalau mereka tidak jalankan, maka mereka akan terus diganggu oleh nenek moyang mereka, mereka tidak akan pernah tentram di rumah tersebut. Dan masih banyak lagi, rangakaian cerita yang mereka balut dengan hal-hal yang menyeramkan, yang sama dengan curupira di hutan amazon, pada masyarakat penyadap karet. Konon kalau mereka mengambil karet secara berlebihan mereka akan diganggu manusia cebol dengan kaki di atas yang menunggangi babi yang mereka kenal dengan curupira. Telah berlangsng lama, masyarakat tradisional kita telah menyadari sepenuhnya pentingnya menjaga hutan jauh sebelum kita memperjuangkan pelestarian hutan atau jauh sebelum pemerintah mencangkan undang-undang kehutanan setelah hutan sudah rusak parah.

Lantas rusaknya hutan kita, pendangkalan sungai, abrasi pantai, iklim dan cuaca yang tidak teratur, panas matahari yang berlebihan, rusaknya perbukitan karst oleh penambangan yang tak hentinya sekarang dan akan terus berbuah bencana. Banjir bandang, kekeringan di mana-mana, tanah longsor, volume daratan yang terus berkurang karena mencairnya es di belahan kutub bumi. Semunya terjadi karena bermula dari tidak dijaga dan dipertahankannya serangkaian pengetahuan tersebut. Semuanya telah hilang. Semuanya hanya sekedar menjadi cerita-cerita yang menakutkan dan menyeramkan bagi kita tanpa membawa pesan-pesan moral yang sangat luhur.

10 Oktober 2007

chezmoi

gambar diunduh dari www.rosanevolpatto.trd.br/lenda_curupira.jpg

Read more...

Masyarakat Lamoncong Dalam Menjalani Hidup

>> Sunday, July 13, 2008

Pernakah kita mendengar tentang kata Lamoncong sebelumnya?. Mungkin tiap daerah di jazirah Sulawesi Selatan nama ini tidak asing lagi di telinga bahkan kata ini telah menjadi nama pada beberapa tempat. Lamoncong yang akan kami ulas pada hasil perjalanan crew simulasi Gunung Hutan edelweiss saat melakukan lintas yang dimulai dari kecamatan camba (Maros) dan berakhir di kecamatan Libureng, Camming (Bone) adalah sebuah desa yang berada dalam wilayah kecamatan Bonto Cani Kabupaten Bone.

Lamoncong yang dulunya hanya merupakan sebuah dusun dan berada dalam wilayah desa Langi Kecamatan Bonto Cani kini telah menjadi sebuah desa yang mengatur sistem pemerintahannya sendiri, terbentuknya desa ini dilatar belakangi karena jarak yang cukup jauh dari ibu kota desa dan sulit dijangkau oleh kendaraan umum, atas dasar itulah akhirnya masyarakat lamoncong berinisatif membangun lingkungannya sendiri dan inisiatif itu terkabulkan di tahun 1992.

Di daerah sekitaran kecamatan Bonto Cani, Kahu, dan Libureng, sebagian besar penduduk wilayah itu mengenali Lamoncong karena nilai sejarah yang terkandung dalam kisah perjalanan kampung ini. Apa bila kita berkunjung ke Desa ini kita akan menemukan dua rumah adat yang masih berdiri sampai sekarang dan pemakam kuno yang berada di bukit Lamoncong. Lamoncong yang menurut informasi orang-orang setempat konon katanya adalah nama seorang raja pada jaman dahulu yang pernah bermukim di desa tersebut, di desa Lamoncong terdapat dua rumah adat yang dinamai “salassa “ dan “ saroja “ dan terdapat kompleks makam kuno, dimana pada kompleks makam tersebut dimakamkam seorang raja beserta keluarganya dan pengabdi-pengabdinya (berdasarkan hasil wawancara penduduk). Dari hal itu kita dapat menarik sebuah gambaran bahwa dengan rumah adat dan makam kuno, Lamoncong kemungkinan besar merupakan bekas perkampungan tua, atau sebuah tempat yang dulunya pernah mengatur pemerintahannya sendiri tanpa ada ntervensi dari kerajaan lain.

Mata pencaharian masyarakat Lamoncong masih sangat bergantung dengan alam sekitarnya, hal itu terbukti dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai seorang petani dan peladang, dimana musim tanam padi hanya terjadi sekali dalam setahun, selain bercocok tanam sebagian besar penduduknya juga beternak hewan seperti sapi, kerbau, dan kuda. Hewan ternak mereka biasanya dilepas bebas pada sebuah padang yang berada disekitaran desa tersebut. Kondisi sekarang yang cukup menyedihkan bagi penduduk lamoncong tidak adanya aliran listriK PLN yang menjangkau desa itu, sumber pencahayaan ia peroleh dari bantuan genset yang di kelola oleh penduduk setempat dengan jumlah pelanggan 30 rumah, tapi itu hanya berlangsung sampai empat jam saja dan mulai dioperasikan pada pukul 6 malam sampai pukul 10. Kondisi lain yang tak dapat diniikmati masyarakat Lamoncong sebagaimana masyarakat Indonesia lainnya dapat nikmati adalah akses transportasi. Kejadian ini dapat kita saksikan jika masyarakat ingin kepasar, mereka harus berjalan kaki sejauh tujuh kilo meter, dan biasanya mereka memulai perjalanan pada pukul empat atau lima pagi dan akan tiba tiga sampai empat jam kemudian, hal itu telah menjadi kebiasaan masyarakat desa Lamoncong hingga sekarang.

Salah satu cermin kehidupan masyarakat desa adalah sikap gotong royong yang masih kental, sikap seperti ini masih tergambar dalam lingkungan masyarakat desa Lamoncong, kegotong-royongan ini ia buktikan pada beberapa pembangunan fasilitas umum tanpa kucuran dana dari pemerintah setempat, seperti pembangunan tempat ibadah, jalan, dan kantor desa. Satu hal lagi kenikmatan yang tak dapat dirasakan masyarakat lamoncong adalah fasilitas air bersih. Air yang mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari mata air yang dijadikannya sebagai sumur umum, namun kendala yang sangat menghawatirkan jika musim kemarau berlangsung, ia akan kekurangan air dan jalan untuk memperolehnya dengan mendatangi sumber air yang letaknya jauh dari pusat pemukiman.

crew Lintas Camba-Camming UKM. PA. EDELWEIS FIB.UH 20 s/d 26 juni 2008

Read more...

SAMPAH’’ TUKUL DI TELEVISI

>> Wednesday, July 9, 2008


Mendengar nama Tukul Arwana, mungkin seantero nusantara tidak ada yang tidak mengenal sosok ini, berkat acara yang dipandunya “Empat Mata” yang katanya hampir ditonton oleh setengah rakyat Indonesia. Pada setiap jam pemutaran acara, tukul seakan menjelma menjadi sang super star di tengah hiruk-pikuk jet set negeri ini yang hanya selalu menghadirkan isu perceraian, perselingkuhan, dan kisah cinta putus-nyambung. Tapi disini saya menulis tulisan ini bukan untuk membahas hal itu tapi bagaimana saya melihat Tukul dengan sangat cerdas mengolah lelucon–lelucon sampah yang di buang di suatu tong yang bernama televisi.

Mungkin saat kita melihat tontonan tersebut (Empat Mata) kita hanya menganggap sebagai tontonan biasa yang menghadirkan beberapa bintang tamu dengan tema tertentu dan sedikit lelucon tapi tidak menjadi biasa ketika lelucon –lelucon yang ditampilkan terkesan kasar malah bisa dikatakan kurang ajar dan sangat tidak mendidik. Kata-kata yang mengandung ejekan, terkesan sarkastik yang selalu menyerang bentuk fisik seseorang seakan mengalir begitu saja, belum lagi joke-joke yang menyerempet ke hal-hal yang terkesan porno Mungkin sudah sangat lumrah jika umpatan, cacian, dan makian terjadi di negeri kita ini mulai dari kalangan bawah sampai yang dikatakan kaum elite sekalipun sehingga semua orang yang menonton acara tersebut menganggap sebagai hal yang biasa saja.

Dalam perkembangannya, dunia pertelevisian khususnya acara-acara talk show yang ada di Indonesia tidak banyak mengalami perkembangan yang cukup berarti, di mana sebagian besar insan pertelevisian Indonesia masih sebagai plagiator bukan sebagai pencipta ide, sebagai contoh Dorce Show yang mengadopsi habis-habisan acara talk show tersukses di Amerika Oprah Winfrey Show ataupun acara Tali Kasih yang menggunakan sisi keprihatinan untuk menggaet simpati penonton, dari sisi yang lain Empat Mata hadir dihadapan Anda. Acara yang dipandu oleh Tukul tersebut menggaet simpati penonton dengan menjual lelucon yang sudah basi dan tak berkelas untuk ditonton di mana setiap episodenya selalu saja dengan setting yang sama. Ada yang berperan sebagai yang “teraniyaya” dan juga sebagai sang “penganiaya”, tidak jarang acara tersebut menyimpang dari tema karena pelakon-pelakonnya, asyik saling mengumpat dan mencaci. Penulis berkesimpulan bahwa acara-acara (talk show) di Indonesia yang bertemakan seperti ini akan laku dibanding dengan acara-acara yang terkesan kaku, formal dan sopan.

Untuk itu kita sedapatnya mampu memilih dan memilah tontonan yang selayaknya kita tonton, saya menulis ini bukan bermaksud karena saya anti-tukul atau memprovokasi anda atau siapapun untuk tidak menonton acara tersebut namun mungkin dapat menjadi pertimbangan apakah acara itu layak ditonton apa tidak karena masih banyak alternatif tontonan lain yang jauh lebih berkualitas dan memberikan banyak manfaat yang bermutu.

Darmawansyah Gunawan

Penulis adalah Mahasiswa Sastra Inggris Unhas Angkatan 2005 dan Penggiat Alam Terbuka yang tergabung di UKM.PA.Edelweis Fakultas Ilmu Budaya Unhas

Read more...

Sejarah Pendakian Gunung

Gunung, pegunungan, bukit, dan lembah adalah bagian yang tak terpisahkan dalam menekuni aktifitas di alam terbuka. Khusus dalam kegiatan alam terbuka, pendakian gunung merupakan salah satu jenis kegiatan yang telah berlangsung sekian abad yang lalu bahkan rutinitas kegiatan ini melahirkan berbagai jenis kegiatan alam terbuka lainnya. Untuk mengenali kegiatan dalam pendakian gunung alangkah baiknya jika kita mengenali sedikit tentang awal mula kegiatan ini dijadikan sebagai kegiatan petualangan alam bebas.

Sejarah singkat Awal Mula Dalam Kegiatan Pendakian

Kapan tepatnya kegiatan pendakian mulai dilakukan agak rumit mencari datanya lebih lengkap, namun menurut cerita dari mulut kemulut dan pustaka, aktivitas di gunung sudah dimulai oleh para misionaris-misionaris untuk misi keagaamaan serta agen tentara untuk misi perang dan penjajahan. Pada periode tahun 1490-an orang-orang disekitar pegunungan Alpen di Eropa sudah mulai naik turun gunung untuk keperluan mata pencaharian dan spiritualnya. Ketika mata pencaharian bukan lagi sebagai alasan utama pada sekitaran abad ke-16 orang-orang di desa sekitar pegunungan Alpen di Eropa dan Himalaya di Asia sudah banyak membicarakan teknik-teknik mendaki gunung. Pegunungan Alpen yang membujur diantara batas negara Swiss, Italia, dan Austria, saat itu belum seorang pun pernah menginjakkan kakinya di puncak tertingi pegunungan Alpen (Mont Blanc), orang-orang Inggris yang rata-rata aristockat sering mengujungi lembah Chamonix di kaki gunung Mont Blanc. Sebagian dari mereka yang memiliki tujuan penelitian dan masyarakat Chamonix yang sebagian besar pekerjaannya berburu dan mencari batu kristal ke gunung menjadi pemandu-pemandunya. Aktivitas orang-orang Chamonix membuat mereka menghafal setiap kelokan di Alpen sehinga tidak mendapat kesulitan yang besar dalam menemukan jalur yang mudah.

Masa pendakian gunung untuk penelitian ini berlangsung sampai zaman keemasan mendaki gunung kira-kira abad ke-19. Pada masa itu, mereka yang keluar masuk pegunungan Alpen adalah orang-orang yang ingin menjadi “yang pertama” menginjakkan kaki di puncak-puncak gunung yang masih perawan. Istilah “yang pertama” ini seperti menjadi prestasi agung dalam mendaki gunung, hal ini membuat masyarakat dikaki gunung akan bersorak-sorak menyambut kedatangan orang yang telah baru saja berhasil mencapai puncak gunung yang konon merupakan tempat naga gunung terlelap.

Kronologi Awal Pencapaian Puncak Tertinggi di Dunia

Pertengahan abad 19 cerita tentang puncak tertinggi didunia telah tersiar ditelinga masyarakat dunia. Ini diketahui berdasarkanhasil survey Kantor Survey India terhadap puncak-puncak himalaya di Nepal pada tahun 1849 sampai 1855. Sebelum Everest ditemukan sebagai puncak tertinggi, Kanchenjunga merupakan yang tertinggi saat itu.

Upaya ekspedisi ke Everest telah dimulai sejak tahun 1893 oleh pihak Inggris, namun tidak pernah menuai keberhasilan, ini dikarenakan oleh pihak Tibet dan Nepal tidak memberikan izin, tahun 1905 upaya itu kembali dilakukan namun kegagalan kembali terjadi dengan masalah yang sama. Tahun 1913 seorang kapten muda J. B. L. Noel telah masuk ke wilayah Everest secara diam-diam dan di bulan Maret 1919 ia menguraikan hasil perjalanannya dihadapan the Royal Geographical Society. Berkat laporannya itu The Royal Geogrhaoical Society dan The Alpine Club menyarankan untuk melakukan ekspedisi survey ke wilayah Everest. Sejak saat itu usaha memperoleh izin dari pemerintah setempat gencar dilakukan dan diakhir tahun 1920 akhirnya pihak Inggris berhasil memperoleh izin dari pemerintah Tibet untuk melakukan Ekspedisi.

Tahun 1921 di bulan Maret ekspedisi ke Everest pertamakali dilakukan oleh Inggris, ini merupakan ekspedisi pertama di dunia dalam usaha mencapai puncak Everest. Ekspedeis yang beranggotakan 11 orang dengan bantuan 16 pendukung serta ratusan binatang pengangkut barang dilakukan dengan melalui rute Darjeeling (India) dan menuju Everest melalui Tibet. Ekspedisi yang dilakukan ini belumlah sampai pada pencapaian puncak everest akan tetapi bertujuan untuk mengeksplorasi jalur pendakian mencapai puncak everest. Titik tertinggi yang dicapai dalam ekspedisi ini 23.000 feet di jalur utara.

Pada bulan April 1922 ekspedisi kedua dilakukan untuk mencapai puncak Everest melalui dataran tinggi Tibet, pendaki yang terlibat dalam ekspedisi ini sama dengan ekspedisi sebelumya yaitu George Mallory, namun dalam upaya ini ia belum menemukan keberhasilan. Pada bulan Mei tanggal 24 melalui rute North Col, Mallory, Geoffrey Bruce, Tejbir, Kapten Noel dan 12 porter yang membawa slinder oksigen melanjutkan cita-cita mereka untuk mencapai puncak everest (BW12 Februari-Maret 2002 ), terdiri dari 13 orang bangsa Inggris, 16 orang bangsa Nepal, 100 orang pengangkut beban dari Tibet, dan 300 binatang juga pengangkut beban (BW. Edisi Juni-Juli 2006) . Setelah melewati badai salju di camp north col akhirnya mereka dapat mencapai ketinggian 26.000 feet dan melewati north face everest dengan cara traversing, dengan bantuan slinder oksigen ia dapat mencapai ketinggian 27.000 feet, diketinggian itu ia kemudian lanjut lagi dengan memanjat diagonal menuju titik tinggi North east Ridge dan berhasil mencapai ketinggian 27.300 feet. Ditempat ini ia hanya dapat memandangi gunung cho oyu (27.000 feet), lembah rongbuk serta puncak barat Everest.

Sejak tahun 1921 dilaksanakannya ekspedisi ke Everest dalam jangka waktu 30 tahun ada 10 ekspedisi yang telah dilakukan. Ke-10 eksepedisi ini berakhir dengan kegagalan bahkan telah merenggut nyawa para pendaki diantaranya George Mallory dan Irvine yang tergabung dalam ekspedisi ke-3 inggris pada tahun 1924. 8 Juni 1924 kabar tentang kehilangan Mallory dan Irvin tercuat, tahun 1933 kapak es Irvine ditemukan pada ketinggian 8.230 meter dan pada tahun 1999 (73 tahun setelah hilang) giliran jasad Malorry ditemukan secara utuh bersama kaca mata salju, altimeter dan pisau lipat.

Setelah ekspedisi Inggris yang ke-3 dilakukan pada tahun 1924, daerah Tibet dan Nepal ditutup untuk orang asing selama 9 tahun, namun pada tahun 1933 kedua pemerintah wilayah ini kembali membuka diri, dan untuk ke-4 kalinya Inggris memperoleh izin untuk melakukan ekspadisi ke Everest. Ekspedisi Inggris kali ini dipimpin seorang pendaki Alpen dan Himalaya yairu Hugh Ruttledge. Tim Ingris saat itu beranggotakan 14 pendaki dan dihuni pendaki ternama seperti Frank S. Smythe dan Eric Shipton. Ekspedisi kali ini tetap sama dengan ekspedisi sebelumya, mereka belum juga bisa mencapai puncak Everest bahkan titik tertinggi yang dicapai Mallory dan Irvine pada tahun 1924 (sekitar 28.000 feet) tak bisa disamai. Setelah ekspedisi ini ditahun 1935, 1936, dan 1938 Inggris tetap teguh melakukan ekspedisi dengan pimpinan eksedisi Eric Shipton, namun hasilnya tetap sama dengan sebelumnya bahkan ketinggian yang dicapai Mallory belum tertandingi. Berakhirnya ekspedisi Inggris yang ke-7, wilayah Nepal dan Tibet kembali ditutup akibat perang dunia II meletus dan Everest saat itu kembali hidup tenang dan damai, tak terusik manusia-manusia yang ingin manjamahnya (BW: 91:Juni-Juli 2006)

Tahun 1952 kabar mengenai Everest kembali tersiar, lewat tim Ekspadisi Swiss yang ingin mencapai titik tertinggi. Ekspedsi ini berakhir dengan kegagalan dan ia hanya berhasil mengantarkan dua orang dalam timnya yaitu Lambert dan Tenzing mencapai ketinggian 8.550 meter. Setelah kegagalan Swiss, Inggris kembali menyiapkan tim untuk ekspedisi di tahun berikutnya. Tim Inggris yang dibentuk kali ini dipimpin oleh seorang colonel John Hunt yang beranggotakan 10 pendaki dan seorang dokter. Ekspedisi yang dilakukan Inggris, ini merupaka yang ke-11 dalam usaha pencapaian puncak Everest. Tanggal 9 April 1953 Tim Inggris yang membentuk kelompok kecil dimana didalamnya terdiri dari Tom Bourdillon, Alfred Gregory, Charles Wylie, Edmund Hillary, Griffith Pugh, Michael Westmaccott, George Band, George Lowe, Tenzing Norgay, Charles Evans, dan Stobart memulai perjalanan dengan ditemani High-Altitude sherpa sebanyak 5 dan 39 pengangkut beban menuju puncak Everest melalui Khumb Ice-Fall dan tembus ke Western Cwm (BW: 83; edisi Nov-Des 2006). Dalam perjalanan ini, cuaca buruk terus membayanginya, badai salju yang berlangsung sehari-semalam tak juga reda akkibatnya 4 pengangkut beban mengundurkan diri karena buta salju. 29 Mei 1953 Hillary dan Tenzing menjadi orang pertama yang berdiri dipuncak gunung Everest.

Sejak Everest telah disentuh oleh manusia melalui ekspedisi yang diawali pada tahun 1921, Everest telah menewaskan 130 orang hingga tahun 1996 (Krakauer: 1994:27). Orang tahu bahwa untuk berdiri dipuncak Everest tidaklah mudah karena butuh biaya yang mahal, pengalaman mendaki, keberanian dan sebagian orang mengatakan bahwa orang-orang yang melampiaskan keinginannya berjalan menuju Everes adalah orang yang tidak berpikir sehat. Sebagian orang tahu tentang hal itu, namun sebuah kenyataan yang sulit untuk dimengerti dalam jiwa para petualang tentang mengapa mereka melakukan kegilaan itu. Mallory jika menjawab pertanyaan para wartawan mengapa ia mau mendaki Everest?, Mallory menjawabnya “Karena gunung itu ada di sana.

Banyak orang yang bermimpi untuk berdiri dipuncak gunung tertinggi di bumi ini dan orang terus berusaha untuk mencapainya, beragam teori-teori pendakian tercipta, mulai dari penggunaan tabung oksigen, cara berjalan digunung es, penyesuaian diri, hingga lahirnya upaya untk mencapai everest tanpa bantuan oksigen. Tahun 1993 Mike Broom orang yang bekerja sebagai tukang kayu dan sesekali menjadi pemandu pendakian, telah mendaki Everest tanpa menggunakan bantuan oksigen (Krakauer:1994;101). Tahun 1990 komersialisai Everest bermunculan, dua perusahaan yang bergerak dalam jasa pendakian everest terkemuka yaitu Adventure Consultans dengan pimpinan Rob Hall dan Mountan Madness dengan pimpinan Scoot Fischer telah mengantar beberapa kliennya mencapai puncak Everest.

Pustaka:

  • Buletin Wanadri,edisi 12 Februari-Maret 2002
  • Buletin Wanadri. Edisi Juni-Juli 2006
  • Buletin Wanadri. Edisi November-Desember 2006
  • Eiger Adventure News, Edisi 50 Januari-Februari 2008
  • Krakauer Jon, Into Thin Air, 1994, Bandung, Penerbit Qanita
  • Sukandar Dadang,Rock Climbing, 2006, Yokyakarta, Penerbit Andi
  • Sukandar Dadang, Berburu Nyali di Tebing Emas, 2006, Yokyakarta, Penerbit Andi

By. Legy Noe Lish’e. 073

Read more...

"Gumpalan" di Bulusaraung

>> Thursday, June 26, 2008



sehari beristirahat setelah melintasi tenangnya pegunungan lompobattang dan pegunungan Lompobattang yang seakan enggan berpisah, teman-teman dari "Gumpalan" kelompok Mapala di Fakultas Pertanian Universitas Lampung, melanjutkan pendakiannya ke Gunung Bulusaraung (1315 Mdpl). Pendakian ini merupakan rangkaian kegiatan "Kabar Lampung di Sulawesi". berbekal surat isin dari Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, kami melangkah masuk kedalam wilayah taman nasional bantimurung bulusaraung. ber-enam dari "Gumpalan" (Gundelan, Parman, Oji, Buayo, Ucil, ari dan wawan) ditemani anak-anak edelweis (Imran, Wawan dan Ati) menghabiskan malam di Kampung Tompobulu, sebelum memulai pendakian, esoknya.

Read more...

anjangsana mapala gumpalan

>> Monday, June 23, 2008

Sementara ini, Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam Edelweis Fakultas Ilmu Budaya Unhas menemani, penjadi penunjuk jalan kegiatan pendakian pegunungan Lompobatang, pegunungan Bawakaraeng dan Gunung Bulusaraung oleh Salah Organisasi Mahasiswa Pecinta Alam yang berdomisili di Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Tim yang beranggotakan 7 personil ini tiba di Makassar melalui Pelabuhan Soekarno hatta pada tanggal 20 Juni 2008 dan langsung menuju Mabes UKM.PA.Edelweis FIB UH. sambil beristirahat dan bersilaturahmi, diselingi senda gurau, rencana pendakian dan kegiatan tambahan lainnya di atur dengan baik.
hari Jumat 20 Juni 2008 Pukul 15.00 tim Gumpalan meninggalkan mabes Edelweis yang ditemani salah satu anggota edelweis, Johannes Rongre untuk memulai pendakian melintasi Pegunungan Lompobattang dan Pegunungan Bawakaraeng. Rencana Pada hari Selasa 24 Juni 2008 akan tiba kembali di mabes Edelweis. Kemudian sesuai rencana sebelum melakukan perjalanan wisata ke Kabupaten Tanah Toraja, Tim Gumpalan akan beristiarat dulu selama sehari, kemudian Rabu 25 Juni 2008 melanjutkan pendakian ke Gunung Bulsaraung (Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung) di Kabupaten Pangkep. Hari Sabtu 28 Juni 2008 menuju Kabupaten Tanah Toraja. sebelum meninggalkan Makassar.

Read more...

sidang istimewa

>> Thursday, May 22, 2008

tak ada yang terlalu istimewa, tepat tanggal 16 mei 2008, beberapa anak edelweis, beralaskan karpet di teras rumah keluarga kecil edelweis, menggeledah kembali kitab konstitusi edelweis yang sebelumnya telah ditinjau di musyawarah besar. menyikapi kondisi terkini fakultas tempat Unit Kegiatan Mahasiswa Edelweis bernaung, yang beberapa saat yang lalu berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya dari sebelumnya bernama Fakultas Sastra.
selain agenda perubahan nama fakultas sastra menjadi fakultas ilmu budaya, wacana penghapusan kata mahasiswa pada nama resmi organisasi dan perdebatan menggeledah kata pecinta alam dan pencinta alam menjadi bahan diskusi yang memamakan waktu yang banyak dalam sidang istimewa edelweis.
hingga melalui ketukan palu sidang Presidium sidang, Saudari Rini Binti Badawi dibantu Saudari Erwanti sebagai notulen disepakati untuk merubah nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya pada nama resmi organisasi dan pada semua atribut organisasi dan dokumen resmi lainnya.
jadilah organisasi ini dirubah menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam Edelweis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

Read more...

Survey PPAB dan Cerita Mistiknya

>> Monday, March 24, 2008

Suasana mencekam mirip dalam film horor setelah kami tiba di sebuah puncak menjelang memasuki kampung Bassikalling. Di atasnya tersusun rapi beberapa kuburan, salah satunya nampak lebih besar dari yang lainnya. Cahaya berkabut menusuk masuk di sela-sela daun pohon yang berdiri besar dan kokoh. Setelah melihat arah kompas, pikiran tambah kalut! arahnya 180 derajat dari apa yang kami prediksi! kami tersesat.....
itulah sedikit dari banyak peristiwa mistik survey PPAB 14....mudah-mudahan ada waktu untuk melanjutkannya...

Read more...

Cerita dari Malino Maros

>> Tuesday, February 5, 2008

Di satu pagi di mace Indah yaitu di bulan desember yang masih sepi karena para mahasiswa masih dalam kondisi berlibur setelah dua hari raya yang hampir bersamaan yaitu Idul Adha dan Natal. Kami (Saya, Adel dan Phyro) menikmati segelas susu putih hangat yang diminum bertiga sambil mengomentari apa yang dilihat. Tiba-tiba muncul keinginan untuk keluar lapangan (baca:mendaki). Kamipun merencanakan sebuah perjalanan dengan jalur Malino-Maros. Lama berdebat masalah waktu kami sepakat akan melaksanakan pendakian ini pada tanggal 11 Janari 2008_kamipun berseloroh pendakian ini akan disponsori oleh Gigi karena kami telah memakai judul lagunya sebagai nama perjalanan kami kali ini ”Pendakian Sebelas Januari”.


Gara-gara Kamera

Mendekati hari H, kami telah membuat perencanaan perjalanan yang meliputi daftar peralatan dan perlengkapan yang harus dibawa serta yang paling penting yaitu makanan. Rencananya perjalanan ini akan kami dengan ramai. Namun teman-teman yang lain memiliki aktivitas lain. Noge yang harus ikut menjadi fasilitator Youth Camp di Bulukumba, Ipul juga akan megadakan perjalanan dengan tempat yang berbeda dengan teman-teman yang lain, Ilend yang harus mengurus nilai tundanya serta anggota muda yang tidak boleh meninggalkan ekspedisinya.

Tidak usah pergi kalau tidak ada kamera....! pendakian 11 januari pupus sudah hanya gara-gara barang yang satu ini. Bagaimana tidak, pendakian sebelumya tahun lalu di tempat yang sama terasa hambar karena banyaknya momen-momen yang indah yang tidak sempat diabadikan. Alasan itu juga yang membuat kami menunda perjalanan kami sampai menemukan barang yang satu ini. Padahal kami sudah mempersiapkan segalanya bahkan telah belanja makanan.

Hari sabtu 12 Janari, saya mendapat telepon dari Noge; ”kalau mau berangkat ambil kamera di sini, saya ada di rumah sakit Ibnu Sina”. Langsung saya sms adel, ”Kita jadi berangkat hari senin”. Namun sudah terlanjur Phyro memiliki urusan lain dan terpaksa tidak ikut, untung ada Bayu yang menggantikannya.

Hari senin kami mempersiapkan semua keperluan dan packing. Di mabes ada teman-teman juga yang mau berangkat survey ke pangkep untuk keperluan ekspedisi gua. Tapi mereka berangkat duluan. Kami baru berangkat jam tiga sore. Setelah berdoa, kamipun tancap gas.

Kami tiba Kampung Baru, Malino ketika sudah malam. Kondisi kampung sudah sepi. Salah satu penjual di desa tersebut bahkan sudah mau tutup. Kami langsng menuju salah satu rumah penduduk untuk meminjam gardu tempat menjualnya sebagai tempat menginap. Tak banyak aktivitas kami lakukan, kami hanya makan malam sudah itu langsung tidur karena kami sudah kelelahan dan cuaca malam itu lumayan dingin.

Cuaca sangat cerah keesokan harinya. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Kami bangun agak cepat karena katanya yang punya tempat akan menjual di tempat tersebut pada pukul enam pagi. Kamipun segera merapikan tempat tersebut sembari mempersiapkan sarapan. Beberapa potong roti lapis telur dengan bumbu saus ditambah segelas susu putih dirasa cukup untuk mengisi perjalanan pada hari pertama. Setelah memastikan tempat sudah bersih serta tak satupun barang yang ketinggalan, kamipun berdoa bersama sebelum jalan.

Kami langsung dihadapkan dengan penurunan yang terjal. Kami yang semuanya memakai sandal gunung mengalami kesulitan. Beberapa kali kami kehilangan keseimbangan di medan yang licin tersebut. Beberapa jam kemudian, cuaca tiba-tiba berubah mendung. Kami mengeluarkan rain coat untuk persiapan kalau-kalau turun hujan kecuali Bayu yang memang tidak membawa apapun untuk pelindung hujan.

Medan yang berupa sawah yang baru saja diolah lumayan menyulitkan kami. Beberapa kali kami terjatuh dari pematang sawah yang memang kurang padat serta sangat tipis sehingga membuat kami kehilangan keseimbangan apalagi berjalan dengan beban ransel. Kamipun kadang harus menenteng sendal agar tidak jatuh terlalu sering. Kami saling mengejek ”pendaki apa ini, pake tenteng-tenteng sandal. Tidak machonya deh...! pendaki cokonoro (julukan yang kami pakai untuk pendaki yang suka menenteng-nenteng barang atau menggantung barang di ransel yang tidak enak dipandang).

Pukul 12.00, kami tiba di sungai Malino. Kami langsung membersihkan badan yang penuh lumpur setelah jatuh bangun. Setelah mengambil gambar, kamipun melanjutkan perjalanan. Sebelumnya, kami menyeberangi sungai Malino yang berarus deras melewati jembatan yang disusun dari dua batang bambu. Setelah menyeberangi sungai kami dihadapkan dengan pendakian yang cukup menguras tenaga. Untung cuaca hujan sehingga tidak terlalu menguras tenaga.

Perut sudah minta diisi, waktu memang sudah menunjukkan pukul satu siang. Kami memasuki sebuah perkampungan yang bernama Parasangantoa. Kami mencari tempat yang baik untuk makan siang. Gayung bersambut, seorang penduduk kampung, pak Ahmad namanya memanggil kami singgah di rumahnya. Dengan ramahnya melayani serta menyuguhi kami dengan teh hangat dan pisang. Dengan badan kebasahan kami memasak mi instant yang tidak memerlukan banyak waktu karena kami secepatnya harus melanjutkan perjalanan walaupun pak Ahmad mengajak kami untuk bermalam di rumahnya.

Perjalanan selanjutnya kami beberapa kali tersesat. Maklum saya dan Bayu terakhir melewati jalur ini tiga tahun yang lalu. Itupun ketika Diksar. Adel masih lumayan karena baru setahun yang lalu. Namun sayang memorinya tidak cukup membantu. Gelap sudah hampir datang, namun kami belum menemukan tempat camp yang kami rencanakan. Alhamdulillah, kami menemukannya sebelum malam tiba.

Hujan yang disertai angin membuat kami malas beranjak dari pembaringan keesokan harinya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh ketika kami memaksakan diri untuk menahan dingin dan melawan hujan. Seolah menunggu kami bangun, hujanpun berhenti dan matahari mulai menampakkan dirinya segera setelah kami bangun. Kami sarapan dengan nasi goreng dari sisa nasi tadi malam.

Medan yang kami tempuh dihari ini cukup berat. Selain medannya yang mendaki, hujan deras tiba-tiba datang menghantam kami yang memang sudah ngos-ngosan. Kami harus tetap berjalan untuk menjaga suhu badan agar tetap hangat. Sebentar saja kami berhenti, dinginpun segera datang menusuk tulang. Kamipun harus kecewa karena tidak dapat menyaksikan pemandangan dari puncak Sarigan karena kabut yang membatasi jarak pandang kami. Kami segera mencari sumber air untuk masak dan makan siang.

Kami sepakat untuk membuat camp di tempat itu. Artinya dihari ini kami hanya jalan sekitar dua jam setengah. Cukup santai saya kira. Di camp ini kami menikmati pemandangan sebuah kampung di sebelah punggung gunung dari tempat camp kami. Kami melewatkan hari dan malam dengan sedikit membuat dosa (bercerita tentang orang lain). Mudah mudahan tidak, Tuhan!

Lagi-lagi pagi datang dengan membawa hujan dan angin. Kali ini anginnya cukup kencang. Maklum kami membuat tenda di atas punggungan tanpa satupun pohon yang bisa menghalau angin. Saya terpaksa harus keluar memperbaiki patok tenda yang tercabut oleh angin. Namun sesuai perjanjian kami malam tadi, bagaimanapun kami harus berangkat pukul delapan pagi. Jadi kami menyiapkan barang dalam kondisi hujan. Bayu yang saya suruh memimpin doa kembali menyuruh saya lantaran sudah menggigil.

Rancanya arah perjalanan kami adalah sebuah kampung yang cukup terisolasi yaitu sebuah kampung yang bernama Sepe. Kampung tersebut rutin merupakan jalur yang selalu dilewati ketika ada teman-teman yang lintas Malino Maros. Namun seorang penduduk yang melintas di tenda kami kemarin menginformasikan bahwa jika lewat Sepe kami tidak akan bisa menyeberangi sungai Ballasak yang banjir. Kamipun disarankan melewati kampung Bara yang kami lihat dari tenda kami yang katanya ada jembatan gantung. Berarti kami harus memutar jalur cukup jauh ke kanan. Kamipun melanjutkan perjalanan dengan kondisi masih kedinginan.

Di tengah perjalanan kami yang kekurangan ransum merasa sangat senang ketika mendapati sebatang pohon mangga di tengah hutan. Lumayan untuk menambah variasi makanan kami. Bayu berusaha melempar dengan batu. Namun dari kira kira sepuluh kali lemparan, hanya satu yang berhasil. Tapi tak jauh kami jalan dari tempat tersebut, saya yang jalan duluan terkejut ketika saya tiba tiba dipanggil. Sayapun segera balik takut kalau-kalau ada sesuatu. Sesampai di tempat mereka, saya sudah melihat Bayu sedang berada di atas sebatang pohon mangga. Menguras semua buahnya yang ada.

Kembali kami harus menyeberangi jembatan gantung yang sudah cukup tua. Yang ini lumayan lebar karena terdiri dari beberapa bambu. Namun saya lebih yakin dengan jembatan yang ada di sungai Malino daripada yang ini. Bambunya sudah keropos dan besinya sudah cukup berkarat. Kayu penyanggahnyapun sudah miring. Sungai Ballasak yang mengalir dibawahnyapun mengalir dengan sangat deras siap menerjang kami.

Mendung belum juga mau beranjak dari langit. Cukup menguntungkan memang karena jika udaranya panas, akan cukup menguras tenaga. Kami menemukan sebuah rumah penduduk dan kebetulan memanggil kami untuk singgah bahkan kami diajaknya untuk menginap di sana. Kalau kami memutuskan untuk nginap disana, berarti lagi-lagi kami berjalan hanya setengah hari. Artinya lagi, jumlah hari perjalanan yang sudah kami rencanakan akan bertambah. Namun tidak apa-apa. Buat apa juga cepat-cepat tiba dikampus. Kami mandi, mencuci pakaian dan makan siang tentunya dengan tambahan menu mangga yang tadi diambil di jalan.

Target perjalanan kami pada hari selanjutnya yaitu kampung Tanralili yang berada di pinggir sungai Tanralili. Kami harus melewati jalan pengerasan yang panjang. Kami terlena oleh jalan pengerasan sampai tidak terasa kami lagi-lagi menjauh dari sasaran. Kami berjalan menjauh ke arah kiri sehingga kampung Tanralili tidak kami lewati lagi. Kami mengalihkan target kami yaitu desa Bassikalling rencana camp kami hari berikutnya setelah di tanralili. Namun kami tidak sanggup untuk mencapai Bassikalling karena hari sudah menjelang malam. Kami terdampar di sebuah tempat antah-berantah. Disebuah lereng yang cukup landai dengan sunset yang cantik.

Sebuah rumah berdiri dan satu-satunya disekitar daerah itu. Saya dan Bayu menuju rumah itu berharap kalau tuan rumahnya kembali mau memberikan tumpangan kepada kami sekaligus meminta air untuk minum dan masak. Kami terkejut ketika melihat yang ada di rumah tersebut hanya seorang nenek yang sudah sangat renta namun masih kuat membelah kayu. Rambutnya sudah putih dan jalan dengan membungkuk. Kami juga agak susah memahami kata-katanya karena selain suaranya yang sudah lowbatt, bahasa Makassarnya juga beda dengan bahasa Makassar yang biasa kami dengar. Kamipun mengurungkan niat untuk menumpang dirumah tersebut.

Malam harinya kami berpikiran macam-macam. Saya bilang ” jangan-jangan rumah di bawah sana adalah rumah hantu, dan nenek tadi ngesotnya”. Pikiran macam-macampun muncul. Belum lagi kalau-kalau nanti malam ada perampok lewat. Namun pikiran tersebut tidak membuat kami susah tidur yang memang sudah sangat kecapean.

Tidak seperti biasanya, matahari muncul sangat cerah. Jadi kami sempat menjemur beberapa pakaian kami yang basah yang cukup menambah berat ransel kami. Namun karena panas pula kami tidak memiliki banyak waktu untuk membuat sarapan. Dengan tiga sendok nasi goreng, kami melanjutkan perjalanan kami yang belum jelas.

Baru pada pukul tiga sore kami makan siang. Itupun ketika kami sudah sampai di titik finish yang bernama Bislap (Biseang Labboro: perahu karam). Konon katanya batu yang menyerupai perahu tersebut milik seorang pangeran dari cina yang datang melamar We Cu Dai (istri Sawerigading). Namun karena ditolak, Sang pangeran mengutuk dirinya dan akhirnya menjadi batu dan karam di daerah tersebut.

Kamipun bersih-bersih dan bergegas pulang berharap cinta kami tidak ditolak oleh alam setelah menikmatinya selama beberapa hari seperti cinta sang pangeran sehingga kami tidak mengutuk diri menjadi sebongkah batu ditengah masyarakat yang tidak berguna.(cHa)

Read more...

  © e-production