oleh ipul
Desa kamiri terletak di kecamatan Balusu kabupaten Barru. Untuk sampai di desa ini, dari
Takkalasi (KM 12 utara kota Barru) tepatnya setelah jembatan Takkalasi terdapat pertigaan jalan yang akan mengantar kita sampai ke Desa kamiri. Jarak dari pertigaan tersebut 4 KM dan jalannya pun cukup bagus. Desa Kamiri di huni sebanyak 631 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 2075. Desa Kamiri terdiri dari empat dusun di antaranya Dusun Baera, Tanru tedong, Rumpia dan Kamiri dengan jumlah RT sebanyak 12. Di dalam dusun itu terdapat lagi kampung seperti di Dusun Rumpia ada kampung Panasa, Bainang’e, begitu juga dengan dusun Kamiri di dalamnya ada kampung Labimpa dan Sere’e.
Lingkungan alam desa Kamiri tidak jauh berbeda dengan desa-desa yang ada di Sulawesi Selatan, khususnya desa yang berada pada lerang dan lembah pegunungan. Desa kamiri merupakan desa dengan topografi gunung, diantara empat dusun yang ada, dusun Baera dan Tanru Tedong berada pada daerah datar yang luas dan letaknya jauh lebih rendah dibanding dusun Rumpia dan Kamiri. “lihat saja area persawahan yang ada, sawah di dua dusun tersebut jauh lebih luas dibanding dusun Kamiri dan Rumpia, bahkan beberapa kampung yang ada di kedua dusun tersebut tidak memiliki area persawahan, sebut saja Panasa di dusun Rumpia dan Sere’e di dusun Kamiri”.
Menuju Dusun Rumpia dan Kamiri
Sekarang jalan menuju kedua dusun tersebut dalam tahap penyelesaian, jadi wajar saja jika sebagian jalan yang kita lalui telah ditaburi pasir. Jalan tersebut untuk ukuran desa pegunungan terbilang sangat baik jika dibanding jalan desa-desa pegunungan yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan. Mungkin ini salah satu pembuktian keseriusan pemerintah daerah membuat masyarakatnya menuju kehidupan yang lebih baik” pikirku. Jadi, jika melewati jalan ini kita tidak akan bosan sebab selain dapat melihat hutan yang hujau pekat, kita juga diajak lebih berhati-hati melewati tanjakan dan penurunan yang terjal serta tikungan-tikungan yang mengharuskan kendaraan kita melaju dengan pelan. Belum lagi monyet-monyetnya yang akan memperhatikan kita dari pinggir jalan.
Sore Hari di Dusun RumpiaTak terasa setelah kurang lebih 15 menit berada di atas kendaraan dari dusun Tanru Tedong, akhirnya tiba juga di Dusun Rumpia, tepatnya di kampung Panasa. Cuaca hari itu cukup cerah, saat memasuki perkampungan terlihat deretan rumah panggung mengapit ruas kiri-kanan jalan, beberapa rumah terlihat sepi dan pintunya tertutup rapat, ada juga rumah yang terlihat ramai, di teras rumah mereka beberapa orang duduk berkumpul. Perhatikan saja yang ada, mulai dari ibu-ibu, nenek-nenek, sampai anak-anak memenuhi teras rumah tersebut.
Masih di kampung Panasa, tidak jauh dari rumah yang ramai itu kami menghentikan kendaraan lalu menuju pada satu rumah yang suasananya hampir sama dengan rumah yang kami lihat tadi. Di rumah itu kami banyak berbincang dengan penduduk, mereka begitu bersemangat menjawab saat kami menayakan tentang keadaan desa dan keadaan mereka sendiri. Tapi ada yang lain dari mereka, saat kami menyanjung bahwa desanya itu hijau sekali, hutannya lebat, tidak ada ladang yang terlihat dari jalan, cukup berbeda dengan desa-desa lainnya. Sanjungan yang kami sampaikan itu tidak membuatnya tersenyum, justru dibalas dengan berbagai keluhan. “Ternyata hijau itu belum tentu membuat masyarakat menjadi tentram yah..” pikirku saat mendengar keluhannya.
Dari kampung Panasa kami lanjutkan perjalanan menuju kampung Rumpia. Boleh di kata Kampung Rumpia ini merupakan pusat dusun. Di Rumpia terdapat beberapa bangunan seperti Mesjid, Sekolah Dasar dan SLTP. Rumpia terletak di tengah-tengah dusun, karena diapit antara kampung Panasa dan Bainang’e. Kami tidak berlama-lama berada di kampung itu, Dari Rumpia kami menuju Bainang’e, letaknya lebih jauh dan lebih tinggi lagi, “ada yang lain di desa ini, semakin kita menuju tempat yang lebih jauh, jalannya semakin bagus, tapi medannya…waoow… semakin membuat kita ekstra hati-hati”.
Langit gelap menutupi kampung Bainang’e sore itu, gerimis pun membuat alunan suara berdentik dari atap rumah. Beberapa warga duduk diteras rumahnya menyelimuti dirinya dengan sarung sambil memperhatikan kami yang sedang lewat, gadis-gadis Bainang’e terlihat ayu saat meraka tiba-tiba beranjak dari duduknya ketika kami menuju padanya lalu menanyakan salah satu rumah warga di kampung itu. Ia lalu menunjuk rumah yang kami tanyakan, dari telunjuknya terlihat bahwa ia itu adalah gadis yang tekun. “sudah cantik, tekun lagi..jangan-jangan anaknya kepala kampung”..hehe
Kami menuju rumah yang kami cari, rumah itu berada pada lereng gunung, letaknya tidak jauh dari rumah gadis itu,jaraknya mungkin sekitar 50 meter. Setelah menyeberangi sungai dan menyusuri pematang, tiba juga kami dirumah itu. Kopi panas serta kacang goreng menghangatkan perbincangan kami dengan penghuni rumah, banyak hal yang kami tanyakan padanya, mulai dari aktifitasnya sampai pada hal-hal yang mendasar menyangkut kehidupannya. “kalu musim begini, dirumah saja tinggal tidak ada yang bisa dikerjakan, ka tidak ada juga sawah, kemiri juga tidak berbuah” tutur ayah La hatta salah seorang penghuni rumah..
Semalam di Dusun KamiriDi teras rumah anak dari bapak kepala dusun Kamiri, sebut saja Akin dan seorang temannya Battu kami bertiga duduk saling mengenalkan diri hingga gelap memaksa pelita-pelita bekerja. Dua pelita yang terbuat dari kaleng susu dan botol minyak menerangi saat itu, perbincanganpun terasa hangat seketika Akin banyak menyoal keadaan kampung. Gula dan kemiri jadi perbincanagan panjang. Di kampung Kamiri, gula dan Kemiri adalah komoditi andalannya, meskipun mereka menggarap sawah, hasilnya tidak untuk dijual melainkan untuk kebutuhan makan dalam setahun.
Kemiri dan Gula merupakan sumber pendapatan utamanya, tapi tentu tidak satiap saat ia dapat menghasilkan pendapatan dari dua jenis komoditi tersebut, sebab keduanya memiliki musim tersendiri hingga dapat memperolah hasil yang memuaskan ”bulan Sembilan baru musim panen kemiri” tutur Akin “kalo gula bulan tujuh sampai Sembilan” lanjut Akin menjawab saat ditanya kapan produksi gula biasanya melimpah. Harga kemiri dalam satu liter mereka jual dengan Rp 15.000, tapi itu tanpa kulit, sedangkan yang berkulit ia jual dengan menghitung jumlah biji. 1000 biji kemiri di hargai dengan Rp 20.000. Lain lagi dengan gula, harga gula perbutir biasa ia jual dengan Rp 2.000 sampai Rp 2.400. Gula ia jual setelah mengumpulkan hasil produksinya dalam jangka waktu seminggu, sebulan, tapi ada juga yang mengumpulnya dalam jangka waktu setahun. Ujar battu “saya pernah kumpul gulaku satu tahun lamanya, baru saya jual”, “tidak rusakji itu?” Tanya aku, jawabnya “tidak, kalau disimpan baik-baik, selalu di asapi”. jumlah gula Battu yang terkupul dalam setahun saat itu sebanyak 10.000 butir. Waooow banyak pahatu..
Bulan tujuh sampai Sembilan merupakan musim panen gula begi masyarakat Kamiri, di bulan tersebut pohon aren banyak menghasilkan nira. Dalam sehari mereka dapat menghasilkan gula 30- 70 butir “ kalau kita tidak pernah istirahat bisa dapat 70 butir, tapi kalau santai paling 30 butir” Ujar Akin. Di bulan tersebut para penadah gula berdatangan membeli gula mereka, apa lagi di bulan Sembilan, buah kemiri turut serta menambah jumlah pendapatannya. Di bulan itu juga mereka kerap kali melakukan upacara pesta panen.
Malam pun menelan suara penghuni kampung itu. Semakin larut, yang terdengar hanya celoteh kami bertiga, kini saatnya mengakhiri perbincangan itu, lalu menuju salah satu tempat kemudian tenggelam dalam istirahat panjang.
Upacara Panen di Dusun KamiriBuat masyarakat Dusun Kamiri, bulan sembilan merupakan bulan yang bernuansa kemeriahan. Di bulan itu seusai panen gula dan kemiri mereka akan melakukan upacara adat atau pesta panen. Saat seperti itu pastinya selalu dinantikan oleh setiap warganya karena di saat itu mereka menikmati secara bersama hasil penennya, meluapkan kegembiraan, kumpul bersama sanak keluarga dan yang paling penting merayakan kesyukurannya.
Upaca pesta panen di kampung kemiri berlangsung selama lima hari. Dalam lima hari itu masyarakat melakukan acara Mappadendang, Kunjungan ke gunung Tille, dan sabung ayam. Mappadendang dilakukan selama tiga hari tiga malam, setelah acara Mappadendang dilanjutkan dengan kunjungan ke salah satu puncak gunung yang terletak di kampung tersebut. Mereka akan berbondong-bondong datang ke Gunung Tille melakukan ritual. Setelah acara naik gunung selesai mereka akan jedah selama seminggu dan selanjutnya merayakan acara sabung ayam. Acara sabung ayam tidak dilakukan dalam kampung melainkan di tempat lain, tapi masih merupakan lingkungan dusun Kamiri. Nama tempat tersebut Jompi, sebelah utara pemukiman warga. Lama perjalanan dari kampung ke tempat tersebut kurang lebih satu jam. Di Jompi terdapat makam Tua, di tempat tersebut mereka melakukan sabung Ayam dan ayam yang telah disabung kemudian di makan secara bersama-sama, baik itu yang tua, muda serta anak-anak.
Kearifan Lingkungan Yang Masih TerjagaLihat saja lingkungan desa Kamiri, pandangan kita pasti akan dihujani oleh hutan yang tumbuh rimbun. Pemandangan seperti itu akan kita saksikan ketika pertama kali masuk di dusun Tanru tedong sampai pada dusun paling terjauh di desa tersebut, sebut saja dusun Kamiri. Hutan desa Kamiri begitu lebat, terlebih lagi ketika telah memasuki Dusun Kamiri. Jalan begitu rindang untuk dilalui, pepohonan terlihat saling berlomba menjorokkan tangkainya di atas jalan lalu membentuk sebuah kanopi.
Jika kita melewati sepanjang jalan itu, kita pasti akan bertanya mengapa tidak ada ladang yang menelanjangi gunung-gunung di kampung tersebut. Setelah mencari informasi ada tiga jawaban yang mungkin bisa menjawabnya untuk sementara. Pertama karena masyarakat Kamiri sudah terbiasa atau merasa nyaman dengan hidup membuat gula dan kemiri, kedua karena aturan dari dinas kehutanan setempat, dan ketiga adalah budaya yang masih bertahan atau aturan kampong yang ada.
Di Dusun Kamiri masyarakat masih memegang suatu aturan kampung yang sangat berkaitan dengan hutan dan pertanian. “jika musim tanam tiba, saat pertama kali bibit padi telah tertanam di sawah, maka mulai saat itu masyarakat kampung Kamiri tidak boleh melakukan aktifitas tebang pohon, baik itu pohon yang dapat dijadikan tiang rumah maupun pohon yang hanya dapat dijadikan tongkat”. Ujar kepala Desa “biarpun ada kayu yang sudah di senso tapi kalau sudah menanammi penduduk, kayu itu tidak di senso lagi, dibiarkan begitu saja, nanti setelah panen baru dilanjut di senso dan diambil kayunya”.
Dari penjelasan Akin aturan itu sudah berlangsung lama dan dilakuakan secara turun temurun. “tidak boleh dilanggar” ujar akin. “kalau dilanggar mungkin akan terjadi bencana” lanjut akin dengan ragu-ragu sebab ia kurang terlalu tahu tentang sebab musabab aturan itu, “orang tua yang banyak tahu itu” ujarnya padaku
Mungkinkah aturan itu berlaku dalam satu desa atau hanya di Dusun Kamiri saja. Jika melihat konteks waktu yang digunakan yaitu berkaitan dengan musim tanam padi, maka di kampong Panasa itu tidak berlaku, sebab dipanasa tidak ada sawah. Hal itu bisa menguatkan pernyataanku, karena saat berada di tempat itu suara senso begitu nyaring terdengar membelah batang-batang pohon. ujar Yunus, itu temanku yang ma’sesnso, dia ma’senso karena di suruh sama pa’desa, ada pohon yang habis ditebang waktu buat jalan, nanti rusakki kalau dibiarkan begitu” lanjut Yunus menjelaskan.
Keluhan Masyarakat Dusun Rumpia dan KamiriSore itu tak pelak setelah mengunjungi beberapa kampung di desa Kamiri, termasuk kampung paling jauh dan terpencil, sebut saja Labimpa dan Sere’e, banyak informasi yang kami peroleh berdasarkan kenyataan yang ada. Masyarakat banyak yang merasa senang dengan apa yang telah mereka alami, merasa bangga tinggal di tanah kelahirannya, tapi dibalik itu semua terpendam keluhan yang membuat mereka merasa kekurangan.
Desa kamiri bisa dikatakan sebagai desa hijau, hutannya sangat luas, namun dibalik hujau hutannya masyarakat di desa itu tidak mampu berbuat banyak selain menikmati hasil alam, berupa buah kemiri dan aren. Mereka tidak dapat menikmati bukan karena mereka tidak mau atau tidak mampu, bukan juga karena aturan kampung yang berlaku, melainkan karena mereka dibatasi oleh aturan dari dinas pemerintah setempat. Ujar Yunus “kita tidak bisa buka kebun karena patok batas wilayah yang tidak bisa diganggu sampai pinggir jalan”, “seandainya agak kedalam, jauh dari jalan. Bisa!, kayak dulu”. Lanjut Yunus. “dulu waktu masih kecil saya punya kebun, itu kebunnya orang tua, tapi sekarang diambil sama pemerintah karena tidak ada PBB-nya” tutur Yunus dengan nada keluh. Mereka tidak berani untuk membuka lahan karena mereka takut dengan sanksi yang akan diterima jika mereka melanggar aturan. Seperti yang telah dialami Yunus, ujarnya “saya pernah dipenjara 1,2 tahun, gara-gara ma’senso”.
Sekarang ini semenjak aturan pemerintah cukup ketat masyarakat Panasa keluar kampung menambah pendapatannya. Ujar istri Yunus ”jadi kita kodong sekarang biasa pergi ma’sangki di pangkajene atau di segeri”, “kalau tidak begitu di mana mau dapat uang lagi” lanjutnya. Ujar istri Yunus kembali “di sini susah sekali, serba di beli, beras kita beli, kadang-kadang sayur juga harus dibeli’”.
Lain lagi dengan keluhan yang terjadi di kampung Sere’e. soal kebutuhan hidup, seperti makanan tidak dipersoalkan saat itu, walaupun mungkin itu adalah masalah juga. Ujar I Mase “rumahku tinggal di ganjal-ganjal saja tiang kah mau jatuh”, saat kami tanya kenapa tidak diganti, padahal disini banyak kayu? Jawabnya “takut, nanti ditangkap”. Apa yang dilontarkan I Mase tidak berbeda dengan seorang ibu yang kami temui saat dalam perjalanan menuju kampung tersebut, tuturnya tanpa di Tanya “datangki liat rumahku, maumi jatuh, hancur tiangnya”, pikirku saat itu “mungkin ibu itu mengira kami orang dari Dinas Sosial”.he he he
Potensi desa Kamiri untuk menjadi desa yang lebih baik lagi cukup besar, selain punya budaya yang masih hidup, desa itu juga punya hutan yang lebat, masyarakatnya juga cukup taat pada aturan. Tapi jika sebuah desa dengan sumber daya alam yang melimpah tetapi masyarakatnya sengsara, itu sungguh ironis. Kita dapat berpikir, masyarakat Kamiri sebut saja Panasa dan Kamiri, mereka orang-orang yang telah hidup sekian tahun di tempat itu, mereka penduduk asli ditempat itu, mereka jauh lebih banyak mengetahui keadaan di tempat itu, tapi apa yang ada disekitarnya tak mampu dicicipinya hanya persoalan karena mereka tidak punya PBB. Apa yang mereka tahu tentang PBB!, mereka orang yang tidak sempat menikmati pendidikan. Andaikan pemerintah lebih dekat dengan masyarakatnya, ini tidak akan terjadi karena pemerintah adalah manusia yang juga punya anggukan universal.