Cerita dari Malino Maros

>> Tuesday, February 5, 2008

Di satu pagi di mace Indah yaitu di bulan desember yang masih sepi karena para mahasiswa masih dalam kondisi berlibur setelah dua hari raya yang hampir bersamaan yaitu Idul Adha dan Natal. Kami (Saya, Adel dan Phyro) menikmati segelas susu putih hangat yang diminum bertiga sambil mengomentari apa yang dilihat. Tiba-tiba muncul keinginan untuk keluar lapangan (baca:mendaki). Kamipun merencanakan sebuah perjalanan dengan jalur Malino-Maros. Lama berdebat masalah waktu kami sepakat akan melaksanakan pendakian ini pada tanggal 11 Janari 2008_kamipun berseloroh pendakian ini akan disponsori oleh Gigi karena kami telah memakai judul lagunya sebagai nama perjalanan kami kali ini ”Pendakian Sebelas Januari”.


Gara-gara Kamera

Mendekati hari H, kami telah membuat perencanaan perjalanan yang meliputi daftar peralatan dan perlengkapan yang harus dibawa serta yang paling penting yaitu makanan. Rencananya perjalanan ini akan kami dengan ramai. Namun teman-teman yang lain memiliki aktivitas lain. Noge yang harus ikut menjadi fasilitator Youth Camp di Bulukumba, Ipul juga akan megadakan perjalanan dengan tempat yang berbeda dengan teman-teman yang lain, Ilend yang harus mengurus nilai tundanya serta anggota muda yang tidak boleh meninggalkan ekspedisinya.

Tidak usah pergi kalau tidak ada kamera....! pendakian 11 januari pupus sudah hanya gara-gara barang yang satu ini. Bagaimana tidak, pendakian sebelumya tahun lalu di tempat yang sama terasa hambar karena banyaknya momen-momen yang indah yang tidak sempat diabadikan. Alasan itu juga yang membuat kami menunda perjalanan kami sampai menemukan barang yang satu ini. Padahal kami sudah mempersiapkan segalanya bahkan telah belanja makanan.

Hari sabtu 12 Janari, saya mendapat telepon dari Noge; ”kalau mau berangkat ambil kamera di sini, saya ada di rumah sakit Ibnu Sina”. Langsung saya sms adel, ”Kita jadi berangkat hari senin”. Namun sudah terlanjur Phyro memiliki urusan lain dan terpaksa tidak ikut, untung ada Bayu yang menggantikannya.

Hari senin kami mempersiapkan semua keperluan dan packing. Di mabes ada teman-teman juga yang mau berangkat survey ke pangkep untuk keperluan ekspedisi gua. Tapi mereka berangkat duluan. Kami baru berangkat jam tiga sore. Setelah berdoa, kamipun tancap gas.

Kami tiba Kampung Baru, Malino ketika sudah malam. Kondisi kampung sudah sepi. Salah satu penjual di desa tersebut bahkan sudah mau tutup. Kami langsng menuju salah satu rumah penduduk untuk meminjam gardu tempat menjualnya sebagai tempat menginap. Tak banyak aktivitas kami lakukan, kami hanya makan malam sudah itu langsung tidur karena kami sudah kelelahan dan cuaca malam itu lumayan dingin.

Cuaca sangat cerah keesokan harinya. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Kami bangun agak cepat karena katanya yang punya tempat akan menjual di tempat tersebut pada pukul enam pagi. Kamipun segera merapikan tempat tersebut sembari mempersiapkan sarapan. Beberapa potong roti lapis telur dengan bumbu saus ditambah segelas susu putih dirasa cukup untuk mengisi perjalanan pada hari pertama. Setelah memastikan tempat sudah bersih serta tak satupun barang yang ketinggalan, kamipun berdoa bersama sebelum jalan.

Kami langsung dihadapkan dengan penurunan yang terjal. Kami yang semuanya memakai sandal gunung mengalami kesulitan. Beberapa kali kami kehilangan keseimbangan di medan yang licin tersebut. Beberapa jam kemudian, cuaca tiba-tiba berubah mendung. Kami mengeluarkan rain coat untuk persiapan kalau-kalau turun hujan kecuali Bayu yang memang tidak membawa apapun untuk pelindung hujan.

Medan yang berupa sawah yang baru saja diolah lumayan menyulitkan kami. Beberapa kali kami terjatuh dari pematang sawah yang memang kurang padat serta sangat tipis sehingga membuat kami kehilangan keseimbangan apalagi berjalan dengan beban ransel. Kamipun kadang harus menenteng sendal agar tidak jatuh terlalu sering. Kami saling mengejek ”pendaki apa ini, pake tenteng-tenteng sandal. Tidak machonya deh...! pendaki cokonoro (julukan yang kami pakai untuk pendaki yang suka menenteng-nenteng barang atau menggantung barang di ransel yang tidak enak dipandang).

Pukul 12.00, kami tiba di sungai Malino. Kami langsung membersihkan badan yang penuh lumpur setelah jatuh bangun. Setelah mengambil gambar, kamipun melanjutkan perjalanan. Sebelumnya, kami menyeberangi sungai Malino yang berarus deras melewati jembatan yang disusun dari dua batang bambu. Setelah menyeberangi sungai kami dihadapkan dengan pendakian yang cukup menguras tenaga. Untung cuaca hujan sehingga tidak terlalu menguras tenaga.

Perut sudah minta diisi, waktu memang sudah menunjukkan pukul satu siang. Kami memasuki sebuah perkampungan yang bernama Parasangantoa. Kami mencari tempat yang baik untuk makan siang. Gayung bersambut, seorang penduduk kampung, pak Ahmad namanya memanggil kami singgah di rumahnya. Dengan ramahnya melayani serta menyuguhi kami dengan teh hangat dan pisang. Dengan badan kebasahan kami memasak mi instant yang tidak memerlukan banyak waktu karena kami secepatnya harus melanjutkan perjalanan walaupun pak Ahmad mengajak kami untuk bermalam di rumahnya.

Perjalanan selanjutnya kami beberapa kali tersesat. Maklum saya dan Bayu terakhir melewati jalur ini tiga tahun yang lalu. Itupun ketika Diksar. Adel masih lumayan karena baru setahun yang lalu. Namun sayang memorinya tidak cukup membantu. Gelap sudah hampir datang, namun kami belum menemukan tempat camp yang kami rencanakan. Alhamdulillah, kami menemukannya sebelum malam tiba.

Hujan yang disertai angin membuat kami malas beranjak dari pembaringan keesokan harinya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh ketika kami memaksakan diri untuk menahan dingin dan melawan hujan. Seolah menunggu kami bangun, hujanpun berhenti dan matahari mulai menampakkan dirinya segera setelah kami bangun. Kami sarapan dengan nasi goreng dari sisa nasi tadi malam.

Medan yang kami tempuh dihari ini cukup berat. Selain medannya yang mendaki, hujan deras tiba-tiba datang menghantam kami yang memang sudah ngos-ngosan. Kami harus tetap berjalan untuk menjaga suhu badan agar tetap hangat. Sebentar saja kami berhenti, dinginpun segera datang menusuk tulang. Kamipun harus kecewa karena tidak dapat menyaksikan pemandangan dari puncak Sarigan karena kabut yang membatasi jarak pandang kami. Kami segera mencari sumber air untuk masak dan makan siang.

Kami sepakat untuk membuat camp di tempat itu. Artinya dihari ini kami hanya jalan sekitar dua jam setengah. Cukup santai saya kira. Di camp ini kami menikmati pemandangan sebuah kampung di sebelah punggung gunung dari tempat camp kami. Kami melewatkan hari dan malam dengan sedikit membuat dosa (bercerita tentang orang lain). Mudah mudahan tidak, Tuhan!

Lagi-lagi pagi datang dengan membawa hujan dan angin. Kali ini anginnya cukup kencang. Maklum kami membuat tenda di atas punggungan tanpa satupun pohon yang bisa menghalau angin. Saya terpaksa harus keluar memperbaiki patok tenda yang tercabut oleh angin. Namun sesuai perjanjian kami malam tadi, bagaimanapun kami harus berangkat pukul delapan pagi. Jadi kami menyiapkan barang dalam kondisi hujan. Bayu yang saya suruh memimpin doa kembali menyuruh saya lantaran sudah menggigil.

Rancanya arah perjalanan kami adalah sebuah kampung yang cukup terisolasi yaitu sebuah kampung yang bernama Sepe. Kampung tersebut rutin merupakan jalur yang selalu dilewati ketika ada teman-teman yang lintas Malino Maros. Namun seorang penduduk yang melintas di tenda kami kemarin menginformasikan bahwa jika lewat Sepe kami tidak akan bisa menyeberangi sungai Ballasak yang banjir. Kamipun disarankan melewati kampung Bara yang kami lihat dari tenda kami yang katanya ada jembatan gantung. Berarti kami harus memutar jalur cukup jauh ke kanan. Kamipun melanjutkan perjalanan dengan kondisi masih kedinginan.

Di tengah perjalanan kami yang kekurangan ransum merasa sangat senang ketika mendapati sebatang pohon mangga di tengah hutan. Lumayan untuk menambah variasi makanan kami. Bayu berusaha melempar dengan batu. Namun dari kira kira sepuluh kali lemparan, hanya satu yang berhasil. Tapi tak jauh kami jalan dari tempat tersebut, saya yang jalan duluan terkejut ketika saya tiba tiba dipanggil. Sayapun segera balik takut kalau-kalau ada sesuatu. Sesampai di tempat mereka, saya sudah melihat Bayu sedang berada di atas sebatang pohon mangga. Menguras semua buahnya yang ada.

Kembali kami harus menyeberangi jembatan gantung yang sudah cukup tua. Yang ini lumayan lebar karena terdiri dari beberapa bambu. Namun saya lebih yakin dengan jembatan yang ada di sungai Malino daripada yang ini. Bambunya sudah keropos dan besinya sudah cukup berkarat. Kayu penyanggahnyapun sudah miring. Sungai Ballasak yang mengalir dibawahnyapun mengalir dengan sangat deras siap menerjang kami.

Mendung belum juga mau beranjak dari langit. Cukup menguntungkan memang karena jika udaranya panas, akan cukup menguras tenaga. Kami menemukan sebuah rumah penduduk dan kebetulan memanggil kami untuk singgah bahkan kami diajaknya untuk menginap di sana. Kalau kami memutuskan untuk nginap disana, berarti lagi-lagi kami berjalan hanya setengah hari. Artinya lagi, jumlah hari perjalanan yang sudah kami rencanakan akan bertambah. Namun tidak apa-apa. Buat apa juga cepat-cepat tiba dikampus. Kami mandi, mencuci pakaian dan makan siang tentunya dengan tambahan menu mangga yang tadi diambil di jalan.

Target perjalanan kami pada hari selanjutnya yaitu kampung Tanralili yang berada di pinggir sungai Tanralili. Kami harus melewati jalan pengerasan yang panjang. Kami terlena oleh jalan pengerasan sampai tidak terasa kami lagi-lagi menjauh dari sasaran. Kami berjalan menjauh ke arah kiri sehingga kampung Tanralili tidak kami lewati lagi. Kami mengalihkan target kami yaitu desa Bassikalling rencana camp kami hari berikutnya setelah di tanralili. Namun kami tidak sanggup untuk mencapai Bassikalling karena hari sudah menjelang malam. Kami terdampar di sebuah tempat antah-berantah. Disebuah lereng yang cukup landai dengan sunset yang cantik.

Sebuah rumah berdiri dan satu-satunya disekitar daerah itu. Saya dan Bayu menuju rumah itu berharap kalau tuan rumahnya kembali mau memberikan tumpangan kepada kami sekaligus meminta air untuk minum dan masak. Kami terkejut ketika melihat yang ada di rumah tersebut hanya seorang nenek yang sudah sangat renta namun masih kuat membelah kayu. Rambutnya sudah putih dan jalan dengan membungkuk. Kami juga agak susah memahami kata-katanya karena selain suaranya yang sudah lowbatt, bahasa Makassarnya juga beda dengan bahasa Makassar yang biasa kami dengar. Kamipun mengurungkan niat untuk menumpang dirumah tersebut.

Malam harinya kami berpikiran macam-macam. Saya bilang ” jangan-jangan rumah di bawah sana adalah rumah hantu, dan nenek tadi ngesotnya”. Pikiran macam-macampun muncul. Belum lagi kalau-kalau nanti malam ada perampok lewat. Namun pikiran tersebut tidak membuat kami susah tidur yang memang sudah sangat kecapean.

Tidak seperti biasanya, matahari muncul sangat cerah. Jadi kami sempat menjemur beberapa pakaian kami yang basah yang cukup menambah berat ransel kami. Namun karena panas pula kami tidak memiliki banyak waktu untuk membuat sarapan. Dengan tiga sendok nasi goreng, kami melanjutkan perjalanan kami yang belum jelas.

Baru pada pukul tiga sore kami makan siang. Itupun ketika kami sudah sampai di titik finish yang bernama Bislap (Biseang Labboro: perahu karam). Konon katanya batu yang menyerupai perahu tersebut milik seorang pangeran dari cina yang datang melamar We Cu Dai (istri Sawerigading). Namun karena ditolak, Sang pangeran mengutuk dirinya dan akhirnya menjadi batu dan karam di daerah tersebut.

Kamipun bersih-bersih dan bergegas pulang berharap cinta kami tidak ditolak oleh alam setelah menikmatinya selama beberapa hari seperti cinta sang pangeran sehingga kami tidak mengutuk diri menjadi sebongkah batu ditengah masyarakat yang tidak berguna.(cHa)

Read more...

  © e-production