12 Oktober 1992 oleh Aldi Mulyadi E.005.92.L.B.74.FS-UH

>> Tuesday, September 23, 2008

1992
Tanggal 11 Oktober 1992 Aslan, M. Taufik, Ermansyah, Yusriadi, Aldi, dan Nurawal bersiap melakukan pendakian Gunung Bawakaraeng, waktu itu jam menunjukkan pukul 05:00 pagi waktu Lembanna. Kami bergerak naik dengan menenteng kantongan plastic warna hitam berisi nasi dan mie instant yang telah dicampur sebelumnya. Kami tidak membawa peralatn standar untuk pendakian karena rencananya kami turun setelah makan siang di puncak, tapi sebenarnya kami memng belum tahu tentang pendakian apalagi tentang peralatan apa saja yang perlu kami siapkan karena ini adalah pendakian pertama kami di gunung! Sekitar tengah hari kami sampai di puncak, kagum melihat apa yang terbentang di depan kami, senang rasanya sampai di puncak, kami berebutan untuk memetik bunga edelweiss yang katanya bunga abadi itu, sambil menyatukannya terbayang seseorang yang ada di Tamalanrea sana, girang kayak kesurupan membyangkn kami pulang disambut penuh suka cita serta linangn air mata dari mereka yang kmi sngka mengharapkan kami pulang….
Matahari tepat di atas kepala ketika kami mengelilingi kantong pelastik itu untuk makan siang, saat itu kabut tipis menemani kami makan seperti ayam. Setelah minum kopi yang kami bawa dari Lembanna kami bersiap untuk turun namun kabut semakin tebal, terjadi perdebatan tentang rencana selanjutnya tapi kami kami sambil jalan turun, hasil perdebatan itu adalah kami sampai di bibir jurang…kami berbalik tapi masih terus berdebat dan tempat dimana kami pertama kali berdebat tidak pernah kami temukan kembali hari itu. Waktu terus berputar seperti kami berputar-putar di tempat yang itu-itu lagi, akhirnya kami sepakat untuk berhenti berputar dan mengikuti punggung gunung itu ke bawah.
Kami terus turun kadangkala harus naik lagi karena ternyat di bawah sana sngat curam, kami berpikir cukup beruntung karena hny membawa sekantong makanan, termos kopi dan sebuah diary untuk menulis puisi-puisi, sebuah perjalanan yang sangat enteng apalagi isi kantong itu telah dibagi rata untuk dibawa di dalam perut masing-masing. Ketika malam dating, kami kemudian sadar bahwa kami tidak membawa alat penerangan kecuali sekotak korek kayu, ternyata kami tidak begitu beruntung! Salah seorang tampak frustasi.., lapar, haus, dan kelelahan. Buku diary dibakar helai demi helai sebagai alat penerang malm itu sambil terus bergerak turun. Lewat tengah malam buku diary itu habis, kami hanya punya bunga edelweis kering dan setengah kotak korek api. Dimana kau penduduk kampong…..???
“maafkan kami cintaku, kami harus membakarnya krena dia yang gampang terbakar dan memberikan terang untuk kami pulang”. Tidak ada perdebatan mengenai hal ini, kami tidak mampu lagi untuk berpikir apalagi kami selalu menemui jalan buntu. Jurang dan jurang lagi, sepertinya di dunia ini hanya ada hutan dan jurang saja…Edelweis terakhir telah jadi abu dan kami masih di hutan. Salah seorang berteriak kegirangan karena telah menginjak air, kamipun berlomba meminum air yang cokelat itu sebanyak-banyaknya, air minum yang kami bawa dari Lembanna telah habis sore harinya dan waktu itu telah pukul 3:30 pagi, setelah rasa haus hilang ternyata sekitar sepuluh meter dari tempat kami minum terdapat sebuah mata air. Sesaat kemudian kami kembali berdebat (kali ini sangat sengit) apakah jalan terus atau berhenti sambil menunggu pagi, kami putus asa, lalu seseorang mulai terisak-isak namun di sela-sela isakan itu sayup-sayup terdengar gonggongan anjing dari kejauhan, ada kampong di sana…
Kami mengikuti suara anjing itu dengan kaki yang diseret akibat kelelahan dan diselingi jatuh karena terantuk batu, akhirnya kira-kira satu jam kemudian kami menemukan sebuah rumah kebun, penghuni rumah kebun itulah yang memberikan petunjuk kea rah jalan raya. Butuh waktu kira-kira sejam untuk kami sampai di jalan raya dan kami mampir di sebuah warung kecil. Di warung itu kami saling diam dan mungkin merenungi apa yang telh kami lakukan dan apa yang sebenarnya terjadi tadi…kami saling pandang dn kemudian tertawa lebar ternyata kami di Kanreapia. Akhirnya kami putuskan untuk jalan kaki kembali ke Lembanna. Matahari telah muncul ketik kami sampai di Lembanna
Kembali ke Makassar kami mampir ke pasar malino untuk membeli sebuh harpan, bunga edelweiss !. seorang yng menerima edelweiss itu mungkin berpikir kami mendapatkannya di punck Bawakaraeng…
Sejak sat itu kami selalu membicarakan kejadian yng kmi almi bik di kampus maupun di mana saja kami berkumpul dan tentunya dibumbui agar kami bias tertawa dan saling mengejek. Saat itu pula kami (Yusriadi, Aldi, Ermansyah, Nurawal dan M Taufik) erencana untuk membuat kelompok cinta alam fakultas sastra karena kami terdiri dari beberapa jurusan di fakultas. Mulai saat itu kami mulai dikenal sebagai anak-anak edelweiss tanpa mereka ketahui ada apa di balik bunga edelweiss itu. Semakin hari kami bertambah banyak. Gusti Hawa, Neneng Rachmawati, Dostian, Risfayanti dan Yayuk ikut bergabung. Kami jadi lain di sastra, kemana mana kami bergerombol, penampilan melebihi seniman yang ada di sastra waktu itu membuat kami cepat dikenali sebagai sebuah komunitas baru dengan cirri dan karakter yang aneh pada zaman itu.

1993
Komunitas kami bertambah tidak hanya dari fakultas sastra saja. Tercatat fakultas MIPA diwakili oleh Dedi Asriadi, Fakultas kehutanan oleh Hatta, Fakultas teknik Muhammad Arsyad dan beberapa simpatisan dari fakultas Sospol ikut meramaikan kelompok kami. Pendakian Gunung Latimojong, adalah pendakian kami selanjutnya, kali ini kami mempersiapkannya dengan baik, di pendakian ini pula Nurdin Darwan (Tolle) bergabung dengan kami untuk pertama kalinya juga ada Imran (Imo) turut meramaikan pendakian ini.
Ketua senat terpilih Muhammad Ilham Rivai Hasan, menawarkan diri untuk membantu percepatan pembentukan lembaga yang dicita-citakan, kami (Yusriadi, Aldi, Ermansyh, Nurawal dan M. Taufik) mendiskusikan tawaran tersebut yang akhirnya disepakati untuk menerima dengan catatn kami independe. Dukungan dari berbagai pihak akan hobi kami berkumpul dan legitimasi kehadiran kami menjadi dasar tawaran itu kami terima. Kami tidak memilih ketua umum, ketua umum pada waktu itu di tunjuk oleh ketua senat dan Muhammad Nur menjadi pilihannya.
Pada saat itu kami mulai mengatur strategi agar keberadaan kami sebagai sebuah lembaga semakin kuat dan diakui, maka untuk urutan penomoran diberikan Drs. Nunding Ram, M.Ed. (pembantu Dekan I) sebagai senior 001 dan Drs Iwan Sumantri sebagai senior 002, langkah ini sebagai langkah strategis kami pada waktu itu untuk mendapatkan dukungan dari pihak fakultas.

1994
Musyawarah besar pertama kami lakukan, karena anggota edelweiss bukan hanya dari fakultas sastra maka dibentuklah serikat cinta alam edelweiss yang menggabungkan antara hobi dan kegiatan ilmiah, pada mubes itulah untuk pertama kalinya pula kami memilih ketua umum yaitu Risfayanti.

1995
Pada tahun 1995-1996 Dostian menjabat sebagai ketua umum menggantikan Rispayanti. Pada masa kepengurusannya edelweiss berada pada masa kritis, salh seorang pendiri edelweiss yaitu nurawal harus rela dicabut keanggotaannya, peristiwa ini sangat memukul kami, akan tetapi kami harus menghormati aturan yng kami buat sendiri. Berkat kemampuannya Dostian mampu melewati masa kritis tersebut.

Read more...

  © e-production