Tumbuhan Hutan untuk Obat

>> Monday, July 23, 2007

Salah satu kearifan masyarakat di Kampung Karangan adalah dengan memanfaatkan daun-daun tumbuhan hutan untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu. Daun-daun apa saja yang di manfaatkan adalah sebagai berikut:

Daun Sepate

Obat Penyakit Malaria dan Demam
• Daun sepate direbus dengan air sebanyak 2 gelas.
• Hingga mendidih
• Kemudian Air rebusan tersebut dibersihkan dari daun sepate.
• Lalu diminum.

Daun Siarah

Obat Sakit Kepala
• Daun siarah diremas-remas hingga berair.
• Kemudian airnya diminum.

Daun Dale-dale

Luka berdarah
• Daun dale-dalle dikunyah-kunyah/ditumbuk.
• Kemudian daun yang hancur tersebut ditempelkan pada bagian yang luka.

Daun Ulu-ulu

Obat Sakit Kepala
• Daun ulu-ulu ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu airnya diminum.

Daun Kopi

Obat Maag
• Daun kopi ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu airnya diminum.

Daun Kasa-kasa

Obat Batuk/Sakit Kepala/Demam
• Daun kasa-kasa ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu airnya diminum.

Daun Bulamboko

Obat Berak Darah/Demam
• Daun bulamboko ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu airnya diminum.

Daun Pisik

Obat Kusta
• Daun pisik ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu airnya dicampur dengan bawang merah dan kunyit.
• Lalu diminum.

Daun Urio

Obat Sakit Perut
• Daun urio ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu airnya diminum.

Daun Tambah Kaloko

Obat (gosok) Patah Tulang
• Daun tambah kaloko ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu digosokkan pada luka.

Daun Sambung Ura

Obat Luka (pembuluh darah putus), penawar racun ular berbisa
• Daun sambung ura ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu diteteskan pada luka.

Yang lain
• Daun Rissing-rissing untuk penyakit mata,
• Air Rotan untuk susah buang air besar,
• Jahe untuk sakit gigi
• Daun sirih/daun kopi untuk gatal-gatal (ulat bulu).

Cara mendapatkan semua informasi ini melalui wawancara, wawancara dilakukan kepada salah seorang dukun yang masih ada di Karangan, dan secara acak ke beberapa tokoh masyarakat Karangan, yang dilakukan pada tanggal 30 Agustus s/d 7 September 2006.

Realitas yang terjadi di Karangan adalah bahwa hampir semua daun-daun tersebut tumbuh disekitar kampung (ada beberapa daun yang jarang ditemukan di sekitar kampung).

Tumbuh-tumbuhan / daun-daun (obat tradisional) hampir tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat kampung Karangan, karena mereka saat ini mulai tergantung dengan obat-obatan kimia. Hal ini terlihat pada salah satu masyarakat Kampung Karangan (Ayu, 35 tahun) tidak dapat mengobati sariawan yang diidapnya karena Adem Sari tidak terdapat di kios-kios di Kampung Karangan. Lain halnya lagi pada Ibu Ayu sesekali masih memanfaatkan daun Sepate untuk penyakit demam yang sering diidapnya tapi dia tetap mengkonsumsi Bodrex dan masih menunggu kedatangan dokter dari luar.

Ada kesan yang kami tangkap bahwa buat apa menggunakan tumbuh-tumbuhan tersebut untuk mengobati penyakit kalau ada obat-obatan yang dapat dibeli. Mereka akan kebingungan, kalau pengetahuan akan tumbuhan tumbuhan obat-obatan sudah mereka lupakan dan kalau mereka sudah tergantung dengan obat-obatan dari luar atau dokter. Fasilitas kesehatan tidak ada di Kampung Karangan. Petugas kesehatan yang ditugaskan di Kampung Karangan jarang datang. Fasilitas Kesehatan terdekat ada di pusat Desa Latimojong, Desa Rantelemo, yang berjarak kurang lebih 2 km yang ditempuh kurang lebih 30 menit dengan berjalan kaki.

Informan:
• Indo Ayu, ibu rumah tangga.
• Ambe Wakke, Dukun Kampung Karangan.
• Papa Idha, 36 tahun, peladang, mantan kepala dusun Karangan.
• Juhari 29 Tahun/Sirang 40 Tahun

Tim Observasi Kearifan Lokal Masyarakat Kaki Gunung
Dusun Karangan, Desa Latimojong, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang
UKMPA Edelweis FSUH

Read more...

Pengerajin Rotan Karangan

>> Wednesday, July 18, 2007

Salah satu kearifan masyarakat kampung Karangan adalah memanfaatkan rotan untuk dijadikan peralatan rumah tangga, salah satunya adalah digunakan untuk membuat baka’. Sebagian proses pembuatannya adalah sebagai berikut

Rotan yang diambil dari hutan kemudian direndam di dalam air, agar mudah dilekukkan, selain itu serabut rotan dapat menjadi kuat.

Setelah melalui tahap perendaman, rotan selanjutnya dikeringkan dengan sirkulasi cahaya dan udara yang seimbang.

Rotan-rotan yang telah dikeringkan kemudian dibelah menjadi tipis agar mudah saat dilekukkan. Biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh orang-orang tua sebagai sarana komunikasi antara sanak famili.

Para pengrajin baka’ kemudian menghaluskan rotan dengan menggunakan pisau, semua proses mempersiapkan bahan ini dilakukan dengan menggunakan peralatan yang sangat sederhana.


Setelah rotan dibelah dan dihaluskan, dilanjutkan dengan proses penganyaman rotan yang pembuatannya dimulai dari bagian belakang keranjang.


Dengan senyum yang khas, pengrajin baka’ melakukan aktifitasnya meskipun sesekali diselingi tangisan anaknya.


Bagaimanakah dengan ketersediaan bahan?
Rotan yang disediakan oleh kekayaan alam kampung Karangan telah mengalami kelangkaan, Karena model pemanfaatan hutan masyarakat kampung karangan sekarang telah berubah motif menjadi masalah desakan ekonomi, akibatnya sekitar beberapa hektar hutan diisolasi oleh Dinas Kehutanan dengan alasan merusak vegetasi daerah konservasi.

Bambu adalah bahan alternatif pengganti pasca kelangkaan rotan di Karangan, hal ini membuat masyarakat kampung Karangan berusaha untuk meminimalisasi pemanfaatan hutan secara besar-besaran, dalam artian masyarakat Karangan sepakat untuk membuat aturan secara konvensional tentang pelarangan pengambilan rotan secara besar-besaran guna keperluan industri rumah tangga (home industri).

Read more...

Tradisi Sukku; Kearifan Masyarakat Desa Hutan Karangan

>> Tuesday, July 10, 2007

Oleh:Muh. Imran
NRA E067.02.L.B.82 FS-UH
Lette_KakiE067


Dusun Karangan, 1390 Mdpl, Desa Latimojong, Kecamatan Baraka. Kabupaten Enrekang
Dusun ini berada di Kaki Punggung Pegunungan Latimojong, Pegunungan tertinggi di Sulawesi Selatan, 3478 Mdpl.


Dusun ini dihuni sekitar 50 KK, pada umumnya pola pemukimannya menyatu walaupun ada beberapa rumah yang terpisah jauh dari pusat pemukiman.

Seperti layaknya masyarakat desa hutan, masyarakat karangan masih sangat tergantung pada hasil hutan (Sumber Daya Alam ) sekitar Pegunungan Latimojong. Untuk menopang perkonomian (kopi) atau untuk material pembuatan rumah mereka masih memanfaatkan hasil-hasil hutan berupa rotan atau kayu-kayu besar dan kuat.
Salah satu pemanfaatan hasil hutan yaitu hasil hutan kayu untuk material pembangunan rumah.
Untuk membangun rumah, masyarakat karangan memiliki kearifan tersendiri. Sebelum mengambil kayu di hutan untuk membangun rumah, orang tersebut akan menyelenggarakan acara sukku sebagai rangkaian kegiatan tersebut.



Untuk membangun rumah dibutuhkan :
8 Kubik kayu/1 kubik menjadi 10 batang kayu/tiang
Untuk 1 rumah dibutuhkan 22 batang (rumah ukuran sedang), untuk ukuran rumah besar dibutuhkan kurang lebih 30 batang. Sisa kayu dijadikan balok atau papan.
Jika 1 kubik Rp.60.000 Jadi masyarakat harus membayar Rp.480.000,00 ditambah biaya surat izin Rp.60.000 (Pak Desa) total Rp.540.000,00.
(Papa ida 36 thn, Mantan Kadus Karangan)


Acara Sukku ini dimaksudkan sebagai tanda dan ucapan syukur kepada yang Maha Kuasa pemilik dan pencipta seluruh isi alam sekalian menyediakan makanan bagi seluruh masyarakat yang turut membantu.
Setiap masyarakat yang tua dan yang muda, yang pria dan yang wanita, turut membantu. Pria yang akan menarik kayu dari hutan dan yang wanita menyediakan makanan.



Untuk menuju lokasi, penduduk berkumpul jam 05.00 pagi di tempat yang disepakati sebelumnya. Ada sekitar 60 masyarakat yang membantu.


Perjalanan ditempuh Kurang lebih 2 Jam. Berjalan melewati Kebun kopi, hutan belantara yang beberapa bagian rusak, menyisakan sisa penebangan yang terbengkalai.



Masyarakat karangan banyak menggunakan kayu Uru (Ermerillia Ovalis) untuk tiang rumah, balok ataupun papan.




Mereka juga kadang memanfaatkan Kayu Pohon Surian



Toona Sureni Merr,Famili Meliaceae, banyak tumbuh di seluruh Jawa; Kalsel; Kaltim; Sulut; Sulsel; Maluku; Bali; NTB; NTT; Irian. Tinggi Pohon Surian mencapai 34 m dengan diameter sampai 85 cm dapat dipakai untuk papan. Surian tumbuh pada tanah kering dan tanah lembab yang subur, umumnya di daerah pegunungan pada ketinggian dibawah 1200 Mdpl.


Ironisnya……
Kalau mereka mau menebang pohon ini mereka harus juga mendapatkan surat izin.
Padahal hampir seluruh pohon surian yang tumbuh di sekitar kampung karangan, mereka yang menanam dan merawatnya.
Menurut salah satu sumber kami menyatakan baru sejak setahun ini (2006) peraturan ini berlaku. Peraturan ini sudah menjadi Perda di Kab Enrekang.



Pada setiap ujung kayu dilubangi untuk tempat ikatan tali rotan atau tali nilon yang akan dipakai menarik kayu.




Sebelum kayu ditarik semua berdiskusi mencari dan menentukan pasangan masing-masing.
Setiap kayu ditarik oleh 2 orang di depan dan 2 orang di belakang sebagai pengatur dan penyeimbang. Setiap orang memiliki tali masing-masing.
Untuk memundahkan menarik kayu-kayu tersebut, sudah dibuatkan sebelumnya jalur penarikan berupa batang-batang kayu yang ditancapkan kedalam tanah kemudian dipasangkan dengan kayu bulat secara mendatar. Jalur ini menyerupai rel kereta api.






Semua bergembira sambil menarik kayu. Apalagi di tengah perjalanan kita istirahat sambil disuguhi penganan tradisional khas karangan dengan segelas kopi oleh ibu-ibu dan gadis –gadis kampung karangan.
Setiap orang mendapat segelas kopi dan sebungkus penganan.






Sebelum tiba dikampung semua Istirahat lagi.


Akhirnya tiba juga.
Setelah berjalan kurang lebih 2 setengah jam. Kayu yang ditarik
semuanya 22 Batang.





Setelah istirahat sejenak, semua kemudian menikmati makanan yang disuguhkan oleh masyarakat yang mengadakan acara penarikan kayu.


Seluruh kegiatan diamati langsung dengan terlibat pada semua kegiatan
Muh Imran dan A.Saiful
Foto: Lette_KakiE067


Kegiatan Pendakian dan Observasi Kearifan Lokal Masyarakat Kaki Gunung
Majannang-Karangan
15 Agustus s/d 8 September2006

Unit Kegiatan Mahasiswa Pencinta Alam Edelweis
Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Read more...

07/07/07 dan Pemanasan Global

>> Thursday, July 5, 2007

Sebuah angka yang menarik akan terjadi bulan ini; tersusun dari tanggal, bulan dan tahun yaitu tanggal 7 Juli 2007 yang salah satu cara penulisannya adalah 07/07/07. Cukup menarik karena; paling tidak, angka yang seperti itu baru bisa muncul pada satu tahun, satu bulan dan satu hari lagi kedepan.

Hal lain yang tidak kalah menarik mengenai tanggal tersebut adalah akan dilaksanakannya sebuah konser di Jakarta dengan tema: “Soul For Indonesian Earth, Sayangi Bumi Hari Ini”. Konser tersebut merupakan sebuah konser kepedulian akan terjadinya pemanasan global yang akibatnya mulai dirasakan oleh penghuni bumi.

Kegiatan ini diprakarsai oleh Glenn Fredly dan merangkul banyak artis-artis Indonesia untuk berpartisipasi dalam konser ini. Sebuah kesadaran yang luar biasa; kesadaran untuk turut serta mengampanyekan bahaya yang bisa ditimbulkan oleh pemanasan global, satu hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan dunia keartisan. Tapi toh mereka bisa bersikap dan bertindak untuk melakukan sesuatu (walaupun yang dilakukan tidak berakibat langsung; menghentikan atau mengurangi pemanasan global) dengan cara bernyanyi (karena mereka memang penyanyi; bukan pecinta alam).

Mereka mungkin ingin menyampaikan ke masyarakat bahwa secara tidak langsung, kita semualah yang turut berpartisipasi menjadikan bumi ini “diserang” pemanasan global, terutama membantu memperbesar dampak yang terjadi, berupa banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Karenanya kita semua harus berupaya untuk tidak melakukan hal-hal kecil yang sebenarnya dapat memperbesar dampak yang bisa terjadi akibat adanya pemanasan global, seperti membuang sampah sembarangan, menghabiskan lahan serapan air di pekarangan kita dan lain-lain.

Sebagai artis (public figure) mereka memang punya potensi lebih untuk mengajak masyarakat awam dapat melakukan sesuatu. Walaupun tidak lebih, kita juga punya potensi untuk melakukan sesuatu; karena kita notabene punya identitas sebagai seorang pecinta alam (walaupun banyak juga yang berlindung dibalik kata penikmat alam atau petualang) karena kalau bukan kita, siapa lagi, karena: "...Kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat...." (Gie).

Salut buat Artis Indonesia, hidup Pecinta Alam Indonesia….(E024...)

Read more...

Syair Petaka

>> Wednesday, July 4, 2007

Kau adalah nyanyian rindu malapetaka
Terbuang dari tangisan para malaikat
Terpojok dari mantra pemuja surga

Seperti tak pernah binasa lagumu kau lafalkan
Lantas, sejarak gemuruh air mata ada dalam hitungan matahari
Keringat dan cucuran pekat akan mengalir dari ujung purnama

Seperti tangisan selaksa bayi syairmu membelah sepi

Diam…
Dengar…
Lihat…
IA telah pergi
Lantas…?
Bawa IA kembali!

Karena Batu tempat sembunyi
Bawakan padaku jasad pengembara api, penadah matahari
para kafir mati dan hati para atheis
Sebelum pagi datang dalam elegi
Lantunkan syairmu seirama nadi

Karena cinta kami hanya sependar matahari dan IA belum kembali


Sallo Seppe Maros 20 January 2007
074_Big Foot




Seperti bias matahari
Tertera pada sepi dahan cemara
Jejak ini hilang termakan pagi
Karena lunglai kaki adalah mimpi

Walau hari terukir pada matahari
Senja tak pernah pergi, karena wajahmu menanti pagi

Pun ketika mendung menjelang pagi
Wajahmu penghitung hari-hari

Ingatlah hari ini !
Karena ketika fajar menghampar para petani
Lalu hari membawamu kembali

Basingkaling 23 January 2007
074_Big Foot





Embun adalah nadi yang terbuang pada malam jingga
Berdenyut suram diantara himpitan pinus
Melata pada tanah hampa lantas hilang bersama legamnya bara
Sementara angin membawaku pulang ke pangkuan bunda
Meneteskanku kembali diantara punggung para petualang

Panggil aku srigala tua!
Sebab ketika aku haus embun meneteskan darah dari nadinya lemah
Mengokohkan kembali tiang diantara tulang kakiku
Jalanku adalah onggokan pinus, tuk coba mengais kembali keabadian
Yang pernah…
Sebelum hilang terenggut malam
Pun ketika malam akhirnya tiba embun akan menempel di punggung

Aku berbaring pada beku titik malam antara savanna dan batuan jingga
Kisahku hilang oleh angin kering musim ini
Meski darah tetap tumbuh oleh pisau petani tua
Kakiku adalah jalan bagi srigala tua, meski embun tetap menari
pun angin kering musim ini tak mampu membunuhnya

Karena embun adalah cinta, bagi srigala melata diantara duka pinus tua

Malino 20 January 2007
074_Big Foot

Read more...

Lembah Sepe Dengan Budaya Kesederhanaannya

>> Monday, July 2, 2007

Suara jeram air sungai yang tiada henti terdengar diiringi nyanyian burung dan serangga serta dihiasi rimbunnya pepohonan yang tumbuh damai disebuah lembah yang dihuni oleh manusia-manusia sederhana adalah gambaran perkampungan kecil di lembah gunung Sarigan.

Sepe-Sepe demikianlah penyebutan lembah itu, sebuah lembah perkampungan kecil yang terletak di kaki gunung Sarigan Dusun Tanete Bulu, Desa Bonto Manurung, Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Maros. Lembah Sepe dihuni oleh 8 kepala Keluarga yang memiliki status sebagai suku Makassar. Bahasa sehari-hari yang digunakannya adalah bahasa Makassar, uniknya beberapa warga di lembah ini tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia namun mereka dapat mengetahui makna apa yang telah disampaikan oleh komunikator.

Masyarakat lembah Sepe berpenghasilan utama dengan mengandalkan hasil penjualan gula merah dengan harga Rp 2.500/kg sampai Rp 3.500/kg. Pada setiap kali melakukan penjualan mereka hanya dapat menghasilkan 20 kg sampai 30 kg gula merah. Mereka menjualnya di pasar Bonto Parang yang termasuk dalam wilayah administrasi kabupaten Maros dan Mamampang yang berada di wilayah administrasi kabupaten Gowa dengan harus berjalan kaki menyeberangi sungai dan melewati gunung yang membutuhkan waktu 2 sampai 3 jam. Untuk hasil pertanian mereka gunakan untuk kebutuhan pokok dalam setahun. Kesederhananaan masyarakat lembah ini dapat kita lihat dengan bangunan tempat tinggalnya yang hanya terbuat dari bambu dan tiang-tiang kecil serta ruangannya yang diisi dengan alat masak, persediaan pangan, serta tempat tidur, walaupun dengan penghasilan itu mereka tetap memiliki sikap pemurah terhadap sesama orang-orang Sepe dan orang yang datang dari luar.

Sikap ramah yang dapat dilihat dari warga sepe bukan hanya sesama manusia melainkan juga kepada alam sekitarnya, mereka sangat menghargai alam yang memberikannya sumber kehidupan. Warga Sepe mengambil hasil dari alam hanya untuk pembuatan gula dan kebutuhan tempat tinggal, lahan untuk sawah dan kebun yang mereka garap yang hasilnya hanya cukup digunakan untuk kebutuhan pokoknya.

Dalam lingkungan lembah Sepe, terdapat suatu acara yang disebut dengan Pappoleang Tinannang yang berarti menghargai hasil dari panen tanamannya. Acara ini merupakan bentuk kesyukuran mereka terhadapa apa yang mereka percayai dan sekalian mempererat sikap kerjasama, kebersamaan, dan gotong royong warga lembah Sepe. Acara ini bisanya mereka lakukan sehabis panen padi di waktu bulan Juli, Agustus atau September. Bentuk dari acara ini sangat sederhana, mereka hanya secara bersama-sama menyiapkan sajian kemudian berdoa dan memakannya secara bersama-sama dirumah warga yang dituakan.

Kesederhanaan lain yang dapat dijumpai di lembah Sepe adalah proses pengolahan padi menjadi beras yang masih menggunakan peralatan tradisional. Mereka menggunakan lesung yang terbuat dari kayu serta penumbuk yang dilakukan secara bersama-sama dalam satu keluarga atau keluarga lain yang menerima panggilan. Proses pengolahan ini dilakukan dengan cara menumbuk padi yang ada pada lesung kemudian ditapis tiga sampai empat kali.

Dibalik nuansa kesederhanaan lembah Sepe terdapat suatu hal yang memprihatinkan jika melihat laju perjalanan bangsa kita. Seluruh anak-anak lembah Sepe yang memiliki usia yang sudah seharusnya mengecap pendidikan sekolah dasar tidak mengetahui cara membaca dan menulis, hal ini diakibatkan oleh jarak sekolah yang sulit dijangkau. Sekolah yang terdekat dari kampung ini terletak di ibukota desa yaitu desa Bonto Parang yang harus ditempuh dengan melintasi bukit dan menyeberangi sungai Ballasa yang memiliki lebar kurang lebih 20 meter tanpa menggunakan sarana penyeberangan dengan lama perjalanan 2 sampai 3 jam untuk sampai di tempat tersebut.

Tulisan ini dibuat saat setelah melakukan perjalanan lintas kabupaten dari Malino (Kabupaten Gowa) ke Bissialabboro (Kabupaten Maros) pada tanggal 17 januari sampai 23 januari 2007.


Crew Lintas Malino-Maros
UKMPA Edelweis FSUH

Read more...

  © e-production