jejak anak XIII di tebing kura-kura (sebuah laporan perjalanan)

>> Wednesday, September 26, 2007

Sabtu sore, tatkala mentari mulai condong ke barat beberapa anak manusia yang mengatasnamakan diri sebagai pencari kebebasan tengah sibuk mempersiapkan perjalanan ke bumi Buttasalewangeng, Maros. Anti dan Ria berbelanja di pasar daya sementara persediaan rangsum yang masih kurang di lengkapi oleh kanda Imran di Top Mode. Sedangkan OPF, kanda Dedi tengah sibuk atau hampir tenggelam di tengah peralatan climbing dan camp yang ia kemas ke dalam beberapa carrier. Tak terlupakan saudara kami yang manis, Nena dan para pejantannya anak XIII Petrik dan Chimenk. Kami dilanda kebingungan mengingat perjalanan yang akan di tempuh memerlukan biaya yang cukup banyak sementara kantong para edelweiser tengah berdemonstran dan dilanda badai kekeringan. Hanya satu yang tak terlupakan kami masih memeiliki setumpuk kemauan dan sisa semangat peninggalan pejuang 45. Berbekal keberanian atas segala resiko kami memulai perjalanan yang di tandai doa bersama sekaligus pelepasan di depan FIB- 33 FS-UH. Setumpuk resah di dada berkecamuk rapi meratapi perjalanan yang minus PPAT. Kami teringat sebuah kalimat “ kalau tanpa PPAT apa bedanya kegiatan pecinta alam dengan sekedar wisata?”

Untuk sampai ke tebing kura-kura harus melalui rute Maros, diperkirakan akan menghabiskan banyak uang dengan perincian :

  1. kampus-pintu dua 1.500,-
  2. pintu dua-Sudiang 2.000,-
  3. Sudiang-Maros/ Tebing kura 7.000,-

10. 500,-

Artinya sekali perjalanan menghabiskan dana sebesar 10.500,-/orang dikali 2 untuk biaya pulangnya sehingga berjumlah 21.000,-. Untungnya sebuah ide kreatif menyelesaikan masalah keuangan tersebut. Dengan asumsi kami bernegoisasi dengan sopir pete-pete jurusan Maros sehingga dana bias di press, setiap orang hanya membutuhkan 7.000,- sekali pemberangkatan. Sebisa mungkin kami meminimalisir pengeluaran mengingat dana yang terkumpul sangat terbatas jumlahnya. Hanya bermodalkan 25.000,- untuk transportasi dan rangsum.

Berikut beberapa daftar rangsum yang kami sertakan dalam perjalanan:

  • Beras
  • Minyak goreng
  • Mie instant
  • Biscuit
  • Roti tawar, seres dan mentega
  • Ikan kering
  • Gula, teh, kopi, susu
  • Kerupuk panda
  • Sayur-mayur, bawang.

Adapun perlengkapan yang lainnya: spiritus, tabung, minyak tanah, lilin. Selain yang tidak disebutkan di atas merupakan perlengkapan pribadi.

Suara azan bersenandung merdu ketika kami masih dalam pojokan pete-pete yang sumpeknya minta ampun. Sekitar pukul 19.00 rombongan tiba di tempat tujuan, kampung mata air, atau para edelweiser menyebutnya tebing kura-kura Maros. Dengan naungan cahaya redup kami menelusuri pematang sawah yang menghubungkan perkampungan dengan tebing kura-kura. Sesampainya, para edelweiser segera menaksir lokasi yang starategis untuk camp. Di atas hamparan sebilai tenda diletakkanlah berbagai peralatan mulai dari peralatan masak, climbing sampai urusan pribadi. Di sisi selatan didirikan dua buah tenda dome yang sekiranya mampu menampung para putri edelweis, (cieee dijaga nieh… ya iyalah mpok). Dengan keromantisan alam yang memanjakkan kami bercanda riah disertai pemberian materi tali-temali oleh kanda-kanda yang sudah dijamin kualitasnya. Wasyitt…

Kicau burung disertai semilir angin meramba lembut ke camp. Para edelweiser satu persatu bangkit dari alam mimpinya. Ada yang sholat shubuh, mengambil air, membuat perapian. Oh indahnya pagi ini kawan, kita dipayungi rona kebersamaan untuk mengarungi samudera harapan dan cita-cita yang kelak mengantar kita pada kemenangan. Sepiring roti yang telah diolesi mentega dan seres serta beberapa bungkus biscuit, serta hangatnya secangkir kopi yang membasahi kerongkongan sekaligus penyejuk sukma.

Pukul 08.00, setelah breakfast di bawah komando kanda Indra kami berolahraga, jogging, sekedar persiapan untuk kegiatan climbing nanti. Setelahnya, menelusuri tanjakan kecil menuju tebing. Di sana, tampak kanda Dedi dan beberapa kanda-kanda yang lain tengah mempersiapkan jalur pemanjatan. Sementara telah usai pemasangan kernmantel untuk ascending dan rapelling. Di bagian bawah tebing telah dibentangkan seutas tali tempat menggantung berbagai peralatan dan di bawahnya direntangkan dua buah matras. Sembari menunggu pemasangan kernmantel untuk climbing kembali kami mengkonsentrasikan diri menerima materi tentang penggunaan sekaligus pengenalan alat-alat pemanjatan.

Semangat… semangat para edelweiser. Meskipun ini bukanlah yang pertama kalinya kami melihat segala peralatan ini namun, rasa ingin tahu serta semangat yang terluntai membuat kami senantiasa antusias mencoba dan terus mencoba. Yang pastinya kami bisa… ascending, climbing, rappelling. Meskipun, satu diantara kami harus menitikkan air mata karena kecerobohannya sehingga keliru dalam penggunaan alat. Mungkin juga karena ada ras was-was keburu gak bisa beranjak dari kernmantel.

Menatap tebing yang kukuh itu rasanya tak akan bosan. Pikiran terlampaui pertanyaan yang sekedar berkutat tanpa jawaban. Hanya saja tebing-tebing ini tak pernah menyayangi manusia dengan setulus hati, ia diam, termangu dan rela atas perlakuan apa saja terhadapnya. Sesekalipun ia tak bergeming, terkecuali yang di atas menginginkannya luluh dalam sekejap. Itulah segala rahasia alam yang manusia tak akan mampu menjawabnya, sesekali hanya terbesit penafsiran.

Srek… terhambur bebatuan dari ketinggian tebing. Petrik hampir saja dihempaskan oleh keganasan tebing. Masih disisakan detak jantung yang teramat cepat, Kanda Acha mengalami hal yang serupa pada hari berikutnya. Untungnya, semuanya dapat terkendali dan tebing-tebing itupun masih menaruh sedikit sayang dalam kebisuannya. Para putri edelweis pun tak ingin berdiam diri bersama kegalauan cemas. Ya…kecerobohan dan ketakutan pada alam memang tak dapat dinafikan tapi bernafsir selamanya tak akan ada perubahan. Suasana tegang dan kecemasan terpancar dari aura setiap orang yang menyaksikannya.

Sebenarnya alam ini penuh dengan kedamaian hanya saja terjadinya banjir, gempa bumi, tanah longsor dan sebagainya merupakan perilaku alam untuk menyeimbangkan dirinya dari kejahilan tangan-tangan manusia yang selalu merampas keasrian alam.

Malam senin, atas komando kanda Acha tralala trilili dengan semangat juang 45 kami menelusuri kegelapan malam yang hanya ditemani cahaya senter, melintasi petak-petak sawah yang baru dan masih sementara dipanen. Kirain petak sarung gadjah duduk. Hahaha…

Naik turun bukit, menerjang batang bambu, terkadang harus ngesod disebabkan medan yang sedikit menyombongkan diri untuk dipijak kaki para arwah penasaran pencari kesejatian diri dengan mengembara di alam bebas. Anti, Rea, Nena, Chimenk, ditemani kanda Indra merapatkan pantat di pematang sawah sembari menanti kanda Acha tralala trilili bersama si Petrik mencari dimana alam menyembunyikan goa yang akan kami masuki. Alhasih, tak ada hasilnya. Para caver tak menemukan celah yang akan mengijinkan kami bertemu dengan hawa di dalam goa. Pulang dengan rasa tak puas, ternyata langkah kami dipacu terlalu cepat untuk sampai secepat mungkin dan menyampaikan we didn’t find the cave”.

Keesokan harinya, setelah breakfast kembali kami merajut langkah menuju tempat kediaman si Goa itu. Di bawah komando kanda Imran kembali kami menyusuri jalan semalam yang sebenarnya dah membosankan. Tapi, demi sebuah pengetahuan tak apalah. Alhamdulillah, we get the cave. Ada dua gua yang sempat kami telusri, biasanya penduduk sekitar menyebutnya sebagai gua primitif, entah apa yang menyebabkannya, mungkin saja karena kedua goa itu belum terjajah manusia secara keseluruhan atau bisa jadi dahulu kala goa ini pernah dihuni oleh orang-orang primitif, ini hanyalah pikiran kecil yang mampu kami tumpahkan entah itu benar atau ada yang membenarkannya, kesalahannya adalah kami lupa melakukan observasi tentang latar belakang keberadaan goa tersebut, kami hanya melakukan penelusuran saja.

Kanda Imran memperkenalkan beberapa bagian goa yang sempat dijumpai dalam caving tersebut. Kami sempat melihat beberapa pilar yang besar ataupun kecil, stalactite, stalacmite, curtain, gourdam, couli flower. Semua terkesan indah, terkadang harus merayap, melompat, menunduk bahkan ironisnya seketika itu juga mempraktikkan materi climbing, gimana tidak, salah satu goanya hanya bisa dicapai jika melalui tebing pendek atau alternative lainnya adalah memanjat lewat sebatang pohon bamboo, untuk melewatinya harus ekstra hati-hati. Alhasil kami mencapai goa tersebut sayangnya lorong-lorong yang sempit dan buntu tak mengijinkan kaki dan mata ini menginjak serta menyaksikan keajaiban alam yang tuhan sembunyikan, dan untuk menyaksikan segalanya kita harus berjalan, menelusuri serta mencari tahu, takkan mungkin jika kita hanya memimpikannya dalam pelukan bantal di atas kasur. Tentu kita harus melangkahkan kaki ini.

Kabut yang menari-nari lembut seakan turut mewarnai langkah kami yang penuh dengan segala hasrat untuk menjadi tahu. Di samping itu, sempat kami menyaksikan aktivitas para petani di sawah yang dengan girangnya menuai harapan kelak mampu memenuhi panggilan perut.

Atas arahan kanda Imran, kami berputar-putar tak tentu arah mencari goa yang sudah terlupakan, menerawang kesunyian serta keremangan dalam rawa yang ditumbuhi pohon nifa. Penduduk setempat memfungsikan daunnya untuk pembuatan atap rumah. Akhirnya, dengan pikiran nihil yang memang tak terencanakan, kami kesasar dengan halusinasi mengikuti jejak seorang petualang ulung yang berakhir dengan pembodohan. Sebenarnya, kami tak menyebutnya sebagai pembodohan hanya saja kurangnya sikap tanggap yang membuat kami keliru yang kemudian turut saja tanpa berpikir. Nah… ini adalah sebuah pelajaran untuk perjalanan yang lain. Harus lebih resfek untuk segala kemungkinan.

Dengan wajah memelas kebelet, Petrik berlari dan meninggalkan tim untuk kemudian bisa mencapai tempat pembuangan dimana ia bisa melepaskan hasrat yang tersembunyi. Ironisnya, saking keburu-burunya dia tak take care sehingga menabrak sebatang kawat yang membentang di sekitar pemetak sawah.

Pukul 12.30 berkumpul di camp, setelah membersihkan segala perlatan manjat setelahnya memasak dan dilanjutkan dengan bobo siang-siang(BSS) setelah semua barang di packing kami beristirahat sejenak sambil menikmati peristiwa pembohongan besar-besaran (peramalan yang dilakukan oleh saudara Ria Suryani). Pukul 16.30 kami meninggalkan camp dalam keadaan setelah bersih. Tepat pukul 18.25 tim tiba kembali di markas besar UKM PA EDELWEIS dengan selamat. Sukses untuk para edelweiserku, jaya selalu leontopodistku.


Chimenk…….jalan panjang dan berjurang membuat yang kami tempuh, membuat saya.. tambah percaya diri , dan semangat dalam menapaki hidup ini.thanks bwt edel yang telah mengajariku buaaanyak hal..tiiiiing.


Melalui berbagai kegiatan di lapangan, tentu ada banyak pelajaran serta merta diliputi rasa takut. Dari setiap ketakutan tentu terselip pengharapan yang besar kepada apa yang ada disekitar kami. Entah itu kepada alam ataupun orang-orang yang menyaksikan kami, sebab tak ada orang yang hendak jadi korban yang sia-sia. Semoga kegiatan kedepannya mampu menghasilkan didikan yang siap menemui apa yang ada di depan. Satu hal, kami bukannya manja terhadap tantangan alam, hanya saja kami butuh waktu untuk berkenalan dan mengadaptasikan diri.

Memberi saran sebenarnya terlalu mewah buat kami, sebab menyadarkan diri saja belum usai. Tapi, jika hanya pikiran itu yang membumbung maka, kami tak akan berkembang. Beberapa saran yang mampu terekam dalam keliaran imajinasi kami:

  • Berbagi dengan alam memang terlalu indah tapi, jangan sampai kita terbuai dengan keindahan itu dan lalu tak sadarkan diri;
  • Sebenarnya hakikat kita belum terlampau jelas buat kami sebagai pemula, semoga kita semua bukan sekedar pecinta alam di atas kertas atau sekedar janji atau pengucapan kode etik pecinta alam secara formalitas saja/ pada saat diksar tapi, semoga kita mampu menanamkannya dalam jiwa masing-masing;
  • Kebersamaan, tetap tumbuh dan berakar di antara kita.

Data personil

1. Nama : Firmansyah

Tempat/Tanggal Lahir : Camba, 30 OKTOBER 1986

Alamat :JL.kerukunan timur 16, BTP, H. 568A

Agama : Islam

Jurusan : Sastra Daerah

Golongan Darah : -

Suku/Bangsa : Bugis

Telepon/Hp : 0411-522 3887

Riwayat penyakit : Tipus

2. Nama : Ria Suryani

Tempat/Tanggal Lahir : Polewali, 08 Juli 1988

Alamat : BTP blok H 192

Agama : Islam

Jurusan : Sastra Inggris

Golongan Darah : B

Suku/Bangsa : Bugis-Mandar

Telepon/Hp : 085255429980

Riwayat penyakit : Sakit Kepala

3. Nama Lengkap : Patria Muhammad

Nama Panggilan : Patrik

Tempat / Tgl. Lah :Makassar, 21 September 1988

Agama : Islam

Jurusan : Sastra Daerah

Suku Bangsa : Bugis

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat :Mabes Edelweis FS-UH Tamalanrea

Telepon : (0411444736)

Riwayat Penyakit : Cacar

Hoby :Panjat Tebing, Sepak Bola, Main Musik

Gol. Darah : O

4. Nama Lengkap :Erwanti

Nama Panggilan : Anti

Tempat / Tgl. Lahir : Bone, 10 Juli 1988

Agama : Islam

Jurusan : Sastra Inggris

Suku Bangsa : Bugis

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Sahabat No. 7

Riwayat Penyakit : Cacar dan Asma

Hoby : Berpetualang

Gol. Darah : B

5. Nama Lengkap : Saenab

Nama Panggilan : Nena

Tempat / Tgl. Lahir : Makassar, 28 Februari 1988

Agama : Islam

Jurusan : Sastra Inggris

Suku Bangsa : Makassar

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : BTP. Blok AB/2A

Telepon : (081355844426)

Riwayat Penyakit : Cacar

Hoby : Membaca dan Makan

Gol. Darah : O


s



Read more...

Surv ival, Bertahan Hidup, Proses Adaptasi dan Proses Memanusiakan Diri

>> Monday, September 17, 2007

Kegiatan pendidikan dasar di setiap organisasi pe(n)cinta[1] alam selalu diisi dengan materi survival atau lebih dikenal dengan usaha untuk bertahan hidup di alam bebas. Kegiatan alam terbuka yang aktifitasnya lebih banyak di alam terbuka, yang bebas dan liar lebih banyak memungkinkan terjadinya bencana, kecelakaan, atau musibah yang menimpa kita. Jadi kegiatan alam terbuka adalah kegiatan yang sangat dekat dengan bahaya. Kita harus mengetahui bahwa ketika kita sudah berniat mendaki gunung, memanjat tebing, menelusuri gua, menyusuri sungai pada dasarnya kita secara sadar telah mendekatkan diri kita pada bahaya. Bahaya setiap saat mengancam. Binatang buas sewaktu-waktu dapat mencelakai kita misalnya ular yang yang menggigit, babi hutan. Banjir bandang, angin kencang, suhu yang rendah setiap saat dapat terjadi. Menurut klasifikasi bahaya, bahaya ini termasuk dalam bahaya yang datangnya dari luar diri atau bahaya obyektif. Ada juga yang dinamakan bahaya subyektif, yaitu bahaya yang datangnya dari dalam diri kita. Bahaya ini datang dari dalam diri penggiat alam terbuka. Tidak memiliki pengetahuan kegiatan alam terbuka, tidak memiliki informasi tentang daerah yang akan didatangi, kondisi badan yang tidak fit, tidak memiliki stamina, kehilangan percaya diri, kehilangan semangat, putus asa, tidak memiliki kemauan, tidak saling mempercayai antar anggota tim merupakan bahaya yang setiap saat dapat muncul dari dalam diri kita. Karena bahaya ini datang dari dalam diri kita jadi sedikit banyak dapat kita hindari. Berbeda dengan bahaya obyektif yang berada di luar diri kita jadi semakin sulit untuk dihilangkan, kita hanya bisa menghindarinya atau mengurangi resiko yang ditimbulkan.

Lantas pertanyaannya sekarang, mengapa kita harus bertahan hidup?
Dalam kamus bahasa Inggris survive diartikan dengan menyelamatkan nyawa, atau hidup terus sedangkan survival diartikan dengan kelangsungan hidup. Dalam kegiatan alam terbuka, survival diartikan dengan seni atau usaha untuk bertahan hidup di alam bebas. Jadi dapat diartikan survival adalah usaha untuk mempertahankan diri dari segala bahaya yang mengancam diri untuk tetap hidup. Survival bukan sekedar mengatur masalah makanan, atau hanya pengetahuan bagaimana memanfaatkan segala hal yang tumbuh atau hidup bisa dimanfaatkan sebagai penghilang rasa haus dan lapar. Survival lebih dari itu.

Kalau kita analisa secara lebih mendalam, survival dapat kita artikan sama dengan proses adaptasi. Dalam kamus bahasa Indonesia adaptasi diartikan dengan proses menyesuaikan diri. Ketika kita menghadapi bahaya, atau masalah berarti tercipta sebuah lingkungan, sebuah keadaan atau kondisi baru yang kemudian mengharuskan kita mencari solusi sebagai penyelesaian masalah yang kita hadapi agar tercipta kesesuaian diri kita terhadap lingkungan atau keadaan baru tersebut. Dalam menjalani hidup bahaya atau masalah adalah sebuah keniscayaan. Bahaya dan masalah akan selalu datang kepada segala sesuatu yang hidup atau berada di muka bumi ini termasuk binatang. Jadi karena masalah akan selalu ada, kita harus terus bisa menyesuaikan diri dengan masalah tersebut. Binatang di belahan kutub bumi memanjangkan bulunya untuk mengurangi rasa dingin yang menyerang tubuhnya, belalang hijau yang hidup di rumput yang hijau menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut, binatang di dalam gua menyesuaikan diri dengan memanjangkan sensor tubuhnya di tempat yang gelap untuk menghindarkan bahaya terhadap dirinya, kaktus yang menyesuaikan dirinya dengan lingkungan padang pasir yang kurang air, begitupun dengan unta yang menyiapkan dirinya dengan kantong air untuk menemani perjalanan kapilah di padang pasir, tak terkecuali dengan kita. Coba pikir pada waktu kita tiba-tiba masuk ke ruangan yang gelap. Mata kita dengan korneanya akan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan yang cahayanya sedikit. Kornea mata akan berusaha melebar untuk meraup cahaya yang sedikit, gelap. Kemudian ketika kita masuk lagi ke tempat terang, penglihatan kita akan berbayang. Itu merupakan usaha mata menyesuaikan diri. Dalam beberapa saat kemudian kornea mata kita sesuai lagi dengan lingkungan dengan cahaya yang banyak. Demkianlah survival merupakan proses adaptasi, proses menyesuaikan diri dengan kondisi atau lingkungan yang baru.

Survival dan proses memanusiakan diri
Setiap yang berada di muka bumi ini akan terus bertahan, mempertahankan hidup dengan menyesuaikan diri dengan lingkungan dirinya berada. Binatang akan terus beradaptasi dengan lingkungan dia berada, kondisai yang panas, dingin, binatang lain yang akan mengganggu eksistensinya. Manusia akan terus menyesuaikan dirinya dengan segala kondisi yang dihadapinya. Pada saat usaha bertahan hidup tersebut berlangsung adalah proses menggunakan akal dan fikiran. Proses berfikir berlangsung.

Sementara kita, manusia berada di muka bumi ini dirahmati dengan akal dan fikiran. Begitupun juga dengan binatang. Kemudian pada dasarnya kita sama dengan binatang. Manusia adalah binatang yang berfikir. Hanya proses berfikirnya berbeda. Pada binatang proses berfikir tersebut tidak berkembang. Binatang tidak memiliki daya imaginasi. Binatang tidak memiliki proses berfikir yang jauh kedepan, visi. Binayang hanya memiliki insting, berfikir sekarang. Coba kita lihat sarang burung dari dulu hingga hari ini begitu-begitu saja. Beda dengan manusia yang menciptakan rumah terus menyesuaikan dengan kondisi. Kalau dulu manusia hidup berpindah-pindah lalu tinggal di gua, kemudian berusaha menciptakan rumah yang tahan lama, dari bahan-bahan asli dari alam, sekarang kita bisa menikmati rumah yang berbahan semen, tahan gempa, bertingkat. Begitulah proses berfikir binatang dan manusia berbeda.

Pada kegiatan alam terbuka, kita diajarkan untuk terus berfikir. Menggunakan metode perencanaan untuk mampu bertahan hidup di alam bebas. Itulah Persiapan perjalanan alam terbuka. Kegiatan perjalan alam terbuka yang diawali dengan memikirkan segala hal menyangkut perjalanan kita. Mulai dari apa yang akan kita laksanakan, tujuan perjalanan kita, dengan dan kapan kita akan melakukan perjalanan, perlengkapan hingga logistik. Tidak sampai di situ. Di alam terbuka, proses berfikir itu akan terus berlangsung, membaca tanda-tanda alam, merenungi kejadian-kejadian alam yang kosmis, memikirkan solusi ketika kita menghadapi aral dan kehilangan orientasi. Setelah kembali dari perjalanan kemudian mengevaluasi dan membuat laporan, merefleksikan kegiatan perjalanan, manfaat apa yang telah kita dapat selama perjalanan tersebut. Itu semua adalah proses berfikir. Semua hal yang kita lakukan dalam kegiatan alam terbuka adalah proses mempertahankan hidup kita, mempersiapkan perjalanan alam terbuka, menggunakan pengetahuan navigasi darat, menggunakan pengetahuan panjat tebing, begitu juga pembuatan hasil perjalanan. Jadi semestinya, kita, Penggiat Alam Terbuka, atau kita yang telah menempelkan identitas pecinta alam pada diri kita, banyak berkegiatan di alam terbuka, kondisi yang banyak menyediakan hal-hal, keadaan, peristiwa-peristiwa yang menuntut kita untuk terus berfikir, memikirkan segala hal yang terjadi di sekitar kita. Bisa dikatakan bahwa kita telah banyak bersimulasi di alam. Mungkin alasan inilah yang dipakai oleh Event Organiser untuk melaksanakan kegiatan Outbound, yang beberapa tahun belakang ini diminati banyak perusahaan untuk usaha pengembangan sumber daya karyawannya.

Proses bertahan hidup yang berusaha menyesuaikan diri dengan menggunakan akal adalah proses yang tak akan berhenti untuk menjadi manusia yang sesungguhnya manusia. Dengan terus menggunakan akal dan fikiran kita akan menjadikan kita sejatinya manusia yang membedakan kita dengan binatang. Lebih jauh lagi kita telah masuk dalam lingkaran rahmat sang penguasa alam yang maha besar, yang mensyukuri rahmat akal yang telah diberikan kepada kita. Pada tahap inilah dengan terus berfikir posisi kita akan ditinggikan dari posisi makhluk hidup lainnya di muka bumi ini. sekali lagi, survival adalah berfikir tentang segala hal yang ada dalam diri kita dan di luar diri kita, sesuatu yang ada dalam jagad raya. Proses berfikir yang memanusiakan diri kita sebagai manusia.


old_backpackerE067
Penggiat Alam Terbuka yang tergabung dalam
UKM. PA. Edelweis FS-UH

Bila engkau tidak dapat menjadi beringin yang tegak diatas puncak bukit,
maka jadilah saja rumput, tetapi rumput yang tumbuh memperkuat tanggul.
Bila engkau tidak bisa menjadi jalan besar,
maka jadilah saja jalan setapak, tetapi jalan setapak yang menuju ke mata air.
Tidak semuanya dapat menjadi nahkoda, tentu harus ada kelasi.
Sebaik-baiknya engkau adalah menjadi dirimu sendiri. PENGEMBARA
Jadilah manfaat bagi sekitarmu…..
Muh imran
NRA. E067.02.L.A.82. FS-UH


[1] . Penggunaan istilah Pencinta dan atau Pecinta sangat beragam dalam dunia kepe(n)cintalaman. Dalam ilmu bahasa kata benda yang berawalan (pe) dan (pen) dibedakan maknanya.

Read more...

…….Titik-titik…….

>> Thursday, September 6, 2007


Entah mengapa langkah kaki begitu berat beranjak, otak pun semakin terasa bertambah volumenya. Padahal tak ada hal yang patut memberatkan, semestinya. Sebuah pilihan yang nantinya akan menjadikan ku sebagai diriku, akan memperlihatkan ke-aku-an ku. Itu yang aku tahu. Ya, sebuah pilihan bahwa akhirnya aku memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk memilih pilihannya sendiri, edelweis.

Banyak hal yang mereka taktahu dari aku, edelweis, kami, dan dari apa yang ku harapkan. Orang tua yang takkan bisa rela jika buah hati mereka sengaja menghilangkan diri dalam pengembaraan yang tak jelas menurut mereka. Ade’ku tersayang dengan candaannya, padahal lebih tepat disebut harapannya, juga tak ingin melihat kakaknya yang lebih dulu manis kelak menandingi kelakiannya, itupun menurut dia. Kak Arni, penyumbang ilmu terlimpah bagiku di kampus selama ini, yang dengan tegas akan mengatakan ‘tidak’ untuk itu, meski dia belum tahu atau mungkin masih menunggu sampai aku memberitahu. Teman-teman komuna mungilku, meski tak mengatakan langsung ‘tidak’ untuk itu pula, namun perubahan kalian memaksaku mengaca bahwa kalian memanggilku untuk tetap bersama. Aku sama sekali tak berkeinginan meninggalkan kalian tapi beri aku kepercayaan untuk bisa merangkak dan berdiri sendiri tanpa berpasrah pada kalian, bukan lepas.

Ketika mereka yang berlainan saat ini di dekatku, bersama masih dalam ruang waktu yang tak cukup lama, tapi itulah ruang masa pagi ini. Kepanikan masih belum redam juga tapi kami lanjut bersama menyusuri jalan yang entah kapan kelak masih akan kami lewati bersama tawa atau tidak. Carrier seberat 60 liter yang untuk pertama kalinya menggantung dipunggung membuatku sedikit bersombong diri yang tak penting pastinya bagi banyak orang, kayak anak kecil, tapi itukan aku. Awal pemberangkatan perjalanan kedua ku bersama kalian yang kami sebutnya diksar ppab, membuatku berargumen sesaat setelah berada di dalam kendaraan kami kala itu. Kami memang lumayan tidak kompak tapi yang aku rasa justru disitulah kebersamaan aku dan kalian. Setelah menginjakkan kaki di daerah Majanang, angkah kaki lalu berjalan menuju tempat dimana malam akan terhabiskan disana, sebuah bukit di kelurahan Bonto Lerung.

Kamis pagi tatkala mata ini masih enggan membuka padahal hujan deras dan angin malam semalaman mengilukan tulang-tulang dan tak membiarkan tubuh beristirahat tenang. Hampir saja terlupakan satu hal yang harus aku lakukan fajar itu. Sedari malam kepenasaranku tertimbun tuk melihat jelas keadaan sekitar yang tertutupi gelap malam dan aku yakin mengagumkan. Saat terjaga pun tiba, benar adanya, SUBHANALLAH, betapa beruntungnya diri ini jika saja jiwaku tak terbangun untuk melangkah ke tempat ini maka bertambah lagi anugerah dan rahmat-NYA yang tak sempat aku nikmati dan syukuri. Hijau yang tak lagi kudapati di riak metropolisku, bukit berembun dan kabut lembut, titik dimana kupijakkan kaki sambil merangkul tubuhku sendiri dengan erat, takkan kudapati moment itu, sekali lagi di metropolisku. Selamat pagi bukit hijau-MU, selamat pagi terjunan air gunung-MU, selamat pagi keMahaBesaranMU.

Dan perjalanan tetap berlanjut, masih jauh di depan pun aku tak mampu membayangkan apa saja yang akan tertemui di sana. Lambat laun aku merasa sedikit terkecilkan diantara mereka, temanku saudaraku. Mereka terlalu kelakian untuk menganggapku manja dan lemah terlebih ketika menyusuri jalan setan yang hampir tak berujung, tapi itu masih mungkin atau bahkan aku yang terlalu merasa. Tak tahu kenapa kantung di mata terasa berat dan tak tertahan lagi untuk membanjir mengalir, berat memang, tapi itulah pilihan yang tak ada kata menyesal kecuali semangat!!!!! Setapak demi setapak berhasil juga terlewati, sesekali aku menyempatkan mata memandangi permadani hijau di bawah ku, untuk membuang lelah setidaknya.

Lelah, lapar, dongkol, ngantuk, mulut yang tak hentinya mengumpat setelah melalui berbagai moment yang dengan sendirinya memperlihatkan dark side dari ke-aku-anku pun mereka yang turut ada di dekatku selama perjalanan panjang ini. Sampai aku benar – benar lumpuh dan tak mampu menahan derasan airmataku, ya…aku t’lah kalah oleh kelemahan dan keegoanku sendiri hingga mereka kembali memapahku, menenangkanku sebelum aku menghentikan langkah perjalananku. Pinus yang terlanjur meninggi pun merunduk menyegarkan dan menyemangatiku dengan lambaian ranting dan dedaunnya. Selanjutnya, titik akhir namun bukan yang terakhir, dia sendiri yang menjemputku, ya…anggota muda-ku akhiarnya tersemat juga didiriku meski kala itu tulang-tulang terasa ngilu dan membuatku lumpuh seketika karena begitu menusukknya dingin malam itu. Namun itulah bunga dari sebuah perjuangan, perjuangan yang telah ku yakini tak akan sia-sia, bersama keenam dari mereka, teman saudaraku.

Fajar masih setia, terima kasih, untuk awal yang baru, untuk semangat yang berbeda, untuk mimpi yang semakin berwarna, untuk mereka yang berlainan tapi masih sama, dan untuk doa yang bertambah…

Komuna Mungilku di Edelweis, aku lebih suka menyebutnya demikian, mungil tapi akan selalu abadi, dbanding besar tapi akhirnya tak bernyawa.

Semoga masih banyak waktu ‘berbicara’ di atas kertas putih ini untuk segenggam cita-cita dan untuk sedetik kebersamaan yang jangan terlewatkan begitu saja.

17 Juni 2007, Ahad…re

Ria Edel

Read more...

Carpe Diem

>> Thursday, August 16, 2007


Senja menepis kelelahanku kupandangi langit yang membiru seakan tergambar lautan luas di atas sana, ingin sekali rasanya aku berada diantara sejuta kedamaiannya. Sungguh.

Kurebahkan badanku yang masih merangkul carrier, rasa letih menguasaiku. Hanya hembusan halus angin yang sedikit membelai keringat yang masih bercucuran. Aku terkagum melihat hamparan alam yang membentang tanpa batas dihadapanku, aliran Sungai Jene berang yang memisahkan tempatku berdiri dengan sisi sebelah yang akan dibangun sebuah bendungan. Semua tampak bersahabat, terkecuali gemuruh air yang berlomba-lomba menapaki bebatuan besar di sungai.

Berselang beberapa menit kemudian kupaksakan sisa tenagaku membantu Petrick dan Nena mendirikan sebuah bivak yang nantinya mampu menahan rintikan hujan yang mungkin saja dengan nakalnya mengganggu peristirahatan kami. Benar, dugaanku benar hujan malam itu mengintai kami dalam lelapnya malam, membasahi sleping bag dan matras kami. Malam yang menyedihkan, semua nampak berlalu begitu saja ketika kutatap bintang yang bertaburan seakan tak pernah terjadi apa-apa. Kupikirkan panjangnya perjalanan dari sini, Takapala, menuju ke Lembah Ramma, warga sekitar menyebutnya sebagai Panaikang, benar semua tak salah, medan yang kami tempuh sejak meninggalkan camp pertama semakin menanjak, tak ada bonus (penurunan atau jalanan datar). Tetesan air yang jatuh begitu saja menemani sepanjang perjalanan kami ditambah lagi rasa dingin yang mengutuk tulang serasa membeku.

Kulihat hamparan sawah yang menghijau ditata dengan sistem teras sering, gunung yang menjulang tinggi seakan menjanjikan ketenangan, lembah yang curam dan landai ataupun terjal, air terjun yang membela hutan serta merta hutan pinus yang berjajar rapi menyambut siapa saja yang melewati daerah itu. Semuanya tampak indah, seolah tak ada celah keburukan. Sekali lagi aku terkagum memujiNYA.

Ada kedamaian hangat menyelimuti perasaanku berada diantara keajaiban alam yang sungguh menakjubkan, rasanya ingin aku tertidur dalam dekapannya sejenak menikmati ketenangan yang tiada tara. Sesekali kami plotting menentukan jalur mana yang akan ditempuh, berada pada ketinggian berapa tempat ini, atau hanya sekedar menguji keahlian navigasi darat.

Rintikan hujan, mentari yang malas muncul, awan tebal serta rasa capek menjadi satu adonan yang terbungkus rapi dalam jiwa kami dengan beralas harap kelak kami sampai cepat dan mengisi perut yang sudah keroncongan.

Semenjak kami menjalani tahap survive, begitu banyak pelajaran, ada satu kata dari ka Uche “ pantes kalian lapar sebab jalan hanya pakai fisik tanpa menggunakan hati kalian” mengena banget. Mungkin tepat apa yang dikatakannya, kami hanya mengunakan fisik semata, pikiran tapi jarang sekali menggunakan hatinya, ini salah satu faktor yang selalu menciptakan keserakahan, hanya nafsu belaka.

Pada tanggal 7 Juni 2007 kami tiba di Lembah Ramma, sebuah lembah yang berada di kaki Gunung Bawakaraeng, dikelilingi gunung yang menjulang tinggi, diapit oleh aliran sungai Jene berang yang konon merupakan sumber air minum masyarakat di Kabupaten Gowa dan Makassar beserta kota sekitarnya. Menakjubkan, kami mampu melihat sumber air itu yang menghidupi berjuta jiwa di sepanjang kota. Ditengah Lembah Ramma terdapat aliran sungai kecil dipadu bebatuan yang menambah panorama keindahannya, airnya sangat dingin, jernih dan akan sangat sulit untuk disentuh pada pagi hari. Sebuah jembatan menghubungkan tempat camp kami dengan sebuah rumah penduduk yang memang merupakan satu-satunya rumah dan penduduk di lembah tersebut. Tata Madong, demikian sapaan akrabnya. Ia survive di tengah kesunyian tanpa istri pula tanpa anak, hanya para pendakilah yang menjadi teman ngobrolnya ketika ada yang singgah mendirikan camp di sana.

Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan ke Lembana, menempuh medan yang bervariasi, ada sungai, bukit, penurunan dan sesekali penanjakan tajam. Sejenak kami singgah menyaksikan lekuk tubuh alam yang telanjang di Bukit Tallung, semua nampak jelas hanya saja Gunung Bawakaraeng seakan sombong, tak menampakkan wajahnya, ia tertutup kabut, kami hanya melihat sisa longsoran yang masih segar. Begitu banyak aliran air yang membela pegunungan, semua indah dan sempat terekam dalam memoriku, sebuah perjalanan yang rekreatif namun ilmiah.

Rain coat sesekalipun tak pernah lepas menghangati tubuh kami, memasuki lahan pinus di dekat perkampungan Lembana suhu terasa semakin menggingit apalagi diiringi rintihan hujan. Setiap langkah yang kupijakkan serasa tak sia-sia, aku menyaksikan sejuta misteri alam yang dengan nakalnya membuatku terkagum berat. Tawa renyah kami sesekali menyelinap diantara sejuta langkah yang penuh dengan cita-cita, impian dan harapan.

Jelasnya, aku tak pernah menyesali perjalanan ini. Kebersamaan, rasa saling memiliki, cinta dan kasih sayang tak pernah kosong dari jiwa yang penuh dengan semangat untuk menapaki apa saja yang kami impikan. Alam mengajari kami, menghibur dengan gemercik air di tengah malam yang begitu jelas pula bisikan malam dalam dinginnya angin. Ingin rasanya kupeluk erat-erat kawanku, merangkulnya, jalan beriringan, menjaga alam yang tuhan titipkan kepada manusia, bukan untuk dikhianati atau sekedar disakiti tapi, menjaga dan mencintainya lebih dekat.

Kubisikkan pada alam ”aku bersamamu dalam pijakan yang baik”. Aku selalu berangan andai manusia mampu mencintai alamnya seperti mereka mencintai kekasihnya, suaminya atau mungkin mencintai selingkuhannya maka yakin saja alam tak akan tertidur dalam bencana.

Aku letih jika memikirknnya dalam kesendirian, aku, kita, dan kalian akan lebih berarti jika mampu berbuat demi alam ini mulailah dari pribadi sendiri. Rebut harimu kawan!!!!

Created by
Pannawanawa_10007_wija to luwu

Read more...

Riwayat Daun Kering

>> Tuesday, August 7, 2007

Siapa peduli daun-daun kering yang sudah seminggu lebih
Jatuh di halaman sebuah gubuk tua
Daun itu mungkin hanya akan tinggal dan akan tinggal dan tetap di sana
Mengering dan menghilang
Angin datang hanya memindahkannya dari balik batu yang satu ke balik batu yang lainnya sampai terhalang untuk melangkah jauh oleh pagar bambu yang sudah tidak kokoh

Daun kering sudah tak berarti, mereka hanya bisa cemburu
Melihat kuncupnya daun-daun muda yang nampak segar merekah
Daun kering menjadi semakin tua
Cacing-cacing telah menunggu bilamana sang daun telah membusuk
Daun kering masih diombang ambing oleh angin sambil tetap melototkan mata tak terpejamnya ke daun daun kering lainnya yang satu persatu menyusulnya
Daun kering tersenyum lirih ketika daun-daun hijau jatuh tepat di atas tubuhnya yang memang telah rapuh
Sambil memperbaiki tubuhnya yang koyak, sang daun kering tiba-tiba terbang terbawa angin yang cuma sepoi meninggalkan sang daun kuning dan daun hijau yang masih cukup berat melawan angin yang menjadi sahabatnya ketika masih melekat kuat di ranting

Daun kering kembali mendarat di tempat lain tapi masih pada halaman yang sama
Daun kering ingin berteriak kesal segera setelah sang angin menghempaskannya lalu pergi
Tapi matanya tertuju pada sosok menakutkan seikat sapu lidi yang tersandar di pintu gubuk
Daun kering pun menutup mulutnya sendiri, sembari daun lain menaikkan telunjuknya di depan mulutnya sssttt….!
Daun kering menundukkan kepalanya sembunyi ketakutan pada sebatang rumput yang tidak lebih tinggi darinya sambil melirik kecil memperhatikan kalau-kalau sang sapu bangun dari tidurnya
Sang Daun kering selalu mengawasi sang Sapu bukan dari sejak berganti status menjadi daun kering
Namun sejak kuncup menjadi daun muda sosok mengerikan itu sudah bersandar di dinding gubuk itu

Ketika itu, dongeng yang selalu didengungkan sebelum tidur adalah dongeng tentang sapu lidi yang menakutkan mirip dongeng anak anak yang berkisah tentang nenek sihir yang siap menelan hidup-hidup siapa yang nakal
Daun kering muda kerap menyanggah si pendongeng kalau-kalau yang diceritakan bukanlah sebuah dongeng tapi sebuah hal yang nyata
Sang daun sering melihat sang Sapu menyeret daun daun kering pendahulunya kemudian mengangkutnya dengan sebuah tempat yang terbuat dari anyaman bambu
Sang Daun masih ingin melihat daun-daun itu mau diangkut kemana
Namun sudah hilang dibalik atap jerami gubuk tua

Yang jelas beberapa saat setelah menghilang, kepulan asap membubung tinggi
Sang Daun heran, saat itu tak ada angin, mengapa daun daun itu bisa terbang bersama asap asap itu
Mengapa tubuhnya tercabik-cabik?
Mengapa tubuhnya menjadi hitam?

Daun kering masih bersembunyi di belakang rumput
Suasana hening
Tak ada angin walaupun sepoi
Tak ada daun baru menyusul jatuh
Tak ada suara dari dalam gubuk
Tak ada derap suara jepit yang datang bersama roda bergerobak yang datang menggilas yang tak beruntung
Tak ada mata yang tidak tertuju pada sapu

Hening…..
Daun kering sudah merasa matanya sudah lelah menatap di balik rumput dengan pandangan satu arah yaitu masih kepada pintu yang dimana tersandar seikat sapu lidi yang sudah mulai memendek dan menghitam namun tetap tegar dan mengerikan

Sang daun kering pikir sudah cukup terus berdiri mengawasi
Lagi pula pasti daun-daun lain akan bertreriak apabila ada gerakan yang tak diinginkan dari sapu yang sudah ada sebelum dia lahir
Daun kering mulai membersihkan tanah tepat di bawah rumput dari serangga yang bisa merusak lekuk tubuhnya
Daun keringpun duduk beristirahat sejenak menikmati suasana hening yang dipikirnya tak akan lama

Baru saja sang daun kering ingin menyandarkan kepalanya, sesosok benda hitam yang semakin lama semakain besar datang tepat ke arahnya
Daun kering panik
Benda itu semakin dekat..........dekat.......dekat…dekat .dan..!!!
Daun kering terbang tapi kali ini bukan oleh angin bukan pula oleh asap
Tapi daun kering dijepit oleh paruh seekor burung pipit
Daun kering berteriak entah sedih karena harus berpisah dengan kawan-kawannya ataupun mungkin kegirangan karena akan jauh dari momok sang sapu
Daun kering dibawa ke atas pohon namun pohon yang ada di halaman rumah sebelah
Di atas sebuah ranting yang kokoh, ditumpuk bersama daun daun yang berbentuk lain, ada juga yang menyerupai rumput yang baru saja dia pakai untuk sembunyi
Daun kering disusun rapi hingga angina tak mampu lagi membawanya terombang-ambing tanpa arah
Seberapa waktu daun kering merasa senang
Tidak lagi ada angin
Tidak lagi ada sapu
Namun lama daun kering bosan
Sekujur tubuhnya kaku tak pernah bergerak
Lama sekali daun kering disitu
Mengharap datangnya sesuatu yang bisa menolongnya
Meskipun itu angin
Meskipun itu asap
Bahkan meskipun itu sapu

Namun tidak ada yang datang
Daun kering masih tersusun rapi meskipun sang burung telah mengerami telurnya dan pergi bersama anak-anaknya

Di ranting itu daun kering memastikan mengakhiri riwayatnya setelah menunggu lama
Tubuhnya terkikis sedikit demi sedikit oleh panas dan oleh hujan
Daun kering tak mampu menyatukan tubuhnya, walaupun disapu tak akan mengumpulkan semuanya yang sudah tercabik kecil-kecil
Cacing-cacing datang seiring datangnya hujan memastikan bahwa riwayat daun kering betul-betul telah berakhir.


1 Februari 2007
Or@ngHut@nE.078

Read more...

Elegi Pencari Kesunyian

>> Wednesday, August 1, 2007

Hari itu kau tampak seperti pelangi
Tulus menyelimuti sungai yang sedang melantunkan elegi
Kemudian tetesan itu terbersik diantara daun cemara
Meski perlahan tetapi melantunkan segala yang abadi

Akankah ada titipan kedamaian untuk kami
Para pencari kesunyian ditengah kemunafikan
Adakah kau menganggap kami Mahkluk Tuhan
Bahkan untuk perjuangan mewujudkan keabadian

Segala yang tersisa adalah harapan untuk dipertaruhkan
Bahkan untuk mutiara yang ditiarakan Agung
Karena hasrat untuk merobek segala fatamorgana
Kami menantimu....
Menanti keabadian yang hampir menjadi sampah.


MM.20_01’07.pRkCL
RumahAbadi

Read more...

Tumbuhan Hutan untuk Obat

>> Monday, July 23, 2007

Salah satu kearifan masyarakat di Kampung Karangan adalah dengan memanfaatkan daun-daun tumbuhan hutan untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu. Daun-daun apa saja yang di manfaatkan adalah sebagai berikut:

Daun Sepate

Obat Penyakit Malaria dan Demam
• Daun sepate direbus dengan air sebanyak 2 gelas.
• Hingga mendidih
• Kemudian Air rebusan tersebut dibersihkan dari daun sepate.
• Lalu diminum.

Daun Siarah

Obat Sakit Kepala
• Daun siarah diremas-remas hingga berair.
• Kemudian airnya diminum.

Daun Dale-dale

Luka berdarah
• Daun dale-dalle dikunyah-kunyah/ditumbuk.
• Kemudian daun yang hancur tersebut ditempelkan pada bagian yang luka.

Daun Ulu-ulu

Obat Sakit Kepala
• Daun ulu-ulu ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu airnya diminum.

Daun Kopi

Obat Maag
• Daun kopi ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu airnya diminum.

Daun Kasa-kasa

Obat Batuk/Sakit Kepala/Demam
• Daun kasa-kasa ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu airnya diminum.

Daun Bulamboko

Obat Berak Darah/Demam
• Daun bulamboko ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu airnya diminum.

Daun Pisik

Obat Kusta
• Daun pisik ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu airnya dicampur dengan bawang merah dan kunyit.
• Lalu diminum.

Daun Urio

Obat Sakit Perut
• Daun urio ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu airnya diminum.

Daun Tambah Kaloko

Obat (gosok) Patah Tulang
• Daun tambah kaloko ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu digosokkan pada luka.

Daun Sambung Ura

Obat Luka (pembuluh darah putus), penawar racun ular berbisa
• Daun sambung ura ditumbuk/diremas-remas hingga berair.
• Lalu diteteskan pada luka.

Yang lain
• Daun Rissing-rissing untuk penyakit mata,
• Air Rotan untuk susah buang air besar,
• Jahe untuk sakit gigi
• Daun sirih/daun kopi untuk gatal-gatal (ulat bulu).

Cara mendapatkan semua informasi ini melalui wawancara, wawancara dilakukan kepada salah seorang dukun yang masih ada di Karangan, dan secara acak ke beberapa tokoh masyarakat Karangan, yang dilakukan pada tanggal 30 Agustus s/d 7 September 2006.

Realitas yang terjadi di Karangan adalah bahwa hampir semua daun-daun tersebut tumbuh disekitar kampung (ada beberapa daun yang jarang ditemukan di sekitar kampung).

Tumbuh-tumbuhan / daun-daun (obat tradisional) hampir tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat kampung Karangan, karena mereka saat ini mulai tergantung dengan obat-obatan kimia. Hal ini terlihat pada salah satu masyarakat Kampung Karangan (Ayu, 35 tahun) tidak dapat mengobati sariawan yang diidapnya karena Adem Sari tidak terdapat di kios-kios di Kampung Karangan. Lain halnya lagi pada Ibu Ayu sesekali masih memanfaatkan daun Sepate untuk penyakit demam yang sering diidapnya tapi dia tetap mengkonsumsi Bodrex dan masih menunggu kedatangan dokter dari luar.

Ada kesan yang kami tangkap bahwa buat apa menggunakan tumbuh-tumbuhan tersebut untuk mengobati penyakit kalau ada obat-obatan yang dapat dibeli. Mereka akan kebingungan, kalau pengetahuan akan tumbuhan tumbuhan obat-obatan sudah mereka lupakan dan kalau mereka sudah tergantung dengan obat-obatan dari luar atau dokter. Fasilitas kesehatan tidak ada di Kampung Karangan. Petugas kesehatan yang ditugaskan di Kampung Karangan jarang datang. Fasilitas Kesehatan terdekat ada di pusat Desa Latimojong, Desa Rantelemo, yang berjarak kurang lebih 2 km yang ditempuh kurang lebih 30 menit dengan berjalan kaki.

Informan:
• Indo Ayu, ibu rumah tangga.
• Ambe Wakke, Dukun Kampung Karangan.
• Papa Idha, 36 tahun, peladang, mantan kepala dusun Karangan.
• Juhari 29 Tahun/Sirang 40 Tahun

Tim Observasi Kearifan Lokal Masyarakat Kaki Gunung
Dusun Karangan, Desa Latimojong, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang
UKMPA Edelweis FSUH

Read more...

Pengerajin Rotan Karangan

>> Wednesday, July 18, 2007

Salah satu kearifan masyarakat kampung Karangan adalah memanfaatkan rotan untuk dijadikan peralatan rumah tangga, salah satunya adalah digunakan untuk membuat baka’. Sebagian proses pembuatannya adalah sebagai berikut

Rotan yang diambil dari hutan kemudian direndam di dalam air, agar mudah dilekukkan, selain itu serabut rotan dapat menjadi kuat.

Setelah melalui tahap perendaman, rotan selanjutnya dikeringkan dengan sirkulasi cahaya dan udara yang seimbang.

Rotan-rotan yang telah dikeringkan kemudian dibelah menjadi tipis agar mudah saat dilekukkan. Biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh orang-orang tua sebagai sarana komunikasi antara sanak famili.

Para pengrajin baka’ kemudian menghaluskan rotan dengan menggunakan pisau, semua proses mempersiapkan bahan ini dilakukan dengan menggunakan peralatan yang sangat sederhana.


Setelah rotan dibelah dan dihaluskan, dilanjutkan dengan proses penganyaman rotan yang pembuatannya dimulai dari bagian belakang keranjang.


Dengan senyum yang khas, pengrajin baka’ melakukan aktifitasnya meskipun sesekali diselingi tangisan anaknya.


Bagaimanakah dengan ketersediaan bahan?
Rotan yang disediakan oleh kekayaan alam kampung Karangan telah mengalami kelangkaan, Karena model pemanfaatan hutan masyarakat kampung karangan sekarang telah berubah motif menjadi masalah desakan ekonomi, akibatnya sekitar beberapa hektar hutan diisolasi oleh Dinas Kehutanan dengan alasan merusak vegetasi daerah konservasi.

Bambu adalah bahan alternatif pengganti pasca kelangkaan rotan di Karangan, hal ini membuat masyarakat kampung Karangan berusaha untuk meminimalisasi pemanfaatan hutan secara besar-besaran, dalam artian masyarakat Karangan sepakat untuk membuat aturan secara konvensional tentang pelarangan pengambilan rotan secara besar-besaran guna keperluan industri rumah tangga (home industri).

Read more...

Tradisi Sukku; Kearifan Masyarakat Desa Hutan Karangan

>> Tuesday, July 10, 2007

Oleh:Muh. Imran
NRA E067.02.L.B.82 FS-UH
Lette_KakiE067


Dusun Karangan, 1390 Mdpl, Desa Latimojong, Kecamatan Baraka. Kabupaten Enrekang
Dusun ini berada di Kaki Punggung Pegunungan Latimojong, Pegunungan tertinggi di Sulawesi Selatan, 3478 Mdpl.


Dusun ini dihuni sekitar 50 KK, pada umumnya pola pemukimannya menyatu walaupun ada beberapa rumah yang terpisah jauh dari pusat pemukiman.

Seperti layaknya masyarakat desa hutan, masyarakat karangan masih sangat tergantung pada hasil hutan (Sumber Daya Alam ) sekitar Pegunungan Latimojong. Untuk menopang perkonomian (kopi) atau untuk material pembuatan rumah mereka masih memanfaatkan hasil-hasil hutan berupa rotan atau kayu-kayu besar dan kuat.
Salah satu pemanfaatan hasil hutan yaitu hasil hutan kayu untuk material pembangunan rumah.
Untuk membangun rumah, masyarakat karangan memiliki kearifan tersendiri. Sebelum mengambil kayu di hutan untuk membangun rumah, orang tersebut akan menyelenggarakan acara sukku sebagai rangkaian kegiatan tersebut.



Untuk membangun rumah dibutuhkan :
8 Kubik kayu/1 kubik menjadi 10 batang kayu/tiang
Untuk 1 rumah dibutuhkan 22 batang (rumah ukuran sedang), untuk ukuran rumah besar dibutuhkan kurang lebih 30 batang. Sisa kayu dijadikan balok atau papan.
Jika 1 kubik Rp.60.000 Jadi masyarakat harus membayar Rp.480.000,00 ditambah biaya surat izin Rp.60.000 (Pak Desa) total Rp.540.000,00.
(Papa ida 36 thn, Mantan Kadus Karangan)


Acara Sukku ini dimaksudkan sebagai tanda dan ucapan syukur kepada yang Maha Kuasa pemilik dan pencipta seluruh isi alam sekalian menyediakan makanan bagi seluruh masyarakat yang turut membantu.
Setiap masyarakat yang tua dan yang muda, yang pria dan yang wanita, turut membantu. Pria yang akan menarik kayu dari hutan dan yang wanita menyediakan makanan.



Untuk menuju lokasi, penduduk berkumpul jam 05.00 pagi di tempat yang disepakati sebelumnya. Ada sekitar 60 masyarakat yang membantu.


Perjalanan ditempuh Kurang lebih 2 Jam. Berjalan melewati Kebun kopi, hutan belantara yang beberapa bagian rusak, menyisakan sisa penebangan yang terbengkalai.



Masyarakat karangan banyak menggunakan kayu Uru (Ermerillia Ovalis) untuk tiang rumah, balok ataupun papan.




Mereka juga kadang memanfaatkan Kayu Pohon Surian



Toona Sureni Merr,Famili Meliaceae, banyak tumbuh di seluruh Jawa; Kalsel; Kaltim; Sulut; Sulsel; Maluku; Bali; NTB; NTT; Irian. Tinggi Pohon Surian mencapai 34 m dengan diameter sampai 85 cm dapat dipakai untuk papan. Surian tumbuh pada tanah kering dan tanah lembab yang subur, umumnya di daerah pegunungan pada ketinggian dibawah 1200 Mdpl.


Ironisnya……
Kalau mereka mau menebang pohon ini mereka harus juga mendapatkan surat izin.
Padahal hampir seluruh pohon surian yang tumbuh di sekitar kampung karangan, mereka yang menanam dan merawatnya.
Menurut salah satu sumber kami menyatakan baru sejak setahun ini (2006) peraturan ini berlaku. Peraturan ini sudah menjadi Perda di Kab Enrekang.



Pada setiap ujung kayu dilubangi untuk tempat ikatan tali rotan atau tali nilon yang akan dipakai menarik kayu.




Sebelum kayu ditarik semua berdiskusi mencari dan menentukan pasangan masing-masing.
Setiap kayu ditarik oleh 2 orang di depan dan 2 orang di belakang sebagai pengatur dan penyeimbang. Setiap orang memiliki tali masing-masing.
Untuk memundahkan menarik kayu-kayu tersebut, sudah dibuatkan sebelumnya jalur penarikan berupa batang-batang kayu yang ditancapkan kedalam tanah kemudian dipasangkan dengan kayu bulat secara mendatar. Jalur ini menyerupai rel kereta api.






Semua bergembira sambil menarik kayu. Apalagi di tengah perjalanan kita istirahat sambil disuguhi penganan tradisional khas karangan dengan segelas kopi oleh ibu-ibu dan gadis –gadis kampung karangan.
Setiap orang mendapat segelas kopi dan sebungkus penganan.






Sebelum tiba dikampung semua Istirahat lagi.


Akhirnya tiba juga.
Setelah berjalan kurang lebih 2 setengah jam. Kayu yang ditarik
semuanya 22 Batang.





Setelah istirahat sejenak, semua kemudian menikmati makanan yang disuguhkan oleh masyarakat yang mengadakan acara penarikan kayu.


Seluruh kegiatan diamati langsung dengan terlibat pada semua kegiatan
Muh Imran dan A.Saiful
Foto: Lette_KakiE067


Kegiatan Pendakian dan Observasi Kearifan Lokal Masyarakat Kaki Gunung
Majannang-Karangan
15 Agustus s/d 8 September2006

Unit Kegiatan Mahasiswa Pencinta Alam Edelweis
Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Read more...

07/07/07 dan Pemanasan Global

>> Thursday, July 5, 2007

Sebuah angka yang menarik akan terjadi bulan ini; tersusun dari tanggal, bulan dan tahun yaitu tanggal 7 Juli 2007 yang salah satu cara penulisannya adalah 07/07/07. Cukup menarik karena; paling tidak, angka yang seperti itu baru bisa muncul pada satu tahun, satu bulan dan satu hari lagi kedepan.

Hal lain yang tidak kalah menarik mengenai tanggal tersebut adalah akan dilaksanakannya sebuah konser di Jakarta dengan tema: “Soul For Indonesian Earth, Sayangi Bumi Hari Ini”. Konser tersebut merupakan sebuah konser kepedulian akan terjadinya pemanasan global yang akibatnya mulai dirasakan oleh penghuni bumi.

Kegiatan ini diprakarsai oleh Glenn Fredly dan merangkul banyak artis-artis Indonesia untuk berpartisipasi dalam konser ini. Sebuah kesadaran yang luar biasa; kesadaran untuk turut serta mengampanyekan bahaya yang bisa ditimbulkan oleh pemanasan global, satu hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan dunia keartisan. Tapi toh mereka bisa bersikap dan bertindak untuk melakukan sesuatu (walaupun yang dilakukan tidak berakibat langsung; menghentikan atau mengurangi pemanasan global) dengan cara bernyanyi (karena mereka memang penyanyi; bukan pecinta alam).

Mereka mungkin ingin menyampaikan ke masyarakat bahwa secara tidak langsung, kita semualah yang turut berpartisipasi menjadikan bumi ini “diserang” pemanasan global, terutama membantu memperbesar dampak yang terjadi, berupa banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Karenanya kita semua harus berupaya untuk tidak melakukan hal-hal kecil yang sebenarnya dapat memperbesar dampak yang bisa terjadi akibat adanya pemanasan global, seperti membuang sampah sembarangan, menghabiskan lahan serapan air di pekarangan kita dan lain-lain.

Sebagai artis (public figure) mereka memang punya potensi lebih untuk mengajak masyarakat awam dapat melakukan sesuatu. Walaupun tidak lebih, kita juga punya potensi untuk melakukan sesuatu; karena kita notabene punya identitas sebagai seorang pecinta alam (walaupun banyak juga yang berlindung dibalik kata penikmat alam atau petualang) karena kalau bukan kita, siapa lagi, karena: "...Kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat...." (Gie).

Salut buat Artis Indonesia, hidup Pecinta Alam Indonesia….(E024...)

Read more...

Syair Petaka

>> Wednesday, July 4, 2007

Kau adalah nyanyian rindu malapetaka
Terbuang dari tangisan para malaikat
Terpojok dari mantra pemuja surga

Seperti tak pernah binasa lagumu kau lafalkan
Lantas, sejarak gemuruh air mata ada dalam hitungan matahari
Keringat dan cucuran pekat akan mengalir dari ujung purnama

Seperti tangisan selaksa bayi syairmu membelah sepi

Diam…
Dengar…
Lihat…
IA telah pergi
Lantas…?
Bawa IA kembali!

Karena Batu tempat sembunyi
Bawakan padaku jasad pengembara api, penadah matahari
para kafir mati dan hati para atheis
Sebelum pagi datang dalam elegi
Lantunkan syairmu seirama nadi

Karena cinta kami hanya sependar matahari dan IA belum kembali


Sallo Seppe Maros 20 January 2007
074_Big Foot




Seperti bias matahari
Tertera pada sepi dahan cemara
Jejak ini hilang termakan pagi
Karena lunglai kaki adalah mimpi

Walau hari terukir pada matahari
Senja tak pernah pergi, karena wajahmu menanti pagi

Pun ketika mendung menjelang pagi
Wajahmu penghitung hari-hari

Ingatlah hari ini !
Karena ketika fajar menghampar para petani
Lalu hari membawamu kembali

Basingkaling 23 January 2007
074_Big Foot





Embun adalah nadi yang terbuang pada malam jingga
Berdenyut suram diantara himpitan pinus
Melata pada tanah hampa lantas hilang bersama legamnya bara
Sementara angin membawaku pulang ke pangkuan bunda
Meneteskanku kembali diantara punggung para petualang

Panggil aku srigala tua!
Sebab ketika aku haus embun meneteskan darah dari nadinya lemah
Mengokohkan kembali tiang diantara tulang kakiku
Jalanku adalah onggokan pinus, tuk coba mengais kembali keabadian
Yang pernah…
Sebelum hilang terenggut malam
Pun ketika malam akhirnya tiba embun akan menempel di punggung

Aku berbaring pada beku titik malam antara savanna dan batuan jingga
Kisahku hilang oleh angin kering musim ini
Meski darah tetap tumbuh oleh pisau petani tua
Kakiku adalah jalan bagi srigala tua, meski embun tetap menari
pun angin kering musim ini tak mampu membunuhnya

Karena embun adalah cinta, bagi srigala melata diantara duka pinus tua

Malino 20 January 2007
074_Big Foot

Read more...

Lembah Sepe Dengan Budaya Kesederhanaannya

>> Monday, July 2, 2007

Suara jeram air sungai yang tiada henti terdengar diiringi nyanyian burung dan serangga serta dihiasi rimbunnya pepohonan yang tumbuh damai disebuah lembah yang dihuni oleh manusia-manusia sederhana adalah gambaran perkampungan kecil di lembah gunung Sarigan.

Sepe-Sepe demikianlah penyebutan lembah itu, sebuah lembah perkampungan kecil yang terletak di kaki gunung Sarigan Dusun Tanete Bulu, Desa Bonto Manurung, Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Maros. Lembah Sepe dihuni oleh 8 kepala Keluarga yang memiliki status sebagai suku Makassar. Bahasa sehari-hari yang digunakannya adalah bahasa Makassar, uniknya beberapa warga di lembah ini tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia namun mereka dapat mengetahui makna apa yang telah disampaikan oleh komunikator.

Masyarakat lembah Sepe berpenghasilan utama dengan mengandalkan hasil penjualan gula merah dengan harga Rp 2.500/kg sampai Rp 3.500/kg. Pada setiap kali melakukan penjualan mereka hanya dapat menghasilkan 20 kg sampai 30 kg gula merah. Mereka menjualnya di pasar Bonto Parang yang termasuk dalam wilayah administrasi kabupaten Maros dan Mamampang yang berada di wilayah administrasi kabupaten Gowa dengan harus berjalan kaki menyeberangi sungai dan melewati gunung yang membutuhkan waktu 2 sampai 3 jam. Untuk hasil pertanian mereka gunakan untuk kebutuhan pokok dalam setahun. Kesederhananaan masyarakat lembah ini dapat kita lihat dengan bangunan tempat tinggalnya yang hanya terbuat dari bambu dan tiang-tiang kecil serta ruangannya yang diisi dengan alat masak, persediaan pangan, serta tempat tidur, walaupun dengan penghasilan itu mereka tetap memiliki sikap pemurah terhadap sesama orang-orang Sepe dan orang yang datang dari luar.

Sikap ramah yang dapat dilihat dari warga sepe bukan hanya sesama manusia melainkan juga kepada alam sekitarnya, mereka sangat menghargai alam yang memberikannya sumber kehidupan. Warga Sepe mengambil hasil dari alam hanya untuk pembuatan gula dan kebutuhan tempat tinggal, lahan untuk sawah dan kebun yang mereka garap yang hasilnya hanya cukup digunakan untuk kebutuhan pokoknya.

Dalam lingkungan lembah Sepe, terdapat suatu acara yang disebut dengan Pappoleang Tinannang yang berarti menghargai hasil dari panen tanamannya. Acara ini merupakan bentuk kesyukuran mereka terhadapa apa yang mereka percayai dan sekalian mempererat sikap kerjasama, kebersamaan, dan gotong royong warga lembah Sepe. Acara ini bisanya mereka lakukan sehabis panen padi di waktu bulan Juli, Agustus atau September. Bentuk dari acara ini sangat sederhana, mereka hanya secara bersama-sama menyiapkan sajian kemudian berdoa dan memakannya secara bersama-sama dirumah warga yang dituakan.

Kesederhanaan lain yang dapat dijumpai di lembah Sepe adalah proses pengolahan padi menjadi beras yang masih menggunakan peralatan tradisional. Mereka menggunakan lesung yang terbuat dari kayu serta penumbuk yang dilakukan secara bersama-sama dalam satu keluarga atau keluarga lain yang menerima panggilan. Proses pengolahan ini dilakukan dengan cara menumbuk padi yang ada pada lesung kemudian ditapis tiga sampai empat kali.

Dibalik nuansa kesederhanaan lembah Sepe terdapat suatu hal yang memprihatinkan jika melihat laju perjalanan bangsa kita. Seluruh anak-anak lembah Sepe yang memiliki usia yang sudah seharusnya mengecap pendidikan sekolah dasar tidak mengetahui cara membaca dan menulis, hal ini diakibatkan oleh jarak sekolah yang sulit dijangkau. Sekolah yang terdekat dari kampung ini terletak di ibukota desa yaitu desa Bonto Parang yang harus ditempuh dengan melintasi bukit dan menyeberangi sungai Ballasa yang memiliki lebar kurang lebih 20 meter tanpa menggunakan sarana penyeberangan dengan lama perjalanan 2 sampai 3 jam untuk sampai di tempat tersebut.

Tulisan ini dibuat saat setelah melakukan perjalanan lintas kabupaten dari Malino (Kabupaten Gowa) ke Bissialabboro (Kabupaten Maros) pada tanggal 17 januari sampai 23 januari 2007.


Crew Lintas Malino-Maros
UKMPA Edelweis FSUH

Read more...

  © e-production