Sebuah Cerita Singkat Tentang Perjalanan yang panjang dalam belantara G.Kambuno _

>> Tuesday, March 30, 2010


Oleh Ichal_Awal yang tidak terlalu baik bagiku untuk melanjutkan rencana pendakian perdana ini. Dalam keraguan yang masih selalu melekat dalam benak, kucoba sembunyikan semua dengan tetap menatap jauh ke arah semaraknya dunia puncak yang sering kudengar lewat cerita-cerita “mereka”. Katanya, kalau sudah di atas sana,semua terasa indah dan seakan segala yang diimpikan sudah ada dalam genggaman. Hanya itu yang selalu meredam keraguan yang masih tersisa.
Kapan lagi aku bisa merasakan semua itu. Gejolak rasa penasaran semakin tak mau saja di ajak bercanda. Sudahlah…………. Dengan sisa uang yang kulipat rapi dibalik dompet hitamku, kupersiapkan segala yang kurasa bakal menjadi dewa- dewi penyelamatku di atas sana.
19 feb 2010………..
Pukul 08.00 malam, ketika itu sebuah ruangan sempit yang tertata rapi bertuliskan “UKM PA EDELWEIS FIB-UH” diatas daun pintu, terlihat agak sesak dipenuhi barang-barang dan segala persiapan perjalanan. Terlihat pula beberapa orang dengan rambut diikat rapi mondar-mandir seakan kehilangan sesuatu yang berharga. Rupanya , mereka tengah sibuk menata carrier masing-masing. Rasanya, tak pernah puas untuk memandangi betapa perkasanya carrier itu ketika berada di balik pundak. Sepertinya,lengkap sudah semuanya,dan tak ada lagi yang perlu di ragukan untuk memulai sebuah perjalanan panjang yang tak pernah terduga sebelumnya. Masih terlihat senyuman bangga dari kami waktu itu. Entahlah bangga karena apa, hanya aku dan mereka yang tahu itu………kuangkat carrier berat itu naik ke bus yang sudah menanti. Deru mesin bus antar kota berlabel “ alam indah” di pojok atas kaca depannya, mengiringi lelapnya para petualang muda menuju lokasi. Tempat dimana kami akan memulai sebuah rangkaian cerita panjang yang sulit dihapus dari galeri PPAB XV.
Siang hari tanggal 20 februari 2010, dengan tenaga yang masih terlalu prima, kami mulai melangkah cepat dan pasti menuju belantara yang ternyata tidak seperti yang biasa dalam imajinasiku. Kini, kami benar-benar ada dan berjalan di balik liarnya rimba. Semakin lama, rasanya semakin berat saja tubuh,carrier dan kaki ini. Melewati jalan setapak sempit, langkah kami selalu diatur oleh iringan canda tawa yang agak sedikit kaku, mungkin ulah dari nafas yang masih memburu. Waktu berlalu begitu saja, belasan kilo bahkan terbilang puluhan kilometer sudah kami berjalan menelusuri berbagai macam tumpukan batu aneh dan tanah kering. Terkadang, batinku ingin tertawa ketika melihat jiwa perkasa yang tersemat dalam raga senior maupun saudara-saudaraku terusik oleh rapuhnya jembatan gantung tua yang harusnya tidak dipakai lagi. Dipakai untuk menyeberang sungai yang tidak terlalu luas itu…… barangkali lebih baik untuk turun dan melintasinya tanpa jembatan. Kadang aku harus jujur bahwa rasa takut dan ragu yang begitu besar dalam sanubari, coba kulempar jauh-jauh agar tak terlihat oleh mereka. Sebegitu ironiskah untuk menjadi seorang “pejantan tangguh”? kata “Sheila on 7” dalam lagunya. semua itu kami anggap sebagai bagian dari sengitnya pertarungan melawan arus liar belantara. Sepanjang jalan, sudah banyak upaya yang terlihat untuk membuang rasa haus dan penat lelah. Lelah yang kian menjadi sebab utama mengapa langkah ini semakin perlahan saja. Kadang, di sudut jalan tertentu terlihat tumpukan kulit durian yang dihinggapi lalat rimba. Tidak jauh pula dari tumpukan itu,terlihat pohonnya yang menjulang, menggenggam puluhan buah yang aromanya kian menusuk rongga hidung. Makin semangat saja aku waktu itu, walau tak begitu suka dengan buah itu, kupaksakan untuk merasakan hangatnya kebersamaan bersama saudara-saudaraku, para petulang muda berbakat. Senyuman dan canda kembali menghiasi cerita panjang ini ketika aku dan mereka duduk melingkar menikmati satu persatu manisnya buah durian. Jemari perkasa mereka dipenuhi sisa durian yang kian habis dilahap sampai habis di ujung nikmatnya.
Menapaki bebatuan yang berhambuaran di atas jalan pengerasan milik para penebang kayu dahulu, kulit kakiku terasa panas bahkan mengelupas tergesek kerasnya besi yang menempel di ujung sepatu. Besi yang konon fungsinya sebagai pengaman, tapi ternyata menjelma menjadi predator ganas menghambat langkah kakiku. Sudah 5 hari menuju kaki gunung, sudah 3 malam kedinginan, tidur dalam rasa was-was akibat cerita-cerita mistis dan tingkah kesurupan si gadis yang sempat ikut dalam perjalanan ini. Apakah kali ini, kami akan dihadapkan pada sebuah pencapaian yang belum pernah kami dapatkan. Rasanya, terlalu banyak hal yang selalu jadi sumber masalah. Mulai dari surat menyurat, entah apa tujuannya sampai kami harus menginap di gubuk penuh coretan ala petualang masa lalu. Ditambah pula dialog mistis dengan penghuni gunung yang konon mencoba menghalangi perjalanan kami. Sungguh diluar batas pemikiran logika seorang pemuda seperti kami . Namun, tidak bisa dipungkiri jika semua itu sempat merasuk akal sehatku, keyakiananku kini akan mistiknya dunia semakin menjadi-jadi saja.


Dihadapkan pada berbagai problema,kami tetap terus melangkah menuju mencari destinasi yang menjadi tujuan awal kami. Dua hari di gubuk persinggahan para tukang ojek rimba,membuat tenaga kami kembali pulih. Hanya tulisan dari arang dapur yang setia menghiasi dindingnya menjadi penawar rasa jenuh menanti hari berganti. Tulisan singkat nan kaku yang kadang membuat gelak tawa silih berganti menjadi bahan celotehan sang petualang-petualang muda. Kalimatnya terkesan agak serius dan mungkin sangat berarti jika ada niat untuk merenungi. “ hidup tanpa penderitaan, tidak akan sukses di segala bidang” kata mereka. Bunyinya kuno, tetapi barangkali itulah realitas kehidupan yang sesungguhnya. Sangat sulit untuk menemukan kalimat seperti ini bagi kami civitas akademika yang terbiasa dengan tulisan indah milik penulis yang tersohor namanya…
Ayunan langkah dan derap sepatu kulit kembali terdengar saat kami melanjutkan perjalanan ke titik akhir yang sudah ada dalam kerinduan teramat sangat. Aku selalu berdoa agar waktu cepat berlalu dan membawaku ke singgahsana indah milik trianggulasi, sang penghuni tunggal puncak Kambuno. Selalu saja terbayang sekilas dalam kepala ku, betapa damai suasana saat aku berdiri di balik kabut tebal dengan hembusan nafas panjang rasa puas. Tidak terlalu lama untuk sampai ke kaki gunung. Kami terus beranjak dari satu titik ke tanah yang lebih tinggi, kata gps yang dibalut perpaduan warna kunig dan hitam. Sebuah alat yang merepresentasikan bahwa manusia semakin pintar saja menguasai dunia.
Mulai menarik meteran di kaki gunung menyambut lelah kami menuju ke pos berikutnya. Rasanya semakin berat saja beban di pundakku, padahal baru saja cairan spritus yang masuk dalam daftar perlengkapanku membakar padat beras untuk makan siang. Saudara-saudaraku kelihatan sibuk dengan dengan alat ditangan, dan suara keras lantang terdengar tiap kali meneriakkan angka dengan satuan alat yang di gunakan kepadaku. Kutulis rapi semua yang kudengar agar tidak sia-sia semua yang mereka dan aku lakukan. Itulah awal dari jejak langkah generasi baru bunga abadi “edelweiss” dalam sebuah pendakian melelahkan.
Sambil meneguk air dari veldples sederhana dari botol AQUA, kami duduk sejenak melepas penat disamping kerumunan rumput liar pos 2. Nikmatnya asap rokok menghiasi nafas yang masih terengah-engah. Walau hanya sebatas rokok murah dan tak pernah kunikmati bahkan kulihat, entah mengapa rasanya seakan menundukkan cerutu mahal milik kaum elit di ibu kota. Barangkali, dari rokok hasil plagiarisme ini, aku dan saudara-saudara ku bisa belajar dan mengerti arti penting nilai dari sebuah benda yang terkadang terasa gengsi untuk dinikmati. Sebuah pelajaran sederhana dan berarti yang mungkin belum tentu bisa di peroleh dengan duduk diam diruang kuliah mendengar celoteh dosen yang panjang lebar. Ingin kurebahkan tubuh ini dimana saja walau hanya beberapa menit saja. Kulihat tetesan keringat dari wajah saudara-saudaraku. Walau tampak lelah, selalu saja terukir senyum yang tak semanis biasanya. Aku bersyukur, betapa beruntungnya bersama mereka dan turut memiliki canda tawa itu dalam wujud kebersamaan, seperti kata senior-senior ketika aku baru sebulan menapaki dunia kampus yang penuh tanda tanya. sebuah momen indah tak terlupakan ketika ingin diputar kembali dalam memori kumpulan kenangan masa laluku..
Kabut petang kian menyelimuti punggungan kecil di depan mata, ketika langkah kami sudah hampir tiba di pos 3. Enak rasanya merebahkan tubuh dalam tenda mungil yang ku pasang rapi di sudut camp. Aku memulai lagi imajinasiku jauh menerawang ke hingar- bingar bunyi klakson mobil di gerbang kampus. Bisa kurasakan hangatnya kota pada malam itu walau berada di tengah dingin kabut malam gunung Kambuno. Terbayang pula semaraknya kampusku esok hari, ketika para gadis-gadis remaja nan molek berdandan cantik melenggang di depan kantin, milik para ibu tua yang setia dengan dagangannya. Aku semakin jauh melayang,kini kulihat ruang kuliahku diisi teman-temanku yang kelihatan serius mendengarkan dosen mitologi yunani mendongeng ria. Sekali-kali, ada yang mengangguk sok tahu mencari simpatik dari dosen baik hati itu. Di pojok belakang ruangan, beberapa senior 3 tahun di atasku cuek dengan fikirannya masing-masing. Mungkin sedang memikirkan apa yang akan ditulis dalam BAB 1 skripsi yang tertunda. Sementara itu, sebuah kursi tepat di bawah air condisioner , tempat nyaman yang sering kutempati terlihat terisi seorang gadis berjilbab besar ala timur tengah menggantikan aku. Kadang aku sedikit menyesali, mengapa aku harus ada di tempat ini, sedangkan ada ilmu yang jelas akan kudapatkan lewat ruangan kuliah itu. kemudian kupikir pula betapa hebatnya nya ceritaku ketika aku pulang, tentu dengan antusias teman-teman dekatku bertanya semua yang aku alami dalam kepergianku. Semakin berwarna saja imajinasiku malam itu, sampai kudengar suara memanggil untuk beberapa suap nasi dicampur lauk ala outdoor, dan lamunanku pun berakhir.
Tidak terlalu banyak yang bisa digoreskan dalam cerita singkat sepanjang lereng-lereng curam milik punggungan indah di gunung kambuno. Hanya momen keracunan jamur kuping, tercampur jamur beracun menghiasi malam sebelum menuju pelataran tertinggi milik Gunung Kambuno. Pelataran dimana kami mengabadikan momen bersama trianggulasi tua yang tampak mulai dipenuhi lumut. Baru kusadari sudah sepuluh hari perjalanan di belantara, tanpa pernah kuingat apakah ada seseorang yang merindukan ku.. cepat-cepat kuhapus pikiran itu, mungkin bukan saatnya mengingat cinta kasih di sebuah puncak mistis seperti Gunung Kambuno. Rindu dan merindukan bagiku adalah hal biasa dan tidak perlu dipermasalahkan. Yang kubutuhkan sekarang adalah sebuah jawaban tentang apa sebenarnya tujuan kami berada di samping trianggulasi ini. Belum sempat kutarik sebuah kesimpulan, instruksi dari pendamping menggerakkanku bersama saudara-saudaraku memulai lagi kegiatan pengukuran yang sempat tertunda. Plat koordinat pos lengkap dengan elevasi, ditempel di sebatang pohon yang bagus letaknya. Sengaja di pasang di Pohon yang Keras dan kuat, agar bisa menggambarkan jiwa perkasa yang dimiliki para “ edelweiser”. Di sisi bawah plat berlatar kuning, tertulis kalimat yang merepresentasikan aku dan saudara-saudaraku untuk sebuah hasil yang bisa di bawa pulang. Melihat plat itu suatu saat nanti, tentu ada yang bisa kami banggakan ketika ada yang memanfaatkannya.
Kembali kami menarik meteran panjang untuk mencari data jarak dan kemiringan dari jalur gunung Kambuno. Kali ini agak sedikit mudah karena kami sudah berjalan turun dari puncak. Dalam hati berharap besar kami dapat menemukan saudara –saudara kami yang hilang beberapa waktu lalu di celah padat pohan liar lembah dalam sebelah utara . menyusur sungai sempit di bawah pohon besar menjadi sebuah langkah jitu dalam menemukan mereka. Sudah sebulan mereka hilang disini, entah kemana rimbanya hanya tuhan yang tahu pasti keberadaan dan nasib mereka. Pohan-pohaon besar yang diameternya tidak bisa mempertemukan kedua jari tangan orang dewasa menjadi payung lebar yang menutup cahaya di balik lembah itu. Hanya beberapa titik cahaya saja yang terlihat beruntung dapat menembus lebat dedaunannya. Menimbulkan suasana agak gelap dan semakin tampaklah mistik yang membuat bulu tengkukku sedikit terbangun dari posisinya. Memang terlalu banyak rahasia alam tersemat dalam belantara ini. Kami terus saja menyisir kiri dan kanan anak sungai itu, sampai ketika kami tiba-tiba saja kembali ke pos 3 yang menjadi camp 2 hari yang lalu. Sudah kuduga memang untuk sebuah pencarian sperti ini, tidak mudah untuk mendapatkan hasil yang dicari. Dengan berat langkah ini, kami kembali mengayuh roda kaki yang memang sudah berat untuk kembali melangkahi jalan setapak menuju ke pos 5.
Sudah hampir dua minggu dalam hening rimba, kami memutuskan untuk turun dan kembali menyusuri pengerasan panjang sejauh 45 km. Memang sangat berat jika ingin dibayangkan betapa banyak langkah yang akan kami hasilkan untuk sampai ke Desa Malimbu, tempat kami mulai menapaki rimba ini. Manakala semua rincian barang makanan yang masuk dalam daftar logistik kami hanya menyisakan beberapa liter beras dan garam. Kegelisahanku semakin menjadi- jadi, apakah mampu bagi kami untuk tetap bertahan melalui ratusan tanjakan di jalan pengerasan itu. Kelak, pasti tidak akan kulupa jika sampai aku tidak memakan apapun selama tiga atau 4 hari nanti. Semunya semakin kelihatan tidak baik-baik saja. Beberapa saudaraku sudah berulag kali mengungkapkan wujud penyesalan nya. Coba ku ingatkan bahwa semua akan berakhir dengan cepat dan kita akan sampai di kasur empuk beberapa waktu lagi. Mereka hanya diam, sinis menatapku seakan tidak ada kata yang benar keluar dari bibirku. Disinilah, sebuah panji kebersamaan untuk jalan bersama mengawali langkah anak muda “EDEELWEIS”. Sebuah cerita yang nantinya akan menghiasi galeri PPAB XV dalam berbagi warna kisah petualangan di kancah para sivitas akademika.
Sungguh nikmat rasa nasi dicampur sedikit garam menjadi santapan siang dan malam sepanjang jalan. Karena rasa persaudaraan yang kian menebal di hati, semua semakin tak terasa bahwa kami sedang ada dalam sebuah keadaan gawat darurat. Ada ada saja yang menjadi bahan racikan dan menu baru yang tercipta. Semua lahir begitu saja dan menghasilkan citarasa khas rimba yang tidak punya sebuah nama. Nikmat dan mantap. Itu barangkali kata yang cocok untuk semua menu baru para EDELWEISER. Langkah demi langkah semakin membuat lemah raga ini. Sudah sekian hari menatap warna hijau kadang membuatku ingin terus menutup mata berjalan menyusuri jalan setapak. Aku dan saudaraku pasti rindu akan gemerlap lampu neon di tepi jalan. Sisa tenaga dan segenggam semangat membawa kami pada jembata n gantung pinggira Desa Malimbu yang sudah tampak dipenaruhi modernisasi. Hidup memang susah jika dilalui sendiri tanpa ada teman yang menemani. Terbesit sebuah kata bijak dari fikiranku yang lelah karena capek yang luar biasa. Kulirik saudara-saudaraku, terukir kembali senyuman tanda ikatan persaudaraan yang kental tercipta. Suara-suara parau mereka kadang terdengar sayup mendendangkan lagu-lagu bahagia tanda rasa senang yang tidak terhingga. Menanti truk mungil yang dulu kami tumpangi, asap rokok selalu saja mengepul dari rongga mulut para EDELWEISER. “Kini kami sudah kembali ke peradaban yang sebenarnya setelah sekian lama berkelana dalam pelukan belantara milik gunung kambuno”. Kuangkat kedua tangan dan kulambaikan kearah selatan, tempat berdirinya Gunung Kambuno ketika truk mungil membawa kami pergi dari jembatan gantung Desa Malimbu. Tanpa sadar, bukan hanya diriku yang melakukannya, saudara-saudaraku yang gagah berani juga sempat melambaikan tangan bahkan diiringi dengan sorakan puas sebuah petualangan. Tentu saja udara segar nun jauh di balik kabut itu masih bisa kurasakan walau semakin jauh dari pandangan mata.
4 maret 2010……………………………………………….
Malam di bus menuju Kota Makassar , terdengar lantunan lagu melankolis melayu yang mengantar lamunan kami ke tiap detik hembusan nafas lelah beberapa waktu lalu. Baru saja berakhir sebuah kisah indah yang penuh cerita dari dingin kabut rimba di atas gunung. Aku berharap agar harum bunga edelweiss akan tetap abadi dalam setiap bongkahan batu dan tumpukan tanah tinggi belantara Kambuno.

Read more...

Apa yang aku cari, bukanlah Trianggulasi..


(sebuah refleksi perjalanan tim PPAB XV di g.lompobattang)

Ribuan langkah kaki mendaki, bagi kami satu langkah pasti,menyaksikan karya Ilahi melestarikan bumi Ibu Pertiwi" Ku ikat kencang tali sepatu usang itu, berwarna cream namun kini lebih dominan cokelat, nampaknya. Dengan platnya yang telah terbelah, sepatu ber-merk Eiger itu nampak lusuh. Semakin nampaklah jam terbang sepatu itu amatlah tinggi di jalur pendakian. Walaupun berstatus pinjaman, aku boleh berbangga memakainya. Sebagai calon anggota di UKM PA EDELWEIS FIB-UH, ku masih bertatus beginner atau pemula. Sangat kontras dengan banyaknya gunung yang telah dipijaki oleh sepatu yang ku gunakan itu. Carrier kapasitas 80 liter yang terisi padat oleh alat dan ransum, telah terbungkus rapi dan mencengkram bahu ku. Seakan ingin meremukkan punggung dan mematahkan tulang-tulang ku. Tak pelak ku begitu cemas, mungkinkah ku bisa menyentuh tranggulasi puncak Gunung Lompobattang nantinya?

Rasa khawatir dan was-was tertutupi oleh semangat menggebu yang dipinang oleh rasa keingintahuan bagaimana rupa alam liar di luar sana. Kepuasan jasmani dan rohani yang dijanjikan alam akan bukti kebesaran dan keagungan Tuhan, adalah salah satu alasan ku mengikuti pendakian itu. Setidaknya ku mendapatkan jawaban dari pertanyaan orang-orang yang gemar mencemoh kegiatan pendaki gunung yang selalu mengumpat dan berceloteh tentangnya, “dasar orang kurang kerjaan! Ada tempat enak tidur di kasur kamar malah mereka pergi rebah di batu atas gunung! Ada tempat keren nongkrong di mall malah mereka pergi memandang sun-set di puncak gunung!”

Sebelum berangkat, saya beserta tim pendakian menyempatkan diri untuk berdoa bersama, meminta perlindungan dan kekuatan dari-Nya yang kelak pasti sangat kami butuhkan. 14 orang yang siap menggempur terjalnya jalur menuju puncak, termasuk saya, tengah memulai petualangan dengan cukup menguras tenaga. Walaupun hanya menumpang mobil sewaan, perjalanan dari kampus Unhas Tamalanrea - Malakaji, Jeneponto memakan waktu 5 jam. Tim yang berangkat siang hari, baru sampai di camp pertama di sebuah rumah warga pada pukul 8 malam.

Di sebuah rumah kayu sederhana, Dg. Gassing sang pemilik rumah terlihat begitu akrab dengan para kakak-kakak pendamping. Jelas terlihat dari kemampuan bapak tua itu berinteraksi dengan kami, dengan para pendaki dalam hal ini. Beliau tak sungkan memberi kami kewenangan untuk menggunakan dapur serta ruang tamunya untuk memasak dan beristirahat. Dari teras depan rumahnya saja tertempel begitu banyak stiker dari MAPALA lain serta foto-foto yang menandakan begitu familiarnya sang pemilik rumah dengan pendaki Gunung Lompobattang. Sembari mengembalikan kebugaran tubuh yang sempat terkuras selama perjalanan tadi, tim pendakian beristirahat dimanjakan dengan dinginnya malam di rumah tersebut.

Matahari pun bersinar menghangatkan belahan bumi yang lain. Namun di desa itu rasanya sinar terik mentari tak membara lagi. Seakan dinginnya pagi yang berbuih oleh hembusan kabut dan embun enggan melepas teriknya matahari, terus menusuk barisan tulang hingga membuat nafas terbata-bata. Ku pun tak mau melewatkan suasana beku itu, yang notabene hanya biasanya ku lihat di televisi. Belum lagi deretan kegiatan pagi itu yang harus tim selesaikan, mulai dari packing barang hingga persiapan akhir perjalanan. Titik matahari telah berada pada dimensi pagi menjelang siang, pukul 9 seperti biasanya sebelum memulai kegiatan lapangan selalu diawali dengan berdoa bersama. Setelah merasa matang akan semangat dan tenaga, 14 orang pendaki termasuk saya meminta pamit kepada empunya rumah dan berjanji 3 hari lagi jika diberi keselamatan maka kami akan berjumpa lagi.

Nampak gunung Lompobattang yang akan kami daki begitu konservatif dan terorganisir secara manual. Posko wajib lapor yang terletak tak jauh dari pintu rimba atas banner SAR UNHAS menjadi tempat kami melapor jika seandainya terjadi sesuatu dengan kami di atas gunung nantinya.

Di pos pertama kami disambut dengan aliran sumber air yang segar, seakan memamerkan bahwa inilah salah satu daya tarik gunung tersebut. Setelah merasa cukup siap, perjalanan untuk petualangan kami mulai.

Mendaki, licin dan terjal. Mungkin demikian kondisi medan yang dilalui. Memang pada awal melangkah ketika kaki masih dalam posisi normal, perjalanan begitu enteng sembari memandangi hijaunya daerah itu. Yang nampak hanya pohon, kayu atau daun. Sedikit ku mulai merasa kewalahan memijakkan kaki dan melekukkannya untung menopang ke atas badan yang digunduki oleh carrier yang berat. Agak gelisah memang menanti pos II sebagai tempat istirahat, pasalnya perjalanan yang telah ku tempuh sejak 45 menit tadi tak juga menunjukkan keberadaan pos tersebut. Sembari merunduk dan menarik nafas, ku menatap sekilas ke atas. Dan, masih pendakian dan pendakian lagi..

Begitu merasa terselamatkannya diriku ketika tiba di pos II, tanpa aba-aba langsung ku mengambil posisi duduk sambil menghela nafas melonggarkan pedal carrier yang sedari tadi membuatku gerah. Setelah ku bisa berfikir tenang, baru kusadari bahwa tim masih baru berada di pos II, belum di top destinasi yaitu pos X. aahhh…!!!

Setiap langkah adalah perjuangan, setiap inci pijakan ke atas ialah tantangan. Tak ku sangka ku begitu kocar-kacir menjaga keseimbangan tubuh yang telah kedodoran tenaga. Belum lagi beratnya beban yang diberikan carrier, membuatku sempat merancau ingin membuangnya dan terbebas dari bebannya. Tak dipungkiri ku menaruh emosi dengan tumpangan isi carrier ku itu, kini ia tak bersahabat dan makin membutku muak menggendongnya dengan terseok-seok. Begitu banyak per-andai-an yang terlintas dikepala ku. Seandinya di sini ada ojek, seandainya ku punya ilmu meringankan tubuh, seandainya ku bisa langsung tiba di puncak, bahkan sempat ku berfikir seandainya ku tak ikut pendakian itu yang belakangan ku menyesal karena sempat berfikir seperti itu..


Perjalanan ku tempuh dengan penuh benci dengan carrier ku hingga emosi-emosi itu membuat ku tak sadar jika saya telah dekat dengan puncak. Puluhan cerita yang telah ku depak selama perjalanan kian membuat ku takjub dengan gunung itu. Dari punggungan sempit, hembusan kabut yang dingin, flora unik hingga berbahaya, dinding tebing yang ber-tetangga-kan jurang, rotasi angin yang menghuyungkan badan, lembah pintu angin hingga pemandangan ke bawah seakan ku berada di atas awan, berada di atas dunia dan segala kerancuannya, berada di tempat yang membuatku sadar bahwa di puncak gunung sekalipun masih dinaungi langit yang berarti ku tak pernah bisa menjadi yang “tertinggi”.

Klausa “tertinggi” yang digunakan ialah sebagai pencitraan cita-cita manusia yang bersifat absurb, dominasi nafsu dan pragmatis. Secara tak langsung ku pahami bahwa Alam berusaha mengajarkan manusia untuk memposisikan dirinya sebagai mahluk. Maksudnya, Alam memberi manusia gambaran akan salah satu ciptaan Tuhan yaitu keindahan dan kemegahannya. Tak satupun manusia menciptkan gunung, hujan, hutan dan komposisi Alam liar lainnya.

Kerasnya rintangan alam dan kejutan yang diberikan seperti hujan, badai serta menurunnya suhu kian menambah kesan sebagai oleh-oleh kami pulang nantinya. Kendati disuguhi berbagai tantangan, tim pendakian tak menganggapnya sebagai halangan untuk berhenti bertualang, untuk mencaritahu atau untuk berbagi kesan dengan Alam. Hingga akhirnya saya sadar bahwa kendala yang menghadang bukanlah alasan untuk tidak bertualang, justru sebagai pedoman agar lebih dewasa menghadapi persoalan. Determinasi energi yang terus tertekan ialah hal yang lumrah bagi diri ku pribadi.

Sadar akan hal itu, justru merambah keinginan ku semula yang takluk akan rasa lelah dari diri ku sendiri menjadi kian bernafsu mengayunkan kaki lebih panjang dan lebar mendaki terjalnya medan. Walhasil, sesampainya di puncak, menyentuh tranggulasi serta (tentu saja, berfoto-foto. Hehhee..) terbayar semua kepenatan selama perjalan tadi. Tak dapat dijelaskan dengan kata-kata apa yang membuat ku merasa puas, namun ada kebanggaan tersendiri yang ku dapatkan. terlebih lagi tim pendakian tak hanya sekedar pergi mendaki. Kami lebih di fokuskan untuk membuat informasi tentang gunung tersebut yang berbentuk laporan ilmiah, tersusun dan terarah. Tak lepas bakti kami dengan memasang plat di tiap pos yang berisi informasi tentang jalur dan medan berupa kordinat Utara dan Selatan, Elevasi dari dasar permukaan laut serta jarak ke pos berikutnya.

Sepulangnya kami dari pendakian Lompobbattang, dengan puluhan mungkin ratusan cerita telah disimpan secara permanen dalam memori kami. Dan jawaban dari cemohan yang orang paparkan kepada para Pencinta Alam kini terjawab. Tentu karena mereka BELUM MAU menengok ke sana. Jelaslah kini saya dan kami tak perlu merasa risih lagi dengan anggapan buram tersebut..

Read more...

Tentang Desa Kamiri

>> Wednesday, March 17, 2010

(Sebuah reportase Dari Kec. Ballusu Kab.Barru)

oleh ipul
Desa kamiri terletak di kecamatan Balusu kabupaten Barru. Untuk sampai di desa ini, dari Rata PenuhTakkalasi (KM 12 utara kota Barru) tepatnya setelah jembatan Takkalasi terdapat pertigaan jalan yang akan mengantar kita sampai ke Desa kamiri. Jarak dari pertigaan tersebut 4 KM dan jalannya pun cukup bagus. Desa Kamiri di huni sebanyak 631 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 2075. Desa Kamiri terdiri dari empat dusun di antaranya Dusun Baera, Tanru tedong, Rumpia dan Kamiri dengan jumlah RT sebanyak 12. Di dalam dusun itu terdapat lagi kampung seperti di Dusun Rumpia ada kampung Panasa, Bainang’e, begitu juga dengan dusun Kamiri di dalamnya ada kampung Labimpa dan Sere’e.

Lingkungan alam desa Kamiri tidak jauh berbeda dengan desa-desa yang ada di Sulawesi Selatan, khususnya desa yang berada pada lerang dan lembah pegunungan. Desa kamiri merupakan desa dengan topografi gunung, diantara empat dusun yang ada, dusun Baera dan Tanru Tedong berada pada daerah datar yang luas dan letaknya jauh lebih rendah dibanding dusun Rumpia dan Kamiri. “lihat saja area persawahan yang ada, sawah di dua dusun tersebut jauh lebih luas dibanding dusun Kamiri dan Rumpia, bahkan beberapa kampung yang ada di kedua dusun tersebut tidak memiliki area persawahan, sebut saja Panasa di dusun Rumpia dan Sere’e di dusun Kamiri”.
Menuju Dusun Rumpia dan Kamiri

Sekarang jalan menuju kedua dusun tersebut dalam tahap penyelesaian, jadi wajar saja jika sebagian jalan yang kita lalui telah ditaburi pasir. Jalan tersebut untuk ukuran desa pegunungan terbilang sangat baik jika dibanding jalan desa-desa pegunungan yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan. Mungkin ini salah satu pembuktian keseriusan pemerintah daerah membuat masyarakatnya menuju kehidupan yang lebih baik” pikirku. Jadi, jika melewati jalan ini kita tidak akan bosan sebab selain dapat melihat hutan yang hujau pekat, kita juga diajak lebih berhati-hati melewati tanjakan dan penurunan yang terjal serta tikungan-tikungan yang mengharuskan kendaraan kita melaju dengan pelan. Belum lagi monyet-monyetnya yang akan memperhatikan kita dari pinggir jalan.

Sore Hari di Dusun Rumpia
Tak terasa setelah kurang lebih 15 menit berada di atas kendaraan dari dusun Tanru Tedong, akhirnya tiba juga di Dusun Rumpia, tepatnya di kampung Panasa. Cuaca hari itu cukup cerah, saat memasuki perkampungan terlihat deretan rumah panggung mengapit ruas kiri-kanan jalan, beberapa rumah terlihat sepi dan pintunya tertutup rapat, ada juga rumah yang terlihat ramai, di teras rumah mereka beberapa orang duduk berkumpul. Perhatikan saja yang ada, mulai dari ibu-ibu, nenek-nenek, sampai anak-anak memenuhi teras rumah tersebut.

Masih di kampung Panasa, tidak jauh dari rumah yang ramai itu kami menghentikan kendaraan lalu menuju pada satu rumah yang suasananya hampir sama dengan rumah yang kami lihat tadi. Di rumah itu kami banyak berbincang dengan penduduk, mereka begitu bersemangat menjawab saat kami menayakan tentang keadaan desa dan keadaan mereka sendiri. Tapi ada yang lain dari mereka, saat kami menyanjung bahwa desanya itu hijau sekali, hutannya lebat, tidak ada ladang yang terlihat dari jalan, cukup berbeda dengan desa-desa lainnya. Sanjungan yang kami sampaikan itu tidak membuatnya tersenyum, justru dibalas dengan berbagai keluhan. “Ternyata hijau itu belum tentu membuat masyarakat menjadi tentram yah..” pikirku saat mendengar keluhannya.

Dari kampung Panasa kami lanjutkan perjalanan menuju kampung Rumpia. Boleh di kata Kampung Rumpia ini merupakan pusat dusun. Di Rumpia terdapat beberapa bangunan seperti Mesjid, Sekolah Dasar dan SLTP. Rumpia terletak di tengah-tengah dusun, karena diapit antara kampung Panasa dan Bainang’e. Kami tidak berlama-lama berada di kampung itu, Dari Rumpia kami menuju Bainang’e, letaknya lebih jauh dan lebih tinggi lagi, “ada yang lain di desa ini, semakin kita menuju tempat yang lebih jauh, jalannya semakin bagus, tapi medannya…waoow… semakin membuat kita ekstra hati-hati”.

Langit gelap menutupi kampung Bainang’e sore itu, gerimis pun membuat alunan suara berdentik dari atap rumah. Beberapa warga duduk diteras rumahnya menyelimuti dirinya dengan sarung sambil memperhatikan kami yang sedang lewat, gadis-gadis Bainang’e terlihat ayu saat meraka tiba-tiba beranjak dari duduknya ketika kami menuju padanya lalu menanyakan salah satu rumah warga di kampung itu. Ia lalu menunjuk rumah yang kami tanyakan, dari telunjuknya terlihat bahwa ia itu adalah gadis yang tekun. “sudah cantik, tekun lagi..jangan-jangan anaknya kepala kampung”..hehe

Kami menuju rumah yang kami cari, rumah itu berada pada lereng gunung, letaknya tidak jauh dari rumah gadis itu,jaraknya mungkin sekitar 50 meter. Setelah menyeberangi sungai dan menyusuri pematang, tiba juga kami dirumah itu. Kopi panas serta kacang goreng menghangatkan perbincangan kami dengan penghuni rumah, banyak hal yang kami tanyakan padanya, mulai dari aktifitasnya sampai pada hal-hal yang mendasar menyangkut kehidupannya. “kalu musim begini, dirumah saja tinggal tidak ada yang bisa dikerjakan, ka tidak ada juga sawah, kemiri juga tidak berbuah” tutur ayah La hatta salah seorang penghuni rumah..

Semalam di Dusun Kamiri
Di teras rumah anak dari bapak kepala dusun Kamiri, sebut saja Akin dan seorang temannya Battu kami bertiga duduk saling mengenalkan diri hingga gelap memaksa pelita-pelita bekerja. Dua pelita yang terbuat dari kaleng susu dan botol minyak menerangi saat itu, perbincanganpun terasa hangat seketika Akin banyak menyoal keadaan kampung. Gula dan kemiri jadi perbincanagan panjang. Di kampung Kamiri, gula dan Kemiri adalah komoditi andalannya, meskipun mereka menggarap sawah, hasilnya tidak untuk dijual melainkan untuk kebutuhan makan dalam setahun.

Kemiri dan Gula merupakan sumber pendapatan utamanya, tapi tentu tidak satiap saat ia dapat menghasilkan pendapatan dari dua jenis komoditi tersebut, sebab keduanya memiliki musim tersendiri hingga dapat memperolah hasil yang memuaskan ”bulan Sembilan baru musim panen kemiri” tutur Akin “kalo gula bulan tujuh sampai Sembilan” lanjut Akin menjawab saat ditanya kapan produksi gula biasanya melimpah. Harga kemiri dalam satu liter mereka jual dengan Rp 15.000, tapi itu tanpa kulit, sedangkan yang berkulit ia jual dengan menghitung jumlah biji. 1000 biji kemiri di hargai dengan Rp 20.000. Lain lagi dengan gula, harga gula perbutir biasa ia jual dengan Rp 2.000 sampai Rp 2.400. Gula ia jual setelah mengumpulkan hasil produksinya dalam jangka waktu seminggu, sebulan, tapi ada juga yang mengumpulnya dalam jangka waktu setahun. Ujar battu “saya pernah kumpul gulaku satu tahun lamanya, baru saya jual”, “tidak rusakji itu?” Tanya aku, jawabnya “tidak, kalau disimpan baik-baik, selalu di asapi”. jumlah gula Battu yang terkupul dalam setahun saat itu sebanyak 10.000 butir. Waooow banyak pahatu..

Bulan tujuh sampai Sembilan merupakan musim panen gula begi masyarakat Kamiri, di bulan tersebut pohon aren banyak menghasilkan nira. Dalam sehari mereka dapat menghasilkan gula 30- 70 butir “ kalau kita tidak pernah istirahat bisa dapat 70 butir, tapi kalau santai paling 30 butir” Ujar Akin. Di bulan tersebut para penadah gula berdatangan membeli gula mereka, apa lagi di bulan Sembilan, buah kemiri turut serta menambah jumlah pendapatannya. Di bulan itu juga mereka kerap kali melakukan upacara pesta panen.

Malam pun menelan suara penghuni kampung itu. Semakin larut, yang terdengar hanya celoteh kami bertiga, kini saatnya mengakhiri perbincangan itu, lalu menuju salah satu tempat kemudian tenggelam dalam istirahat panjang.

Upacara Panen di Dusun Kamiri
Buat masyarakat Dusun Kamiri, bulan sembilan merupakan bulan yang bernuansa kemeriahan. Di bulan itu seusai panen gula dan kemiri mereka akan melakukan upacara adat atau pesta panen. Saat seperti itu pastinya selalu dinantikan oleh setiap warganya karena di saat itu mereka menikmati secara bersama hasil penennya, meluapkan kegembiraan, kumpul bersama sanak keluarga dan yang paling penting merayakan kesyukurannya.

Upaca pesta panen di kampung kemiri berlangsung selama lima hari. Dalam lima hari itu masyarakat melakukan acara Mappadendang, Kunjungan ke gunung Tille, dan sabung ayam. Mappadendang dilakukan selama tiga hari tiga malam, setelah acara Mappadendang dilanjutkan dengan kunjungan ke salah satu puncak gunung yang terletak di kampung tersebut. Mereka akan berbondong-bondong datang ke Gunung Tille melakukan ritual. Setelah acara naik gunung selesai mereka akan jedah selama seminggu dan selanjutnya merayakan acara sabung ayam. Acara sabung ayam tidak dilakukan dalam kampung melainkan di tempat lain, tapi masih merupakan lingkungan dusun Kamiri. Nama tempat tersebut Jompi, sebelah utara pemukiman warga. Lama perjalanan dari kampung ke tempat tersebut kurang lebih satu jam. Di Jompi terdapat makam Tua, di tempat tersebut mereka melakukan sabung Ayam dan ayam yang telah disabung kemudian di makan secara bersama-sama, baik itu yang tua, muda serta anak-anak.

Kearifan Lingkungan Yang Masih Terjaga
Lihat saja lingkungan desa Kamiri, pandangan kita pasti akan dihujani oleh hutan yang tumbuh rimbun. Pemandangan seperti itu akan kita saksikan ketika pertama kali masuk di dusun Tanru tedong sampai pada dusun paling terjauh di desa tersebut, sebut saja dusun Kamiri. Hutan desa Kamiri begitu lebat, terlebih lagi ketika telah memasuki Dusun Kamiri. Jalan begitu rindang untuk dilalui, pepohonan terlihat saling berlomba menjorokkan tangkainya di atas jalan lalu membentuk sebuah kanopi.

Jika kita melewati sepanjang jalan itu, kita pasti akan bertanya mengapa tidak ada ladang yang menelanjangi gunung-gunung di kampung tersebut. Setelah mencari informasi ada tiga jawaban yang mungkin bisa menjawabnya untuk sementara. Pertama karena masyarakat Kamiri sudah terbiasa atau merasa nyaman dengan hidup membuat gula dan kemiri, kedua karena aturan dari dinas kehutanan setempat, dan ketiga adalah budaya yang masih bertahan atau aturan kampong yang ada.

Di Dusun Kamiri masyarakat masih memegang suatu aturan kampung yang sangat berkaitan dengan hutan dan pertanian. “jika musim tanam tiba, saat pertama kali bibit padi telah tertanam di sawah, maka mulai saat itu masyarakat kampung Kamiri tidak boleh melakukan aktifitas tebang pohon, baik itu pohon yang dapat dijadikan tiang rumah maupun pohon yang hanya dapat dijadikan tongkat”. Ujar kepala Desa “biarpun ada kayu yang sudah di senso tapi kalau sudah menanammi penduduk, kayu itu tidak di senso lagi, dibiarkan begitu saja, nanti setelah panen baru dilanjut di senso dan diambil kayunya”.

Dari penjelasan Akin aturan itu sudah berlangsung lama dan dilakuakan secara turun temurun. “tidak boleh dilanggar” ujar akin. “kalau dilanggar mungkin akan terjadi bencana” lanjut akin dengan ragu-ragu sebab ia kurang terlalu tahu tentang sebab musabab aturan itu, “orang tua yang banyak tahu itu” ujarnya padaku

Mungkinkah aturan itu berlaku dalam satu desa atau hanya di Dusun Kamiri saja. Jika melihat konteks waktu yang digunakan yaitu berkaitan dengan musim tanam padi, maka di kampong Panasa itu tidak berlaku, sebab dipanasa tidak ada sawah. Hal itu bisa menguatkan pernyataanku, karena saat berada di tempat itu suara senso begitu nyaring terdengar membelah batang-batang pohon. ujar Yunus, itu temanku yang ma’sesnso, dia ma’senso karena di suruh sama pa’desa, ada pohon yang habis ditebang waktu buat jalan, nanti rusakki kalau dibiarkan begitu” lanjut Yunus menjelaskan.

Keluhan Masyarakat Dusun Rumpia dan Kamiri
Sore itu tak pelak setelah mengunjungi beberapa kampung di desa Kamiri, termasuk kampung paling jauh dan terpencil, sebut saja Labimpa dan Sere’e, banyak informasi yang kami peroleh berdasarkan kenyataan yang ada. Masyarakat banyak yang merasa senang dengan apa yang telah mereka alami, merasa bangga tinggal di tanah kelahirannya, tapi dibalik itu semua terpendam keluhan yang membuat mereka merasa kekurangan.

Desa kamiri bisa dikatakan sebagai desa hijau, hutannya sangat luas, namun dibalik hujau hutannya masyarakat di desa itu tidak mampu berbuat banyak selain menikmati hasil alam, berupa buah kemiri dan aren. Mereka tidak dapat menikmati bukan karena mereka tidak mau atau tidak mampu, bukan juga karena aturan kampung yang berlaku, melainkan karena mereka dibatasi oleh aturan dari dinas pemerintah setempat. Ujar Yunus “kita tidak bisa buka kebun karena patok batas wilayah yang tidak bisa diganggu sampai pinggir jalan”, “seandainya agak kedalam, jauh dari jalan. Bisa!, kayak dulu”. Lanjut Yunus. “dulu waktu masih kecil saya punya kebun, itu kebunnya orang tua, tapi sekarang diambil sama pemerintah karena tidak ada PBB-nya” tutur Yunus dengan nada keluh. Mereka tidak berani untuk membuka lahan karena mereka takut dengan sanksi yang akan diterima jika mereka melanggar aturan. Seperti yang telah dialami Yunus, ujarnya “saya pernah dipenjara 1,2 tahun, gara-gara ma’senso”.

Sekarang ini semenjak aturan pemerintah cukup ketat masyarakat Panasa keluar kampung menambah pendapatannya. Ujar istri Yunus ”jadi kita kodong sekarang biasa pergi ma’sangki di pangkajene atau di segeri”, “kalau tidak begitu di mana mau dapat uang lagi” lanjutnya. Ujar istri Yunus kembali “di sini susah sekali, serba di beli, beras kita beli, kadang-kadang sayur juga harus dibeli’”.

Lain lagi dengan keluhan yang terjadi di kampung Sere’e. soal kebutuhan hidup, seperti makanan tidak dipersoalkan saat itu, walaupun mungkin itu adalah masalah juga. Ujar I Mase “rumahku tinggal di ganjal-ganjal saja tiang kah mau jatuh”, saat kami tanya kenapa tidak diganti, padahal disini banyak kayu? Jawabnya “takut, nanti ditangkap”. Apa yang dilontarkan I Mase tidak berbeda dengan seorang ibu yang kami temui saat dalam perjalanan menuju kampung tersebut, tuturnya tanpa di Tanya “datangki liat rumahku, maumi jatuh, hancur tiangnya”, pikirku saat itu “mungkin ibu itu mengira kami orang dari Dinas Sosial”.he he he

Potensi desa Kamiri untuk menjadi desa yang lebih baik lagi cukup besar, selain punya budaya yang masih hidup, desa itu juga punya hutan yang lebat, masyarakatnya juga cukup taat pada aturan. Tapi jika sebuah desa dengan sumber daya alam yang melimpah tetapi masyarakatnya sengsara, itu sungguh ironis. Kita dapat berpikir, masyarakat Kamiri sebut saja Panasa dan Kamiri, mereka orang-orang yang telah hidup sekian tahun di tempat itu, mereka penduduk asli ditempat itu, mereka jauh lebih banyak mengetahui keadaan di tempat itu, tapi apa yang ada disekitarnya tak mampu dicicipinya hanya persoalan karena mereka tidak punya PBB. Apa yang mereka tahu tentang PBB!, mereka orang yang tidak sempat menikmati pendidikan. Andaikan pemerintah lebih dekat dengan masyarakatnya, ini tidak akan terjadi karena pemerintah adalah manusia yang juga punya anggukan universal.

Read more...

Tentang Desa Kamiri

oleh ipul


Desa kamiri terletak di kecamatan Balusu kabupaten Barru. Untuk sampai di desa ini, dari Rata PenuhTakkalasi (KM 12 utara kota Barru) tepatnya setelah jembatan Takkalasi terdapat pertigaan jalan yang akan mengantar kita sampai ke Desa kamiri. Jarak dari pertigaan tersebut 4 KM dan jalannya pun cukup bagus. Desa Kamiri di huni sebanyak 631 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 2075. Desa Kamiri terdiri dari empat dusun di antaranya Dusun Baera, Tanru tedong, Rumpia dan Kamiri dengan jumlah RT sebanyak 12. Di dalam dusun itu terdapat lagi kampung seperti di Dusun Rumpia ada kampung Panasa, Bainang’e, begitu juga dengan dusun Kamiri di dalamnya ada kampung Labimpa dan Sere’e.

Lingkungan alam desa Kamiri tidak jauh berbeda dengan desa-desa yang ada di Sulawesi Selatan, khususnya desa yang berada pada lerang dan lembah pegunungan. Desa kamiri merupakan desa dengan topografi gunung, diantara empat dusun yang ada, dusun Baera dan Tanru Tedong berada pada daerah datar yang luas dan letaknya jauh lebih rendah dibanding dusun Rumpia dan Kamiri. “lihat saja area persawahan yang ada, sawah di dua dusun tersebut jauh lebih luas dibanding dusun Kamiri dan Rumpia, bahkan beberapa kampung yang ada di kedua dusun tersebut tidak memiliki area persawahan, sebut saja Panasa di dusun Rumpia dan Sere’e di dusun Kamiri”.
Menuju Dusun Rumpia dan Kamiri

Sekarang jalan menuju kedua dusun tersebut dalam tahap penyelesaian, jadi wajar saja jika sebagian jalan yang kita lalui telah ditaburi pasir. Jalan tersebut untuk ukuran desa pegunungan terbilang sangat baik jika dibanding jalan desa-desa pegunungan yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan. Mungkin ini salah satu pembuktian keseriusan pemerintah daerah membuat masyarakatnya menuju kehidupan yang lebih baik” pikirku. Jadi, jika melewati jalan ini kita tidak akan bosan sebab selain dapat melihat hutan yang hujau pekat, kita juga diajak lebih berhati-hati melewati tanjakan dan penurunan yang terjal serta tikungan-tikungan yang mengharuskan kendaraan kita melaju dengan pelan. Belum lagi monyet-monyetnya yang akan memperhatikan kita dari pinggir jalan.

Sore Hari di Dusun Rumpia
Tak terasa setelah kurang lebih 15 menit berada di atas kendaraan dari dusun Tanru Tedong, akhirnya tiba juga di Dusun Rumpia, tepatnya di kampung Panasa. Cuaca hari itu cukup cerah, saat memasuki perkampungan terlihat deretan rumah panggung mengapit ruas kiri-kanan jalan, beberapa rumah terlihat sepi dan pintunya tertutup rapat, ada juga rumah yang terlihat ramai, di teras rumah mereka beberapa orang duduk berkumpul. Perhatikan saja yang ada, mulai dari ibu-ibu, nenek-nenek, sampai anak-anak memenuhi teras rumah tersebut.

Masih di kampung Panasa, tidak jauh dari rumah yang ramai itu kami menghentikan kendaraan lalu menuju pada satu rumah yang suasananya hampir sama dengan rumah yang kami lihat tadi. Di rumah itu kami banyak berbincang dengan penduduk, mereka begitu bersemangat menjawab saat kami menayakan tentang keadaan desa dan keadaan mereka sendiri. Tapi ada yang lain dari mereka, saat kami menyanjung bahwa desanya itu hijau sekali, hutannya lebat, tidak ada ladang yang terlihat dari jalan, cukup berbeda dengan desa-desa lainnya. Sanjungan yang kami sampaikan itu tidak membuatnya tersenyum, justru dibalas dengan berbagai keluhan. “Ternyata hijau itu belum tentu membuat masyarakat menjadi tentram yah..” pikirku saat mendengar keluhannya.

Dari kampung Panasa kami lanjutkan perjalanan menuju kampung Rumpia. Boleh di kata Kampung Rumpia ini merupakan pusat dusun. Di Rumpia terdapat beberapa bangunan seperti Mesjid, Sekolah Dasar dan SLTP. Rumpia terletak di tengah-tengah dusun, karena diapit antara kampung Panasa dan Bainang’e. Kami tidak berlama-lama berada di kampung itu, Dari Rumpia kami menuju Bainang’e, letaknya lebih jauh dan lebih tinggi lagi, “ada yang lain di desa ini, semakin kita menuju tempat yang lebih jauh, jalannya semakin bagus, tapi medannya…waoow… semakin membuat kita ekstra hati-hati”.

Langit gelap menutupi kampung Bainang’e sore itu, gerimis pun membuat alunan suara berdentik dari atap rumah. Beberapa warga duduk diteras rumahnya menyelimuti dirinya dengan sarung sambil memperhatikan kami yang sedang lewat, gadis-gadis Bainang’e terlihat ayu saat meraka tiba-tiba beranjak dari duduknya ketika kami menuju padanya lalu menanyakan salah satu rumah warga di kampung itu. Ia lalu menunjuk rumah yang kami tanyakan, dari telunjuknya terlihat bahwa ia itu adalah gadis yang tekun. “sudah cantik, tekun lagi..jangan-jangan anaknya kepala kampung”..hehe

Kami menuju rumah yang kami cari, rumah itu berada pada lereng gunung, letaknya tidak jauh dari rumah gadis itu,jaraknya mungkin sekitar 50 meter. Setelah menyeberangi sungai dan menyusuri pematang, tiba juga kami dirumah itu. Kopi panas serta kacang goreng menghangatkan perbincangan kami dengan penghuni rumah, banyak hal yang kami tanyakan padanya, mulai dari aktifitasnya sampai pada hal-hal yang mendasar menyangkut kehidupannya. “kalu musim begini, dirumah saja tinggal tidak ada yang bisa dikerjakan, ka tidak ada juga sawah, kemiri juga tidak berbuah” tutur ayah La hatta salah seorang penghuni rumah..

Semalam di Dusun Kamiri
Di teras rumah anak dari bapak kepala dusun Kamiri, sebut saja Akin dan seorang temannya Battu kami bertiga duduk saling mengenalkan diri hingga gelap memaksa pelita-pelita bekerja. Dua pelita yang terbuat dari kaleng susu dan botol minyak menerangi saat itu, perbincanganpun terasa hangat seketika Akin banyak menyoal keadaan kampung. Gula dan kemiri jadi perbincanagan panjang. Di kampung Kamiri, gula dan Kemiri adalah komoditi andalannya, meskipun mereka menggarap sawah, hasilnya tidak untuk dijual melainkan untuk kebutuhan makan dalam setahun.

Kemiri dan Gula merupakan sumber pendapatan utamanya, tapi tentu tidak satiap saat ia dapat menghasilkan pendapatan dari dua jenis komoditi tersebut, sebab keduanya memiliki musim tersendiri hingga dapat memperolah hasil yang memuaskan ”bulan Sembilan baru musim panen kemiri” tutur Akin “kalo gula bulan tujuh sampai Sembilan” lanjut Akin menjawab saat ditanya kapan produksi gula biasanya melimpah. Harga kemiri dalam satu liter mereka jual dengan Rp 15.000, tapi itu tanpa kulit, sedangkan yang berkulit ia jual dengan menghitung jumlah biji. 1000 biji kemiri di hargai dengan Rp 20.000. Lain lagi dengan gula, harga gula perbutir biasa ia jual dengan Rp 2.000 sampai Rp 2.400. Gula ia jual setelah mengumpulkan hasil produksinya dalam jangka waktu seminggu, sebulan, tapi ada juga yang mengumpulnya dalam jangka waktu setahun. Ujar battu “saya pernah kumpul gulaku satu tahun lamanya, baru saya jual”, “tidak rusakji itu?” Tanya aku, jawabnya “tidak, kalau disimpan baik-baik, selalu di asapi”. jumlah gula Battu yang terkupul dalam setahun saat itu sebanyak 10.000 butir. Waooow banyak pahatu..

Bulan tujuh sampai Sembilan merupakan musim panen gula begi masyarakat Kamiri, di bulan tersebut pohon aren banyak menghasilkan nira. Dalam sehari mereka dapat menghasilkan gula 30- 70 butir “ kalau kita tidak pernah istirahat bisa dapat 70 butir, tapi kalau santai paling 30 butir” Ujar Akin. Di bulan tersebut para penadah gula berdatangan membeli gula mereka, apa lagi di bulan Sembilan, buah kemiri turut serta menambah jumlah pendapatannya. Di bulan itu juga mereka kerap kali melakukan upacara pesta panen.

Malam pun menelan suara penghuni kampung itu. Semakin larut, yang terdengar hanya celoteh kami bertiga, kini saatnya mengakhiri perbincangan itu, lalu menuju salah satu tempat kemudian tenggelam dalam istirahat panjang.

Upacara Panen di Dusun Kamiri
Buat masyarakat Dusun Kamiri, bulan sembilan merupakan bulan yang bernuansa kemeriahan. Di bulan itu seusai panen gula dan kemiri mereka akan melakukan upacara adat atau pesta panen. Saat seperti itu pastinya selalu dinantikan oleh setiap warganya karena di saat itu mereka menikmati secara bersama hasil penennya, meluapkan kegembiraan, kumpul bersama sanak keluarga dan yang paling penting merayakan kesyukurannya.

Upaca pesta panen di kampung kemiri berlangsung selama lima hari. Dalam lima hari itu masyarakat melakukan acara Mappadendang, Kunjungan ke gunung Tille, dan sabung ayam. Mappadendang dilakukan selama tiga hari tiga malam, setelah acara Mappadendang dilanjutkan dengan kunjungan ke salah satu puncak gunung yang terletak di kampung tersebut. Mereka akan berbondong-bondong datang ke Gunung Tille melakukan ritual. Setelah acara naik gunung selesai mereka akan jedah selama seminggu dan selanjutnya merayakan acara sabung ayam. Acara sabung ayam tidak dilakukan dalam kampung melainkan di tempat lain, tapi masih merupakan lingkungan dusun Kamiri. Nama tempat tersebut Jompi, sebelah utara pemukiman warga. Lama perjalanan dari kampung ke tempat tersebut kurang lebih satu jam. Di Jompi terdapat makam Tua, di tempat tersebut mereka melakukan sabung Ayam dan ayam yang telah disabung kemudian di makan secara bersama-sama, baik itu yang tua, muda serta anak-anak.

Kearifan Lingkungan Yang Masih Terjaga
Lihat saja lingkungan desa Kamiri, pandangan kita pasti akan dihujani oleh hutan yang tumbuh rimbun. Pemandangan seperti itu akan kita saksikan ketika pertama kali masuk di dusun Tanru tedong sampai pada dusun paling terjauh di desa tersebut, sebut saja dusun Kamiri. Hutan desa Kamiri begitu lebat, terlebih lagi ketika telah memasuki Dusun Kamiri. Jalan begitu rindang untuk dilalui, pepohonan terlihat saling berlomba menjorokkan tangkainya di atas jalan lalu membentuk sebuah kanopi.

Jika kita melewati sepanjang jalan itu, kita pasti akan bertanya mengapa tidak ada ladang yang menelanjangi gunung-gunung di kampung tersebut. Setelah mencari informasi ada tiga jawaban yang mungkin bisa menjawabnya untuk sementara. Pertama karena masyarakat Kamiri sudah terbiasa atau merasa nyaman dengan hidup membuat gula dan kemiri, kedua karena aturan dari dinas kehutanan setempat, dan ketiga adalah budaya yang masih bertahan atau aturan kampong yang ada.

Di Dusun Kamiri masyarakat masih memegang suatu aturan kampung yang sangat berkaitan dengan hutan dan pertanian. “jika musim tanam tiba, saat pertama kali bibit padi telah tertanam di sawah, maka mulai saat itu masyarakat kampung Kamiri tidak boleh melakukan aktifitas tebang pohon, baik itu pohon yang dapat dijadikan tiang rumah maupun pohon yang hanya dapat dijadikan tongkat”. Ujar kepala Desa “biarpun ada kayu yang sudah di senso tapi kalau sudah menanammi penduduk, kayu itu tidak di senso lagi, dibiarkan begitu saja, nanti setelah panen baru dilanjut di senso dan diambil kayunya”.

Dari penjelasan Akin aturan itu sudah berlangsung lama dan dilakuakan secara turun temurun. “tidak boleh dilanggar” ujar akin. “kalau dilanggar mungkin akan terjadi bencana” lanjut akin dengan ragu-ragu sebab ia kurang terlalu tahu tentang sebab musabab aturan itu, “orang tua yang banyak tahu itu” ujarnya padaku

Mungkinkah aturan itu berlaku dalam satu desa atau hanya di Dusun Kamiri saja. Jika melihat konteks waktu yang digunakan yaitu berkaitan dengan musim tanam padi, maka di kampong Panasa itu tidak berlaku, sebab dipanasa tidak ada sawah. Hal itu bisa menguatkan pernyataanku, karena saat berada di tempat itu suara senso begitu nyaring terdengar membelah batang-batang pohon. ujar Yunus, itu temanku yang ma’sesnso, dia ma’senso karena di suruh sama pa’desa, ada pohon yang habis ditebang waktu buat jalan, nanti rusakki kalau dibiarkan begitu” lanjut Yunus menjelaskan.

Keluhan Masyarakat Dusun Rumpia dan Kamiri
Sore itu tak pelak setelah mengunjungi beberapa kampung di desa Kamiri, termasuk kampung paling jauh dan terpencil, sebut saja Labimpa dan Sere’e, banyak informasi yang kami peroleh berdasarkan kenyataan yang ada. Masyarakat banyak yang merasa senang dengan apa yang telah mereka alami, merasa bangga tinggal di tanah kelahirannya, tapi dibalik itu semua terpendam keluhan yang membuat mereka merasa kekurangan.

Desa kamiri bisa dikatakan sebagai desa hijau, hutannya sangat luas, namun dibalik hujau hutannya masyarakat di desa itu tidak mampu berbuat banyak selain menikmati hasil alam, berupa buah kemiri dan aren. Mereka tidak dapat menikmati bukan karena mereka tidak mau atau tidak mampu, bukan juga karena aturan kampung yang berlaku, melainkan karena mereka dibatasi oleh aturan dari dinas pemerintah setempat. Ujar Yunus “kita tidak bisa buka kebun karena patok batas wilayah yang tidak bisa diganggu sampai pinggir jalan”, “seandainya agak kedalam, jauh dari jalan. Bisa!, kayak dulu”. Lanjut Yunus. “dulu waktu masih kecil saya punya kebun, itu kebunnya orang tua, tapi sekarang diambil sama pemerintah karena tidak ada PBB-nya” tutur Yunus dengan nada keluh. Mereka tidak berani untuk membuka lahan karena mereka takut dengan sanksi yang akan diterima jika mereka melanggar aturan. Seperti yang telah dialami Yunus, ujarnya “saya pernah dipenjara 1,2 tahun, gara-gara ma’senso”.

Sekarang ini semenjak aturan pemerintah cukup ketat masyarakat Panasa keluar kampung menambah pendapatannya. Ujar istri Yunus ”jadi kita kodong sekarang biasa pergi ma’sangki di pangkajene atau di segeri”, “kalau tidak begitu di mana mau dapat uang lagi” lanjutnya. Ujar istri Yunus kembali “di sini susah sekali, serba di beli, beras kita beli, kadang-kadang sayur juga harus dibeli’”.

Lain lagi dengan keluhan yang terjadi di kampung Sere’e. soal kebutuhan hidup, seperti makanan tidak dipersoalkan saat itu, walaupun mungkin itu adalah masalah juga. Ujar I Mase “rumahku tinggal di ganjal-ganjal saja tiang kah mau jatuh”, saat kami tanya kenapa tidak diganti, padahal disini banyak kayu? Jawabnya “takut, nanti ditangkap”. Apa yang dilontarkan I Mase tidak berbeda dengan seorang ibu yang kami temui saat dalam perjalanan menuju kampung tersebut, tuturnya tanpa di Tanya “datangki liat rumahku, maumi jatuh, hancur tiangnya”, pikirku saat itu “mungkin ibu itu mengira kami orang dari Dinas Sosial”.he he he

Potensi desa Kamiri untuk menjadi desa yang lebih baik lagi cukup besar, selain punya budaya yang masih hidup, desa itu juga punya hutan yang lebat, masyarakatnya juga cukup taat pada aturan. Tapi jika sebuah desa dengan sumber daya alam yang melimpah tetapi masyarakatnya sengsara, itu sungguh ironis. Kita dapat berpikir, masyarakat Kamiri sebut saja Panasa dan Kamiri, mereka orang-orang yang telah hidup sekian tahun di tempat itu, mereka penduduk asli ditempat itu, mereka jauh lebih banyak mengetahui keadaan di tempat itu, tapi apa yang ada disekitarnya tak mampu dicicipinya hanya persoalan karena mereka tidak punya PBB. Apa yang mereka tahu tentang PBB!, mereka orang yang tidak sempat menikmati pendidikan. Andaikan pemerintah lebih dekat dengan masyarakatnya, ini tidak akan terjadi karena pemerintah adalah manusia yang juga punya anggukan universal.

Read more...

Dasar-dasar survival

>> Thursday, March 11, 2010

Survival adalah suatu tindakan yang paling awal yang dilakukan oleh setiap makhluk yang hidup untuk mempertahankan hidupnya dari berbagai ancaman, survival adalah perjuangan agar tetap hidup.Rata PenuhDilihat dari kondisi alam Indonesia maka pengetahuan survival ini harus disesuaikan, juga dengan iklim tropis yang ada di negara kita. Di Indonesia daerah yang akan ditemui adalah : hutan belantara, rawa, sungai, padang ilalang, gunung berapai dan lain sebagainya.
Ada beberapa permasalahan yang akan kita hadapi, yaitu masalah / bahaya yang ada di alam (bahaya obyektif), masalah yang menyangkut diri kita sendiri (bahaya subyektif). Ada beberapa aspek yang akan muncul dalam menghadapi survival:
1. Psikologis : panik, takut, cemas, kesepian, bingung, tertekan, dll.
2. Fisiologis : sakit, lapar, haus, luka, lelah, dll.
3. Lingkungan : panas, dingin, kering, hujan, angin, vegetasi, fauna, dll.
Ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam melakukan survival, selain faktor keberuntungan (nasib baik/pertolongan Tuhan tentunya), yaitu:
• Semangat untuk mempertahankan hidup.
• Kesiapan diri.
• Alat pendukung.
Beberapa kebutuhan yang harus dipenuhi dalam menghadapi survival :
Perlindungan terhadap ancaman :
• cuaca,
• binatang,
• makanan/minuman
• penyakit
Untuk mengatasi keadaan cuaca yang dingin atau panas adalah dengan membuat bivak atau tempat berlindung sebagai sarana perlindungan yang nyaman bagi kita dari ancaman faktor-faktor alam yang ekstrim, selain itu agar badan kita tetap nyaman, usahakan selalu memakai pakaian yang kering.
Makanan dan minuman juga sangat penting yang harus didapatkan dalam menghadapi keadaan yang genting dimana kita butuh tenaga / kalori untuk melakukan aktifitas. Ciri-ciri dan karakteristiknya harus kita kenali agar tidak membahayakan. Untuk lebih jelasnya silahkan lihat Zoologi dan Botani praktis.
• Galilah lubang sedalam kira-kira 30-50 cm dengan diameter yang lebih besar dari misting / rantang (apa pun yang dapat digunakan untuk menampung air)
• Potonglah ranting kering dengan panjang kira-kira 50 cm, siapkan selembar plastik yang cukup lebar (bisa juga menggunakan ponco / jas hujan).
• Letakkan misting / rantang di dasar lubang, tegakkan batang / ranting tadi dan tutupi dengan pastik, jangan lupa letakkan batu disekelilingnya agar tidak mudah bergeser. (lihat gambar 1)
• Tunggulah air menguap dari permukaan tanah.
Tindakan dalam menghadapi survival :
Ingat semboyan ‘STOP’ :
S = Stop (berhenti).
T = Thinking (mulailah berpikir, dengan ketenangan berpikir akan mudah bertindak)
O = Observe (amati keadaan disekitar kita, apa yang bisa kita kerjakan)
P = Planning (buat perencanaan mengenai tindakan yang akan kita lakukan)
Sumber : Diambil dari beberapa situs dan buku tentang Teknik dasar Alam bebas

Read more...

  © e-production