jejak anak XIII di tebing kura-kura (sebuah laporan perjalanan)

>> Wednesday, September 26, 2007

Sabtu sore, tatkala mentari mulai condong ke barat beberapa anak manusia yang mengatasnamakan diri sebagai pencari kebebasan tengah sibuk mempersiapkan perjalanan ke bumi Buttasalewangeng, Maros. Anti dan Ria berbelanja di pasar daya sementara persediaan rangsum yang masih kurang di lengkapi oleh kanda Imran di Top Mode. Sedangkan OPF, kanda Dedi tengah sibuk atau hampir tenggelam di tengah peralatan climbing dan camp yang ia kemas ke dalam beberapa carrier. Tak terlupakan saudara kami yang manis, Nena dan para pejantannya anak XIII Petrik dan Chimenk. Kami dilanda kebingungan mengingat perjalanan yang akan di tempuh memerlukan biaya yang cukup banyak sementara kantong para edelweiser tengah berdemonstran dan dilanda badai kekeringan. Hanya satu yang tak terlupakan kami masih memeiliki setumpuk kemauan dan sisa semangat peninggalan pejuang 45. Berbekal keberanian atas segala resiko kami memulai perjalanan yang di tandai doa bersama sekaligus pelepasan di depan FIB- 33 FS-UH. Setumpuk resah di dada berkecamuk rapi meratapi perjalanan yang minus PPAT. Kami teringat sebuah kalimat “ kalau tanpa PPAT apa bedanya kegiatan pecinta alam dengan sekedar wisata?”

Untuk sampai ke tebing kura-kura harus melalui rute Maros, diperkirakan akan menghabiskan banyak uang dengan perincian :

  1. kampus-pintu dua 1.500,-
  2. pintu dua-Sudiang 2.000,-
  3. Sudiang-Maros/ Tebing kura 7.000,-

10. 500,-

Artinya sekali perjalanan menghabiskan dana sebesar 10.500,-/orang dikali 2 untuk biaya pulangnya sehingga berjumlah 21.000,-. Untungnya sebuah ide kreatif menyelesaikan masalah keuangan tersebut. Dengan asumsi kami bernegoisasi dengan sopir pete-pete jurusan Maros sehingga dana bias di press, setiap orang hanya membutuhkan 7.000,- sekali pemberangkatan. Sebisa mungkin kami meminimalisir pengeluaran mengingat dana yang terkumpul sangat terbatas jumlahnya. Hanya bermodalkan 25.000,- untuk transportasi dan rangsum.

Berikut beberapa daftar rangsum yang kami sertakan dalam perjalanan:

  • Beras
  • Minyak goreng
  • Mie instant
  • Biscuit
  • Roti tawar, seres dan mentega
  • Ikan kering
  • Gula, teh, kopi, susu
  • Kerupuk panda
  • Sayur-mayur, bawang.

Adapun perlengkapan yang lainnya: spiritus, tabung, minyak tanah, lilin. Selain yang tidak disebutkan di atas merupakan perlengkapan pribadi.

Suara azan bersenandung merdu ketika kami masih dalam pojokan pete-pete yang sumpeknya minta ampun. Sekitar pukul 19.00 rombongan tiba di tempat tujuan, kampung mata air, atau para edelweiser menyebutnya tebing kura-kura Maros. Dengan naungan cahaya redup kami menelusuri pematang sawah yang menghubungkan perkampungan dengan tebing kura-kura. Sesampainya, para edelweiser segera menaksir lokasi yang starategis untuk camp. Di atas hamparan sebilai tenda diletakkanlah berbagai peralatan mulai dari peralatan masak, climbing sampai urusan pribadi. Di sisi selatan didirikan dua buah tenda dome yang sekiranya mampu menampung para putri edelweis, (cieee dijaga nieh… ya iyalah mpok). Dengan keromantisan alam yang memanjakkan kami bercanda riah disertai pemberian materi tali-temali oleh kanda-kanda yang sudah dijamin kualitasnya. Wasyitt…

Kicau burung disertai semilir angin meramba lembut ke camp. Para edelweiser satu persatu bangkit dari alam mimpinya. Ada yang sholat shubuh, mengambil air, membuat perapian. Oh indahnya pagi ini kawan, kita dipayungi rona kebersamaan untuk mengarungi samudera harapan dan cita-cita yang kelak mengantar kita pada kemenangan. Sepiring roti yang telah diolesi mentega dan seres serta beberapa bungkus biscuit, serta hangatnya secangkir kopi yang membasahi kerongkongan sekaligus penyejuk sukma.

Pukul 08.00, setelah breakfast di bawah komando kanda Indra kami berolahraga, jogging, sekedar persiapan untuk kegiatan climbing nanti. Setelahnya, menelusuri tanjakan kecil menuju tebing. Di sana, tampak kanda Dedi dan beberapa kanda-kanda yang lain tengah mempersiapkan jalur pemanjatan. Sementara telah usai pemasangan kernmantel untuk ascending dan rapelling. Di bagian bawah tebing telah dibentangkan seutas tali tempat menggantung berbagai peralatan dan di bawahnya direntangkan dua buah matras. Sembari menunggu pemasangan kernmantel untuk climbing kembali kami mengkonsentrasikan diri menerima materi tentang penggunaan sekaligus pengenalan alat-alat pemanjatan.

Semangat… semangat para edelweiser. Meskipun ini bukanlah yang pertama kalinya kami melihat segala peralatan ini namun, rasa ingin tahu serta semangat yang terluntai membuat kami senantiasa antusias mencoba dan terus mencoba. Yang pastinya kami bisa… ascending, climbing, rappelling. Meskipun, satu diantara kami harus menitikkan air mata karena kecerobohannya sehingga keliru dalam penggunaan alat. Mungkin juga karena ada ras was-was keburu gak bisa beranjak dari kernmantel.

Menatap tebing yang kukuh itu rasanya tak akan bosan. Pikiran terlampaui pertanyaan yang sekedar berkutat tanpa jawaban. Hanya saja tebing-tebing ini tak pernah menyayangi manusia dengan setulus hati, ia diam, termangu dan rela atas perlakuan apa saja terhadapnya. Sesekalipun ia tak bergeming, terkecuali yang di atas menginginkannya luluh dalam sekejap. Itulah segala rahasia alam yang manusia tak akan mampu menjawabnya, sesekali hanya terbesit penafsiran.

Srek… terhambur bebatuan dari ketinggian tebing. Petrik hampir saja dihempaskan oleh keganasan tebing. Masih disisakan detak jantung yang teramat cepat, Kanda Acha mengalami hal yang serupa pada hari berikutnya. Untungnya, semuanya dapat terkendali dan tebing-tebing itupun masih menaruh sedikit sayang dalam kebisuannya. Para putri edelweis pun tak ingin berdiam diri bersama kegalauan cemas. Ya…kecerobohan dan ketakutan pada alam memang tak dapat dinafikan tapi bernafsir selamanya tak akan ada perubahan. Suasana tegang dan kecemasan terpancar dari aura setiap orang yang menyaksikannya.

Sebenarnya alam ini penuh dengan kedamaian hanya saja terjadinya banjir, gempa bumi, tanah longsor dan sebagainya merupakan perilaku alam untuk menyeimbangkan dirinya dari kejahilan tangan-tangan manusia yang selalu merampas keasrian alam.

Malam senin, atas komando kanda Acha tralala trilili dengan semangat juang 45 kami menelusuri kegelapan malam yang hanya ditemani cahaya senter, melintasi petak-petak sawah yang baru dan masih sementara dipanen. Kirain petak sarung gadjah duduk. Hahaha…

Naik turun bukit, menerjang batang bambu, terkadang harus ngesod disebabkan medan yang sedikit menyombongkan diri untuk dipijak kaki para arwah penasaran pencari kesejatian diri dengan mengembara di alam bebas. Anti, Rea, Nena, Chimenk, ditemani kanda Indra merapatkan pantat di pematang sawah sembari menanti kanda Acha tralala trilili bersama si Petrik mencari dimana alam menyembunyikan goa yang akan kami masuki. Alhasih, tak ada hasilnya. Para caver tak menemukan celah yang akan mengijinkan kami bertemu dengan hawa di dalam goa. Pulang dengan rasa tak puas, ternyata langkah kami dipacu terlalu cepat untuk sampai secepat mungkin dan menyampaikan we didn’t find the cave”.

Keesokan harinya, setelah breakfast kembali kami merajut langkah menuju tempat kediaman si Goa itu. Di bawah komando kanda Imran kembali kami menyusuri jalan semalam yang sebenarnya dah membosankan. Tapi, demi sebuah pengetahuan tak apalah. Alhamdulillah, we get the cave. Ada dua gua yang sempat kami telusri, biasanya penduduk sekitar menyebutnya sebagai gua primitif, entah apa yang menyebabkannya, mungkin saja karena kedua goa itu belum terjajah manusia secara keseluruhan atau bisa jadi dahulu kala goa ini pernah dihuni oleh orang-orang primitif, ini hanyalah pikiran kecil yang mampu kami tumpahkan entah itu benar atau ada yang membenarkannya, kesalahannya adalah kami lupa melakukan observasi tentang latar belakang keberadaan goa tersebut, kami hanya melakukan penelusuran saja.

Kanda Imran memperkenalkan beberapa bagian goa yang sempat dijumpai dalam caving tersebut. Kami sempat melihat beberapa pilar yang besar ataupun kecil, stalactite, stalacmite, curtain, gourdam, couli flower. Semua terkesan indah, terkadang harus merayap, melompat, menunduk bahkan ironisnya seketika itu juga mempraktikkan materi climbing, gimana tidak, salah satu goanya hanya bisa dicapai jika melalui tebing pendek atau alternative lainnya adalah memanjat lewat sebatang pohon bamboo, untuk melewatinya harus ekstra hati-hati. Alhasil kami mencapai goa tersebut sayangnya lorong-lorong yang sempit dan buntu tak mengijinkan kaki dan mata ini menginjak serta menyaksikan keajaiban alam yang tuhan sembunyikan, dan untuk menyaksikan segalanya kita harus berjalan, menelusuri serta mencari tahu, takkan mungkin jika kita hanya memimpikannya dalam pelukan bantal di atas kasur. Tentu kita harus melangkahkan kaki ini.

Kabut yang menari-nari lembut seakan turut mewarnai langkah kami yang penuh dengan segala hasrat untuk menjadi tahu. Di samping itu, sempat kami menyaksikan aktivitas para petani di sawah yang dengan girangnya menuai harapan kelak mampu memenuhi panggilan perut.

Atas arahan kanda Imran, kami berputar-putar tak tentu arah mencari goa yang sudah terlupakan, menerawang kesunyian serta keremangan dalam rawa yang ditumbuhi pohon nifa. Penduduk setempat memfungsikan daunnya untuk pembuatan atap rumah. Akhirnya, dengan pikiran nihil yang memang tak terencanakan, kami kesasar dengan halusinasi mengikuti jejak seorang petualang ulung yang berakhir dengan pembodohan. Sebenarnya, kami tak menyebutnya sebagai pembodohan hanya saja kurangnya sikap tanggap yang membuat kami keliru yang kemudian turut saja tanpa berpikir. Nah… ini adalah sebuah pelajaran untuk perjalanan yang lain. Harus lebih resfek untuk segala kemungkinan.

Dengan wajah memelas kebelet, Petrik berlari dan meninggalkan tim untuk kemudian bisa mencapai tempat pembuangan dimana ia bisa melepaskan hasrat yang tersembunyi. Ironisnya, saking keburu-burunya dia tak take care sehingga menabrak sebatang kawat yang membentang di sekitar pemetak sawah.

Pukul 12.30 berkumpul di camp, setelah membersihkan segala perlatan manjat setelahnya memasak dan dilanjutkan dengan bobo siang-siang(BSS) setelah semua barang di packing kami beristirahat sejenak sambil menikmati peristiwa pembohongan besar-besaran (peramalan yang dilakukan oleh saudara Ria Suryani). Pukul 16.30 kami meninggalkan camp dalam keadaan setelah bersih. Tepat pukul 18.25 tim tiba kembali di markas besar UKM PA EDELWEIS dengan selamat. Sukses untuk para edelweiserku, jaya selalu leontopodistku.


Chimenk…….jalan panjang dan berjurang membuat yang kami tempuh, membuat saya.. tambah percaya diri , dan semangat dalam menapaki hidup ini.thanks bwt edel yang telah mengajariku buaaanyak hal..tiiiiing.


Melalui berbagai kegiatan di lapangan, tentu ada banyak pelajaran serta merta diliputi rasa takut. Dari setiap ketakutan tentu terselip pengharapan yang besar kepada apa yang ada disekitar kami. Entah itu kepada alam ataupun orang-orang yang menyaksikan kami, sebab tak ada orang yang hendak jadi korban yang sia-sia. Semoga kegiatan kedepannya mampu menghasilkan didikan yang siap menemui apa yang ada di depan. Satu hal, kami bukannya manja terhadap tantangan alam, hanya saja kami butuh waktu untuk berkenalan dan mengadaptasikan diri.

Memberi saran sebenarnya terlalu mewah buat kami, sebab menyadarkan diri saja belum usai. Tapi, jika hanya pikiran itu yang membumbung maka, kami tak akan berkembang. Beberapa saran yang mampu terekam dalam keliaran imajinasi kami:

  • Berbagi dengan alam memang terlalu indah tapi, jangan sampai kita terbuai dengan keindahan itu dan lalu tak sadarkan diri;
  • Sebenarnya hakikat kita belum terlampau jelas buat kami sebagai pemula, semoga kita semua bukan sekedar pecinta alam di atas kertas atau sekedar janji atau pengucapan kode etik pecinta alam secara formalitas saja/ pada saat diksar tapi, semoga kita mampu menanamkannya dalam jiwa masing-masing;
  • Kebersamaan, tetap tumbuh dan berakar di antara kita.

Data personil

1. Nama : Firmansyah

Tempat/Tanggal Lahir : Camba, 30 OKTOBER 1986

Alamat :JL.kerukunan timur 16, BTP, H. 568A

Agama : Islam

Jurusan : Sastra Daerah

Golongan Darah : -

Suku/Bangsa : Bugis

Telepon/Hp : 0411-522 3887

Riwayat penyakit : Tipus

2. Nama : Ria Suryani

Tempat/Tanggal Lahir : Polewali, 08 Juli 1988

Alamat : BTP blok H 192

Agama : Islam

Jurusan : Sastra Inggris

Golongan Darah : B

Suku/Bangsa : Bugis-Mandar

Telepon/Hp : 085255429980

Riwayat penyakit : Sakit Kepala

3. Nama Lengkap : Patria Muhammad

Nama Panggilan : Patrik

Tempat / Tgl. Lah :Makassar, 21 September 1988

Agama : Islam

Jurusan : Sastra Daerah

Suku Bangsa : Bugis

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat :Mabes Edelweis FS-UH Tamalanrea

Telepon : (0411444736)

Riwayat Penyakit : Cacar

Hoby :Panjat Tebing, Sepak Bola, Main Musik

Gol. Darah : O

4. Nama Lengkap :Erwanti

Nama Panggilan : Anti

Tempat / Tgl. Lahir : Bone, 10 Juli 1988

Agama : Islam

Jurusan : Sastra Inggris

Suku Bangsa : Bugis

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Sahabat No. 7

Riwayat Penyakit : Cacar dan Asma

Hoby : Berpetualang

Gol. Darah : B

5. Nama Lengkap : Saenab

Nama Panggilan : Nena

Tempat / Tgl. Lahir : Makassar, 28 Februari 1988

Agama : Islam

Jurusan : Sastra Inggris

Suku Bangsa : Makassar

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : BTP. Blok AB/2A

Telepon : (081355844426)

Riwayat Penyakit : Cacar

Hoby : Membaca dan Makan

Gol. Darah : O


s



Read more...

Surv ival, Bertahan Hidup, Proses Adaptasi dan Proses Memanusiakan Diri

>> Monday, September 17, 2007

Kegiatan pendidikan dasar di setiap organisasi pe(n)cinta[1] alam selalu diisi dengan materi survival atau lebih dikenal dengan usaha untuk bertahan hidup di alam bebas. Kegiatan alam terbuka yang aktifitasnya lebih banyak di alam terbuka, yang bebas dan liar lebih banyak memungkinkan terjadinya bencana, kecelakaan, atau musibah yang menimpa kita. Jadi kegiatan alam terbuka adalah kegiatan yang sangat dekat dengan bahaya. Kita harus mengetahui bahwa ketika kita sudah berniat mendaki gunung, memanjat tebing, menelusuri gua, menyusuri sungai pada dasarnya kita secara sadar telah mendekatkan diri kita pada bahaya. Bahaya setiap saat mengancam. Binatang buas sewaktu-waktu dapat mencelakai kita misalnya ular yang yang menggigit, babi hutan. Banjir bandang, angin kencang, suhu yang rendah setiap saat dapat terjadi. Menurut klasifikasi bahaya, bahaya ini termasuk dalam bahaya yang datangnya dari luar diri atau bahaya obyektif. Ada juga yang dinamakan bahaya subyektif, yaitu bahaya yang datangnya dari dalam diri kita. Bahaya ini datang dari dalam diri penggiat alam terbuka. Tidak memiliki pengetahuan kegiatan alam terbuka, tidak memiliki informasi tentang daerah yang akan didatangi, kondisi badan yang tidak fit, tidak memiliki stamina, kehilangan percaya diri, kehilangan semangat, putus asa, tidak memiliki kemauan, tidak saling mempercayai antar anggota tim merupakan bahaya yang setiap saat dapat muncul dari dalam diri kita. Karena bahaya ini datang dari dalam diri kita jadi sedikit banyak dapat kita hindari. Berbeda dengan bahaya obyektif yang berada di luar diri kita jadi semakin sulit untuk dihilangkan, kita hanya bisa menghindarinya atau mengurangi resiko yang ditimbulkan.

Lantas pertanyaannya sekarang, mengapa kita harus bertahan hidup?
Dalam kamus bahasa Inggris survive diartikan dengan menyelamatkan nyawa, atau hidup terus sedangkan survival diartikan dengan kelangsungan hidup. Dalam kegiatan alam terbuka, survival diartikan dengan seni atau usaha untuk bertahan hidup di alam bebas. Jadi dapat diartikan survival adalah usaha untuk mempertahankan diri dari segala bahaya yang mengancam diri untuk tetap hidup. Survival bukan sekedar mengatur masalah makanan, atau hanya pengetahuan bagaimana memanfaatkan segala hal yang tumbuh atau hidup bisa dimanfaatkan sebagai penghilang rasa haus dan lapar. Survival lebih dari itu.

Kalau kita analisa secara lebih mendalam, survival dapat kita artikan sama dengan proses adaptasi. Dalam kamus bahasa Indonesia adaptasi diartikan dengan proses menyesuaikan diri. Ketika kita menghadapi bahaya, atau masalah berarti tercipta sebuah lingkungan, sebuah keadaan atau kondisi baru yang kemudian mengharuskan kita mencari solusi sebagai penyelesaian masalah yang kita hadapi agar tercipta kesesuaian diri kita terhadap lingkungan atau keadaan baru tersebut. Dalam menjalani hidup bahaya atau masalah adalah sebuah keniscayaan. Bahaya dan masalah akan selalu datang kepada segala sesuatu yang hidup atau berada di muka bumi ini termasuk binatang. Jadi karena masalah akan selalu ada, kita harus terus bisa menyesuaikan diri dengan masalah tersebut. Binatang di belahan kutub bumi memanjangkan bulunya untuk mengurangi rasa dingin yang menyerang tubuhnya, belalang hijau yang hidup di rumput yang hijau menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut, binatang di dalam gua menyesuaikan diri dengan memanjangkan sensor tubuhnya di tempat yang gelap untuk menghindarkan bahaya terhadap dirinya, kaktus yang menyesuaikan dirinya dengan lingkungan padang pasir yang kurang air, begitupun dengan unta yang menyiapkan dirinya dengan kantong air untuk menemani perjalanan kapilah di padang pasir, tak terkecuali dengan kita. Coba pikir pada waktu kita tiba-tiba masuk ke ruangan yang gelap. Mata kita dengan korneanya akan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan yang cahayanya sedikit. Kornea mata akan berusaha melebar untuk meraup cahaya yang sedikit, gelap. Kemudian ketika kita masuk lagi ke tempat terang, penglihatan kita akan berbayang. Itu merupakan usaha mata menyesuaikan diri. Dalam beberapa saat kemudian kornea mata kita sesuai lagi dengan lingkungan dengan cahaya yang banyak. Demkianlah survival merupakan proses adaptasi, proses menyesuaikan diri dengan kondisi atau lingkungan yang baru.

Survival dan proses memanusiakan diri
Setiap yang berada di muka bumi ini akan terus bertahan, mempertahankan hidup dengan menyesuaikan diri dengan lingkungan dirinya berada. Binatang akan terus beradaptasi dengan lingkungan dia berada, kondisai yang panas, dingin, binatang lain yang akan mengganggu eksistensinya. Manusia akan terus menyesuaikan dirinya dengan segala kondisi yang dihadapinya. Pada saat usaha bertahan hidup tersebut berlangsung adalah proses menggunakan akal dan fikiran. Proses berfikir berlangsung.

Sementara kita, manusia berada di muka bumi ini dirahmati dengan akal dan fikiran. Begitupun juga dengan binatang. Kemudian pada dasarnya kita sama dengan binatang. Manusia adalah binatang yang berfikir. Hanya proses berfikirnya berbeda. Pada binatang proses berfikir tersebut tidak berkembang. Binatang tidak memiliki daya imaginasi. Binatang tidak memiliki proses berfikir yang jauh kedepan, visi. Binayang hanya memiliki insting, berfikir sekarang. Coba kita lihat sarang burung dari dulu hingga hari ini begitu-begitu saja. Beda dengan manusia yang menciptakan rumah terus menyesuaikan dengan kondisi. Kalau dulu manusia hidup berpindah-pindah lalu tinggal di gua, kemudian berusaha menciptakan rumah yang tahan lama, dari bahan-bahan asli dari alam, sekarang kita bisa menikmati rumah yang berbahan semen, tahan gempa, bertingkat. Begitulah proses berfikir binatang dan manusia berbeda.

Pada kegiatan alam terbuka, kita diajarkan untuk terus berfikir. Menggunakan metode perencanaan untuk mampu bertahan hidup di alam bebas. Itulah Persiapan perjalanan alam terbuka. Kegiatan perjalan alam terbuka yang diawali dengan memikirkan segala hal menyangkut perjalanan kita. Mulai dari apa yang akan kita laksanakan, tujuan perjalanan kita, dengan dan kapan kita akan melakukan perjalanan, perlengkapan hingga logistik. Tidak sampai di situ. Di alam terbuka, proses berfikir itu akan terus berlangsung, membaca tanda-tanda alam, merenungi kejadian-kejadian alam yang kosmis, memikirkan solusi ketika kita menghadapi aral dan kehilangan orientasi. Setelah kembali dari perjalanan kemudian mengevaluasi dan membuat laporan, merefleksikan kegiatan perjalanan, manfaat apa yang telah kita dapat selama perjalanan tersebut. Itu semua adalah proses berfikir. Semua hal yang kita lakukan dalam kegiatan alam terbuka adalah proses mempertahankan hidup kita, mempersiapkan perjalanan alam terbuka, menggunakan pengetahuan navigasi darat, menggunakan pengetahuan panjat tebing, begitu juga pembuatan hasil perjalanan. Jadi semestinya, kita, Penggiat Alam Terbuka, atau kita yang telah menempelkan identitas pecinta alam pada diri kita, banyak berkegiatan di alam terbuka, kondisi yang banyak menyediakan hal-hal, keadaan, peristiwa-peristiwa yang menuntut kita untuk terus berfikir, memikirkan segala hal yang terjadi di sekitar kita. Bisa dikatakan bahwa kita telah banyak bersimulasi di alam. Mungkin alasan inilah yang dipakai oleh Event Organiser untuk melaksanakan kegiatan Outbound, yang beberapa tahun belakang ini diminati banyak perusahaan untuk usaha pengembangan sumber daya karyawannya.

Proses bertahan hidup yang berusaha menyesuaikan diri dengan menggunakan akal adalah proses yang tak akan berhenti untuk menjadi manusia yang sesungguhnya manusia. Dengan terus menggunakan akal dan fikiran kita akan menjadikan kita sejatinya manusia yang membedakan kita dengan binatang. Lebih jauh lagi kita telah masuk dalam lingkaran rahmat sang penguasa alam yang maha besar, yang mensyukuri rahmat akal yang telah diberikan kepada kita. Pada tahap inilah dengan terus berfikir posisi kita akan ditinggikan dari posisi makhluk hidup lainnya di muka bumi ini. sekali lagi, survival adalah berfikir tentang segala hal yang ada dalam diri kita dan di luar diri kita, sesuatu yang ada dalam jagad raya. Proses berfikir yang memanusiakan diri kita sebagai manusia.


old_backpackerE067
Penggiat Alam Terbuka yang tergabung dalam
UKM. PA. Edelweis FS-UH

Bila engkau tidak dapat menjadi beringin yang tegak diatas puncak bukit,
maka jadilah saja rumput, tetapi rumput yang tumbuh memperkuat tanggul.
Bila engkau tidak bisa menjadi jalan besar,
maka jadilah saja jalan setapak, tetapi jalan setapak yang menuju ke mata air.
Tidak semuanya dapat menjadi nahkoda, tentu harus ada kelasi.
Sebaik-baiknya engkau adalah menjadi dirimu sendiri. PENGEMBARA
Jadilah manfaat bagi sekitarmu…..
Muh imran
NRA. E067.02.L.A.82. FS-UH


[1] . Penggunaan istilah Pencinta dan atau Pecinta sangat beragam dalam dunia kepe(n)cintalaman. Dalam ilmu bahasa kata benda yang berawalan (pe) dan (pen) dibedakan maknanya.

Read more...

…….Titik-titik…….

>> Thursday, September 6, 2007


Entah mengapa langkah kaki begitu berat beranjak, otak pun semakin terasa bertambah volumenya. Padahal tak ada hal yang patut memberatkan, semestinya. Sebuah pilihan yang nantinya akan menjadikan ku sebagai diriku, akan memperlihatkan ke-aku-an ku. Itu yang aku tahu. Ya, sebuah pilihan bahwa akhirnya aku memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk memilih pilihannya sendiri, edelweis.

Banyak hal yang mereka taktahu dari aku, edelweis, kami, dan dari apa yang ku harapkan. Orang tua yang takkan bisa rela jika buah hati mereka sengaja menghilangkan diri dalam pengembaraan yang tak jelas menurut mereka. Ade’ku tersayang dengan candaannya, padahal lebih tepat disebut harapannya, juga tak ingin melihat kakaknya yang lebih dulu manis kelak menandingi kelakiannya, itupun menurut dia. Kak Arni, penyumbang ilmu terlimpah bagiku di kampus selama ini, yang dengan tegas akan mengatakan ‘tidak’ untuk itu, meski dia belum tahu atau mungkin masih menunggu sampai aku memberitahu. Teman-teman komuna mungilku, meski tak mengatakan langsung ‘tidak’ untuk itu pula, namun perubahan kalian memaksaku mengaca bahwa kalian memanggilku untuk tetap bersama. Aku sama sekali tak berkeinginan meninggalkan kalian tapi beri aku kepercayaan untuk bisa merangkak dan berdiri sendiri tanpa berpasrah pada kalian, bukan lepas.

Ketika mereka yang berlainan saat ini di dekatku, bersama masih dalam ruang waktu yang tak cukup lama, tapi itulah ruang masa pagi ini. Kepanikan masih belum redam juga tapi kami lanjut bersama menyusuri jalan yang entah kapan kelak masih akan kami lewati bersama tawa atau tidak. Carrier seberat 60 liter yang untuk pertama kalinya menggantung dipunggung membuatku sedikit bersombong diri yang tak penting pastinya bagi banyak orang, kayak anak kecil, tapi itukan aku. Awal pemberangkatan perjalanan kedua ku bersama kalian yang kami sebutnya diksar ppab, membuatku berargumen sesaat setelah berada di dalam kendaraan kami kala itu. Kami memang lumayan tidak kompak tapi yang aku rasa justru disitulah kebersamaan aku dan kalian. Setelah menginjakkan kaki di daerah Majanang, angkah kaki lalu berjalan menuju tempat dimana malam akan terhabiskan disana, sebuah bukit di kelurahan Bonto Lerung.

Kamis pagi tatkala mata ini masih enggan membuka padahal hujan deras dan angin malam semalaman mengilukan tulang-tulang dan tak membiarkan tubuh beristirahat tenang. Hampir saja terlupakan satu hal yang harus aku lakukan fajar itu. Sedari malam kepenasaranku tertimbun tuk melihat jelas keadaan sekitar yang tertutupi gelap malam dan aku yakin mengagumkan. Saat terjaga pun tiba, benar adanya, SUBHANALLAH, betapa beruntungnya diri ini jika saja jiwaku tak terbangun untuk melangkah ke tempat ini maka bertambah lagi anugerah dan rahmat-NYA yang tak sempat aku nikmati dan syukuri. Hijau yang tak lagi kudapati di riak metropolisku, bukit berembun dan kabut lembut, titik dimana kupijakkan kaki sambil merangkul tubuhku sendiri dengan erat, takkan kudapati moment itu, sekali lagi di metropolisku. Selamat pagi bukit hijau-MU, selamat pagi terjunan air gunung-MU, selamat pagi keMahaBesaranMU.

Dan perjalanan tetap berlanjut, masih jauh di depan pun aku tak mampu membayangkan apa saja yang akan tertemui di sana. Lambat laun aku merasa sedikit terkecilkan diantara mereka, temanku saudaraku. Mereka terlalu kelakian untuk menganggapku manja dan lemah terlebih ketika menyusuri jalan setan yang hampir tak berujung, tapi itu masih mungkin atau bahkan aku yang terlalu merasa. Tak tahu kenapa kantung di mata terasa berat dan tak tertahan lagi untuk membanjir mengalir, berat memang, tapi itulah pilihan yang tak ada kata menyesal kecuali semangat!!!!! Setapak demi setapak berhasil juga terlewati, sesekali aku menyempatkan mata memandangi permadani hijau di bawah ku, untuk membuang lelah setidaknya.

Lelah, lapar, dongkol, ngantuk, mulut yang tak hentinya mengumpat setelah melalui berbagai moment yang dengan sendirinya memperlihatkan dark side dari ke-aku-anku pun mereka yang turut ada di dekatku selama perjalanan panjang ini. Sampai aku benar – benar lumpuh dan tak mampu menahan derasan airmataku, ya…aku t’lah kalah oleh kelemahan dan keegoanku sendiri hingga mereka kembali memapahku, menenangkanku sebelum aku menghentikan langkah perjalananku. Pinus yang terlanjur meninggi pun merunduk menyegarkan dan menyemangatiku dengan lambaian ranting dan dedaunnya. Selanjutnya, titik akhir namun bukan yang terakhir, dia sendiri yang menjemputku, ya…anggota muda-ku akhiarnya tersemat juga didiriku meski kala itu tulang-tulang terasa ngilu dan membuatku lumpuh seketika karena begitu menusukknya dingin malam itu. Namun itulah bunga dari sebuah perjuangan, perjuangan yang telah ku yakini tak akan sia-sia, bersama keenam dari mereka, teman saudaraku.

Fajar masih setia, terima kasih, untuk awal yang baru, untuk semangat yang berbeda, untuk mimpi yang semakin berwarna, untuk mereka yang berlainan tapi masih sama, dan untuk doa yang bertambah…

Komuna Mungilku di Edelweis, aku lebih suka menyebutnya demikian, mungil tapi akan selalu abadi, dbanding besar tapi akhirnya tak bernyawa.

Semoga masih banyak waktu ‘berbicara’ di atas kertas putih ini untuk segenggam cita-cita dan untuk sedetik kebersamaan yang jangan terlewatkan begitu saja.

17 Juni 2007, Ahad…re

Ria Edel

Read more...

  © e-production