Ekspedisi Toraja 2009

>> Saturday, December 19, 2009

Kurang lebih seminggu di Toraja menikmati suasana dingin di malam hari dan panas menyengat di siang hari melakukan pemanjatan dan observasi budaya sebagai bentuk kegiatan ekspedisi Toraja 2009 UKM PA Edelweis FIB-UH. Enam hari melakukan pemanjatan dua malamnya di atas tebing sungguh sangat melelahkan tapi menyenangkan pada akhirnya ketika menatap puncak tebing dengan senyum sapa para penjemput.....

\

Read more...

kilas Ekspedisi Toraja 2009

>> Friday, November 6, 2009



UKM PA EDELWEIS FIB-UH pada periode 2009-2010 setelah mampu melkasanakan Ekspedisi Sojol di awal tahun 2009, kini kembali melaksanakan Program Kerja yakni Ekspedisi Tebing Toraja, program ini secara berkesinambungan dilaksanakan guna pengaplikasiaan skil Kepecintaalaman serta diharapkan mampu melahirkan Instruktur untuk pendidik Generasi Edelweis.
Persiapan Ekspedisi mulai dicanangkan awal April sampai terealisasi pada akhir October dan akan berakhir pada awal November 2009. Beberapa tahap persiapan seperti penyusunan konsep, presentase awal/persiapan, simulasi serta penyelesaian urusan administrasi dan pengumpulan dana kegiatan sepenuhnya diatur dan dilaksanakan oleh tim ekspedisi yang telah di SK-kan oleh pengurus serta bantuan dari anggota edelweis sendiri. Ekspedisi ini mengusung tema “ mengenal budaya untuk lebih berbudaya”. Tana Toraja dijadikan sebagai objek petualangan kali ini dengan berbagai pertimbangan salah satunya adalah kekentalan budaya local yang masih tetap eksis disamping itu tebing yang akan dijadikan objek pemanjatan merupakan tebing yang masih baru dalam artian belum terjamah oleh pemanjat sebelumnya. Lokasi kegiatan yakni di desa Sanggala kecamatan Mengkendek Tana Toraja. Kegiatan ini berlangsung mulai tanggal 30 october-06 november 2009.
Simulasi Ekspedisi dilaksanakan dua kali masing-masing di daerah Maros yakni Tebing Depsos dan Tebing di desa Semanggi. Persiapan seperti latihan rutin yang meliputi jogging dan bolder juga rutin dilakukan baik di dalam kampus maupun menggunakan fasilitas lain seperti Wall Mapala STIK Tamalate.
Pada akhir October dilaksanakan presentase persiapan oleh tim ekspedisi yang diwakilkan oleh Muklis selaku ketua Ekspedisi, Ashar sebagai Pimpinan Operasi Lapangan dan Basran selaku coordinator observer . Presentase ini turut pula dihadiri oleh Pembantu Dekan III FIB-UH, abang Nevy selaku pengamat dan actor Petualangan, KOMPAS FISIP-UH, CAREFA FH-UH, Senator FIB-UH serta undangan dari HMJ/UKM lingkup Fakultas Ilmu Budaya UNHAS.
Tim ekspedisi yang diketuai oleh Mukhlis menggunakan struktur kecil yang terdiri atas ketua ekspedisi, bendahara, dan beberapa perangkat seperti administrasi dan keuangan. Sementara untuk atlit akan diambil dari tim tersebut, ini dikarenakan kuantitas anggota yang sangat minim maka diputuskan untuk memakai struktur kecil. Untuk efektivitas kegiatan dilapangan tim ekspedisi dibagi ke dalam dua bagian yakni Atlit/pemanjat terdiri atas tiga orang yakni Ashar (pimpinan operasi), Indra dan Chimenk dan tim observasi (observer) yang dikoordinatori oleh Basran, Rini dan Dedy. Sementara untuk keperluan Dapur atau basecamp bertindak sebagai kepala bagian yakni Neo dan Noge yang dibantu oleh beberapa anggota lainnya. Tim observer ini nantinya yang akan terjun langsung dan berbaur dengan masyarakat sekitar lokasi pemanjatan untuk melakukan observasi terhadap kebudayaan yang kemudian akan dituangkan dalam bentuk tulisan.
Pada tanggal 30 october 2009 pukul 14.00 Acara pelepasan dilaksanakan secara sederhana di halaman Fakultas yang dihadiri oleh aktivis Fakultas serta Pembantu Dekan III FIB-UH, lingkaran sederhana yang cukup khidmat diiringi pesan dan iringan doa kepada tim Ekspedisi agar selamat dan sukses dalam kegiatannya. Pada pukul 20.00 bersama keluarga besar Edelweis kami melepaskan kepergian tim ekspedisi.
Sukses buat teman-teman

Read more...

Buka Puasa Kocar-Kacir

>> Wednesday, September 30, 2009




Pada hari kamis, 10 September 2009, pengurus UKM PA Edelweis FIB-UH mengadakan buka puasa bersama intern anggota. Kegiatan yang diorganisir oleh panitia yang mengatasnamakan dirinya panitia kocarkacir yang dikoordinatori oleh Ipul ini diharapkan dapat menjadi media silaturahmi antara anak-anak edelweiss baik yang masih akif kuliah maupun yang sudah alumni. Namun, sayangnya tidak banyak alumni yang datang. Yang datang hanya Kak Eman, Kak Enal Bolla, Kak Indong, Kak Nita, Kak Imran, dan Kak Pate. Namun hal tersebut tidak mengurangi kemeriahan acara ini. Di sela-sela kegiatan ada beberapa senior yang menelpon seperti kak Indy, Kak Ilo dan Kak Uji.
Setelah Buka puasa semuanya berkumpul di sebuah gazebo milik edelweis yang berdiri di belakang mabes edelweiss. Di sana ada pembagian baju sebagai ajang penghimpunan dana untuk ekspedisi Toraja 2009 yang akan diadakan akhir oktober mendatang. Setelah itu dilanjutkan dengan nostalgia dengan cerita-cerita masalalu yang masih terdengar lucu walaupun sudah terdengar berkali-kali. Ada juga diskusi tentang berbagai versi sejarah berdirinya Edelweis. Acara ini berlangsung sampai jam 1 malam.

Read more...

Simulasi Ekspedisi

>> Friday, July 31, 2009





Paman Buaya atau Taman Buaya, masih belum jelas mana yang benar. Nama tersebut adalah nama tebing yang menjadi lokasi simulasi panjat tebing kedua yang dilakukan oleh tim ekspedisi Toraja 2009 Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam Edelweis Fakultas Ilmu Budaya Unhas 23-26 Juli 2009. Kami tidak sempat menelusuri mengapa namanya seperti itu. Yang jelas beberapa protes muncul jika seseorang menyebut paman buaya begitu pula sebaliknya. Tebingnya berada di desa Taddeang kabupaten Maros, sekitar 4 km arah timur permandian alam Bantimurung.
Perlu berjalan kaki beberapa menit untuk mencapai dasar tebing. Melewati perkampungan penduduk, bekas galian tanah yang katanya menjadi tanah timbunan jalan di Makassar dan perkebunan. Beberapa meter sebelum mencapai dasar tebing, tanjakannya cukup menguras tenaga.
Hari sudah menjelang sore, hujan baru saja reda sehingga jalan tanah yang kami lewati lengket pada sandal yang kami pake. Tim pendahulu hanya enam orang; Saya, Muklis, bang Nevy, kak Eman, Rini dan Neo. Itupun Neo tidak sempat angkat barang sampai di dasar tebing yang menjadi tempat camp. Jadi kami berlima yang harus menyelesaikan tugas mengangkat barang yang terdiri dari beberapa potong barang; 4 carrier, genset, kompor, tabung gas, 3 karung, 1 galon, dan 1 whiteboard. Dengan semangat tinggi kami menyelesaikan dengan susah payah. Menjelang malam Chimenk, Indra dan Patrik datang.

Sebelum malam camp kami sudah siap, kecuali genset yang sempat macet, padahal gelap sudah mulai menyerang. Maklum, tidak ada diantara kami yang genseter (istilah untuk yang jago genset) terpaksa semuanya mendadak menjadi tukang genset dadakan. Setelah mengutak-atik seberapa saat, gensetpun menyala dengan satu kali tarikan dari kak eman, sejak itu kak eman didaulat menjadi genseternya.
Malam dilalui dengan diskusi, bercanda tentang apa saja. Yang menjadi sasaran adalah Mukhlis yang baru saja bermasalah dengan perasaan. Nasihat-nasihat baik yang positif-maupun negatif silih berganti keluar dari bibir kami. Sementar itu rintik-rintik hujan masih sekali-kali terasa mengguyur daun-daun bagian luar dasar tebing. Setelah briefing kami istirahat untuk memulai pemanjatan keesokan harinya.
Tiga hari kami bekerja di tebing. Membuat jalur pemanjatan termasuk baru buat kami yang menjadi tim ekspedisi (Saya, Indra, Petrik dan Chimenk). Kami membuat jalur sedikit lambat hingga sesekali terdengar teriakan “kaya orang Jawa saja!’ coba lebih cepat lebih baik!. Malam minggu kami berempat bermalam di atas tebing. Segala keperluan kami ditransfer lewat tali termasuk makanan.
Akhirnya, pada hari kami berhasil menyelesaikan jalur kira-kira 40 meter. Ada perasaan puas tersendiri bagi kami. Kami berhasil menaklukkan emosi, menumbuhkan kerja tim. Ada perasaan haru ketika menghadapi kenyataan bahwa satu malam hidup hanya lima kali satu meter ketika bermalam di atas tebing. Tapi ini hanyalah simulasi sebelum menghadapi ekspedisi sesungguhnya di Toraja bulan oktober mendatang yang tingginya sekitar 120 meter. Yang jelas kami melakukan ini bukan untuk menjadi pemanjat tapi untuk menjadi manusia.
Viva edelweiss……

Read more...

Memanjat tebing Maros

>> Thursday, July 9, 2009



team work....

Read more...

Seminar Dinamika Pecinta Alam

>> Friday, May 29, 2009

Pada pengabdian yang tak sedikit menguras tenaga akhirnya panitia pelaksana keluarga besar kerukunan Mapala se-FIS (Fakultas Ilmu Sosial) yang terdiri dari kepantiaan kolektif, melibatkan antara lain :UKM PA Edelweis FIB-UH, Carefa FH-UH, Equilibrium FE-UH dan Kompas FISIP-UH, berhasil menyelenggarakan seminar sehari dengan nama Seminar Dinamika Pecinta Alam yang mengusung tema “ Mahasiswa Pecinta Alam dalam Konteks Kekinian”. Seminar yang sempat tertunda dua kali ini akhirnya terlaksana pada tanggal 06 Mei 2009 di Aula Mattulada UNHAS yang dihadiri oleh kalangan Mahasiswa Pecinta Alam dari berbagai Universitas, serta KPA dan Sispala seMakassar.
Seminar ini menghadirkan tiga pembicara sebagai panelis yakni Pembantu Rektor III UNHAS yang membahas tentang peran MAPALA dalam lingkungan Universitas, Mohammad Neil, dosen Antropologi Fisip UNHAS, yang tidak suka diikutkan dengan gelar Profesornya turut berbagi ide tentang Hubungan Alam dan Manusia serta Ishak Ngejalratan, staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya,yang tidak kurang lebih tidak suka diikutkan gelar Profesornya, membagikan ilmunya tentang Makna Cinta dalam kata Kepecintaalaman. Selain ketika Panelis tersebut, turut pula hadir tokoh yang tak asing lagi bagi kalangan Pecinta Alam di Makassar yakni Bang Nevy sebagai Fasilitator.
Tujuan utama kegiatan seperti ini adalah membangun kembali ruh atau semangat cinta yang ada dalam dada para petualang, agar bisa memaknai perjalanan di dunia ini tak semata sebagai petualangan belaka, tapi kita harus memaknainya lebih dalam dengan label kata cinta yang tak lain adalah pengabdian. Berbicara masalah pengabdian, kepada siapa lagi kita harus berbakti kalau bukan kepada alam semesta dan masyarakat apalagi kita sebagai masyarakat ilmiah. Disamping itu, digalangkannya kegiatan dengan system kepanitiaan kolektif diharapkan mampu menjadi wadah komunikasi yang baik sesama MAPALA sehingga keharmonisan senantiasa terjalin, bukan sikap uring-uringan yang berujung pada perpecahan apalagi dalam tubuh organisasi yang kita sanjung tinggi “Pecinta Alam”.
Kami keluarga besar Kerukunan MAPALA se-FIS mengucapkan rasa terima kasih yang dalam kepada semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ini. semoga kita akan abadi bersama dekapan mesra alam semesta. Siddi ada, siddi gau (pepatah bugis) artinya satukan kata dengan perilaku. Janganlah berujar sesuatu yang tak mampu kita lakukan.
Wassalam…
Kerukunan MAPALA se-FIS

Read more...

Picnik ke Bulusaraung

>> Thursday, April 2, 2009


Panas sangat terik menyelimuti kampus Unhas siang hari jumat 20 maret 2009. Memang beberapa hari terakhir ini hujan mulai berhenti mengguyur kota Makassar. Tapi nampaknya cuaca tidak mempengaruhi sebagian mahasiswa untuk tetap beraktifitas. Termasuk beberapa anak Edelweis yang nampak sedang mengepack perlengkapan mendaki. Tujuh orang anak Edelweis memutuskan untuk mendaki Gunung Bulusaraung (1353 mdpl) yang berlokasi di kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Mereka adalah Ipul, Acha, Vandend, Dedy(Pimpinan Operasi), Noge, Mukhlis dan Rini.
Menurut rencana, tim akan meninggalkan Makassar tepat selepas shalat jumat. Namun beberapa anggota tim datang terlambat. Vandend menelepon setelah shalat jumat, tepat ketika dia baru bangun tidur. Dari rumahnya di dekat pantai Losari, Vandend harus menempuh waktu setidaknya satu jam. Namun, cuaca yang terik juga sedikit mengurungkan niat kami untuk berangkat terlalu cepat.
Kami meninggalkan mabes pukul 16.30 setelah melewati pelepasan kecil-kecilan di tangga mabes bersama beberapa anggota lain dan pak ketua. Dari mabes kami jalan kaki menuju pintu II Unhas untuk naik pete-pete menuju Kota Maros. Seorang supir langsung menghampiri kami setelah kami tiba di pintu II. Ia langsung menawarkan mobilnya untuk di carter ke tempat tujuan kami yakni di desa terakhir yang bernama Pabbunojuku. Ia member tarif Rp. 150.000. Namun kami ragu untuk memutuskan karena sepertinya sopirnya tidak tahu di mana tepatnya lokasi yang mau kita datangi. Kami pernah mengalami ketika itu ke tebing di Maros, kami menumpangi mobil yang tidak tahu tepat lokasi tujuan kami. Ia marah-marah ketika ternyata tujuan kami cukup jauh menurutnya, padahal tarifnya sudah disepakati. Terpaksa kami turun di tengah jalan. Kami memutuskan untuk naik mobil ke Maros kota saja dengan tarif Rp. 6000 per orang. Dari Maros kota kami melanjutkan perjalanan ke Pabbunojuku dengan tarif yang di minta Rp. 5000 per orang. Walaupun pada akhirnya setelah tiba di tempat, sopir minta Rp. 50.000 untuk tujuh orang. Tapi kami rasa wajar dengan jarak dan kondisi jalan yang sudah mulai rusak. Lagi pula perkiraan kami menyangka tarif ke sana paling randah Rp. 10.000 per orang.
Kami tiba di Pabbunojuku ketika adzan magrib sudah berkumandang dari sebuah masjid di desa yang terdapat sebuah pabrik pengolahan marmer yang cukup besar. Di belakangnya nampak bukit karst yang sudah terpotong oleh penambang marmer. Nampak satu per satu bola lampu mulai menyala di puncak bukit itu. Kami berjalan menyusuri pengerasan yang cukup panjang. Sesekali kami menemui penduduk yang sedang berdiri di pinggir jalan. Namun tak ada muka ramah nampak dari muka para penduduk seperti yang biasa kami jumpai di beberapa tempat. Sampai akhirnya kami menemui seorang anak muda yang mengajak kami untuk menginap di rumahnya. Anak itu namanya……….. Katanya, rumahnya sudah sering menjadi tempat anak-anak Mapala dari Makassar. Sebenarnya tawarannya tidak langsung kami terima. Kami sempat memutuskan untuk mendirikan tenda di tepi sebuah bendungan. Tapi kami berpikir, ada teman yang ingin menyusul dari Makassar, sementara tenda hanya pas untuk tujuh orang. Ternyata betul, kak Eman, Indra dan Wawan datang menyusul. Tapi mereka datang bukan untuk ikut mendaki, tapi hanya untuk sekedar refreshing. Cerita Bawang Merah Bawang Biru melepas perginya kami ke dunia mimpi.
Esoknya kami meninggalkan kampung pukul 9.30. Cuaca sangat cerah dan suhu pegunungannya masih belum terasa. Maklum, ketinggiannya masih sekitar 20-an mdpl. Ipul adalah satu-satunya anggota tim yang pernah melewati jalur ini tahun 2004 silam. Ingatannya tentang jalur sudah sangat kabur. Ipul menjadi leader, memimpin tim menapaki jalur setapak. Sesekali kami beristirahat meneguk air sungai yang telah dimasukkan ke dalam botol sambil melemparkan lelucon yang membuat kami sesekali tertawa terkekeh-kekeh. Teriknya sinar matahari membuat keringat kami keluar sangat deras. Udara kembali segar ketika kami kembali memasuki rimbunan beranekaragam pohon. Terlihat banyak pohon aren yang sedang di sadap untuk di ambil nirahnya. Tim bergerak lumayan cepat meliuk-liuk memotong hutan yang lama-kelamaan menjadi rimbun. Sesekali kami kehilangan jalur, tapi peta yang kami bawa sangat membantu memandu perjalanan kami hingga akhirnya kami menemukan sebuah tempat yang kelihatannya seperti bekas sebuah kampung. Di sana ada beberapa pohon kelapa yang tumbuh rapat. Ada selokan air dan sebuah rumah bekas yang tampaknya tidak lama lagi akan roboh. Di depan rumah itu kami memutuskan untuk makan siang. Mi instant dan potongan-potongan nudget kami santap dengan lahapnya. Belum sempat kami merapikan segala perlengkapan kami, hujan mulai rintik. Untungnya ada rumah tadi. Kami berteduh di bawah kolongnya walaupun masih ada saja air yang berhasil lolos mengenai kami.
Kami melanjutkan perjalanan setelah hujan reda walaupun kembali turun ketika kami sedang jalan. Hanya Acha dan Vandend yang menyempatkan diri memakai pelindung hujan (raincoat). Tim sudah mulai harus banyak memeras otak untuk menganalisa jalur karena banyak sekali percabangan jalur penduduk. Tim memburu salah satu titik ketinggian yang harus dilewati yang katanya bernama Timpalaja. Kami membuat kesalahan fatal ketika mengambil jalur kanan pada sebuah percabangan. Seharusnya kami mengambil jalur kiri, namun kami menempuh jalur kanan karena kami melihat beberapa tapak sepatu yang kelihatannya masih sangat baru. Kami baru sadar ketika kami menemukan sang pemilik bekas sepatu. Mereka adalah anak Mapala UIM Makassar yang sedang melakukan pendidikan dasar. Hamper saja kami kembali menuju Leang-leang, mengikuti jalan tersebut. Karena hari sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk mencari tempat camp. Setelah makan dan main kartu remi, kami segera tidur setelah sebelumnya terjadi perang kentut antara Dedi dan Vandend. Rini yang setenda dengan mereka menjadi korbannya.
Seperti kemarin, kami meninggalkan camp sekitar pukul 9. Kami harus memburu keterlambatan kami akibat ketersesatan kami. Di jalan ada kejadian lucu, di tengah perjalanan, Rini minta izin untuk buang air besar. Ia pun menuju tempat yang tersembunyi. Tak lama Noge juga mau. Entah sadar atau tidak, Noge mengambil arah yang sama dengan arah yang di ambil Rini. Kami yang sedang asyik cerita langsung kaget ketika mendengar teriakan Rini. Pikir kami Noge melihat Rini sedang buang air. Ternyata kejadiannya sebaliknya. Bukan lantas berdiri dan memakai celana, Noge malah dengan santainya meneruskan hajatannya. Dasar Noge Buta Hati!
Tak lama, untuk pertamakalinya, puncak Bulusaraung mulai Nampak. Kelihatanya masih sangat jauh. Beberapa kali kami mem-plot lokasi untuk keperluan menggambar jalur. Selanjutnya kondisi medan bertambah berat. Selain beberapa kali harus membuka jalur, kami harus melewati medan dengan kemiringan yang cukup terjal yang di penuhi dengan tumbuhan pohon rotan yang berduri. Tiba-tiba di tengah hutan yang begitu lebat, kami mendengar teriakan orang. Kamipun membalasnya. Ipul mencoba mengikuti di mana asal suara tadi. Ternyata, suara itu berasal dari dua orang anak mapala UIM. Ketika bertemu anak Mapala UIM kemarin, memang mereka bilang ada dua orang temannya yang kembali mengantar seorang peserta diksarnya yang mengundurkan diri.
Akhirnya setelah melewati perjalanan yang melelahkan, kami sampai di puncak Timpalaja. Kami lama duduk memandangi puncak Bulusaraung yang tampak kokoh seperti sebuah tumpukan batu besar. Dari jauh tampak tak ada jalur untuk naik ke punvcaknya. Terbayang kasus anak Korpala Unhas yang meninggal terjatuh beberapa bulan yang lalu ketika mendaki puncak yang sama. Walaupun kami tidak tahu persis dimana tempat jatuhnya.
Selanjutnya kami berjalan menuju lembah. Hari sudah mulai beranjak sore ketika kami menemukan sebuah tempat camp yang cukup luas. Kami berdebat apakah tim melanjutkan perjalanan menuju puncak karena air yang kami punya tinggal setengah jergen ukuran lima liter. Setelah survey lokasi sekeliling, Acha menemukan sebuah mata air yang cukup jauh dari tempat camp. Akhirnya kami memutuskan untuk camp. Artinya, perjalanan kami tidak sesuai dengan perencanaan kami. Rencananya kami camp di Pos 9 Bulusaraung pada malam ketiga. Itu artinya jumlah total hari perjalanan bertambah. Hal itu tidak ada masalah dengan beberapa anggota tim yang memang sudah tidak memiliki mata kuliah bahkan yang sudah sarjana seperti Vandend. Tapi untuk Rini dan Mukhlis itu artinya mereka harus bolos kuliah.
Mungkin malam berlangsung kelam menurut Vandend, Dedi, Ipul dan Noge. Persedian rokok mereka sudah sangat tipis. Hanya Vandend yang memiliki stock. Vandendpun memberi jatah satu batang per orang untuk satu malam hingga pagi. Muncul cerita kalau anak-anak yang datang menyusul pada camp pertama hanya datang menghabiskan rokok tanpa ada salam tempel. Kenna dech….
Pagi hari kami bergerak sangat lambat. Pikiran kami puncak sudah dekat dan tak perlu terburu-buru. Kami meninggalkan camp sekitar pukul 10. Perjalanan menanjak kembali di depan mata. Dengan nafas terengah-engah kami melangkah pelan. Kabut mulai menutupi pandangan kami. Sedikit menguntungkan karena kita tidak melihat dasar jurang yang begitu dalam. Kami melewati punggungan tipis yang di samping kiri dan kanannya jurang. Hingga akhirnya jalan kami terpotong pada sebuah batu besar yang harus kami lewati. Beberapa langkah di depannya sudah ada jurang yang dalam. Acha mensurvey ke atas duluan tanpa memakai ranselnya. Bongkahan batu setinggi kira-kira empat meter harus dipanjat. Setelah itu melewati tanjakan (scrambling) dengan hanya memegang rumput. Dapat dibayangkan jika pegangan lepas dan terguling jatuh, tidak ada pohon yang menahan kita. Setelah memastikan jalur sudah benar, Acha menginstruksikan untuk lanjut. Barang-barang di transfer dengan menggunakan tali webbing. Begitupun orangnya di perutnya dililitkan pengaman di badan. Di pikiran kami, untung tidak ada badai pada saat itu.
Tapak demi tapak sedikit lagi mencapai puncak. Rombongan sudah terpisah menjadi dua rombangan karena memang jalur sudah sangat kentara. Nafas masih tetap terengah-engah hingga akhirnya kami mencapai puncak yang ditandai dengan sebuah triangulasi. Kami mengabadikan dengan kamera yang batterainya kami hemat demi untuk mengambil gambar di puncak. Kami sempat ngopi dan lagi Vandend memberikan jatah rokok satu batang Dji Sam Soe untuk setiap anggota tim yang merokok. Sekitar satu jam kami berada di puncak tapi kabut tidak beranjak dari pandangan kami. Kami lanjutkan perjalanan turun melewati jalur yang berbeda yaitu ke jalur Camba.
Perjalanan turun kami alui dengan sangat cepat. Tanpa terasa kami sudah berjalan menjauhii puncak. Masih sangat banyak didapati jalanan bercabang sampai ada yang bercabang lima. Tempat tujuan kami adalah desa Burung, sesuai dengan yang ada di peta. Sebenarnya kita bisa saja melanjutkan pulang ke Makassar pada saat itu juga. Namun beberapa di antara kami masih ingin menikmati bermalam di tengah hutan di bawah naungan tenda. Tapi lagi-lagi tidak untuk Mukhlis dan Rini. Sesekali mereka protes, tapi semuanya berjalan dengan lancar dan menikmati malam terakhir sambil main kartu dan ada juga sambil biskal sampai jam dua malam.
Tidur telat, tidak menghalangi kami untuk bangun pagi. Kami segera sarapan dengan rangsum terakhir. Semuanya serba terakhir. Lauk, beras, bahan bakar, gula, susu. Kecuali kopi yang kemarin dibeli di sebuah warung di desa Galung-galung. Dengan sarapan nasi, mi goreng dan martabak telur kami menikmati suasana pegunungan di tengah berisiknya suara airsungai yang mengalir cukup deras.
Setelah membersihkan badan dan semua barang bawaan kami, kami bergegas meninggalkan tempat itu sebelum matahari kembali membakari kulit kami. Perlahan-lahan kami mulai mendengar suara kendaraan bermotor. Itu tandanya kami sudah dekat dengan jalan raya poros makassar Bone. Dengan sebuah pete-pete kami meninggalkan Camba dengan perasaan lelah yang amat sangat. Selamat datang kembali dunia kampus. Semangkuk coto Makassar menyambut kedatangan kami di kantin Sastra.

Read more...

data camp sojol

>> Monday, February 23, 2009

Presented by: E.093.07.P.B.FS-UH
ini adalah data camp yang direkomendasikan oleh Team Ekspedisi Budaya Fuyul Sojol sebagai referensi bagi para petualang yang hendak melakukan pendakian ke Sojol. Team kami melalui jalur pantai timur dari Desa Bobalo dan Pebounang Kec Tomini Kab Parigi Moutong SulTeng. Dengan beberapa pertimbangan bahwa susahnya mencari medan yang cukup datar untuk tempat camp disamping itu alas an sumber air yang menjadi salah satu pertimbangan. Mengingat ketersediaan air tidak cukup memadai sepanjang jalur pendakian. Jalur yang kami lalui adalah jalur penduduk yang relative lebih singkat namun dengan rintangan medan yang cukup menantang, kalo bahasa anak-anak biasanya sih jalur penduduk diibaratkan kita kancing kompas…amba lurus saja mau turun mau terjal mau nukik tajam tiada peduli yang penting sampai…mungkin bisa dibayangkan bagaimana yah medannya..kalo boleh dibilang cukup berat. Mudah-mudahan data yang kami sajikan bisa memberikan bantuan kepada rekan-rekan yang membutuhkannya.
1. Camp I, 30 Desember 2008
LU : 0 29’ 45,4”
BT : 120 17’ 50,1”
Elevasi : 1012 mdpl
Flora : tumbuhan yang banyak tumbuh disekitar camp adalah pohon-pohon besar (nama tidak diketahui) dan tumbuhan menjalar seperti akar-akaran. Jika kita pandai-pandai berkomunikasi dengan penduduk setempat maka ada kemungkinan untuk memperoleh makanan seperti pisang, umbi-umbian serta sayuran. Berhubung dari camp ini kita masih bisa menjangkau beberapa rumah penduduk yang berdiri secara terpisah.
Fauna : serangga seperti semut merah
Sumber air : dekat rumah penduduk sebelum camp I, dengan jarak tempuh ±45 menit
2. Camp II, 31 Desember 2008 – 01 Januari 2009
LU : 0 30’ 41,5”
BT : 120 17’ 33,3”
Elevasi : 1573 mdpl
Flora : tanaman dominannya adalah pepohonan besar dan tanaman rotan, tak ada tanaman yang bisa dijadikan sebagai penambah makanan.
Fauna : Serangga seperti tawon, burung, semut, lipan
Sumber air : sekitar 300 meter dari camp II ke arah barat, dengan jarak tempuh ±30 menit melewati medan yang terjal dan sumber air yang sangat tersembunyi.
Team bertahan selama sehari lagi karena terkena badai dahsyat…sumber air yang kami dapatkan
Sebenarnya sangat tersembunyi kalo kemudian kami menemukannya itu juga karena bantuan penduduk yang kebetulan melintas di sekitar camp sehingga salah seorang teman yang mampu berkomunikasi baik dalam bahasa lauje berhasil membujuk mereka untuk kemudian mengantar kami pada sumber air tersebut. Sebenarnya kami mencapai tempat ini begitu awal sekitar jam3 namun setelah di survey ke depan tak ada tempat yang cukup memadai untuk tempat camp selain alas an klasik karena kita ingin melewati malam tahun baru di medan yang cukup terbuka. Kebetulan tempat ini cukup terbuka untuk sekedar menikmati senja dan fajar.
3. Camp III, 02 Januari 2009 (tepi Sungai Ansibong)
LU : 0 32’ 23”
BT : 120 16’ 57,8”
Elevasi :  900 mdpl (data tidak akurat karena awan tebal)
Flora : tumbuhan merambat yang daunnya seperti daun sirih tetapi ukurannya lebih besar, pepohonan besar.
Fauna : ulat-ulat, semut hitam, serangga,burung
Sumber air : Sungai Ansibong
Tempat hanya cukup memuat 3 tenda dome yang berkapasitas 5 orang dikarenakan berbatu juga terhalang oleh bibir bukit yang cukup terjal.
4. Camp IV, 03 Januari 2009 (samping Gereja Ansibong)
LU : 0 32’ 57”
BT : 120 16’ 19”
Elevasi : 1030 mdpl
Fauna : babi peliharaan penduduk, ayam dan burung Nuri
Flora : Ubi jalar, Ubi kayu, Mangga, Jeruk nipis, Jagung, kakao, talas, bambu
Sumber air : air pancuran yang biasa dipakai penduduk untuk mengambil air, berada jauh dari pemukiman dan menurun tajam dari gereja dengan jarak tempuh ±30 menit
Untuk pendaki yang melakukan pendakian normal saya kira tidak cocok mendirikan tenda disini karena hanya membutuhkan waktu 3-4 jam pendakian dari camp III. Alasan kenapa kami memilih camp di sini karena team hendak melakukan observasi masyarakat bela yang kebetulan banyak bermukim di sekitar gereja, demikian untuk melengkapi data observasi kami. Jika perjalanan dilanjutkan kemungkinan besar dapat mencapai tempat seperti yang kami sebut camp V dibawah ini, asal jalannya laju…cepat…pasti dapat apalagi kita banyak istirahat termasuk menghabiskan sekitar 2 jam untuk menikmati jagung bakar yang ditawarkan oleh orang bela.
5. Camp V, 04 Januari 2009
LU : 0 33’ 41”
BT : 120 15’ 57”
Elevasi : 1192 mdpl
Flora : selain pepohonan, terdapat juga akar rambat yang di sebut Autang yang menghasilkan air dari batangnya jika dipotong, air tersebut dapat diminum.
Fauna : semut
Sumber air : berada jauh dari pusat camp dan memerlukan waktu sekitar ±25 menit, berada di sebelah kanan jalan penduduk atau sesudah camp yang kami tempati.
Untuk akses kependuduk cukup memadai karena camp ini berada tidak jauh dari rumah penduduk hanya butuh waktu tempuh 10 menit. Medannya cukup rata sehingga kita bisa leluasa mendirikan dome.
6. Camp VI, 05 Januari 2009
LU : 0 34’ 38,9”
BT : 120 14’ 14,5”
Elevasi : 2018 mdpl
Flora : rotan, pepohonan besar
Fauna : serangga
Sumber air : kurang lebih 300 meter dari tempat camp, menurun di sebelah kanan jalan dengan jarak tempuh ±30 menit.
Ini adalah camp terakhir sebelum kepuncak..hawanya mulai cukup dingin. Medannya cukup datar untuk tempat nginap.
Perjalanan pulang
a. Camp VII, 06 Januari 2009
LU : 0 34’ 38,9”
BT : 120 14’ 14,5”
Elevasi : 2018 mdpl
Sumber air : kurang lebih 300 meter dari tempat camp, menurun di sebelah kanan jalan dengan jarak tempuh ±30 menit
Informasi sama dengan camp diatas.
b. Camp VIII, 07 Januari 2009 (Sungai Palasa)
LU : 0 33’ 11,3”
BT : 120 16’ 15,6”
Elevasi : 957 mdpl
Sumber air : Sungai Palasa

c. Camp IX, 08 Januari 2009
LU : 0 31’ 24,2”
BT : 120 16’ 27”
Elevasi : 1491 mdpl
Sumber air : berada disebelah kanan punggungan jalur dengan jarak tempuh ±40 menit.
Sebenarnya saat di gereja (camp 4) di atas kami tidak lagi melewati jalur kemari (camp III) melainkan kami mencoba jalur yang lebih mudah. Yakni dari gereja kami mengambil jalur ke kanan melewati lapangan helipet dan menyipir dibeberapa punggungan.
Data Tambahan: berhubung jarak sumber air rata-rata membutuhkan waktu tempuh yang lama jadi ada sebaiknya tim yang melakukan pendakian senantiasa waspada dan peduli terhadap persediaan air, dengan demikian jika menemukan adanya sumber air segera mengisi semua tempat air yang ada. Dan data camp yang kami berikan belum tentu bisa ditemukan secara pasti oleh pendaki lainnya, jadi untuk menghindari kekurangan air maka ada baiknya pendaki harus senantiasa siap siaga.

Read more...

…Sepenggal kisah di gunung sojol…

>> Monday, February 16, 2009

January 2009
Entahlah suasana berbalik begitu cepat, baru saja kami menikmati indahnya mentari pertama di awal tahun baru ini bersama kicauan burung, hembusan semilir angin, dan birunya lautan teduh yang membentang dari tempat kami menengadah semua mahakarya Tuhan. Saat kami mengemasi barang bawaan ke dalam carrier, tiba-tiba angin menerobos dan mencoba merubuhkan lima tenda dome yang masih berdiri gagah diatas pasaknya,lama kelamaan sang angin memanggil kawannya, maka datanglah sang hujan…butiran air yang tadinya tak begitu nakal mulai meninggikan suaranya…sang angin tak mau kalah ia mulai bersenang-senang mendengdangkan ekornya kepepohonan…semakin kencang…kencang dan menjadilah ia yang torang sebut badai.
Kini gumpalan awal tebal mulai menari riang diatas kami, memainkan dedaunan dari tanah sampai terayung ke angkasa, mematahkan ranting lalu menerbangkannya sesukanya saja tanpa meminta persetujuan kami yang ada disitu, merobohkan pohon-pohon tua yang tak berdosa, lalu dengan irama angin timur menggoyangkan pepohonan seperti goyangan dangduters di televisi seksi tapi mengerikan, bukan main!
Ada 14 pasang mata yang menyaksikan pertunjukan alam yang mahadahsyat itu…entah apa yang sedang bermain diotak nakal mereka…adakah yang menyesal melakukan pendakian diawal januari ini?atau adakah yang sedang mencoba menggombal Tuhannya agar melindunginya dari kebingasan alam yang sedang mempertontonkan Powernya?atau mungkin sedang mereka senang menikmati pertunjukan demikian, melihat lekuk seksi sang angin saat menggerayangi tubuh pepohonan, menikmati aroma alam yang terpancar dari daun Ebony yang marah?entahlah atau aku saja yang lagi mengacaukan analogi sendiri.
Kuranglebih empat jam kami terkurung dalam pentas alam yang tak berpenggung…sang sutradara mungkin sedang membaca pikiran penontonnya yang kacaubelia…ini adalah hari kedua perjalan team Ekspedisi Budaya Fuyul Sojol, dan sekaligus sambutan yang kedua kalinya dengan pementasan tema yang sama…badai…tanggal 30 des 08 kemarin torang juga disambut badai sebagai sambutan awal pendakian untungnya pertunjukan cepat diredam oleh hadirnya sang mentari yang datang sebagai dewa penolong.
Aku ingat persis saat temanku, Patrik, diterpa patahan ranting, sampe bokong memerah dan kadang ia merasa sakit ketika mulai memakai carriernya, ada juga yang bibirnya so pucat sekali…ada yang pura-pura jogging saking dinginnya tapi ada yang tetap sumringah dengan wajah yang takberdosa…sepertinya ia sudah mulai akrab dengan badai seperti ini namun tidak bagiku, ini adalah cerita pertama saat aku terkena badai…maklum jam terbang masih hijau…sekitar jam sebelas badai mulai meminta diri untuk keluar dari pertunjukan, beberapa orang yang tadinya merasa down sudah kembali berbesar hati melanjutkan perjalan ke puncak…baru juga pos IInya torang.
Langkah antisipasi yang coba kami ambil adalah bertahan di camp ini, membaca tanda-tanda alam. Keesokan harinya perjalana baru dilanjutkan kembali. Satu hal yang memotivasi langkah ini adalah tanggungjawab yang sedang kami emban…jauh di selatan sana teman-teman di edelweis menaruh harapan kelak team yang lima kepala ini bisa menancapkan kesuksesan Ekspedisi. Inilah wujud cinta kepada edelweisku…setitik bakti yang tak bisa ku beri harga…
Team ekspedisi sojol terdiri dari (edelweis unhas)anti,ati.patrik,fahry dan wawan sebagai team inti dan beberapa Team pendukung lainnya antaranya;(sagarmatha Untad)Indra,Ibnu dan ustat;(Galara Untad) Uchim dan Unus;(Santigi Untad)Yoyo;(Kumtapala Untad)Lilo,(KPA Erapal)Unding;(Impala SPB)Ikra. Team ini berhasil menjejakkan kaki dipuncak sojol pada hari ke-7 yakni tanggal 06 januari 2009. Sesaat menjelang puncak, kami kembali disambut sang badai sekaligus menjadi saksi suara takbir yang dikumandangkan Ustat di Puncak Sojol. Kalo boleh dikata perjalanan kami menghabiskan dua kalender yakni 2008 dan 2009, itungan kasarnya setaonlah.
Aku hamper lupa menuturkan keramahan suku Lauje atau yang biasa di sebut bela dengan sumpit beracunnya. Tak seperti informasi yang kuketahui sebelumnya katanya bela ini bisa memangsa manusia…tapi tidak…mereka ramah dengan rasa social yang tinggi. Buktinya selama memasuki area perkampungan bela ini, mereka menjaga kami supaya bisa pulang dengan selamat.
thanks to KPA Lambotan and MAPATALA UNTAD
I just wanna say ‘its not a story of total adventure but it leads us in learning process how to know yours or the others (everything out of you)…nature is god itself
Dituturkan oleh Erwanti Abdullah

Read more...

  © e-production