SERIBU MITOS PULAU SERAM, MALUKU TENGAH

>> Sunday, May 8, 2011


Memulai cerita dengan warga Pulau Seram selalu saja berujung pada hal yang berkaitan dengan mitos dan legenda. Artinya mereka memang tak pernah melupakan sejarah leluhur mereka. Terlebih pada suku pedalaman yang masih menganut animisme dan dinamisme. Gaya bahasanya yang khas cukup sulit unutk dimengerti. Bicara tentang mitos dan legenda, tak ada habisnya ketika sudah berhadapan dengan penduduk pulau berpantai indah ini. Berjuta rahasia yang belum sempat terungkit di hadapan massa nusantara tersimpan rapi di bumi hijau ini. Mitos-mitos yang terdengar dari mulut ke mulut tiap warga yang bercerita benar-benar menarik dan memicu sanubari untuk tahu lebih jauh tentang itu. “piring dolo”, sebuah contoh yang melegenda di kalangan mereka. Ada yang dikatakan sebagai piring yang jahat, ada pula yang baik. Masing-masing memiliki kekuatan tersendiri. Yang baik dapat menyembuhkan dengan menetralisir racun dalam makanan yang disaji diatasnya, sementara yang jahat akan membawa malapetaka bagi penggunannya. Piring ini disebutkan digunakan oleh para pendahulu mereka dari golongan tinggi atau para raja.

Dikatakan pula bahwa piring-piring ini banyak tersimpan dan terkubur di hutan rimba karena disembunyikan keberadaanya untuk menjaga kelesterian dan kesaktiannya. Secara ilmiah, dapat disebutkan bahwa piring-piring ini termasuk benda yang tergolong artefak. Tentu saja, hanya oang-orang yang beruntung bias menemukan benda ajaib ini. Memang agak sulit dipercaya bagi masyarakat modern saat ini karena memang hanya menganggapnya mitos belaka, tapi tidak bagi mereka yang menganggapnya sebagai hal yang dikeramatkan. Terlepas dari itu, ada pula disebut “kupu-kupu raja”. Nah, hewan ini diceritakan oleh penduduk asli Kanikeh, kaki Gunung Binaiya. Kupu-kpu raja berukuran lebih besar dari biasanya dan muncul pada waktu tertentu dengan tujuan mengganggu langkah para pendaki yang menuju Binaiya. Konon katanya ia akan muncul jika yang bersangkutan tidak mengikuti upacara adat sirih pinang sebelum naik ke puncak Binaiya. Sang kupu-kupu raja akan terbang menhalangi pandangan mereka agar tersesat di jalan.

Makanya, setiap pendaki diharuskan mengikuti upacara adat sebelum menjejakkan kaki di pelataran Gunung Binaiya. Masih seputar mitos di Binaiya, air yang dikenal dengan istilah wai Puku. Sebuah telaga yang tepat tergenang di puncak Gunung ini. Menurut sumber, Oce Masahuna (25) di desa Roho, air it adalah sisa air laut ketika Binaiya masih belum muncul di permukaan laut, tentunya sebelum zaman es dahulu kala. Air ini akan terasa asin persis seperti air laut jika seseoarang meminumnya di puncak tepat pada hari jumat. Sementara di hari yang lain, air dari telaga kecil ini sama seperti biasanya.
Di luar dari wilayah pegunungan, legenda yang bersumber dari daerah pesisir pantai Pulau seram tak kalah menariknya. Tepatnya di Tanjung Hewal yang berada pada pesisir pantai Utara Pulau ini. Di tempat inilah terdapat sebuah legenda yang menceritakan tentang sebuah mesjid yang berdiri di tengah laut. Anehnya, mesjid ini semu dan hanya halusinasi dari setiap orang yang sempat melihatnya. Tentunya, hanya orang-orang tertentu pada waktunya yang kebetulan melihatnya dengan kasat mata, walaupun benda ini bersifat semu. Rahman(28), pria lokal asal Hatilen, sebuah kampung yang dekat dengan tempat ini mengatakan bahwa mesjid juga ada yang menghuninya. Mereka adalah orang-orang yang berbusana muslim lengkap dengan kopiah dan talkum layaknya orang yang akan menunaikan shalat. Mereka akan memanggil siapa saja yang melewati wilayah dekat mesjid yang berdiri di atas permukaan laut ini. Disamping legenda ini pula, cerita rekyat tentang hubungan tali persaudaraan diantara penduduk pantai dan gunung sangat mencengangkan dan membuat kuping siap menyimak dengan tajam. Orang-orang di gunung pada dasarnya memiliki talii persaudaraan yang dekat dengan penduduk di pantai sejak dahulu. Dahulu kala, pendahulu mereka merupakan saudara dimana salah satu diantaranya turun ke pantai. Sampai pada saat ini, anak cucu hanya tinggal mencocokkan marga untuk tahu silsilah keluarga yang sempat terpisah ini. Diketahui bersama bahwa Maluku ketika zaman kolonilisme belanda adalah salah satu wilayah favorit sasaran mereka berburu rempah. Nah, barang tentu banyak hal yang menjadi behan bersejarah yang kian menjadi peninggalan sang penjajah di tempat ini. Contohnya, “seterika VOC” yang sampai pada saat ini banyak diburu masyrakat karena dipercaya memiliki kekuatan ghaib. Seterika yang dilengkapi dengan kepala ayam jago dan tujuh lubang khas seterika arang diyakini oleh mereka punya nilai tersendiri yang sangat berharga. Warnanya agak kekuning-kuningan dan entah apa tujuannya sehingga sangat diincar oleh masyarakat lokal. Jadi, merupakan sebuah keberuntungan yang amat sangat ketika ada yang memiliki benda itu. Begitu pula halnya dengan uang logam peningggalan Belanda yang bergambar Ratu Welhemina. Turut menjadi buruan warga karena kekuatannya yang ajaib menurut mereka. Mitos-mitios makin berkembang dan menjadi hal-hal yang dikeramatkan di Pulau seram sampai pada saat ini.
E.103. KOLEKSI EKSPEDISI MANISE 2011

Read more...

Sejarah Penduduk Asli Pegunungan Binaiya dan Rahasia yang Tersimpan


Sebuah hal yang sangat kompleks ketika membahas seputar silsilah keluarga dan tali persaudaraan masyarakat pegunungan Pulau Seram. Hubungan yang dahulunya sangat dekat bahkan dikatakan sebagai saudara kandung, kini hanya sebatas bualan. Menurut Hasan (53), kepala saniri negeri dari desa Wahai Seram Utara, bahwa masyarakat pantai Utara Seram dengan penduduk yang bermukim di kaki-kaki gunungnya memiliki satu ikatan keluarga yang dekat dan kian menjauh karena jarak yang memisahkan. Ketika missionaris protestan sudah gencar memasuki wilayah pegunungan, sebagian masyarakat yang muslim dan yang masih menganut animisme mulai memeluk agama protestan. Sebagian pula memilih untuk tetap memeluk islam. Atas dasar ini, maka pada waktu itu terjadi semacam konflik batin diantara mereka yang bersaudara. Tinggal bersama dalam satu wilayah dengan latar belakang keyakinan berbeda menurut mereka tidak benar. Diadakan sebuah perundingan yang dikenal dengan nama perundingan kursi emas. Nah, yang menjadi intisari agenda perundingan adalah terkait persoalan keyakinan yang merasuki Kanikeh pada waktu itu.
Masing-masing tetap dengan pendiriannya ingin memeluk agama yang menjadi pilihan. Setelah melakukan perundingan bersama, maka tercetuslah kesepakatan bahwa siapa yang memeluk agama islam harus turun ke pantai. Semua dicetus atas dasar kepentingan bersama agar tidak terjadi konflik lagi.

Sampai pada saat ini, marga asli dari desa yang menjadi kaki Gunung Binaiya ini telah menetap di pantai, walaupun sekarang yang tertinggal adalah anak cucunya. Sementara yang tersisa masih bermukim di tengah hutan belantara adalah para penerus generasi. Dikatakan oleh pria paruh baya ini bahwa lima marga asli ini adalah marga yang menjadi pemilik harta pusaka dan tuan tanah di pegunungan sekitar Binaiya. Mereka tergolong orang-orang yang memiliki derajat yang tinggi dan dihormati pada zamannya. Misalnya, marga berjuluk “kaila” yang berarti tuan tanah. Kemudian “ malueka” dan “tolo matan” yang keduanya berarti orang besar. Sementara dua marga lagi tidak diketahui dan tidak jelas keterangannya. Kelima marga ini hijrah ke pesisir pantai dan memberikan amanah kepada mereka yang tinggal di gunung. Sampai saat ini, apabila merunut pada sejarah kependudukan, lima marga asli kanikeh menyisakan rentetan keturunan di wilayah Desa Wahai (kota kecil yang berlokasi di kecamatan seram
Disamping sejarah keturunannya, rahasia yang tersimpan dibalik mistiknya pegunungan Binaiya juga menyisakan sebuah pertanyaan besar. Begitu banyak hal yang dikeramatkan dan menjadi harta tersendiri warga pegunungan ini. Jarak yang harus ditempuh untuk mencapai wilayah perkampungan kaki gunung tergolong sangat jauh. Membutuhkan tenaga ekstra dengan waktu tempuh dua hari jika berjalan normal. Lain halnya dengan penduduk lokal yang sudah terbiasa, menempuhnya dalam waktu sehari merupakan hal biasa. Ada tiga perkampungan yang akan dilalui, dan akan berakhir di desa kanikeh. Sementara dua desa yang mendahului adalah Huahulu dan Roho. Dua desa ini memiliki perbedaan yang sedikit mencolok dalam kepercayaannya padahal masih berada dalam satu wilayah dan jaraknya hanya sekitar lima sampai tujuh kilometer. Di Huahulu, kepercayaan yang berkembang adalah Hindu Buddha. Perilaku mereka dalam beragama masih mendekati atheis yang dipengaruhi animisme yang besar, layaknya pribumi yang primitif lainnya. Terdapat kebiasaan-kebiasaan seperti pengambilan tumbal kepala manusia untuk persembahan dalam suatu acara dan rumah pengasingan bagi wanita yang sedang haid ( Lili Poso ). Di desa Roho pula, sudah terlihat sebuah gereja kecil dari kayu yang berdiri dekat dengan pintu masuk desa. Petanda ini menandakan bahwa kepercayaan yang berkembang disini adalah agama Kristen protestan. Hal yang sama terjadi di desa terakhir Kanikeh, juga memiliki gereja yang sedikit lebih besar dibanding dengan gereja di Desa Roho.
Hal yang menjadi dasar pemikiran warga ini adalah kental dengan animism. Maka dari itu, tidak heran ketika budaya, adat dan peninggalannya sangat memberikan nuansa peadaban yang berbeda dengan yang lain. Kesan keramat dan mistik selalu menjadi sandaran mereka, meski notabene telah memeluk agama langit yang punya ajaran dan Al kitab. Semua karena alasan bahwa leluhur mereka masih tetap saja selalu hadir dalam tiap langkah kehidupan mereka. Menurut kepala saniri negeri desa kanikeh, Bapak Son bahwa leluhur atau arwah nenek moyang menjaga dan melindungi mereka dalam kehidupan. Maka dari itu, setiap yang berkunjung ke tempat ini dan ingin mendaki Gunung Binaiya diharuskan melalui ritual upacara adat sirih pinang. Tujuannya agar leluhur mereka tahu bahwa ada yang sedang menjejaki wilayahnya dan akan ia berikan perlindungan dari marabahaya. Belum lagi rahasia peninggalan yang sangat dirahasiakan oleh mereka. Jalur-jalur yang ditempuh menuju desa Kanikeh dan Puncak Binaiya sebenarnya terbagi dua. Ada yang menjadi jalur umum dan ada yang khusus hanya untuk warga setempat. Jalur umum inilah yang sering di lalui para pendaki dengan bantuan guide yang disewa sebelumnya. Sementara jalur khusus, adalah jalur adat menurut istilah mereka. Hanya diketahui oleh orang-orang tertentu dari mereka. Pada jalur ini terdapat tempat-tempat yang dikeramatkan dan hanya akan dikunjungi pada saat upacara adat 29 desember. Contohnya adalah semacam kuburan besar dengan telapak kaki yang ukurannya tidak seperti telapak manusia biasa, sepanjang siku manusia. Guide yang biasaanya memandu para pendaki akan membawa mereka melalui jalur umum agar tidak melihat segala yang menjadi benda keramat warga setempat. Tidak mudah untuk melihat apa yang disembunyikan mereka, tapi untuk mengupas dan mencari tahu mungkin tergantung pada waktu dan keberadaan kita di belantara ini.

E.103.KOLEKSI EKSPEDISI MANISE 2011.
Narasumber : Hasan (53), kepala saniri negeri Wahai Kec. Seram Utara ( marga kaila )

Read more...

sekilas maluku Tengah

Sebuah provinsi yang beribu Kota di Ambon yang merupakan bagian tengah dari wilayah Maluku adalah sebuah wilayah nusantara yang memiliki ragam keindahan.
Maluku dengan geografis sirkum mediterania ini terbagi atas tujuh kabupaten dan satu kota madya dan terbagi dalam beberapa pulau.
Dua diantaranya adalah pulau Ambon dan Pulau seram yang masing-masing memiliki ragam budaya khas daerahnya.
Pulau Ambon yang akrab disapa dengan julukan “manise” dan sekaligus menjadi ibu kota tentunya dipadati oleh masyarakat urban yang berasal dari berbagai suku.
Di pusat kota yang menjadi lokasi konflik agama beberapa waktu yang lalu ini, dipadati oleh masyarakat asal Sulawesi dan Jawa.
Bila anda berjalan di tempat ini, jangan heran ketika melihat raut wajah berbeda.
Bahkan, sudah banyak asimilasi yang terjadi dan jelas tampak dalam keseharian masyarakat di perkotaan dan pasar lokal.
Terlepas dari itu, Pulau Ambon ini sangat menarik dari segi transportasinya.
Bentuknya yang menyerupai huruf U, menjadikan transportasi laut hadir sebagai akses yang lebih diminati masyarakat.
Teluk Bakuala yang memisahkan pesisir Poka dan Galala terlihat sangat ramai pada jam siang dan malam karena antrean kendaraan dan masyarakat yang ingin menyeberang.
Untuk menyeberangi teluk Bakuala ini, terdapat berbagai macam transportasi yang dapat diakses, diantaranya berupa ferri, speedboat dan perahu dengan harga yang sangat terjangkau, terlebih untuk mahasiswa dan pelajar sekolah yang tinggal berseberangan dengan kampus atau sekolahnya.
Transportasi laut lebih diminati karena disamping harganya yang murah, juga jarak yang lebih dekat dibanding dengan angkutan umum yang harus mengitari pesisir teluk sampai di daratan sebelah.
Saat menyeberangi teluk ini, kita akan disuguhi pemandangan eksotik Pulau Ambon. Kombinasi daerah urban dan rural tampak menyatu karena wilayahnya yang tidak rata.
Wilayah perkotaan di bayangi oleh hutan-hutan kecil dengan beberapa rumah di bagian atas. Nampak pula Pegunungan Salahutu dan sekitarnya pada sisi timur Dermaga Galala berjejer berselimut kabut. Pantai-pantai yang berpasir putih adalah juga merupakan salah satu dari daya tariknya.
Pasir putih dipadu dengan laut biru benar-benar memikat bila menikmati suasana sore hari di pelabuhan Liang Pulau Ambon.
Di pusat kota pula, berdiri patung sang pahlawan nusantara yang sempat diabadikan dalam lembaran uang seribuan.
Kapitan Pattimura, pria asal Ambon didesain dengan kaki telanjang memegang parangnya yang menghunus siap menggempur sang penjajah.
Di tempat dimana ia di hokum gantung ini, sebuah patung besar sebagai monumen untuk mengenang kepahlawanannya berdiri kokoh.
Monumen ini berdiri di samping lapangan merdeka, tepat di belakang tembok bertuliskan AMBON MANISE besar sekali.
Sangat elok dipandang dan membangkitkan semangat perwira generasinya ketika membaca semboyan keberanian Pattimura.
Dengan gaya bahasa lokal Ambon, sang pahlawan meneriakkan kalimat “ beta akan mati, tapi nanti akan muncul Pattimura-Pattimura baru yang akan melanjutkan beta punya perjuangan”.
Seperti itu kalimat yang tergores di bagian bawah monument Pattimura Park ini. Tidak jauh dari tempat ini, tergantung Gong Perdamaian Dunia berwarna keemas-emasan menjadi hiasan utama Kota Ambon dengan arsitektur yang baru saja diperbaharui.
Gong yang menjadi simbol perdamaian dunia ini dihiasi bendera Negara-negara yang ikut menjadi anggota.
Tampak unik dan menarik manambah pesona Kota Ambon.
Dari pelabuhan Liang Ambon, samar-samar kelihatan Pulau Seram di kejauhan. Pulau ini lebih besar daripada pulau Ambon, namun penduduk dan perkembangannya belum terlalu memadai dan masih terkesan rural.
Pulau ini bahkan masih menyisakan belantara-belantar tebal yang belum terjamah ganasnya eksploitasi kayu akibat penebangan liar. Selain itu, kehidupan yang ada di dalamnya sangat menarik untuk dikaji karena memiliki aneka budaya dan kearifan lokal yang unik.
Sedikit primitif dan memiliki nilai tersendiri bagi siapa yang melihatnya. Menuju ke sebelah utara Pulau Seram , berjejer kelapa yang menjulang tinggi di pesisir pantainya. Sangat indah dan menawarkan nuansa alami yang belum tersentuh.
Penduduknya belum padat dan hidup dengan melaut dan menjadi penghasil kopra.
Di pulau yang dialiri banyak sungai-sungai besar ini, hidup berbagai macam fauna langka di hutannya. Contohnya burung-burung dan jenis hewan mirip komodo bernama iguana yang kini menjadi symbol dari Maluku.
Hewan-hewan ini sangat dilindungi oleh instansi Taman nasional Manusela yang menjadi pusat pelestarian flora dan fauna wilayah belantara sekitar Gunung Binaiya. Selain keindahannya, pulau Seram juga menyimpan begitu banyak budaya yang belum terekam kamera dan sangat menarik untuk dibawa ke kancah internasional sebagai bagian dari kekayaan Indonesia.
Hanya saja aksesnya yang sangat sulit dijangkau membuat data terkesan sulit didapatkan.

E.103.KOLEKSI EKSPEDISI MANISE 2011
17 MARET 2011

Read more...

  © e-production