Perjalanan ke Lembanna 8 (Diantara Dua Pilihan)

>> Monday, June 25, 2007

Malam sudah larut saat telah begitu banyak tema perbincangan kami gulirkan begitu saja; tidak teratur. Saat itu saya ungkapkan kekaguman saya kepada Hatta; salah satu anggota Edelweis yang telah melakukan perjalanan solo, dengan mendaki Gunung Bawakaraeng sendirian. Sebuah perjalanan yang amat beresiko tentunya.

Tetapi ternyata ada informasi yang saya lewatkan. (Belakangan ini saya memang harus fokus pada “urusan lain”, jadi perhatian saya terhadap Edelweis sempat saya alihkan sementara). Leman bilang kalau Jo’ juga telah melakukan perjalanan solonya, guna melakukan pendakian lintas Gunung Lompobattang – Bawakaraeng sendirian.

Tentu saja apa yang telah dilakukan Jo’ lebih beresiko dibandingkan apa yang telah dilakukan Hatta.

Diluar dari kekaguman saya dengan apa yang telah dilakukan kedua teman saya tersebut, sebuah pengalaman lainnya juga telah terjadi. Beberapa jam sebelumnya, panitia PPAB sempat membuka sesi khusus buat peserta untuk menyampaikan presentasi ringan mengenai perjalanan yang telah dilakukan hari ini, dimana mereka harus melaksanakan aplikasi materi survival. Dalam aplikasi ini, peserta hanya diberikan bekal yang sangat minim. Panitia mendesain agar peserta dapat memenuhi kebutuhan akan makanan, minuman dan peralatan, sepenuhnya dari alam. Dengan kondisi seperti itu, tentu saja sangat mempengaruhi keadaan fisik dan mental peserta.

Salah satu peserta, malam itu menuturkan, saat menghadapi kondisi seperti itu, dia harus melewatinya dengan kenyataan bahwa dia sempat terjatuh dan hampir pingsan. Saat itu dia menyatakan satu hal kepada dirinya sendiri, bahwa dia tidak akan melakukan kegiatan seperti ini lagi.

Sebuah pernyataan yang sangat jujur telah dia katakan. Sesuatu yang sangat berbanding terbalik dengan apa yang telah dilakukan Hatta dan Jo’. Mereka berdua telah sampai pada keadaan, dimana suatu kegiatan alam bebas telah membuatnya berusaha mencari suatu aktifitas yang lebih menantang; sesuatu yang memiliki nilai petualangan yang lebih tinggi; lebih ekstrim.

Sebaliknya, si peserta PPAB, telah sampai pada keadaan, dimana suatu kegiatan alam bebas (walaupun hasil rekayasa) telah membuatnya trauma, “menderita” dan tidak menginginkan hal itu terjadi lagi pada dirinya.

Dua buah pengalaman diatas secara alami terjadi pada diri pelaku kegiatan alam bebas, dimana setelah berhasil melalui suatu pengalaman yang cukup ekstrim, akan berhadapan dengan dua pilihan yang akan dilakukan, yaitu akan mencari kegiatan lain yang lebih ekstrim atau sama sekali akan berhenti melakukan kegiatan yang seperti itu lagi. (E024...)

Read more...

Takut Ramah Bangsaku

>> Friday, June 22, 2007



Aku temukan ramah bangsaku ditengah raja hutan abad ini
Walau itu senyuman kecil dari kisah perantauanku
Ada keyakinan lahir tentang cerita bangsaku dari lembaran sejarah
Ada bayangan muncul dipersembunyian semak-semak bangsaku yang terlalu ramah pada tamunya
Ada jawaban dari sikap nenek moyangku yang kini hidup dilembah hijau dan bukit cemara
Ada takut …
Rotasi bumi menghapus ramah bangsaku yang kini kulihat manisnya
Jika tersenyum lebar dengan pipi austronesia



Anavhalia 73

Read more...

Ada yang Bahagia



Air mata bumi masih pada kesetiaannya
Sementara kaki riang dengan jejaknya
Tak ada ranting patah ditengah belantara yang dihuni oleh bunyi yang penuh sunyi
Ada nostalgia lahir lewat celah sunyi diantara gemercik air ujung daun
Semuanya tentang mahluk
Yang lebih bahagia menghabiskan waktunya bersembunyi dibalik pohon dan nyanyian serangga malam
Yang dilakukan…
Bukan karena takut
Melainkan mencoba menyalami apa yang tak tersentuh





Anavhalia 73

Read more...

Perjalanan ke Lembanna 7 (Tidak Ada Lagi Air Hangat)

>> Tuesday, June 19, 2007

Ditengah-tengah keheningan itu, tiba-tiba Uce’ sedikit mendekatkan kepalanya ke arahku, dan berbisik: “Tidak ada lagi air hangat.”. Bisikan itu diucapkan Uce’ kepadaku, beberapa detik setelah salah satu peserta yang dilantik mendesis kedinginan ketika harus menerima siraman air dingin tepat di kepalanya. Disiram air, memang menjadi salah satu ritual yang harus dijalani, sebelum mencium bendera dan diambil sumpahnya; dalam proses pelantikan peserta PPAB menjadi anggota muda UKMPA Edelweis FSUH, semua anggota akan mengalaminya. Tentu saja dingin, karena disamping tempat pelantikan yang dipilih dari tahun ketahun adalah tempat yang bersuhu udara relatif dingin, juga karena pelaksanaan pelantikan hampir selalu dilaksanakan subuh hari.

Bisikan Uce’ itu langsung mengingatkanku pada kegiatan serupa, beberapa tahun yang lalu, dengan Sumpang Bita sebagai base camp terakhir, dan sekaligus menjadi tempat pelantikan. Saat itu panitia sepakat untuk menyiram peserta dengan menggunakan air hangat, dalam ritual pelantikan. Hal ini diharapkan menjadi simbol-simbol mengayomi, melindungi dan menyayangi.

Prosesi terakhir dari sebuah pendidikan dasar ini memang menjadi hal yang agak repot, karena yang menjadi bahan pertimbangan adalah kondisi fisik dan mental peserta. Ketika pemikiran kritis peserta bekerja, mereka tentu akan mempertanyakan, apa sih gunanya kita disiram air dingin, apalagi pada saat kita lagi kedinginan. Tentu saja itu adalah upaya untuk menyiksa peserta saja, apalagi dengan disengaja. Berbeda kasusnya ketika peserta tersiksa secara fisik dan mental karena berinteraksi dengan alam, logikanya akan berbicara bahwa ini sudah menjadi konsekuensi berkegiatan alam bebas.

Dari situlah muncul gagasan inovatif tersebut, memberikan sentuhan kasih sayang diakhir perjalanan panjang, sebuah pendidikan yang sarat dengan siksaan fisik dan mental.

Tetapi keadaan memang selalu berubah, terkadang sesuatu yang dianggap bagus pada suatu masa, belum tentu sesuai untuk digunakan pada masa berikutnya. Tidak bisa dipungkiri, sekarang ini memang waktunya mereka, karena memang harus mereka, bukan lagi kita. Tetap harus ada apresiasi buat mereka. (E024...)



Read more...

Perjalanan ke Lembanna 6 (Post Power Syndrome dan Cinta)

>> Monday, June 18, 2007

“Iya….benar…. sepertinya itu istilah yang cocok untuk mewakili apa yang terjadi sama saya selama ini.” kata Leman, setelah mendengar dari saya bahwa yang dia rasakan itu termasuk Post Power Syndrome. Lalu Uce’ menambahkan: “Harus kau yang yang beradaptasi Leman, karena tidak mungkin mereka yang beradaptasi sama kau.”

Sebelumnya Leman bilang: “Setelah sekitar dua tahun pergi, kemudian kembali lagi ke mabes, kenapa semua berubah...? kenapa tidak seperti dulu lagi..?”. Mungkin ini juga dirasakan sama kakak-kakak yang lain. Dari bentuk fisik mabes yang berubah, yang beraktivitas juga berubah atau bahkan merasa seperti orang lain dihadapan mereka; seperti yang dirasakan Leman ketika berkunjung ke Mabes sepulangnya dari Kalimantan.

Hal yang sangat lumrah terjadi, setelah sejenak (kadang tahunan dirasakan cuma sejenak) harus mengurus sisi kehidupan kita yang lain; walaupun tidak bermaksud demikian, kita harus meninggalkan edelweis. Pada masa itu pasti terjadi perubahan-perubahan dalam edelweis, terutama perubahan anggotanya, karena proses regenerasi. Sejalan dengan itu, pasti akan berubah pula pola fakir, ide dan cara pandang terhadap sesuatu. Karena kita tidak lagi bisa menyertai mereka (berinteraksi) dari dekat, maka apabila datang kesempatan untuk berinteraksi dengan mereka, yang terjadi sebenarnya adalah kecanggungan kita terhadap perubahan-perubahan itu.

Karena canggung, kita tidak bisa enjoy lagi, lalu kita tidak datang-datang lagi. Sebuah keputusan yang sangat tidak tepat. Justru akan membuat kecanggungan semakin besar. Sebaliknya kita harus perbanyak frekuensi interaksi kita untuk melunakkan kecanggungan itu, dan saya yakin itu tidak butuh waktu lama.

Memang sekarang adalah waktunya mereka; adik-adik kita, biarkan mereka berekspresi, biarkan mereka melakukannya karena memang harus mereka yang melakukannya, bukan kita.

Tapi bagaimanapun, saya yakin apapun yang dirasakan kakak-kakak adalah bentuk cinta kepada adik-adiknya, sebagai perwujudan dari rasa cinta kita kepada edelweis yang abadi. (E024...)

Read more...

Perjalanan ke Lembanna 5 (Ponco dan Hujan)

>> Friday, June 15, 2007

Setelah melewati bendungan Bili-bili, ada satu halangan lagi yang harus kami hadapi, yaitu hujan. Ditengah perjalanan yang disertai rintik hujan kami berdua sepakat bahwa didaerah ketinggian tetes-tetes air yang turun kadang hanyalah kumpulan kabut yang padat sehingga membentuk tetes-tetes air yang jatuh.

Setelah beberapa kilo perjalanan dengan kondisi seperti itu akhirnya saya bilang ke Daeng Pujie: ”Pakai ponco deh…!”, Daeng Pujie menjawab: “Ndak usah mi, ribet, paling ini juga hujan lewat.” Sejenak saya terdiam dengan jawaban dia seperti itu. Tapi karena saya rasa saya semakin basah, motor langsung kuhentikan, saya buka tas daypack biruku, kukeluarkan sebuah bungkusan pelastik yang berisi ponco lalu memakainya, sambil bilang ke Daeng Pujie: “Sudah dibawa, masa tidak dipakai”.

Setelah beberapa tikungan dilewati, hujan benar-benar berhenti, langsung Daeng Pujie bilang: “Buka mi poncomu“, langsung saya timpali: “Nanti hujan lagi”, karena sebelum saya pakai ponco, kejadiannya memang seperti itu. Jadi saya tidak hiraukan matahari yang bersinar terang, saya tetap didalam poncoku.

Dan benar, tidak lama kemudian hujan turun lagi dengan lebatnya, langsung saya bilang: ”Untung saya tidak ikuti ko Daeng Pujie”. Saat akan memasuki kota Malino, hujan berhenti lagi, disini saya ikuti maunya Daeng Pujie, setelah dia memintaku lagi membuka ponco. Setelah mengisi perut dengan bakso di depan pasar Malino (sebelumnya Daeng Pujie bilang kalau dia lapar dan sudah jam setengah tiga belum makan, katanya).

Setelah membeli bekal seadanya, kami lanjutkan perjalanan ke Lembanna. Ditengah jalan rintik-rintik air kembali jatuh, kali ini kami berdua yakin kalau ini hanya tetes air dari tumpukan kabut yang memang tebal. Dan memang benar tak lama kemudian titik-titik air tak turun lagi, dan akhirnya kami sampai di Lembanna tepat jam tiga.

Satu hal yang langsung kami sampaikan kepada teman-teman kami disana adalah bahwa, memang benar antara orang tua (saya) dengan anak muda (Daeng Pujie) itu berbeda. Dalam hal ini adalah tentang ponco atau jas hujan. (E024...)

Read more...

Perjalanan ke Lembanna 1 (Daeng Pujie)

>> Monday, June 11, 2007

Setelah bertanya beberapa kali kepada daeng becak di pinggir jalan, akhirnya saya sampai di Lorong II; Jalan Macan, motor kupelankan sambil berusaha menggali kembali ingatan sekitar sepuluh tahun yang lalu, saat pertama kali saya memasuki lorong itu, dan kedatangan saya ini adalah untuk yang kedua kalinya. Motor kuhentikan dan kuputuskan untuk bertanya kepada seorang anak muda yang lagi duduk di depanku, saat saya sadar bahwa ingatanku tidak cukup membantu.

Kubuka tas daypack biru yang kubawa dan kukeluarkan sebuah buku catatan, kucari halaman yang baru kutulis kemarin malamnya saat Daeng Pujie menelponku dan mengatakan: “Jemput aku di rumah Daeng Bombong”. Sehari sebelumnya saya memang telpon Daeng Pujie untuk saya ajak pergi ke Lembanna, tempat dimana panitia PPAB tahun ini memilih untuk menjadikannya basecamp terakhir dalam pendidikan dasar.

Belum selesai saya memasukkan kembali bukuku saat kulihat Daeng Pujie lagi berjalan bersama adiknya; Daeng Kebo’. Aneh juga adik Daeng Pujie yang berkulit cukup hitam ini diberi nama begitu karena kebo’ kalo diartikan dalam bahasa Indonesia berarti putih. Dari jauh Daeng Pujie berteriak: “Belum jam dua belas kan!”. Saat itu memang baru jam setengah dua belas, dan kami memang sepakat untuk berangkat jam dua belas.

Teriakan itu membuatku tersenyum simpul, dan di dalam hati saya berkata: “Pasti dia takut saya bilangi telat!“. Maklum, dari dulu Daeng Pujie memang terkenal tukang telat dalam komunitas UKMPA Edelweis FSUH. Tapi ini pertanda bagus, rupanya dia telah berubah, saya yakin jiwa kepecintaalamannyalah yang merubah itu, menejemen waktu merupakan hal yang sangat penting dalam dunia kepecintaalaman.

Saat itu saya merasakan suatu kesenangan, lebih dari sekedar kesenangan karena Daeng Pujie tidak telat, tapi karena dia telah berhasil mengambil satu nilai dari “agama“ kepecintaalaman. (E024...)


Read more...

Parodi Sebuah Bangsa

“….kita adalah generasi muda yang ditugaskan memberantas kaum tua yang mengacau…”

Soe Hok Gie

PARODI SEBUAH BANGSA

Dengan pemerannya :

Susilo Bambang Yudoyono sebagai Presidennya,

Yusuf Kalla sebagai wakil presidennya,

Dibantu para menteri, para gubernur, para bupati, camat, pak desa.

Ikuk serta polisi dengan kesatuannya (POLRI) dan para tentara (TNI).

Tak terlupakan partai politiknya, dan LSM.

Disutradarai oleh sebuah kekuatan adidaya.

Bangsa kita sekarang sedang mempertontonkan sebuah parodi kepada rakyat. Parodi sebuah bangsa yang berusaha menghibur penontonnya (baca: rakyat). Sutradara mengarahkan setiap aktornya agar sesuai dengan rekaman pembicaraan (dubbing). Aktornya dengan lihai memainkan perannya masing-masing, berusaha menyesuaikan gerak badan, ekspresi tubuh dengan rekamannya. Agar penonton terhibur semua berusaha menampilkan yang terbaik. Tak terlupakan panggung ditata dengan properti agar tampak menarik untuk penonton yang menyaksikannya.

Tak lebih inilah yang terjadi pada bangsa kita sekarang. Bangsa yang berparodi untuk menghibur rakyatnya dengan janji-janji yang sekedar janji-janji.

Presiden dengan para penasehatnya berusaha mereshuffle menteri-menterinya. Katanya ini salah satu usaha memperbaiki kinerja untuk mengurusi rakyat yang tak bisa makan, tak punya rumah akibat bencana, tak bisa sekolah. Padahal reshuffle tersebut adalah realisasi janji dengan partai politik. Sebelum menjadi presiden, SBY menjanjikan kursi di pemerintahan kepada kader-kader partai politik yang bisa menyumbangkan suara untuknya.

Presiden bersama Menteri Kehutanan, Pertambangan, Menteri Perkonomian dan Perindustrian berusaha menaikkan devisa negara, katanya untuk memperbaiki jalan, memperbaiki sekolah, untuk beras, minyak tanah dan sembako yang murah, dengan berusaha mendatangkan investor (baca:uang) untuk mengolah hutan dengan kayu-kayunya, mengolah hasil tambang, mendirikan pabrik-pabrik di tanah-tanah rakyat yang digusur secara paksa yang dibantu oleh aktor lain, pamong praja atau polisi, mungkin menyewa preman untuk menakut-nakuti rakyat, padahal itu usaha menjual air, tanah, kayu dan hasil bumi lainnya dengan uang yang tak sedikit. Akan dikemanakan uang itu ? Apalagi kalau bukan untuk dibagi-bagi alias korupsi berjamaah.

Para wakil kita di DPR, katanya berusaha menguras dan memutarbalikkan otak, bagaimana uang negara itu digunakan semaksimal mungkin untuk mengganti tembok-tembok sekolah yang rapuh sebelum menimpuk siswa yang lagi belajar, menaikkan gaji buruh, guru, dan pegawai, mengganti perahu-perahu nelayan yang rusak dan tak mampu beroperasi lagi, mengganti buku-buku pelajaran sekolah yang sudah lapuk. Padahal uang tersebut diatur, dihitung, kemudian dibagi untuk buat villa pribadi, buat belanja dan wisata keluarga ke luar negeri, untuk menutup mulut istirinya di rumah yang mendesak di belikan baju mahal, parfum, atau kosmetik lainnya, mudah-mudahan bukan untuk membiayai istri simpanannya.

Para wakil rakyat menyisipkan tunjangan dinas luar kota atau luar negeri katanya untuk melihat dan mendengar aspirasi rakyat dari dekat atau studi banding, para wakil rakyat berusaha menganggarkan dana untuk laptop, dan mobil dinas baru (ini yang tidak masuk akal menurut saya, banyak mobil dinas yang tidak sesuai dengan porsi tugasnya, misalnya mobil dinas jenis Ranger Ford diberikan kepada pegawai yang tempat kerjanya tak jauh dari rumahnya atau kerjanya hanya di daerah yang jalannya mulus kalau untuk dinas kehutanan (satuan polisi kehutanan), ini mungkin sesuai dengan porsi tugasnya karena kerja dan tugasnya melewati tempat dan daerah yang terjal, dan jauh), serta tunjangan komunikasi. Katanya untuk memperlancar kerjanya melayani kebutuhan rakyat. Padahal laptop dipakai untuk bergaya saja, mobil dinas dipakai untuk bergaya, berwisata ke luar kota bersama keluarga atau rekan sejawat, tunjangan komunikasi untuk……..(mudah-mudahan bukan untuk menelpon istri simpanan di luar kota, janjian ketemuan berakhir pekan kemudian bermalam di hotel mewah dan apa yang terjadi,? mungkin kayak Yahya Saeni atau …………..??.

Katanya bersama para jajarannya pemerintah akan memberantas “Tikus-Tikus Kantor” (meminjam istilah dalam lagu Iwan Fals) yang menggelapkan uang Negara (baca:rakyat), toh para jajarannya terus berusaha membuat proyek fiktif atas nama rakyat dengan dana fiktif pula agar bisa menggunakan uang proyek tersebut demi kesenangan pribadi.

Tampil pula partai politik mengatasnamakan rakyat (pendukungnya) mengabarkan kebenaran, janji-janji politiknya, dengan intrik-intrik politiknya berusaha menjatuhkan lawan politiknya, mulai dari cara yang paling tertutup sampai perang terbuka.

Tampil kemudian LSM dengan mengatasnamakan niat tanpa imbalan melakukan kegiatan-kegiatan sosial untuk rakyat. Padahal mereka juga berusaha menyusun anggaran dana yang ditambah-tambahi beberapa rupiah untuk kegiatannya kemudian diserahkan kepada lembaga donor. Setelah dana cair, uang tersebut tetap dipergunakan untuk kegiatan sosialnya walaupun tidak menyentuh ke persoalan mendasar LSM tetap berusaha menghabiskan anggaran (sambil berusaha sedikit-sedikit atau mungkin banyak menyenangkan diri) dan asal kegiatan selesai kemudian dilaporkan dengan sedikit-sedikit fiktif.

Parodi ini akan terus dipertontonkan, bahkan hingga sampai tulisan ini sampai pada kalimat ini, pemerintah masih mempertontonkan parodinya, yang katanya melalui rapat-rapat mendadak presiden dan para menterinya akan menambah dana rehabilitasi bencana nasional, padahal itu mungkin masuk dalam hitungan menteri dan jajarannya untuk beberapa rupiahnya masuk di kantong pribadi, para korban bencana gempa jogya beberapa bulan lalu, masih tinggal di tenda-tenda darurat yang tak layak huni lagi, di saat mereka duduk merapatkan dana yang akan mereka habiskan dengan kursi empuk, ruangan ber AC, sementara para korban tidur beralaskan tikar yang sederhana, dingin menusuk tubuh mereka, angin membuat mereka kedinginan. Katanya pemerintan akan lebih memperhatikan kehidupan dan kebutuhan rakyat padahal pemerintah lebih memilih menggusur rumah dan merampas tanah rakyat (ini terjadi pada masyarakat Meruya) untuk kepentingan pembangunan yang katanya demi menaikkan Pendapatan Asli daerah, jangan-jangan untuk masuk kantong pribadi lagi.

kemudian tunggulah tontonan parodi berikutnya yang akan terus dipertontonkan.

ADEKPIGGYE067

Read more...

Sembahyang di Puncak Gunung Bawakaraeng

>> Wednesday, June 6, 2007


Tiba di puncak gunung dan kemudian mengambil gambar (berfose) dan menikmati pemandangan puncak adalah sebuah kenikmatan tersendiri bagi kalangan pendaki gunung maupun penggiat alam terbuka lainnya. Lain halnya bagi beberapa kelompok masyarakat lainnya, mencapai puncak bukan berarti hanya untuk menikmati pamandangan yang disuguhkan lalu kemudian berfose/mengambil gambar sebagi kenang-kenangan, melainkan dengan melakukan aktivitas yang tak lazim dilakukan bagi kalangan lain. Fenomena ini dapat dilihat di puncak Gunung Bawakaraeng (namun pada waktu-waktu tertentu).

Gunung Bawakaraeng adalah salah atu gunung yang cukup terkenal bagi kalangan pendaki gunung maupun penggiat alam terbuka lainnya yang terletak dikabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan ini.

Bawa karaeng sebenarnya adalah suatu penamaan versi terbaru oleh Belanda dari gunung yang disakralkan masyarakat Bugis Makassar. Menurut bapak Abdul Kahar Muslim (deklarator/pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Tokoh Adat Kajang), Sebenanrnya nama sejati dari gunung tersebut adalah Baho Karaeng. Rincian maknanya adalah “Baho” berarti “puncak” dan “karaeng” berarti Kemuliaan (dikutip dari Buletin interaktsi Lembana, edisi ke-ii/Mei 2005). Sehingga tidak jarang beberapa penduduk yang berasal dari sekitar wilayah kaki gunung ini mendaki puncak gunung ini dengan maksud mendaki puncak kemuliaan.

Seminggu menjelang ramadhan 1426 H tepatnya Selasa 27 september 2005, sekelompok masyarakat yang berasal dari kampung yang terletak dikaki gunung Bawakaraeng melakukan ritual keagamaan yang tak lazim dilakukan di puncak gunung lainnya. Pagi itu Tim kami (ASRAMA IMPPAK) yang sedang Camp di Pos 10 gunung ini (+100 m dari puncak) melihat ritual keagamaan ini, beberapa penduduk melakukan sholat di Triangulasi (tugu titik ketinggian tertinggi) gunung ini kemudian mereka duduk bersila di atas tikar dari terpal yang mereka bawa dan kemudian memajang beberapa makanan yang kemudian dengan bacaan-baacaan tertentu mereka menengadahkan tangan selayaknya melakukan doa dengan persembahan sesajen kepada yang Kuasa.

Kami sempat mengambil gambar beberapa ritual tersebut dan berbincang-bincang dengan mereka. Imam mereka yang tak mau menyebut namanya bersama rombongan berjumlah 17 orang yang merupakan kerabat dan tetangganya menjelaskan bahwa ritual ini sudah sering dilakukannya bahkan sejak kakek buyutnya sudah sering melakuakan ritual ini pada waktu menjelang Ramadhan atau diwaktu-waktu tertentu seperti menjelang Idul Adha atau sesudah panen. Menurut beliau ini dilakukan sebagai wujud persembahan rasa syukur manusia kepada Tuhannya yang telah memberikan umur panjang memasuki ramadhan taupun jika di beri hasil panen yang cukup memuaskan. Bahkan menurut yang lain yang tak mau disebutkan namanya mengatakan bahwa ada ritual pada hari raya Idhul Adha di Puncak gunung ini yang dipercaya sama dengan melakuakan haji / umroh di Mekkah yang biasa disebut dengan gelar Haji Bawakaraeng.

Fenomena ini memang cukup sulit diterima bagi kalangan muslim lain, namun kenyataan inilah yang terlihat di atas puncak gunung Bawakaraeng yang sampai sekarang masih terlihat. Bagi mereka (penduduk yang melakukan ritual) terlihat sebuah kebahagiaan spiritual yang terpancar dari roman muka mereka ketika melakukan ritual ini.

Bagi kalangan pendaki gunung Profesional kegiatan ritual yang dilakukan diatas puncak ini tidak lah menjadi hal yang mesti dipersoalkan. Namun yang disayangkan adalah peralatan yang dipakai oleh penduduk ini dalam melakukan kegiatan mendaki dipuncak gunung ini tidak Safety Prosedur (prosedur keamananya tidak memadai). Bayangkan dengan hanya berbekal sarung dan tenda seadanya mereka Camp di puncak ini yang suhunya bisa mencapai 4ºC - 9 ºC serta hembusan angin dan badai yang sering bertiup kencang. Beberapa korban tercatat telah jatuh pada waktu melakuakan ritual ini dikarenakan peralatan yang dibawa tidak mendukung dengan keadaan medan yang sering kali berubah dan ekstrim di atas puncak gunung. Bahkan pendaki gunung pun yang sering melakukan pendakian di gunung Bawakaraeng ini diantaranya ada yang menjadi korban dari ekstrimnya keadaan di gunung Bawakaraeng.

Read more...

Kearifan Masyarakat Pattiro

>> Friday, June 1, 2007

[1]

A s h a r

E.078.05.L0.85.FS-UH

Dusun Pattiro adalah satu dari beberapa dusun yang terletak di kaki gunung Lompobattang[2]. Dusun ini merupakan wilayah dari desa Manimbahoi kecamatan Parigi, hasil pemekaran dari kecamatan Tinggi Moncong kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Dusun Pattiro terletak sekitar 75 km sebelah Tenggara Makassar yang terletak pada ketinggian 1110 mdpl. Secara geografis desa Pattiro berada pada: 119˚ 51’ 30’’ LS dan 4˚18’ 10’’ BT. Sedangkan secara administratif terletak di:

Sebelah utara berbatasan dengan : Desa Raulo

Sebelah selatan berbatasan dengan : Bulu Maccinri

Sebelah timur berbatasan dengan : Desa Borongbulo

Sebelah barat berbatasan demean : Bulu Pattangang

Nama dusun Pattiro berasal dari bahasa Makassar yang artinya melihat dari atas ketinggian. Dusun Pattiro berpenduduk 538 jiwa dengan 123 kepala keluarga. Penduduk yang mendiami dusun Pattiro terdiri dari dua bagian besar. Penduduk aslinya disebut Tobutta sedangkan untuk penduduk pendatang disebut Tolili. Sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani.

Dusun Pattiro mengalami pertambahan peduduk yang pesat pada tahun 1970. Penduduk pendatang tersebut berasal dari perbatasan Kabupaten sinjai yaitu Ta’binjai.

Di dusun Pattiro dan desa manimbahoi umumnya, suasana kerajaan masih sangat kental. Walaupun berada di wilayah kabupaten Gowa, dusun Pattiro tidak menganut sistem somba dalam sistem pemerintahannya melainkan mereka menganut sistem Gallarang yaitu sistem pemerintahan yang terdiri dari 12 orang petinggi yang memegang peranan masing-masing dalam kehidupan masyarakat. Ke duabelas petinggi tersebut yang masih bertahan sampai sekarang adalah:

  1. Gallarang toa adalah orang yang bertugas menentukan gelar dan pengambil keputusan. Tugas tersebut juga berlaku untuk gallarang tangga dan gallarang lolo
  2. gallarang tangga
  3. gallarang lolo.
  4. Anak gallarang adalah orang yang bertugas sebagai mentri atau pelaksana
  5. Tau toa adalah orang yang dituakan sebagai penasehat. Tau toa adalah seorang laki-laki
  6. Anrong parrasanging adalah juga sebagai penasehat dari keduabelas gallarang. Anrong Parrasanging adalah seorang perempuan
  7. Tobaraniya adalah orang yang bertugas sebagai pelindung
  8. Sanroa orang yang bertugas sebagai dukun Gallarang
  9. Pinati adalah orang yang bertugas untuk mengatur air dalam pertanian
  10. Imang adalah orang yang bertugas sebagai guru
  11. Suro adalah orang yang bertugas sebagai pelaksana tugas atau tim tekhnis
  12. Anrong adalah pemimpin dari gallarang

Sebagai masyarakat gallarang strata sosial masih dipandang oleh masyarakat pattiro dan sekitarnya. Strata sosial yang dimaksud adalah sebagai berikut:

  1. Karaeng : Keturunan raja
  2. Patta : Bapak karaeng dan ibu daeng
  3. Andi : Bapak patta dan ibu orang biasa
  4. Ana : Bapak daeng dan ibu patta
  5. Puang : Sejajar tapi tak seimbang, keturunan karaeng tapi kawin

dengan janda/duda

  1. Daeng : Sebagian puang sebagian orang biasa
  2. Ambe : Keturunan orang biasa
  3. Uwa : Keturunan budak

Dalam adat gallarang teko sering dilaksanakan upacara-upacara adat. Adapun upacara-upacara yang pelaksanaanya tidak boleh dimulai apabila keduabelas gallarang belum datang itu antara lain:

  1. Appatinro Bine adalah upacara yang dilakukan sebelum musim tanam padi. Upacara ini hanya dilaksanakan 1 kali dalam tiga tahun di balla lompoa
  2. A’balisumange yaitu upacara yang dilaksanakan sesudah panen di rumah sanro (dukun)
  3. Assaukang yaitu upacara sukuran di hulu air yang digunakan untuk pertanian yang dilaksanakan sesudah panen
  4. Nganre pare lolo (pakan padi muda) yaitu upacara syukuran yang dilaksanakan dengan mengumpulkan padi masing-masing satu ikat dari setiap petani yang dilaksanakan di balla lompoa
  5. Attompolo atau aqikah.

Keseluruhan upacara adat tersebut adalah upacara menyangkut hal pertanian

Selain masih kental dengan upacara adatnya. Gallarang teko juga masih memegang teguh hukum adat yang berlaku turun-temurun. Contoh kasus yang pernah terjadi; Apabila ada dua orang yang kawin lari, maka apabila mereka kembali ke kampung mereka,dan berniat untuk baik dan minta maaf atas kasalahannya maka mereka harus membayar denda berupa uang sejumlah dua kali lipat dari mas kawin, keris,kain putih dan sarung setelah itu mereka harus menyediakan makan untuk warga kampung yang datang. Apabila hanya salah satu dari mereka kembali dan mengakui kesalahannya dan minta maaf, maka dia harus menghadap ke balla lompoa dan bersiap untuk didenda dengan uang sejumlah dua kali lipat dari mas kawin, keris, kain putih dan sarung. Denda berupa uang dibagikan secara merata kepada kepal desa, imam desa, ketua RK dan RT.

Konon sebelum masuknya sistem hukum Negara di pattiro, hukum adat yang berlaku antara lain dihukum gantung bagi orang yang membunuh dan memperkosa saudara dan anak. Bagi orang yang berzina maka akan diberi hukum yang namanya pela atau diusir dari kampung halamannya. Sementara untuk keamanan kampung, ada kelompok masyarakat yang terdiri dari para lelaki yang apabila terjadi pencurian, pelakunya akan dihakimi sampai meninggal. Dengan alasan takut akan adanya provokasi, kelompok tersebut dibubarkan.

.

* * *

Bagaimana masyarakat Pattiro memandang gunung?

Sebagai Masyarakat kaki gunung, masyarakat Pattiro masih mempercayai kekuatan-kekuatan mistik yang terdapat pada gunung disekitar dusun mereka. Terdapat beberapa gunung yang dipercaya oleh masyarakat Pattiro memiliki kekuatan mistik. Gunung tersebut adalah Gunung Lompobattang, Bawakaraeng, Batu Maccinri dan Bulu Muncua. Keempat gunung tersebut mereka anggap sebagai bagian dari tujuh bersaudara. Gunung yang lain adalah Latimojong, Bulusaraung dan Patalassang.

Gunung Bawakaraeng[3] (2830 mdpl) dianggap gunung yang paling banyak menyimpan kekuatan ghaib. Gunung Bawakaraeng dianggap sebagai saudara laki-laki dari Gunung Lompobattang yang perempuan. Konon katanya Bawakaraeng pernah menampar Lompobattang hingga miring sampai sekarang dikarenakan Lompobattang ingin mengalahkan ketinggian Bawakaraeng.

Masyarakat mempercayai ada 41 nabi yang bersemayam di puncak Bawakaraeng. Hal itu yang mendasari kepercayaan masyarakat bahwa apabila naik ke puncak Bawakaraeng sebanyak 41 kali maka akan dianggap sebagai haji kecil. Dari nabi-nabi yang ada di puncak bawakaraeng, terdapat seorang nabi yang dianggap paling membawa pengaruh. Nabi tersebut adalah nabi Hiller. Nabi hiller yang dianggap sebagai ayah dari Syech Yusuf konon adalah nabi yang menguasai air. Sumur yang biasanya langka terdapat di puncak-puncak gunung yang tinggi justru terdapat di Gunung Bawakaraeng.

Ada beberapa tempat yang dianggap masyarakat memiliki keistimewaan masing-masing.

  1. Palantikang yang dipercaya masyarakat sebagai tempat dilantiknya ke41 nabi yang bermukim di puncak Bawakaraeng.
  2. Batu bertubuh wanita. Dipercaya bisa memberikan jodoh dengan melakukan ritual khusus untuk itu[4]
  3. Tanah Mekkah, terdapat di pos[5]12 yang digunakan oleh masyarakat untuk menyimpan sesajen
  4. Bungung Barania, adalah sumur yang berada di pos 11. sumur ini memiliki air yang dipercaya memiliki banyak khasiat

Selain tempat tempat tersebut, ada beberapa jenis tumbuhan yang dipercaya masyarakat mempunyai khasiat antara lain:

  1. Pohon Ketubi, berkhasiat untuk obat yang sangat mujarab
  2. Lida Padalle, dipercaya masyarakat sebagai alat pembunuh yang lebih tajam dari keris. Pohon ini terletak di sekitar tanah mekkah. Daunnya harum menyerupai jeruk.
  3. Pohon rotan yang ruasnya berhadapan, dipercaya sebagai jimat untuk sukses dalam berdagang.

Untuk mendaki Bawakaraeng, tidak dengan naik begitu saja. Konon, untuk naik ke puncak Gunung Bawakaraeng (pos 10) tidak diperbolehkan untuk bertolak pinggang, pegang lutut, menggunakan tongkat dan melafalkan kata-kata bernada capek karena dianggap menghina para penghuni yang ada di puncak. Selain itu, tidak boleh berlomba-lomba dalam mendaki sampai ke puncak. Orang yang terlebih dahulu meninggalkan rumah, harus orang itu juga yang tiba terlebih dahulu.

* * *

Selain upacara adat yang semuanya dilaksanakan sebagai tanda syukur atas hasil pertanian. Masyarakat juga memiliki keunikan tersendiri dalam melaksanakan pelbagai upacara seperti pernikahan, kelahiran dan kematian

Dalam upacara perkawinan, dikenal beberapa istilah dalam adat masyarakat pattiro yaitu Jangang-jangang artinya mengintai atau melihat calon istri yang nantinya akan dilamar, Assuro artinya melamar perempuan, Sompa artinya benda-benda yang dibawa sebagai harga wanita yang akan dinikahi, Maburitta artinya Memanggil keluarga terdekat secara lisan. Cara pangginya pun cukup unik yaitu dengan membawa tembakau beserta kertas dan korek kemudian orang yang dipanggil melenting tembakau tersebut kemudian merokok, Mabadda artinya merias calon pengantin dan Ammatoang artinya pergi ke rumah mertua.

Yang unik dalam upacara kelahiran yaitu dalam prosesi pemberian nama kepada anak yang lahir. Nama bayi tidak diberikan oleh orang tua sang bayi namun diberikan oleh tetua adapt. Caranyapun sangat unik yaitu dengan mengumpulkan beberapa nama yang dituliskan pada kertas selembar kemudian dimasukkan ke dalam gelas untuk kemudian dilot. Nama yang keluar akan menjadi nama bayi tersebut.

* * *

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa sebagian besar masyarakat Pattiro berprofesi sebagai petani. Ada dua jenis tanaman pertanian yang dominan di dusun pattiro yaitu padi dan kopi.

Padi

Daerah pattiro merupakan daerah yang berada dalam jajaran punggungan gunung lompobattang. Sawahnya adalah jenis sawah berundak dengan pengairan yang mengunakan air yang berasal dari pegunungan Lompobattang.

Sebagaimana lazimya dalam penanaman padi, ada beberapa tahap dalam penanaman padi antara lain pembajakan, pembibitan, penanaman dan panen. Tapi yang unik didalam system pertanian masyarakat Pattiro yaitu setelah proses pembajakan yang dilakukan oleh kaum pria maka akan dilanjutkan dengan proses pembibitan dan penanaman padi dilakukan oleh perempuan. Para perempuan ini hanya diberi empat ikat padi dari setiap pemilik sawah yang dilakukan pada saat panen yang dilakukan bersama sama antara laki-laki dan perempuan.

Untuk menentukan waktu tanam, petani di desa pattiro masih menggunakan sistem perbintangan dan percaya akan mitos tentang hari baik. Masyarakat mengenal beberapa bintang yang mereka percaya sangat berpengaruh dalam berhasil tidaknya mereka dalam menggarap tanah pernaniannya.

  1. Bara’ babia

Bintang bara’ babia ditandai dengan hujan 40 hari sekitar bulan Februari. Jumlah bintang pada jenis ini adalah tujuh bintang. Bentuknya berupa segi empat dan tiga bintang melintang di dalamnya. Apabila bintang ini berada ditengah-tengah maka masyarakat enggan untuk menggarap tanahnya karena tanaman yang mereka tanam akan diserang oleh babi

  1. Bintang Pa’jeko

Bintang ini berbentuk pembajak sawah (rakkala). Bintang ini muncul pada bulan Januari. Bintang pa’jeko akan berjalan naik selama 14 hari dan akan berada ditengah selama 2-3 hari. Pada saat berada di tengah itulah petani menurunkan bibit. Dua bulan setelah itu bersamaan dengan bibit siap tanam, akan turun hujan deras.

  1. Bintang Purung-purung

Bintang jenis ini juga turun pada bulan Januari menyusul setelah bintang Pa’jeko. Bintang ini berjumlah 28 biji yang berkumpul tidak beraturan.

  1. Bintang Balla sipue-pue

Bintang ini terdiri dari 14 biji yang tersusun membentuk rumah yang sebelahnya tidak berdinding. Bintang ini muncul pada bulan maret. Apabila menanam padi di bulan ini, maka kemungkinan besar tidak akan berhasil.

  1. Bintang ayam

Bintang ayam adalah bintang yeng terdiri dari hanya satu bintang yang terang. Saking terangnya, bintang tersebut seolah-olah memiliki sayap. Bintang jenis ini ada dua macam yaitu bintang ayam yang ada di arah Bone dan bintang yang ada di arah Bantaeng. Bintang yang ada di arah bone akan muncul pada bulan april dan datangnya akan membawa hujan sedangkan bintang ayam bantaeng muncul pada bulan maret yang tidak membawa hujan.

Untuk urusan penangggulangan hama, masyarakat Pattiro sudah banyak yang sudah menggunakan pestisida. Namun masih ada juga yang masih bertahan dengan cara-cara tradisional seperti dalam menghalau wereng/nango atau kupu-kupu mereka menggunakan satu alat yang disebut Bunreng, alat yang berupa jaring untuk menangkap hama tersebut. Bahkan masih ada yang menggunakan mantra yaitu dengan menangkap satu dari wereng atau hama yang lainnya kemudian membacakan mantra kemudian meniupkannya terbang kembali.

Kopi

Jika kita berjalan disepanjang jalan di dusun Pattiro, Semua kebun yang dijumpai semuanya ditanami dengan kopi. Kopi merupakan andalan masyarakat dalam hal perkebunan. Selain harganya yang cukup lumayan di pasaran, kopi juga tidak membutuhkan perawatan khusus.

Tidak ada yang tahu pasti kapan pertama kali kopi masuk di Pattiro, yang mereka ingat bahwa yang membawa kopi itu masuk adalah orang Belanda melalui bantuan sembilan bibit per kepala keluarga. Jenis kopi yang berkembang rata-rata adalah masih dari jenis kopi pemberian tersebut yang dikenal masyarakat sebagai kopi Belanda padahal sebenarnya kopi tersebut adalah kopi jenis Robusta.

Seiring dengan perkembangan kopi di dusun Pattiro, Ada dua jenis kopi yang lain yang masuk setelah masuknya kopi belanda. Jenis kopi tersebut adalah kopi Arabika dan kopi Bantaeng.



[1] Laporan Observasi Kearifan Masyarakat Kaki Gunung UKM PA Edelweis FS-UH 2006

[2]Lompobattang (2874 mdpl) yang artinya perut besar merupakan satu dari beberapa puncak yang berada dalam jejeran pegunungan sulawesi. Salah satu puncak yang bersebelahan adalah gunung Bawakaraeng. Diantara kedua gunung tersebut mengalir sungai Jenne’berang yang merupakan penyuplai air bersih untuk daerah Makassar dan sekitarnya.

[3] Gunung bawakaraeng memiliki beberapa nama antaralain Butta toa, Butta Lompoa dan butta salama

[4] Ritual yang biasa dilakukan di puncak bawakaraeng untuk meminta sesuatu biasanya menggunakan tata cara islam seperti shalat dan berdoa yang mengunakan bahasa arab/campuran bahasa daerah

[5] Pos merupakan tahap tahap yang ditempuh dalam mendaki gunung. Biasanya sebuah pos memiliki keistimewaan tersendiri seperti tempatjhnya lapang untuk istirahat atau dekat dengan sumber air.

Read more...

  © e-production