MENJAGA HUTAN DENGAN CURUPIRA Review film “The Burning Season”

>> Tuesday, July 29, 2008


Walaupun Film yang bercerita tentang seorang pemuda bernama Chico Mendes yang bekerja sebagai penyadap karet di lebatnya hutan amazon ini adalah film yang terbilang film lama tetapi masih cocok untuk selalu menjadi bahan tontonan reflektif untuk siapa saja. Film ini mengisahkan perjuangan Chico Mendes menjaga hutan dari segala tindakan pengrusakan. Melanjutkan perjuangan pendahulunya, Wilson Pinheiro, chico mengorganisir rakyat yang bermukim di sekitar hutan amazon Brazil dan menggantungkan hidup dari hasil hutan non kayu berupa karet, untuk melawan segala bentuk pengrusakan atau pengambilalihan lahan mereka oleh investor asing yang berniat membangun peternakan sapi. Usahanya bukan berlangsung mulus. Investor ini didukung penuh oleh pemerintah, sehingga usaha Chico selalu terhalang. Chico, keluarganya, dan teman-temannya tak pernah berhenti diintimidasi hingga halus sampai kasar. Dengan perserikatan Pekerja Desa, sebuah organisasi yang mereka dirikan untuk mendukung usaha mereka, berbagai usaha yang dilakukan baik secara langsung melawan penebang hutan atau dengan berusaha mencari dukungan internasional. Walhasil Chico mendes berhasil menghentikan usaha pengrusakan hutan tersebut walapun harus dibayar dengan kematiannya di bawah senjata penembak misterius di depan rumahnya.

MITOS CURUPIRA

Hutan amazon sangat luas dan masih terjaga keasliaanya hingga disebut-sebut sebagai stok hutan hujan dunia yang merupakan sebagian besar paru-paru bumi selain hutan di Indonesia yang mengalami deforestasi besar-besaran. Banyak masyarakat yang bermukim di dalamnya yang sudah tinggal lama dan beranak pinak. Mereka sangat menggantungkan hidupnya dengan segala hasil hutannya. Hutan adalah kehidupan mereka. Tanpa hutan tak ada kehidupan bagi mereka. Karena itu, mereka sangat menjaga hutannya dari segala hal yang bisa merusaknya, menebang, membunuh binatang tanpa tujuan yang jelas, atau bahkan mengambil hasil hutan secara berlebihan.

Masyarakat tradisional, pada umumnya di Indonesia juga memiliki serangkaian cerita-cerita, dongeng atau legenda yang mereka pertahankan dengan menanamkan secara lisan kepada anak-cucu mereka untuk menjaga alam sekitar dari kerusakan atau tindakan serakah mengambil hasil alam. Mereka balut dengan cerita-cerita mitis, yang diartikan oleh manusia moderen dewasa ini sebagai hal yang tak masuk akal atau sama sekali tidak ilmiah. Padahal kalau kita cermati secara mendalam semua itu merupakan pengetahuan yang mereka alami puluhan tahun yang berulang hingga teruji kemudian menjadi rangkaian ilmu pengetahuan yang bisa kita sebut kearifan lokal. Kita dilarang mencuci alat makan yang kotor di sungai, karena kita akan dimakan makhluk menyerupai buaya. Itu dimaksudkan sisa-sisa makanan yang non organik maupun yang organik bisa mencemari sungai hingga bisa menimbulkan kerusakan yang akibatnya bisa merugikan kita. Atau di masyarakat suku kajang, masyarakatnya dilarang mengambil kayu secara berlebihan dari hutan, tanah ulayat mereka. Kalau mereka berniat membangun rumah maka harus dihitung terlebih dahulu jumlah kayu yang mereka butuh. Setelah itu mereka harus menanam pohon sejumlah kayu yang mereka butuh. Kalau mereka tidak jalankan, maka mereka akan terus diganggu oleh nenek moyang mereka, mereka tidak akan pernah tentram di rumah tersebut. Dan masih banyak lagi, rangakaian cerita yang mereka balut dengan hal-hal yang menyeramkan, yang sama dengan curupira di hutan amazon, pada masyarakat penyadap karet. Konon kalau mereka mengambil karet secara berlebihan mereka akan diganggu manusia cebol dengan kaki di atas yang menunggangi babi yang mereka kenal dengan curupira. Telah berlangsng lama, masyarakat tradisional kita telah menyadari sepenuhnya pentingnya menjaga hutan jauh sebelum kita memperjuangkan pelestarian hutan atau jauh sebelum pemerintah mencangkan undang-undang kehutanan setelah hutan sudah rusak parah.

Lantas rusaknya hutan kita, pendangkalan sungai, abrasi pantai, iklim dan cuaca yang tidak teratur, panas matahari yang berlebihan, rusaknya perbukitan karst oleh penambangan yang tak hentinya sekarang dan akan terus berbuah bencana. Banjir bandang, kekeringan di mana-mana, tanah longsor, volume daratan yang terus berkurang karena mencairnya es di belahan kutub bumi. Semunya terjadi karena bermula dari tidak dijaga dan dipertahankannya serangkaian pengetahuan tersebut. Semuanya telah hilang. Semuanya hanya sekedar menjadi cerita-cerita yang menakutkan dan menyeramkan bagi kita tanpa membawa pesan-pesan moral yang sangat luhur.

10 Oktober 2007

chezmoi

gambar diunduh dari www.rosanevolpatto.trd.br/lenda_curupira.jpg

Read more...

Masyarakat Lamoncong Dalam Menjalani Hidup

>> Sunday, July 13, 2008

Pernakah kita mendengar tentang kata Lamoncong sebelumnya?. Mungkin tiap daerah di jazirah Sulawesi Selatan nama ini tidak asing lagi di telinga bahkan kata ini telah menjadi nama pada beberapa tempat. Lamoncong yang akan kami ulas pada hasil perjalanan crew simulasi Gunung Hutan edelweiss saat melakukan lintas yang dimulai dari kecamatan camba (Maros) dan berakhir di kecamatan Libureng, Camming (Bone) adalah sebuah desa yang berada dalam wilayah kecamatan Bonto Cani Kabupaten Bone.

Lamoncong yang dulunya hanya merupakan sebuah dusun dan berada dalam wilayah desa Langi Kecamatan Bonto Cani kini telah menjadi sebuah desa yang mengatur sistem pemerintahannya sendiri, terbentuknya desa ini dilatar belakangi karena jarak yang cukup jauh dari ibu kota desa dan sulit dijangkau oleh kendaraan umum, atas dasar itulah akhirnya masyarakat lamoncong berinisatif membangun lingkungannya sendiri dan inisiatif itu terkabulkan di tahun 1992.

Di daerah sekitaran kecamatan Bonto Cani, Kahu, dan Libureng, sebagian besar penduduk wilayah itu mengenali Lamoncong karena nilai sejarah yang terkandung dalam kisah perjalanan kampung ini. Apa bila kita berkunjung ke Desa ini kita akan menemukan dua rumah adat yang masih berdiri sampai sekarang dan pemakam kuno yang berada di bukit Lamoncong. Lamoncong yang menurut informasi orang-orang setempat konon katanya adalah nama seorang raja pada jaman dahulu yang pernah bermukim di desa tersebut, di desa Lamoncong terdapat dua rumah adat yang dinamai “salassa “ dan “ saroja “ dan terdapat kompleks makam kuno, dimana pada kompleks makam tersebut dimakamkam seorang raja beserta keluarganya dan pengabdi-pengabdinya (berdasarkan hasil wawancara penduduk). Dari hal itu kita dapat menarik sebuah gambaran bahwa dengan rumah adat dan makam kuno, Lamoncong kemungkinan besar merupakan bekas perkampungan tua, atau sebuah tempat yang dulunya pernah mengatur pemerintahannya sendiri tanpa ada ntervensi dari kerajaan lain.

Mata pencaharian masyarakat Lamoncong masih sangat bergantung dengan alam sekitarnya, hal itu terbukti dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai seorang petani dan peladang, dimana musim tanam padi hanya terjadi sekali dalam setahun, selain bercocok tanam sebagian besar penduduknya juga beternak hewan seperti sapi, kerbau, dan kuda. Hewan ternak mereka biasanya dilepas bebas pada sebuah padang yang berada disekitaran desa tersebut. Kondisi sekarang yang cukup menyedihkan bagi penduduk lamoncong tidak adanya aliran listriK PLN yang menjangkau desa itu, sumber pencahayaan ia peroleh dari bantuan genset yang di kelola oleh penduduk setempat dengan jumlah pelanggan 30 rumah, tapi itu hanya berlangsung sampai empat jam saja dan mulai dioperasikan pada pukul 6 malam sampai pukul 10. Kondisi lain yang tak dapat diniikmati masyarakat Lamoncong sebagaimana masyarakat Indonesia lainnya dapat nikmati adalah akses transportasi. Kejadian ini dapat kita saksikan jika masyarakat ingin kepasar, mereka harus berjalan kaki sejauh tujuh kilo meter, dan biasanya mereka memulai perjalanan pada pukul empat atau lima pagi dan akan tiba tiga sampai empat jam kemudian, hal itu telah menjadi kebiasaan masyarakat desa Lamoncong hingga sekarang.

Salah satu cermin kehidupan masyarakat desa adalah sikap gotong royong yang masih kental, sikap seperti ini masih tergambar dalam lingkungan masyarakat desa Lamoncong, kegotong-royongan ini ia buktikan pada beberapa pembangunan fasilitas umum tanpa kucuran dana dari pemerintah setempat, seperti pembangunan tempat ibadah, jalan, dan kantor desa. Satu hal lagi kenikmatan yang tak dapat dirasakan masyarakat lamoncong adalah fasilitas air bersih. Air yang mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari mata air yang dijadikannya sebagai sumur umum, namun kendala yang sangat menghawatirkan jika musim kemarau berlangsung, ia akan kekurangan air dan jalan untuk memperolehnya dengan mendatangi sumber air yang letaknya jauh dari pusat pemukiman.

crew Lintas Camba-Camming UKM. PA. EDELWEIS FIB.UH 20 s/d 26 juni 2008

Read more...

SAMPAH’’ TUKUL DI TELEVISI

>> Wednesday, July 9, 2008


Mendengar nama Tukul Arwana, mungkin seantero nusantara tidak ada yang tidak mengenal sosok ini, berkat acara yang dipandunya “Empat Mata” yang katanya hampir ditonton oleh setengah rakyat Indonesia. Pada setiap jam pemutaran acara, tukul seakan menjelma menjadi sang super star di tengah hiruk-pikuk jet set negeri ini yang hanya selalu menghadirkan isu perceraian, perselingkuhan, dan kisah cinta putus-nyambung. Tapi disini saya menulis tulisan ini bukan untuk membahas hal itu tapi bagaimana saya melihat Tukul dengan sangat cerdas mengolah lelucon–lelucon sampah yang di buang di suatu tong yang bernama televisi.

Mungkin saat kita melihat tontonan tersebut (Empat Mata) kita hanya menganggap sebagai tontonan biasa yang menghadirkan beberapa bintang tamu dengan tema tertentu dan sedikit lelucon tapi tidak menjadi biasa ketika lelucon –lelucon yang ditampilkan terkesan kasar malah bisa dikatakan kurang ajar dan sangat tidak mendidik. Kata-kata yang mengandung ejekan, terkesan sarkastik yang selalu menyerang bentuk fisik seseorang seakan mengalir begitu saja, belum lagi joke-joke yang menyerempet ke hal-hal yang terkesan porno Mungkin sudah sangat lumrah jika umpatan, cacian, dan makian terjadi di negeri kita ini mulai dari kalangan bawah sampai yang dikatakan kaum elite sekalipun sehingga semua orang yang menonton acara tersebut menganggap sebagai hal yang biasa saja.

Dalam perkembangannya, dunia pertelevisian khususnya acara-acara talk show yang ada di Indonesia tidak banyak mengalami perkembangan yang cukup berarti, di mana sebagian besar insan pertelevisian Indonesia masih sebagai plagiator bukan sebagai pencipta ide, sebagai contoh Dorce Show yang mengadopsi habis-habisan acara talk show tersukses di Amerika Oprah Winfrey Show ataupun acara Tali Kasih yang menggunakan sisi keprihatinan untuk menggaet simpati penonton, dari sisi yang lain Empat Mata hadir dihadapan Anda. Acara yang dipandu oleh Tukul tersebut menggaet simpati penonton dengan menjual lelucon yang sudah basi dan tak berkelas untuk ditonton di mana setiap episodenya selalu saja dengan setting yang sama. Ada yang berperan sebagai yang “teraniyaya” dan juga sebagai sang “penganiaya”, tidak jarang acara tersebut menyimpang dari tema karena pelakon-pelakonnya, asyik saling mengumpat dan mencaci. Penulis berkesimpulan bahwa acara-acara (talk show) di Indonesia yang bertemakan seperti ini akan laku dibanding dengan acara-acara yang terkesan kaku, formal dan sopan.

Untuk itu kita sedapatnya mampu memilih dan memilah tontonan yang selayaknya kita tonton, saya menulis ini bukan bermaksud karena saya anti-tukul atau memprovokasi anda atau siapapun untuk tidak menonton acara tersebut namun mungkin dapat menjadi pertimbangan apakah acara itu layak ditonton apa tidak karena masih banyak alternatif tontonan lain yang jauh lebih berkualitas dan memberikan banyak manfaat yang bermutu.

Darmawansyah Gunawan

Penulis adalah Mahasiswa Sastra Inggris Unhas Angkatan 2005 dan Penggiat Alam Terbuka yang tergabung di UKM.PA.Edelweis Fakultas Ilmu Budaya Unhas

Read more...

Sejarah Pendakian Gunung

Gunung, pegunungan, bukit, dan lembah adalah bagian yang tak terpisahkan dalam menekuni aktifitas di alam terbuka. Khusus dalam kegiatan alam terbuka, pendakian gunung merupakan salah satu jenis kegiatan yang telah berlangsung sekian abad yang lalu bahkan rutinitas kegiatan ini melahirkan berbagai jenis kegiatan alam terbuka lainnya. Untuk mengenali kegiatan dalam pendakian gunung alangkah baiknya jika kita mengenali sedikit tentang awal mula kegiatan ini dijadikan sebagai kegiatan petualangan alam bebas.

Sejarah singkat Awal Mula Dalam Kegiatan Pendakian

Kapan tepatnya kegiatan pendakian mulai dilakukan agak rumit mencari datanya lebih lengkap, namun menurut cerita dari mulut kemulut dan pustaka, aktivitas di gunung sudah dimulai oleh para misionaris-misionaris untuk misi keagaamaan serta agen tentara untuk misi perang dan penjajahan. Pada periode tahun 1490-an orang-orang disekitar pegunungan Alpen di Eropa sudah mulai naik turun gunung untuk keperluan mata pencaharian dan spiritualnya. Ketika mata pencaharian bukan lagi sebagai alasan utama pada sekitaran abad ke-16 orang-orang di desa sekitar pegunungan Alpen di Eropa dan Himalaya di Asia sudah banyak membicarakan teknik-teknik mendaki gunung. Pegunungan Alpen yang membujur diantara batas negara Swiss, Italia, dan Austria, saat itu belum seorang pun pernah menginjakkan kakinya di puncak tertingi pegunungan Alpen (Mont Blanc), orang-orang Inggris yang rata-rata aristockat sering mengujungi lembah Chamonix di kaki gunung Mont Blanc. Sebagian dari mereka yang memiliki tujuan penelitian dan masyarakat Chamonix yang sebagian besar pekerjaannya berburu dan mencari batu kristal ke gunung menjadi pemandu-pemandunya. Aktivitas orang-orang Chamonix membuat mereka menghafal setiap kelokan di Alpen sehinga tidak mendapat kesulitan yang besar dalam menemukan jalur yang mudah.

Masa pendakian gunung untuk penelitian ini berlangsung sampai zaman keemasan mendaki gunung kira-kira abad ke-19. Pada masa itu, mereka yang keluar masuk pegunungan Alpen adalah orang-orang yang ingin menjadi “yang pertama” menginjakkan kaki di puncak-puncak gunung yang masih perawan. Istilah “yang pertama” ini seperti menjadi prestasi agung dalam mendaki gunung, hal ini membuat masyarakat dikaki gunung akan bersorak-sorak menyambut kedatangan orang yang telah baru saja berhasil mencapai puncak gunung yang konon merupakan tempat naga gunung terlelap.

Kronologi Awal Pencapaian Puncak Tertinggi di Dunia

Pertengahan abad 19 cerita tentang puncak tertinggi didunia telah tersiar ditelinga masyarakat dunia. Ini diketahui berdasarkanhasil survey Kantor Survey India terhadap puncak-puncak himalaya di Nepal pada tahun 1849 sampai 1855. Sebelum Everest ditemukan sebagai puncak tertinggi, Kanchenjunga merupakan yang tertinggi saat itu.

Upaya ekspedisi ke Everest telah dimulai sejak tahun 1893 oleh pihak Inggris, namun tidak pernah menuai keberhasilan, ini dikarenakan oleh pihak Tibet dan Nepal tidak memberikan izin, tahun 1905 upaya itu kembali dilakukan namun kegagalan kembali terjadi dengan masalah yang sama. Tahun 1913 seorang kapten muda J. B. L. Noel telah masuk ke wilayah Everest secara diam-diam dan di bulan Maret 1919 ia menguraikan hasil perjalanannya dihadapan the Royal Geographical Society. Berkat laporannya itu The Royal Geogrhaoical Society dan The Alpine Club menyarankan untuk melakukan ekspedisi survey ke wilayah Everest. Sejak saat itu usaha memperoleh izin dari pemerintah setempat gencar dilakukan dan diakhir tahun 1920 akhirnya pihak Inggris berhasil memperoleh izin dari pemerintah Tibet untuk melakukan Ekspedisi.

Tahun 1921 di bulan Maret ekspedisi ke Everest pertamakali dilakukan oleh Inggris, ini merupakan ekspedisi pertama di dunia dalam usaha mencapai puncak Everest. Ekspedeis yang beranggotakan 11 orang dengan bantuan 16 pendukung serta ratusan binatang pengangkut barang dilakukan dengan melalui rute Darjeeling (India) dan menuju Everest melalui Tibet. Ekspedisi yang dilakukan ini belumlah sampai pada pencapaian puncak everest akan tetapi bertujuan untuk mengeksplorasi jalur pendakian mencapai puncak everest. Titik tertinggi yang dicapai dalam ekspedisi ini 23.000 feet di jalur utara.

Pada bulan April 1922 ekspedisi kedua dilakukan untuk mencapai puncak Everest melalui dataran tinggi Tibet, pendaki yang terlibat dalam ekspedisi ini sama dengan ekspedisi sebelumya yaitu George Mallory, namun dalam upaya ini ia belum menemukan keberhasilan. Pada bulan Mei tanggal 24 melalui rute North Col, Mallory, Geoffrey Bruce, Tejbir, Kapten Noel dan 12 porter yang membawa slinder oksigen melanjutkan cita-cita mereka untuk mencapai puncak everest (BW12 Februari-Maret 2002 ), terdiri dari 13 orang bangsa Inggris, 16 orang bangsa Nepal, 100 orang pengangkut beban dari Tibet, dan 300 binatang juga pengangkut beban (BW. Edisi Juni-Juli 2006) . Setelah melewati badai salju di camp north col akhirnya mereka dapat mencapai ketinggian 26.000 feet dan melewati north face everest dengan cara traversing, dengan bantuan slinder oksigen ia dapat mencapai ketinggian 27.000 feet, diketinggian itu ia kemudian lanjut lagi dengan memanjat diagonal menuju titik tinggi North east Ridge dan berhasil mencapai ketinggian 27.300 feet. Ditempat ini ia hanya dapat memandangi gunung cho oyu (27.000 feet), lembah rongbuk serta puncak barat Everest.

Sejak tahun 1921 dilaksanakannya ekspedisi ke Everest dalam jangka waktu 30 tahun ada 10 ekspedisi yang telah dilakukan. Ke-10 eksepedisi ini berakhir dengan kegagalan bahkan telah merenggut nyawa para pendaki diantaranya George Mallory dan Irvine yang tergabung dalam ekspedisi ke-3 inggris pada tahun 1924. 8 Juni 1924 kabar tentang kehilangan Mallory dan Irvin tercuat, tahun 1933 kapak es Irvine ditemukan pada ketinggian 8.230 meter dan pada tahun 1999 (73 tahun setelah hilang) giliran jasad Malorry ditemukan secara utuh bersama kaca mata salju, altimeter dan pisau lipat.

Setelah ekspedisi Inggris yang ke-3 dilakukan pada tahun 1924, daerah Tibet dan Nepal ditutup untuk orang asing selama 9 tahun, namun pada tahun 1933 kedua pemerintah wilayah ini kembali membuka diri, dan untuk ke-4 kalinya Inggris memperoleh izin untuk melakukan ekspadisi ke Everest. Ekspedisi Inggris kali ini dipimpin seorang pendaki Alpen dan Himalaya yairu Hugh Ruttledge. Tim Ingris saat itu beranggotakan 14 pendaki dan dihuni pendaki ternama seperti Frank S. Smythe dan Eric Shipton. Ekspedisi kali ini tetap sama dengan ekspedisi sebelumya, mereka belum juga bisa mencapai puncak Everest bahkan titik tertinggi yang dicapai Mallory dan Irvine pada tahun 1924 (sekitar 28.000 feet) tak bisa disamai. Setelah ekspedisi ini ditahun 1935, 1936, dan 1938 Inggris tetap teguh melakukan ekspedisi dengan pimpinan eksedisi Eric Shipton, namun hasilnya tetap sama dengan sebelumnya bahkan ketinggian yang dicapai Mallory belum tertandingi. Berakhirnya ekspedisi Inggris yang ke-7, wilayah Nepal dan Tibet kembali ditutup akibat perang dunia II meletus dan Everest saat itu kembali hidup tenang dan damai, tak terusik manusia-manusia yang ingin manjamahnya (BW: 91:Juni-Juli 2006)

Tahun 1952 kabar mengenai Everest kembali tersiar, lewat tim Ekspadisi Swiss yang ingin mencapai titik tertinggi. Ekspedsi ini berakhir dengan kegagalan dan ia hanya berhasil mengantarkan dua orang dalam timnya yaitu Lambert dan Tenzing mencapai ketinggian 8.550 meter. Setelah kegagalan Swiss, Inggris kembali menyiapkan tim untuk ekspedisi di tahun berikutnya. Tim Inggris yang dibentuk kali ini dipimpin oleh seorang colonel John Hunt yang beranggotakan 10 pendaki dan seorang dokter. Ekspedisi yang dilakukan Inggris, ini merupaka yang ke-11 dalam usaha pencapaian puncak Everest. Tanggal 9 April 1953 Tim Inggris yang membentuk kelompok kecil dimana didalamnya terdiri dari Tom Bourdillon, Alfred Gregory, Charles Wylie, Edmund Hillary, Griffith Pugh, Michael Westmaccott, George Band, George Lowe, Tenzing Norgay, Charles Evans, dan Stobart memulai perjalanan dengan ditemani High-Altitude sherpa sebanyak 5 dan 39 pengangkut beban menuju puncak Everest melalui Khumb Ice-Fall dan tembus ke Western Cwm (BW: 83; edisi Nov-Des 2006). Dalam perjalanan ini, cuaca buruk terus membayanginya, badai salju yang berlangsung sehari-semalam tak juga reda akkibatnya 4 pengangkut beban mengundurkan diri karena buta salju. 29 Mei 1953 Hillary dan Tenzing menjadi orang pertama yang berdiri dipuncak gunung Everest.

Sejak Everest telah disentuh oleh manusia melalui ekspedisi yang diawali pada tahun 1921, Everest telah menewaskan 130 orang hingga tahun 1996 (Krakauer: 1994:27). Orang tahu bahwa untuk berdiri dipuncak Everest tidaklah mudah karena butuh biaya yang mahal, pengalaman mendaki, keberanian dan sebagian orang mengatakan bahwa orang-orang yang melampiaskan keinginannya berjalan menuju Everes adalah orang yang tidak berpikir sehat. Sebagian orang tahu tentang hal itu, namun sebuah kenyataan yang sulit untuk dimengerti dalam jiwa para petualang tentang mengapa mereka melakukan kegilaan itu. Mallory jika menjawab pertanyaan para wartawan mengapa ia mau mendaki Everest?, Mallory menjawabnya “Karena gunung itu ada di sana.

Banyak orang yang bermimpi untuk berdiri dipuncak gunung tertinggi di bumi ini dan orang terus berusaha untuk mencapainya, beragam teori-teori pendakian tercipta, mulai dari penggunaan tabung oksigen, cara berjalan digunung es, penyesuaian diri, hingga lahirnya upaya untk mencapai everest tanpa bantuan oksigen. Tahun 1993 Mike Broom orang yang bekerja sebagai tukang kayu dan sesekali menjadi pemandu pendakian, telah mendaki Everest tanpa menggunakan bantuan oksigen (Krakauer:1994;101). Tahun 1990 komersialisai Everest bermunculan, dua perusahaan yang bergerak dalam jasa pendakian everest terkemuka yaitu Adventure Consultans dengan pimpinan Rob Hall dan Mountan Madness dengan pimpinan Scoot Fischer telah mengantar beberapa kliennya mencapai puncak Everest.

Pustaka:

  • Buletin Wanadri,edisi 12 Februari-Maret 2002
  • Buletin Wanadri. Edisi Juni-Juli 2006
  • Buletin Wanadri. Edisi November-Desember 2006
  • Eiger Adventure News, Edisi 50 Januari-Februari 2008
  • Krakauer Jon, Into Thin Air, 1994, Bandung, Penerbit Qanita
  • Sukandar Dadang,Rock Climbing, 2006, Yokyakarta, Penerbit Andi
  • Sukandar Dadang, Berburu Nyali di Tebing Emas, 2006, Yokyakarta, Penerbit Andi

By. Legy Noe Lish’e. 073

Read more...

  © e-production