Info Redaksi: Perihal Web blog ini

>> Monday, September 20, 2010

Salam Hangat kami..

Pengunjung yang setia mohon maaf karena dalam beberapa hari ini dan mungkin kedepannya situs ini akan dalam masa pengerjaan. Hal ini demi kelenturan akses informasi bagi para pengunjung web blog ini. Namun tanpa mengesampingkan Apresiasi teman-teman untuk senantiasa mendapatkan informasi, Kami akan berusaha semaksimal mungkin, cepat dan tentu dengan kualitas berita dan material jurnalistik yang lebih baik.

salam hangat kami
Dari Ruang Redaksi Pendopo
UKM.PA.EDELWEIS.FIB-UH

Read more...

Nikmati kemudahan dengan Kode URL baru : EDELWEISER.TK

nikmati kemudahan mengakses web blog UKM PA EDELWEIS FIB UH dengan kode URL yang lebih singkat..dari (http://ukmpaedelweisfibuh.blogspot.com) MENJADI (edelweiser.tk). Insiatif ini kami lakukan guna proses kelancaran mengakses informasi, selain itu kode URL yang lama kami anggap sangat panjang sehingga menghalangi proses pengaksesan web blog ini.
untuk itu kami mengharapkan dukungan teman-teman agar berpartisipasi dalam pengelolaan media organisasi kita ini. baik dalam hal penulisan artikel, opini, dan reportase pejalanannya.makasih salam

Read more...

kontak kami

Markas Besar Unit Kegiatan Pecinta Alam edelweis Fak.Ilmu Budaya
jalan perintis kemerdekaan KM.10
Kampus Satu (1) Universitas Hasanuddin
Fakultas Ilmu Budaya - Gedung FIS V Lantai Dasar
Kecamatan Tamalanrea
Kota Makassar
Propinsi Sulawesi Selatan
kode pos : 90245
E-mail : ukmpa.edelweis_fsuh@yahoo.com
Facebook Account: Edelweis fib
Web blog : http://edelweiser.tk

Read more...

Dari Redaksi : Selamat Hari Raya Idul Fitri

>> Sunday, September 12, 2010


Segenap keluarga Besar Unit Kegiatan Pecinta Alam Edelweis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makasaar mengucapkan Selamat Hari raya Idul fitri 2010


Mohon Maaf Lahir dan Batin, segala kata yang terucap, segala laku yang diperbuat segala niat yang direncanakan semoga diberi pintu Maaf sedalam-dalamnya.
salam Lestari-salam bunga Edelweis. (kru redaksi)

Read more...

Teman-teman ada BUKU BARU : judulnya Norman Edwin, catatan sang sahabat alam

>> Saturday, August 21, 2010


Buku ini berisi 64 tulisan Norman tentang pengembaraannya di alam liar dan persahabatannya dengan manusia di dataran rendah, tinggi, dan puncak serta kolong bumi. Semua kegirangan dan kegentaran serta kenikmatan dan kesulitannya menjelajah hutan di Sulawesi, mengarungi Sungai Kapuas di Kalimantan, memasuki perut bumi di Luwong Ombo di Jawa, mendaki puncak-puncak dunia seperti Kilimanjaro di Afrika dan McKinley di Alaska, sampai melayari Lautan Hindia di atas kapal pinisi Ammana Gappa, di tulis dengan jernih, rinci, dan juga menyentuh. Norman Edwin: Catatan Sahabat Sang Alam ini membawa kita bertualang, terutama mengunjungi tempat-tempat sunyi di ujung-ujung terluar wilayah jangkauan manusia.


Pada Bagian pertama dibahas bagaimana Norman Edwin merintis pendakian ke tujuh puncak dunia. Penulusuran goa, panjat tebing dan arung jeram pun dibahas di bagian kedua buku ini. Catatan perjalanan layarnya ditulis di bagian selanjutnya. Bagian empat, lima dan enam kita akan disajikan tulisan si “Beruang Gunung” yang pada masanya sempat wara-wiri di media cetak. Buku ini diakhiri dengan kisah evakuasi jenazah Didiek dan Norman saat mendaki Aconcagua dan cerita tentang Norman dan keluarganya.

Harga: Rp. 55.000,- perbuku
Untuk itu silakan hubungi:
Mapala Universitas Indonesia
-Nomor Khusus Buku Norman Edwin (rendy): 081283499388
-Eka AR: 0815 99 10000
-Inge: 081584158567

Read more...

"total adventure" menuju atap sulawesi

>> Monday, August 16, 2010

NRA : E.103.09.L.A.89.FIB-UH

Berangkat dengan bermodalkan tekad bulat mengantar aku dan empat saudaraku menuju puncak tertinggi pulau Sulawesi. “Gunung Latimojong”….., begitu panggilannya. Walau menuai banyak kritikan dan sejumlah kekhawatiran, tekadku sudah tak terbendung lagi untuk tetap melangkah ke depan karena kuyakin bahwa aku pasti mampu menginjakkan kaki di puncak sana, melihat betapa besarnya keagungan sang khalik dari atap Sulawesi. Belum lagi cerita–cerita mistik yang selalu mewarnai awal dari kepergianku bersama beberapa saudaraku yang juga punya tekad sama seperti diriku. Semua cerita kupendam dalam-dalam dan kusimpan jauh di lubuk hati biar semangatku tak kendor sedikit pun. Biar tetap membara bak bunga api “EDELWEIS” yang tak pernah layu diterjang musim.


Pukul 06.30 WITA, tanggal 01 agustus 2010, sebuah mobil plat kuning menjemput awal perjalanan kami dari kampus merah Universitas Hasanuddin. Kami melingkar sejenak, tunduk meminta petunjuk dan perlindungan kepada sang maha kuasa sebagai langkah awal perjalanan pagi itu bersama beberapa saudara EDELWEISER yang turut melepas keberangkatan kami. Di mobil sempit penuh barang itu, tak mampu lagi kutahan kantuk yang sedari tadi membuat pening kepala sekalipun duduk dalam posisi tidak wajar untuk sebuah perjalanan ratusan kilometer. Hanya sesekali kuterjaga tuk memastikan dimana posisi saat itu. Mobil mungil itu melesat kencang membawa kami meninggalkan kota Makassar sampai ke wilayah sekitar kaki Gunung Latimojong, kecamatan Baraka tepatnya. Dari situ pula, kami kembali harus terpontang –panting di atas sebuah truk pengangkut barang melewati jalan bebatuan yang kelihatannya sudah tak layak pakai. Berlumpur dan berlubang, belum lagi daun-daun salak yang terkadang menghantam wajah bila tidak siaga. Tapi senang rasanya melewati jalur itu. Terlihat panorama lembah dengan kabut-kabut tipis menghiasi beberapa titik lereng pegunungan nun jauh di sebelah sana. Mataku terus memandangi indahnya kombinasi hijau dan putih dari atas truk mungil sembari tetap menggenggam erat besi di pinggiran truk. Walau terpontang-panting akibat kondisi jalan yang rusak parah, hatiku tetap bersenandung ria menikmati indahnya petualangan kali ini. “Total adventure” bisikku dalam hati ketika kami harus turun dan menarik truk itu dengan tambang saat terkubur dalam ganasnya lumpur. Beberapa kali itu terulang sampai pada satu titik, seorang pak tua yang juga ikut menumpangi pesona perjalanan mendebarkan itu terhantam besi truk. Keningnya beradu menghantam kerasnya baja. Tak pelak, darah merah segar mengucur deras dari keningnya yang sudah tampak mulai berkeriput termakan usia. Suasana hening seketika , beberapa orang di atas truk mulai panik. Kuraih carrierku, mencari sebuah kotak yang memang menjadi benda tak terlupakan dalam setiap petualanganku. kotak p3k yang lengkap terisi sejumlah alat medis sederhana sesuai dengan namanya. Kedekati pak tua yang lagi memegangi keningnya. Tampak jelas dari wajahnya kalau dia sedang meringis kesakitan. Kuberikan sedikit sentuhan medis ala petualang bersama saudara-saudaraku yang ikut membantuku. Seribu ucapan terima kasih terlontar dari bibir pak tua usai kubalut lukanya. Kubalas dengan senyuman dan anggukan kecil lalu kembali beranjak ke atas truk bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Sejenak kuberpikir, bangga juga rasanya bisa membantu pak tua itu walau hanya dengan sedikit alcohol, obat luka dan sejengkal kain kasa dilengkapi plaster perekat. “Satu dari tridarma perguruan tinggi, pengabdian kepada masyarakat” bisikku dalam hati. Hahahaha………………..lumayan.
Satu jam lebih di atas truk, kami sampai di sebuah dusun. Truk behenti dan memaksa kami melangkahkan kaki dengan carrier yang masih padat. Tapi itu tak jadi masalah bagiku, mumpung tenaga masih sangat prima. Malam tiba, kami tetap bersikeras melangkah walau lumpur jalan sudah mencapai mata kaki. Untung saja, sepatu ¾ yang kupakai masih mampu membalut kaki ini dari lumpur-lumpur sisa mobil hartop khas jalan berlumpurl. Tak mampu lagi berjalan karena didera perut yang kosong, kuputuskan untuk singgah saja di sebuah rumah berhias sebiji lampu pijar. Lampu yang kadang padam karena pasokan tenaga yang minim. Kata si pemilik rumah, hanya dinamo kecil yang dipasang di aliran sungai sebagai pembangkit tenaga si lampu pijar mungil. Pantas saja kelihatan redup, persis seperti cahaya lilin yang tertiup angin sepoi. Kadang terang, kadang pula redup tak bercahaya. Kami menginap di rumah itu. Mantap…… dingin malam khas daerah pegunungan mulai menusuk sampai ke tulang sum-sum. Untung saja sleeping bag mampu menghangatkan lelapku sampai fajar kembali nampak dari celah gunung sebelah timur.

HARI-2
Tulang punggungku terasa ngilu pagi itu. Mungkin karena semalaman menggendong carrier 120 L yang masih padat terisi ransum, ditambah pula olahraga di atas truk yang sempat membuat ciut nyaliku. Kurapikan kembali carrierku. Begitu pula saudaraku yang lain. Kami pamitan dengan sang pemilik rumah, sebelum membelah hening pagi itu dengan langkah sedikit cepat. Artinya sama dengan kecepatan berjalan normal jika tanpa beban. celakanya, seringkali langkah kaki perkasa itu terhambat lumpur yang sama sekali tak mau memberi ruang untuk berpijak. Ya, sudahlah! Kata Bondan Prakoso…. Biar saja sepatu ini berubah warna menjadi cokelat. Tawa saudara-saudaraku terdengar ketika melihat sepatu kami menjadi satu warna seperti kumpulan anak SD yang sebentar lagi akan mengikuti perhelatan gerak jalan indah acara HUT RI. Tiga jam berjalan, kami tiba di dusun sebelah, sebuah kampung yang kelihatannya agak ramai, Rantelemo namanya. Dari situ, target destinasi kampung terakhir masih tersisa empat kilometer menurut warga sekitar. Kembali kami duduk sejenak di halaman sebuah rumah dipenuhi bunga indah di balik pagarnya. Cukup untuk melepas lelah dan menikmati sebatang rokok dengan secangkir teh buatan ibu pemilik rumah. Pekat dan manis, mengalahkan teh dingin di kota metropolitan yang biasa kuteguk dari botol kaca. Botol kaca mungil berlabel softdrink, buatan pabrik dalam negeri yang menjadi andalan warung-warung tepi jalan melengkapi padatnya kota Makassar. Entah racikan seperti apa yang membuat teh itu terasa mampu mengembalikan tenaga yang terkuras sedari tadi. Terima kasih ibu!!!!!!!!! Kau telah mengisi kepingan kisah pendakian ini walau hanya sekedar beberapa menit saja.
Ketika nafas sudah mulai normal kembali, kami terus bangkit dari tembok lantai halaman tuk kembali melangkah ke tempat dimana kaki Gunung Latimojong berpijak. Dusun “Karangan” namanya. Lengkap sudah lelah ini akibat tanjakan yang tak kunjung berakhir. Berliku dan tak ada habisnya sampai tak ingin lagi rasanya bersuara. Pantas saja, tak ada canda tawa yang mengiringi langkah sepanjang jalan menuju kampung itu. Kami sempat menikmati kopi dan sedikit cemilan sesampai di perkampungan itu. Agak lama kami duduk sebelum memasuki pintu rimba kaki gunung. Kunyalakan GPS, kulirik ketinggian tempat itu. 1419 mdpl…… pantas saja terasa dingin mulai menghambat nafasku, pedis rasanya. Kuraih raincoat hitam dan kupakai rapi agar baju kebanggaan bertuliskan EDELWEIS di dada tak basah diguyur hujan yang mulai turun. Begitu gagah rasanya memakai baju itu. Ada kebanggaan tersendiri yang kurasa walau hanya selembar baju yang persis sama bahan dasarnya dengan baju-baju lain. Mungkin karena rasa cinta dan segenggam ilmu yang kudapat dari tulisan yang terpampang di dadanya. Kami terus melangkah menyusuri setapak sempit dikelilingi pohon kopi. Naik turun punggungan ke punggungan yang lain. Lututku rasanya seperti ingin jatuh ke tanah. Kadang bergetar dan membuat langkah ini terhenti tuk sejenak melabuhkan punggung ke rerumputan di pinggir jalan setapak. Untung saja persiapan fisik sebelum berangkat sudah kupermantap. Target sore itu, kami mampu menembus pos 2 tanpa ada yang tahu jelas, jalan mana yang harus kami susuri. Hanya sedikit informasi yang selalu segar dalam ingatanku menjadi penuntun langkah ini akan dibawa kemana. Lega rasanya setelah melewati berbagai tanjakan, menyisir lereng panjang, bahkan sempat kesasar ke jalur lain, kami tiba di tepi sungai dimana sebuah bongkahan batu besar menjuntai membentuk ruang nyaman di bawahnya. Itulah pos 2. Deru air sungai menghiasi istirahat kami malam itu. Ditambah lagi suasana di bawah “bivouk alami” menjadikan malam itu menjadi salah satu memori indah petualangan ini. Benar-benar sebuah nuansa outdoor yang dapat melahirkan beribu rangkaian kata indah saat menggoreskan tinta di sebuah notebook Kecil. Notebook yang selalu saja merengek ingin ikut serta dalam tiap perjalananku. Banyak bait puisi yang mampu tercipta untuk menyentuh hati sang kekasih tercinta, goresan singkat tanda terima kasih buat sosok wanita yang melahirkan. Saat itu pula, terkenang lagi wajah ibu tercinta nun jauh disana. Ahhh…!tak ingin kuteruskan khayalan itu. Akan panjang lamunanku jika terus-terusan berimajinasi. Saat ku sudah tak mampu lagi bersimpuh rapi di hadapan lilin, ku berdiri beranjak masuk ke dalam tenda yang sudah siap dengan matrasnya. Berbaring di samping saudara-saudaraku yang lebih dulu berlabuh dalam buai mimpi masing-masing. Sungguh, tidur dibaluti sleeping bag dalam tenda ini memang tak ada tandingannya waktu itu. Dingin menusuk di pos 2 dipadu dengan deru air sungai menemani lelap kami menerobos malam di Gunung Latimojong.
HARI – 3
Pagi hadir diiringi gerimis menetes, seperti biasa badan terasa pegal dan berat rasanya tuk bangkit dari pembaringan. Janji tuk berangkat lebih awal sepertinya sulit terlaksana. Dingin mengalahkan hembusan nafas hangat rongga hidungku. Tubuhku menggigil keras pagi itu. Fikiranku melayang jauh, entah apa yang kufikirkan saat itu. Kulirik saudaraku disamping masih terus nikmat dengan tidurnya. Dingin sepertinya sudah tak dirasakannya lagi akibat lelah berjalan seharian. Tapi itu tak membuat surut niatku untuk membangunkan mereka. Aku tak mau kalah oleh rasa simpati dan kasihan walau aku tahu kalau mereka benar-benar lelah. Jika ingin kuturuti simpati ini, barangkali kami sudah tak sempat lagi melihat embun pagi hari yang berlabuh di daun-daun segar milik belantara Latimojong.. Sembari menggulung matras hitamku, kubangunkan satu persatu tuk segera bersiap karena sang suria tak lagi dalam posisi terbit. Walau agak lamban gerakannya, aku tak mahu bersungut karena kutahu bukan tanpa alasan mereka tidak mampu bergerak cepat. Sebuah lingkaran yang biasa kami bentuk tiap kali akan memulai langkah di pagi hari kembali terlihat. Merunduk sejenak, mengingat sang ilahi yang menjadi tempat kami memohon perlindungan. Itulah yang menjadi tumpuan harapanku, apapun rintangan yang akan kami lalui, kuyakin bahwa sang khalik pasti bersama kami,petualang muda perkasa yang tak pernah surut dihantam keras petualangan. Kusapu wajahku dengan kedua belah tangan tanda doa usai. Kupimpin saudara-saudaraku sedikit demi sedikit melangkahi jalur yang sudah kelihatan licin diguyur hujan semalam. Tak ingin rasanya ku mendongak ke atas melihat kemiringan jalur itu. Lumayan ekstrim dan menakutkan. Terus saja merunduk sembari menyibak dedaunan pohon yang coba menghalangi pandangan mata. Terkadang, harus pula kupegang erat akar-akar yang menyembul keluar memberi sedikit ruang untuk mengenggam, ia membantuku mengangkat tubuh naik melewati gundukan setinggi pinggang. Menarik rerumputan liar tuk menerobos pagar daun yang semakin menebal memperlihatkan kalau jalur itu tak sering dilalui. Mereka yang dibelakangku turut melakukan apa yang baru saja kulakukan. Sepertinya saudara-saudaraku mulai kelihatan lelah, begitu pula diriku. Tampak jelas dari wajah dan hembusan nafas yang memburu. Benar saja, tak lama setelah itu saudaraku yang berada dalam posisi sweeper ( belakang ), memintaku berenti sejenak. Kuturuti saja maunya dan langsung mencari posisi tuk melabuhkan carrierku. Hanya kumpulan rumput basah bercampur lumut yang ada. Biar saja basah celanaku, tak kuasa lagi rasanya mencari tempat ideal hanya untuk istirahat beberapa menit. Tanpa melepas carrier yang masih menempel erat dipunggung, kuraih veldples mungil yang sengaja kuselip di pinggir agar mudah kujangkau. Nikmat rasanya meneguk air dari veldples itu, dinginnya masih mampu menyegarkan tenggorokan yang sudah kering. Air segar nan bening, jernih bak air mineral dengan harga yang tak mampu dijangkau oleh sebagian warga pinggiran kota. Entah mengapa sampai hal seperti itu juga sempat terlintas di benakku. Biar saja, agar lelah tidak terlalu terasa….. Barangkali salah satu nilai yang harus kutanam di hati bahwa dibalik keramaian kota dan sepinya balantara, banyak hal yang perlu direnungi untuk diperbaiki. Sayangnya, aku bukanlah seorang orator ganas yang tergabung dalam aliansi mahasiswa. Menyusun sebuah konsolidasi dan acap kali turun ke jalan dengan suara lantang meneriakkan kata keadilan. Berteriak tanpa henti, sampai jalanan harus macet total menghambat laju aktivitas kota metropolitan. Aku hanyalah bagian dari para sivitas akademika. Tiap hari lalu-lalang di seputaran kampus menuju ruang kuliah dan kadang ikut duduk manis di kursi kantin dengan kepulan asap rokok menghiasi canda tawa bersama teman-teman. Terkadang pula nongkrong di pendopo indah milik taman secretariat MAPALA EDELWEIS, sambil melempar beberapa biji makanan untuk ikan emas cantik di kolam kecil. Kampusku memang indah berseri, tapi entah mengapa kadang rasa jenuh tak bisa dipungkiri, itulah mengantarku terduduk letih di atas rerumputan ini. Alam ini indah, asri dan murni. Semua dapat diperoleh dengan mudah dan menyajikan kesegaran luar biasa. Mungkin itu salah satu alasan mengapa aku merasa tergugah untuk selalu berkunjung ke taman alami ini tuk melestarikan kedamaian yang ada. Semoga bisa terbawa sampai di metropolitan dan dapat memberikan pelajaran berharga.
Beberapa pos kami lewati dengan medan yang bervariasi. Hanya semangat dan tekad yang tersisa ketika kami sampai di sebuah titik dengan tanah yang agak lapang tapi tetap tertutup oleh rimbunnya daun dari pohon di sekitar. Sebuah plat terpasang di dahan pohon betuliskan pos 5 dilengkapi ketinggian serta titik koordinatnya. Cukup informatif usaha dari mereka yang memasang plat itu. Tempat itu luas dan agak bersih dari lumut-lumut. Mungkin karena sering terinjak sepatu para penjelajah sampai tak sesubur kumpulan lumut lainnya. Waktu itu, bukan hanya kami yang berdiri di situ. Saat tiba, sudah ada beberapa tenda yang tertata rapi menyambut kedatangan kami. Senyap dan hening, petanda tak ada pemiliknya disitu. Berarti bukan hanya aku dan empat saudaraku yang sedang berkelana di seputaran gunung ini. Barangkali mereka sedang berjuang menuju ke puncak tanpa barang bawaannya. Sebentar lagi pasti akan kembali karena hujan mulai membasahi segenap penjuru. Secepat kilat, aku dan saudara-saudaraku melebarkan flysheet untuk berteduh dan memasak makan siang waktu itu. Hujan tak mau reda, dan itu membuat udara semakin menusuk rongga hidung. Hembusan nafas dari rongga mulut tampak mengeluarkan kepulan asap petanda udara memang dingin. Sepertinya kondisi itu memaksa kami untuk memasang tenda. Menginap adalah satu-satunya jalan menghindari cuaca buruk. Waktu terus berlalu sampai pada sore hari menjelang maghrib, sang pemilik tenda lain berdatangan dari atas. Tampak jelas mereka sedang kedinginan. Basah kuyup dan tak mampu bicara banyak akibat didera dingin ketinggian tiga ribuan. Hujan tak mau reda, sama sekali enggan memberi ruang bagi kami untuk bisa menikmati segarnya udara sekitar. Terus mengguyur sampai kami juga harus melewati malam di tenda dihibur bunyi percikan air di flysheet di atas tenda. Lembaran parasut tipis yang begitu berarti saat hujan datang bertamu di bumi pertiwi. Walau hujan, lelap tak mampu tertahan akibat lelah seharian menempuh medan dengan kemiringan hampir 80o itu. Sungguh sebuah petualangan melelahkan…
HARI IV
Rencana kami untuk berangkat ke puncak pagi-pagi sekali lagi-lagi tertunda karena hujan tak mau berhenti sejak kemarin. Yah, mungkin sudah takdir untuk menempuh pendakian panjang ini berteman tetesan air di sekujur tubuh. Tak dapat dielak lagi, kami berangkat ke puncak pagi itu dengan kondisi basah kuyup menerobos hujan yang terus mendera. Seperti biasa, ada saja titik-titik tertentu yang menyuguhkan keindahan luar biasa dan rasanya tak ingin beranjak cepat sebelum puas memandanginya. Kadang saudaraku memaksa untuk berpotret ria mengabadikan sosok tubuhnya berlatar lembah berhias kabut di sekitar. Memang indah tampaknya, sulit menemukannya kalau bukan di ketinggian seperti saat dimana kami berpijak saat itu. Disitu juga beberapa batang rokok sempat habis terbakar di bibir. Nikmatnya dingin dengan aroma tembakau khas Indonesia. Walau itu katanya sangat tidak baik, tapi apalah daya kami yang sudah kecanduan nikotin perusak paru-paru itu. Nikmat dan mantap, hanya beberapa kali hisap saja karena tetesan air hujan merusak gulungan rapi tembakaunya. Sambil asap mengepul, terkadang ku abadikan momen itu dengan kamera mungil tanpa mereka sadari. Lucu juga saat melihat hasil jepretan kamera yang terkesan alami tanpa rekayasa mimik wajah mereka. Tampak asli dan benar-benar memperlihatkan tampang ganas saudara-saudaraku saat di hutan liar. Berbeda ketika ada senyuman yang sengaja dibuat-buat hanya untuk memperindah mimik wajah yang mulai tampak kusam akibat keringat. Sebuah kisah yang sulit terlupakan kala kami bersama menikmati suapan nasi dan sedikit mie rebus dari satu wadah misting. Jemari perkasa milik anak adam itu beradu berhias canda tawa yang tak henti mewarnai lingkaran kecil itu.
Tiap kali ingin melangkah maju, selalu saja kami dihantui kebingungan menentukan arah mana yang harus kami lalui ke puncak sana. Kucoba mengingat kembali semua gambaran yang sempat menjadi pegangan sebelum berangkat. Senior memang menjadi satu-satunya tempat pertanyaanku berlabuh. Semua hal kutanyakan agar tahu kondisi medan dan jalur yang akan kami tempuh nantinya, disamping bermodalkan secuil kemampuan navigasi darat berkat pendidikan dasar beberapa waktu lalu. Yakin dengan jalur yang kupilih, kelihatan saudara-saudaraku mengangguk perlahan tanda setuju dengan keputusanku. Aku tahu kalau mereka menaruh kepercayaan besar padaku, karena itulah aku jadi pemimpin untuk perjalanan kali ini. Jalur-jalur yang kupilih bukan tanpa dasar, karena semua keputusan yang akan kuambil pasti kusampaikan dahulu pada mereka untuk dirembukkan. Hal-hal seperti ini cukup membuat jantungku berdegup kencang disertai perasaan tidak karuan. Kucoba terus melangkah dengan tenang menerobos deras hujan dan lapisan kabut yang mulai memperpendek jarak pandang. Terlihat parit-parit kecil mulai terbentuk alami pada jalur pendakian tempat kami berpijak. Jemari kaki dalam sepatu mulai tergenang air yang menerobos celah sepatu. Makin berat saja kaki ini melangkah. Jalur mulai terkikis sedikit demi sedikit oleh aliran air yang mulai deras. Melaju saling mengejar mencari tempat paling rendah dari muka bumi. Mereka pasti sedang bergembira. Terlintas dalam benakku kalau air-air inilah nanti yang mengisi derasnya sungai nun jauh di bawah sana. Mengalir menuju lautan asin dan akan disambut meriah di muara sana. Mereka mengalir begitu saja, tanpa berfikir dan tidak punya tujuan jelas yang akan dituju. Beda halnya dengan aku dan saudara-saudaraku yang masih terus melangkah perlahan mencari sang trianggulasi tunggal di puncak sana. Terus berpikir dengan sejumlah keraguan antara benar dan salah. Sedikit salah akan fatal jadinya, itulah resiko bertualang. Sudah agak lama melangkah sedikit demi sedikit, melalui bongkahan-bongkahan batu besar yang tampak berwarna gelap. Kurasa destinasi yang kami tuju sudah semakin mendekat. Dugaanku tidak meleset. Ketika lepas dari kumpulan pohon lebat dan berdiri di titik yang agak lapang, sesaat kumendongak memandangi punggungan yang lebih tinggi di depan mata. Terlihat samar dari kejauhan sebuah tiang kokoh berdiri mantap seakan sudah menanti kedatangan petualang muda EDELWEIS. Itulah trianggulasi beton milik puncak Gunung Latimojong. Kuberpaling dan tersenyum pada saudara-saudaraku. “trianggulasi!!!!!”, kataku sambil menunjuk ke atas sana. Sekilas semua tersenyum dan berhenti sejenak menatap dari kejauhan. Rasanya sudah tidak sabar lagi tuk memeluk persegi panjang dari beton itu. Langkahku sedikit demi sedikit berubah menjadi lari-lari kecil. Kuhembuskan nafas panjang dan menengadah ke atas tanda ucapan syukurku pada-Nya saat kusentuh dinginnya trianggulasi itu. Sejenak kuberkata bahwa tak ada seorang pun yang berdiri lebih tinggi di atasku di pulau Sulawesi, karena aku sedang berdiri di atapnya untuk saat itu. Akulah yang tertinggi, lebih tinggi dari mereka yang duduk di singgahsana Dewan Perwakilan Rakyat di Ibu Kota. Lebih tinggi dari orang nomor satu di republik ini. Tapi bukan itu yang kucari bersama saudara-saudaraku. Semangat kebersamaan, solidaritas pertemanan, serta karena rasa candu tuk selalu melihat betapa besar keagungan tuhan. Tuhan yang menjadi pencipta sekaligus pemilik dari alam semesta ini. Itulah yang menjadi bagian dari petualangan ini, sebagai rangkaian tujuan mengapa tekad ini begitu bulat untuk tetap melangkah mencapai pijakan tertinggi. Sekali lagi kami melingkar dan kupimpin mereka mengucapkan ribuan rasa syukur kepada-Nya, serta panjatan doa agar selamat kembali ke rumah abadi EDELWEIS. Waktu itu pula, kami sejenak mengibarkan bendera dengan latar kuning kebanggaan EDELWEISER. Selembar kain berukuran 1 x 1 meter bertuliskan “UNIT KEGIATAN MAHASISWA PECINTA ALAM EDELWEIS” menjadi hiasan potret kami bersama trianggulasi puncak Latimojong. Sekitar lima belas menit di puncak,tak mampu lagi kutahan dingin tubuh ini. Bergetar tubuhku sampai barisan gigi saling beradu menimbulkan bunyi tak karuan. Sebentar saja, kami berlalu meninggalkan trianggulasi itu terlarut dalam sepinya puncak. Ia tak pernah takut sendiri dihantam badai dan dinginnya singgahsananya, walau hening waktu terus menghantui keberadaannya. Itulah si trianggulasi pemilik atap Pulau Sulawesi…..

Tak banyak yang dapat kugores dalam cerita singkat ini. Hanya sedikit gambaran luapan kegembiraan kami yang dapat diabadikan dalam tulisan. Siang itu juga, hujan deras tak mampu menghadang langkah kami untuk tetap melangkah menuruni curamnya jalur ke kaki gunung. Basah kuyup, tergelincir dan terjatuh, menjadi hal biasa yang menghibur langkah kaki perkasa ini. Sisa tenaga dari beberapa suap nasi dicampur sedikit mie rebus siang tadi, ternyata masih mampu membawa kami tiba di Desa Karangan, tempat Gunung Latimojong berpijak kokoh. Sebuah rumah panggung khas Sulawesi Selatan, menjadi hotel berbintang tempat kami menginap malam itu. Sungguh nyaman rasanya di rumah itu setelah seharian berjuang menembus liarnya belantara. Kucoba menutup mata agar semua berakhir segera tuk mengawali mimpi malam. Kuterlelap semalaman sebelum esok harinya kami harus kembali menempuh jarak puluhan kilometer akibat longsor yang menghambat transportasi. Tak ada habisnya perjuangan ini, persis seperti seekor kecoa di sudut ruangan yang sedang berjuang membalik badannya. Itulah arti kehidupan sebenarnya. Kami berjalan sampai sore hari, jemari kakiku mulai terasa encok dan perih. Tapi semua itu makin tak terasa ketika saudara-saudaraku memainkan kelihaianya memancing selera humor teransang cepat. Canda dan tawa selalu membuat kami lupa kalau jarak yang sudah kami tempuh dengan langkah kaki ini bukanlah jarak yang bisa ditempuh semua orang. Maghrib menyambut, dan kami tiba di destinasi kami..
Aku tersenyum lebar melihat saudara-saudaraku tertawa cikikikan saat cerita-cerita kami kembali terdengar di mobil. Mobil angkutan malam yang mengantar kami kembali ke kota metropolitan Makassar. Semua diputar kembali dan tentunya akan menjadi bagian dari kisah-kisah petualangan pemuda BUNGA ABADI EDELWEIS. Sekian…….salam Leontopodist……….. Salam lestari……… sampai jumpa di petualangan berikutnya.



Read more...

jogging untuk kesehatan


Jogging mungkin merupakan olahraga yang paling murah namun khasiatnya untuk tubuh sangat banyak bahkan melebihi olahraga mahal sekalipun. Itu jika tubuh hanya menginginkan kebugaran. Beda halnya jika kita menginginkan sensasi, mungkin lebih mahal olahraga itu, makin tinggi pula sensasi yang didapatkan.

Jika kita memiliki waktu, tak ada salahnya kita meluangkan waktu untuk ber-joging. Pagi ataupun sore tidak masalah. Bahkan jika ingin melakukannya siang bolongpun akan lebih berkhasiat pada bagian tertentu.

Menurut sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh British Medical Journal mengungkapkan bahwa harapan hidup bagi mereka yang rutin melakukan jogging akan lebih tinggi disbanding mereka yang tidak melakukannya. Alas an logisnya adalah bahwa ketika jogging, jantung dan paru-paru akan bekerja secara maksimal sehingga membuat sirkulasi darah yang berlangsung didalam tubuh menjadi lebih lancar.


Sebuah penelitian yang diadakan di Jepang juga menyimpulkan bahwa jogging bisa meningkatkan kecerdasan. Pada penelitian ini, para peneliti mengumpulkan beberapa orang sebagai sampel dan memintanya untuk melakukan jogging selama 30 menit selama 12 minggu berturt-turut. Hasilnya mereka mampu menghafal dan melakukan aktifitas lebih baik dari yang tidak melakukan jogging. Setelah ditelusuri, peneliti mengungkapkan bahwa jogging dengan teratur dan dengan intensitas yang cukup akan meningkatkan protein brain derived neurotropic factor (BDNF). Protein ini sangat bermanfaat pada fungsi otak karena semakin tinggi kadar BDNF seseorang maka akan semakin tinggi pula kemampuan memori dan belajar seseorang .

Joging juga akan membuat depresi Anda berkurang, meningkatkan kemampuan kerja sehingga keseharian Anda akan menjadi lebih aktif, membakar lemak, mengatasi masalah selera makan, mempercepat kinerja system pencernaan, mengencangkan otot kaki, paha dan punggung, serta membuat tidur anda menjadi lebih nyenyak.

Dengan mengawali dengan pemanasan dan peregangan otot di seluruh tubuh selama 2 menit akan menjadikan kualitas jogging lebih baik. Untuk Anda yang melakukan jogging perdana, lakukan selama 10-15 menit dengan kecepatan biasa. Jika telah terbiasa, coba tingkatkan menjadi 10-20 km dengan kecepatan biasa, 3-6 km dalam kecepatan tinggi. Lakukan 2 hingga 3x seminggu. Selesai jogging lakukan peregangan selama 4 menit.

Sumber:

Diedit dari berbagai sumber salah satu diantaranya Men’sHealth Indonesia

Read more...

Menjadi Tukang Parkir Dadakan

>> Sunday, June 27, 2010

Musim libur telah tiba, kampus tidak serta merta menjadi sepi namun tak seramai biasanya. Tidak ada aktifitas kuliah. Yang ada hanya aktifitas kantor dan mahasiswa yang mengurus sesuatu yang sesekali singgah di mace-mace baik untuk makan, minum atau hanya sekedar ngobrol dengan teman.

Suasana mabes edelweis masih seperti biasa, beberapa anggota datang dan pergi silih berganti sehingga tak pernah kosong. Yang berbeda akhir-akhir ini adalah kreatifitas anggota yang sedikit bertambah. Ada saja hal baru yang muncul untuk dikerjakan bersama-sama. Ide biasanya muncul ketika berkumpul di meja ketua dan dari sebuah kursi sofa yang entah muncul tiba-tiba. Wall climbing telah diberi atap serta tempat duduk lengkap dengan penerangannya yang terpasang permanen. Sebentar lagi akan terpasang paving block setelah tanah di depannya telah diratakan hampir semalaman. Beberapa hari sebelumnya sebuah kolam berukuran 1x6 meter telah digali. Katanya sih untuk beternak ikan. Sering terjadi perdebatan ketika sampai pada jenis ikan apa yang akan dipelihara. Ikan emas, lele, dan lain-lainnya sampai pada ikan yang tidak masuk akal jika yang mengusulkan memiliki otak yang juka sedikit “tidak masuk akal”.

Pada sebuah malam sebelum pelaksanaan SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri), tiba tiba muncul pikiran untuk menjadi tukang parkir. Beberapa anggota tampak pesimis mendengar ide itu. Namun tidak untuk Fahri yang mengusulkan hal tersebut. Dengar-dengar dari cerita senior dulu, mereka juga pernah sempat menjadi tukang parkir. Jadi ini bukan pengalaman pertama anak edelweis menjadi tukang parkir

Kertas HVS digunting menjadi delapan bagian untuk dijadikan kartu parkir, sekalikali ada yang mengetawai. Kertas kemudian distempel dengan stempel organisasi yang hanya menggunakan stengah bagian yakni hanya dengan kepala ayam (bagian dari lambang edelweis) karena ada yang protes jika menggunakan stempel edelweis secara utuh. Akhirnya diputuskan diganti dengan stempel panitia.

Bergerak pagi-pagi sekali tanpa tidur setelah menonton pertandingan piala dunia. Yang tidur dibangunkan dengan alas an bangun shalat shubuh. Ada juga yang datang setelah dihubungi walaupun pada saat kuliah tidak pernah muncul. Papan petunjuk yang telah ditulisi dengan tulisan “parkir” dipasang dan dipasang tali pembatas. Setelah itu melobi tukang parkir yang memang sudah ada dan akhirnya berhasil setelah lama membujuk dengan sistem bagi hasil yang telah disepakati.

Read more...

Catatan Ita Haryani: Edelweis... edelweis...

>> Monday, May 17, 2010

Dari Ungu mu hingga Kuning mu,

Aku belajar berjalan dengan pikiran dan nalar,
Lagu tanpa liukan di malam pekat bukan lagi sekedar bahasa tubuh bagiku,
Dentingan gelas yang beradu dengan sendok,
Adalah nyanyian kamar bagiku, lebih indah dari simponi manapun
Mahakarya seorang pemuda Tang,
Si pembawa ransel.

Kerinduanku bertalu, menyawai langkah-langkah yang sempat terhenti,
Dimana tempatmu sekarang?
Masihkah di atas, bawah...atau gua-gua keabadian.
Dimanakah nyawa-nyawa pengisi hatimu dulu,
Meski dari generasi lawas, usahlah menunduk lupa.

Banyak cerita....
Pintalah...
Aku tak segan untuk itu.

***

ita' with ungu lope skali.
(Bersamamu tumbuh dan memaknai hidup ini)

Read more...

Selamat Kepada Ketua Baru

>> Sunday, May 9, 2010

Untuk edelweis yang lebih baik......
Selamat atas terpilihnya Afdal Amir sebagai ketua UKM PA Edelweis FIB-UH periode 2010-2011.

Read more...

Sebuah Cerita Singkat Tentang Perjalanan yang panjang dalam belantara G.Kambuno _

>> Tuesday, March 30, 2010


Oleh Ichal_Awal yang tidak terlalu baik bagiku untuk melanjutkan rencana pendakian perdana ini. Dalam keraguan yang masih selalu melekat dalam benak, kucoba sembunyikan semua dengan tetap menatap jauh ke arah semaraknya dunia puncak yang sering kudengar lewat cerita-cerita “mereka”. Katanya, kalau sudah di atas sana,semua terasa indah dan seakan segala yang diimpikan sudah ada dalam genggaman. Hanya itu yang selalu meredam keraguan yang masih tersisa.
Kapan lagi aku bisa merasakan semua itu. Gejolak rasa penasaran semakin tak mau saja di ajak bercanda. Sudahlah…………. Dengan sisa uang yang kulipat rapi dibalik dompet hitamku, kupersiapkan segala yang kurasa bakal menjadi dewa- dewi penyelamatku di atas sana.
19 feb 2010………..
Pukul 08.00 malam, ketika itu sebuah ruangan sempit yang tertata rapi bertuliskan “UKM PA EDELWEIS FIB-UH” diatas daun pintu, terlihat agak sesak dipenuhi barang-barang dan segala persiapan perjalanan. Terlihat pula beberapa orang dengan rambut diikat rapi mondar-mandir seakan kehilangan sesuatu yang berharga. Rupanya , mereka tengah sibuk menata carrier masing-masing. Rasanya, tak pernah puas untuk memandangi betapa perkasanya carrier itu ketika berada di balik pundak. Sepertinya,lengkap sudah semuanya,dan tak ada lagi yang perlu di ragukan untuk memulai sebuah perjalanan panjang yang tak pernah terduga sebelumnya. Masih terlihat senyuman bangga dari kami waktu itu. Entahlah bangga karena apa, hanya aku dan mereka yang tahu itu………kuangkat carrier berat itu naik ke bus yang sudah menanti. Deru mesin bus antar kota berlabel “ alam indah” di pojok atas kaca depannya, mengiringi lelapnya para petualang muda menuju lokasi. Tempat dimana kami akan memulai sebuah rangkaian cerita panjang yang sulit dihapus dari galeri PPAB XV.
Siang hari tanggal 20 februari 2010, dengan tenaga yang masih terlalu prima, kami mulai melangkah cepat dan pasti menuju belantara yang ternyata tidak seperti yang biasa dalam imajinasiku. Kini, kami benar-benar ada dan berjalan di balik liarnya rimba. Semakin lama, rasanya semakin berat saja tubuh,carrier dan kaki ini. Melewati jalan setapak sempit, langkah kami selalu diatur oleh iringan canda tawa yang agak sedikit kaku, mungkin ulah dari nafas yang masih memburu. Waktu berlalu begitu saja, belasan kilo bahkan terbilang puluhan kilometer sudah kami berjalan menelusuri berbagai macam tumpukan batu aneh dan tanah kering. Terkadang, batinku ingin tertawa ketika melihat jiwa perkasa yang tersemat dalam raga senior maupun saudara-saudaraku terusik oleh rapuhnya jembatan gantung tua yang harusnya tidak dipakai lagi. Dipakai untuk menyeberang sungai yang tidak terlalu luas itu…… barangkali lebih baik untuk turun dan melintasinya tanpa jembatan. Kadang aku harus jujur bahwa rasa takut dan ragu yang begitu besar dalam sanubari, coba kulempar jauh-jauh agar tak terlihat oleh mereka. Sebegitu ironiskah untuk menjadi seorang “pejantan tangguh”? kata “Sheila on 7” dalam lagunya. semua itu kami anggap sebagai bagian dari sengitnya pertarungan melawan arus liar belantara. Sepanjang jalan, sudah banyak upaya yang terlihat untuk membuang rasa haus dan penat lelah. Lelah yang kian menjadi sebab utama mengapa langkah ini semakin perlahan saja. Kadang, di sudut jalan tertentu terlihat tumpukan kulit durian yang dihinggapi lalat rimba. Tidak jauh pula dari tumpukan itu,terlihat pohonnya yang menjulang, menggenggam puluhan buah yang aromanya kian menusuk rongga hidung. Makin semangat saja aku waktu itu, walau tak begitu suka dengan buah itu, kupaksakan untuk merasakan hangatnya kebersamaan bersama saudara-saudaraku, para petulang muda berbakat. Senyuman dan canda kembali menghiasi cerita panjang ini ketika aku dan mereka duduk melingkar menikmati satu persatu manisnya buah durian. Jemari perkasa mereka dipenuhi sisa durian yang kian habis dilahap sampai habis di ujung nikmatnya.
Menapaki bebatuan yang berhambuaran di atas jalan pengerasan milik para penebang kayu dahulu, kulit kakiku terasa panas bahkan mengelupas tergesek kerasnya besi yang menempel di ujung sepatu. Besi yang konon fungsinya sebagai pengaman, tapi ternyata menjelma menjadi predator ganas menghambat langkah kakiku. Sudah 5 hari menuju kaki gunung, sudah 3 malam kedinginan, tidur dalam rasa was-was akibat cerita-cerita mistis dan tingkah kesurupan si gadis yang sempat ikut dalam perjalanan ini. Apakah kali ini, kami akan dihadapkan pada sebuah pencapaian yang belum pernah kami dapatkan. Rasanya, terlalu banyak hal yang selalu jadi sumber masalah. Mulai dari surat menyurat, entah apa tujuannya sampai kami harus menginap di gubuk penuh coretan ala petualang masa lalu. Ditambah pula dialog mistis dengan penghuni gunung yang konon mencoba menghalangi perjalanan kami. Sungguh diluar batas pemikiran logika seorang pemuda seperti kami . Namun, tidak bisa dipungkiri jika semua itu sempat merasuk akal sehatku, keyakiananku kini akan mistiknya dunia semakin menjadi-jadi saja.


Dihadapkan pada berbagai problema,kami tetap terus melangkah menuju mencari destinasi yang menjadi tujuan awal kami. Dua hari di gubuk persinggahan para tukang ojek rimba,membuat tenaga kami kembali pulih. Hanya tulisan dari arang dapur yang setia menghiasi dindingnya menjadi penawar rasa jenuh menanti hari berganti. Tulisan singkat nan kaku yang kadang membuat gelak tawa silih berganti menjadi bahan celotehan sang petualang-petualang muda. Kalimatnya terkesan agak serius dan mungkin sangat berarti jika ada niat untuk merenungi. “ hidup tanpa penderitaan, tidak akan sukses di segala bidang” kata mereka. Bunyinya kuno, tetapi barangkali itulah realitas kehidupan yang sesungguhnya. Sangat sulit untuk menemukan kalimat seperti ini bagi kami civitas akademika yang terbiasa dengan tulisan indah milik penulis yang tersohor namanya…
Ayunan langkah dan derap sepatu kulit kembali terdengar saat kami melanjutkan perjalanan ke titik akhir yang sudah ada dalam kerinduan teramat sangat. Aku selalu berdoa agar waktu cepat berlalu dan membawaku ke singgahsana indah milik trianggulasi, sang penghuni tunggal puncak Kambuno. Selalu saja terbayang sekilas dalam kepala ku, betapa damai suasana saat aku berdiri di balik kabut tebal dengan hembusan nafas panjang rasa puas. Tidak terlalu lama untuk sampai ke kaki gunung. Kami terus beranjak dari satu titik ke tanah yang lebih tinggi, kata gps yang dibalut perpaduan warna kunig dan hitam. Sebuah alat yang merepresentasikan bahwa manusia semakin pintar saja menguasai dunia.
Mulai menarik meteran di kaki gunung menyambut lelah kami menuju ke pos berikutnya. Rasanya semakin berat saja beban di pundakku, padahal baru saja cairan spritus yang masuk dalam daftar perlengkapanku membakar padat beras untuk makan siang. Saudara-saudaraku kelihatan sibuk dengan dengan alat ditangan, dan suara keras lantang terdengar tiap kali meneriakkan angka dengan satuan alat yang di gunakan kepadaku. Kutulis rapi semua yang kudengar agar tidak sia-sia semua yang mereka dan aku lakukan. Itulah awal dari jejak langkah generasi baru bunga abadi “edelweiss” dalam sebuah pendakian melelahkan.
Sambil meneguk air dari veldples sederhana dari botol AQUA, kami duduk sejenak melepas penat disamping kerumunan rumput liar pos 2. Nikmatnya asap rokok menghiasi nafas yang masih terengah-engah. Walau hanya sebatas rokok murah dan tak pernah kunikmati bahkan kulihat, entah mengapa rasanya seakan menundukkan cerutu mahal milik kaum elit di ibu kota. Barangkali, dari rokok hasil plagiarisme ini, aku dan saudara-saudara ku bisa belajar dan mengerti arti penting nilai dari sebuah benda yang terkadang terasa gengsi untuk dinikmati. Sebuah pelajaran sederhana dan berarti yang mungkin belum tentu bisa di peroleh dengan duduk diam diruang kuliah mendengar celoteh dosen yang panjang lebar. Ingin kurebahkan tubuh ini dimana saja walau hanya beberapa menit saja. Kulihat tetesan keringat dari wajah saudara-saudaraku. Walau tampak lelah, selalu saja terukir senyum yang tak semanis biasanya. Aku bersyukur, betapa beruntungnya bersama mereka dan turut memiliki canda tawa itu dalam wujud kebersamaan, seperti kata senior-senior ketika aku baru sebulan menapaki dunia kampus yang penuh tanda tanya. sebuah momen indah tak terlupakan ketika ingin diputar kembali dalam memori kumpulan kenangan masa laluku..
Kabut petang kian menyelimuti punggungan kecil di depan mata, ketika langkah kami sudah hampir tiba di pos 3. Enak rasanya merebahkan tubuh dalam tenda mungil yang ku pasang rapi di sudut camp. Aku memulai lagi imajinasiku jauh menerawang ke hingar- bingar bunyi klakson mobil di gerbang kampus. Bisa kurasakan hangatnya kota pada malam itu walau berada di tengah dingin kabut malam gunung Kambuno. Terbayang pula semaraknya kampusku esok hari, ketika para gadis-gadis remaja nan molek berdandan cantik melenggang di depan kantin, milik para ibu tua yang setia dengan dagangannya. Aku semakin jauh melayang,kini kulihat ruang kuliahku diisi teman-temanku yang kelihatan serius mendengarkan dosen mitologi yunani mendongeng ria. Sekali-kali, ada yang mengangguk sok tahu mencari simpatik dari dosen baik hati itu. Di pojok belakang ruangan, beberapa senior 3 tahun di atasku cuek dengan fikirannya masing-masing. Mungkin sedang memikirkan apa yang akan ditulis dalam BAB 1 skripsi yang tertunda. Sementara itu, sebuah kursi tepat di bawah air condisioner , tempat nyaman yang sering kutempati terlihat terisi seorang gadis berjilbab besar ala timur tengah menggantikan aku. Kadang aku sedikit menyesali, mengapa aku harus ada di tempat ini, sedangkan ada ilmu yang jelas akan kudapatkan lewat ruangan kuliah itu. kemudian kupikir pula betapa hebatnya nya ceritaku ketika aku pulang, tentu dengan antusias teman-teman dekatku bertanya semua yang aku alami dalam kepergianku. Semakin berwarna saja imajinasiku malam itu, sampai kudengar suara memanggil untuk beberapa suap nasi dicampur lauk ala outdoor, dan lamunanku pun berakhir.
Tidak terlalu banyak yang bisa digoreskan dalam cerita singkat sepanjang lereng-lereng curam milik punggungan indah di gunung kambuno. Hanya momen keracunan jamur kuping, tercampur jamur beracun menghiasi malam sebelum menuju pelataran tertinggi milik Gunung Kambuno. Pelataran dimana kami mengabadikan momen bersama trianggulasi tua yang tampak mulai dipenuhi lumut. Baru kusadari sudah sepuluh hari perjalanan di belantara, tanpa pernah kuingat apakah ada seseorang yang merindukan ku.. cepat-cepat kuhapus pikiran itu, mungkin bukan saatnya mengingat cinta kasih di sebuah puncak mistis seperti Gunung Kambuno. Rindu dan merindukan bagiku adalah hal biasa dan tidak perlu dipermasalahkan. Yang kubutuhkan sekarang adalah sebuah jawaban tentang apa sebenarnya tujuan kami berada di samping trianggulasi ini. Belum sempat kutarik sebuah kesimpulan, instruksi dari pendamping menggerakkanku bersama saudara-saudaraku memulai lagi kegiatan pengukuran yang sempat tertunda. Plat koordinat pos lengkap dengan elevasi, ditempel di sebatang pohon yang bagus letaknya. Sengaja di pasang di Pohon yang Keras dan kuat, agar bisa menggambarkan jiwa perkasa yang dimiliki para “ edelweiser”. Di sisi bawah plat berlatar kuning, tertulis kalimat yang merepresentasikan aku dan saudara-saudaraku untuk sebuah hasil yang bisa di bawa pulang. Melihat plat itu suatu saat nanti, tentu ada yang bisa kami banggakan ketika ada yang memanfaatkannya.
Kembali kami menarik meteran panjang untuk mencari data jarak dan kemiringan dari jalur gunung Kambuno. Kali ini agak sedikit mudah karena kami sudah berjalan turun dari puncak. Dalam hati berharap besar kami dapat menemukan saudara –saudara kami yang hilang beberapa waktu lalu di celah padat pohan liar lembah dalam sebelah utara . menyusur sungai sempit di bawah pohon besar menjadi sebuah langkah jitu dalam menemukan mereka. Sudah sebulan mereka hilang disini, entah kemana rimbanya hanya tuhan yang tahu pasti keberadaan dan nasib mereka. Pohan-pohaon besar yang diameternya tidak bisa mempertemukan kedua jari tangan orang dewasa menjadi payung lebar yang menutup cahaya di balik lembah itu. Hanya beberapa titik cahaya saja yang terlihat beruntung dapat menembus lebat dedaunannya. Menimbulkan suasana agak gelap dan semakin tampaklah mistik yang membuat bulu tengkukku sedikit terbangun dari posisinya. Memang terlalu banyak rahasia alam tersemat dalam belantara ini. Kami terus saja menyisir kiri dan kanan anak sungai itu, sampai ketika kami tiba-tiba saja kembali ke pos 3 yang menjadi camp 2 hari yang lalu. Sudah kuduga memang untuk sebuah pencarian sperti ini, tidak mudah untuk mendapatkan hasil yang dicari. Dengan berat langkah ini, kami kembali mengayuh roda kaki yang memang sudah berat untuk kembali melangkahi jalan setapak menuju ke pos 5.
Sudah hampir dua minggu dalam hening rimba, kami memutuskan untuk turun dan kembali menyusuri pengerasan panjang sejauh 45 km. Memang sangat berat jika ingin dibayangkan betapa banyak langkah yang akan kami hasilkan untuk sampai ke Desa Malimbu, tempat kami mulai menapaki rimba ini. Manakala semua rincian barang makanan yang masuk dalam daftar logistik kami hanya menyisakan beberapa liter beras dan garam. Kegelisahanku semakin menjadi- jadi, apakah mampu bagi kami untuk tetap bertahan melalui ratusan tanjakan di jalan pengerasan itu. Kelak, pasti tidak akan kulupa jika sampai aku tidak memakan apapun selama tiga atau 4 hari nanti. Semunya semakin kelihatan tidak baik-baik saja. Beberapa saudaraku sudah berulag kali mengungkapkan wujud penyesalan nya. Coba ku ingatkan bahwa semua akan berakhir dengan cepat dan kita akan sampai di kasur empuk beberapa waktu lagi. Mereka hanya diam, sinis menatapku seakan tidak ada kata yang benar keluar dari bibirku. Disinilah, sebuah panji kebersamaan untuk jalan bersama mengawali langkah anak muda “EDEELWEIS”. Sebuah cerita yang nantinya akan menghiasi galeri PPAB XV dalam berbagi warna kisah petualangan di kancah para sivitas akademika.
Sungguh nikmat rasa nasi dicampur sedikit garam menjadi santapan siang dan malam sepanjang jalan. Karena rasa persaudaraan yang kian menebal di hati, semua semakin tak terasa bahwa kami sedang ada dalam sebuah keadaan gawat darurat. Ada ada saja yang menjadi bahan racikan dan menu baru yang tercipta. Semua lahir begitu saja dan menghasilkan citarasa khas rimba yang tidak punya sebuah nama. Nikmat dan mantap. Itu barangkali kata yang cocok untuk semua menu baru para EDELWEISER. Langkah demi langkah semakin membuat lemah raga ini. Sudah sekian hari menatap warna hijau kadang membuatku ingin terus menutup mata berjalan menyusuri jalan setapak. Aku dan saudaraku pasti rindu akan gemerlap lampu neon di tepi jalan. Sisa tenaga dan segenggam semangat membawa kami pada jembata n gantung pinggira Desa Malimbu yang sudah tampak dipenaruhi modernisasi. Hidup memang susah jika dilalui sendiri tanpa ada teman yang menemani. Terbesit sebuah kata bijak dari fikiranku yang lelah karena capek yang luar biasa. Kulirik saudara-saudaraku, terukir kembali senyuman tanda ikatan persaudaraan yang kental tercipta. Suara-suara parau mereka kadang terdengar sayup mendendangkan lagu-lagu bahagia tanda rasa senang yang tidak terhingga. Menanti truk mungil yang dulu kami tumpangi, asap rokok selalu saja mengepul dari rongga mulut para EDELWEISER. “Kini kami sudah kembali ke peradaban yang sebenarnya setelah sekian lama berkelana dalam pelukan belantara milik gunung kambuno”. Kuangkat kedua tangan dan kulambaikan kearah selatan, tempat berdirinya Gunung Kambuno ketika truk mungil membawa kami pergi dari jembatan gantung Desa Malimbu. Tanpa sadar, bukan hanya diriku yang melakukannya, saudara-saudaraku yang gagah berani juga sempat melambaikan tangan bahkan diiringi dengan sorakan puas sebuah petualangan. Tentu saja udara segar nun jauh di balik kabut itu masih bisa kurasakan walau semakin jauh dari pandangan mata.
4 maret 2010……………………………………………….
Malam di bus menuju Kota Makassar , terdengar lantunan lagu melankolis melayu yang mengantar lamunan kami ke tiap detik hembusan nafas lelah beberapa waktu lalu. Baru saja berakhir sebuah kisah indah yang penuh cerita dari dingin kabut rimba di atas gunung. Aku berharap agar harum bunga edelweiss akan tetap abadi dalam setiap bongkahan batu dan tumpukan tanah tinggi belantara Kambuno.

Read more...

Apa yang aku cari, bukanlah Trianggulasi..


(sebuah refleksi perjalanan tim PPAB XV di g.lompobattang)

Ribuan langkah kaki mendaki, bagi kami satu langkah pasti,menyaksikan karya Ilahi melestarikan bumi Ibu Pertiwi" Ku ikat kencang tali sepatu usang itu, berwarna cream namun kini lebih dominan cokelat, nampaknya. Dengan platnya yang telah terbelah, sepatu ber-merk Eiger itu nampak lusuh. Semakin nampaklah jam terbang sepatu itu amatlah tinggi di jalur pendakian. Walaupun berstatus pinjaman, aku boleh berbangga memakainya. Sebagai calon anggota di UKM PA EDELWEIS FIB-UH, ku masih bertatus beginner atau pemula. Sangat kontras dengan banyaknya gunung yang telah dipijaki oleh sepatu yang ku gunakan itu. Carrier kapasitas 80 liter yang terisi padat oleh alat dan ransum, telah terbungkus rapi dan mencengkram bahu ku. Seakan ingin meremukkan punggung dan mematahkan tulang-tulang ku. Tak pelak ku begitu cemas, mungkinkah ku bisa menyentuh tranggulasi puncak Gunung Lompobattang nantinya?

Rasa khawatir dan was-was tertutupi oleh semangat menggebu yang dipinang oleh rasa keingintahuan bagaimana rupa alam liar di luar sana. Kepuasan jasmani dan rohani yang dijanjikan alam akan bukti kebesaran dan keagungan Tuhan, adalah salah satu alasan ku mengikuti pendakian itu. Setidaknya ku mendapatkan jawaban dari pertanyaan orang-orang yang gemar mencemoh kegiatan pendaki gunung yang selalu mengumpat dan berceloteh tentangnya, “dasar orang kurang kerjaan! Ada tempat enak tidur di kasur kamar malah mereka pergi rebah di batu atas gunung! Ada tempat keren nongkrong di mall malah mereka pergi memandang sun-set di puncak gunung!”

Sebelum berangkat, saya beserta tim pendakian menyempatkan diri untuk berdoa bersama, meminta perlindungan dan kekuatan dari-Nya yang kelak pasti sangat kami butuhkan. 14 orang yang siap menggempur terjalnya jalur menuju puncak, termasuk saya, tengah memulai petualangan dengan cukup menguras tenaga. Walaupun hanya menumpang mobil sewaan, perjalanan dari kampus Unhas Tamalanrea - Malakaji, Jeneponto memakan waktu 5 jam. Tim yang berangkat siang hari, baru sampai di camp pertama di sebuah rumah warga pada pukul 8 malam.

Di sebuah rumah kayu sederhana, Dg. Gassing sang pemilik rumah terlihat begitu akrab dengan para kakak-kakak pendamping. Jelas terlihat dari kemampuan bapak tua itu berinteraksi dengan kami, dengan para pendaki dalam hal ini. Beliau tak sungkan memberi kami kewenangan untuk menggunakan dapur serta ruang tamunya untuk memasak dan beristirahat. Dari teras depan rumahnya saja tertempel begitu banyak stiker dari MAPALA lain serta foto-foto yang menandakan begitu familiarnya sang pemilik rumah dengan pendaki Gunung Lompobattang. Sembari mengembalikan kebugaran tubuh yang sempat terkuras selama perjalanan tadi, tim pendakian beristirahat dimanjakan dengan dinginnya malam di rumah tersebut.

Matahari pun bersinar menghangatkan belahan bumi yang lain. Namun di desa itu rasanya sinar terik mentari tak membara lagi. Seakan dinginnya pagi yang berbuih oleh hembusan kabut dan embun enggan melepas teriknya matahari, terus menusuk barisan tulang hingga membuat nafas terbata-bata. Ku pun tak mau melewatkan suasana beku itu, yang notabene hanya biasanya ku lihat di televisi. Belum lagi deretan kegiatan pagi itu yang harus tim selesaikan, mulai dari packing barang hingga persiapan akhir perjalanan. Titik matahari telah berada pada dimensi pagi menjelang siang, pukul 9 seperti biasanya sebelum memulai kegiatan lapangan selalu diawali dengan berdoa bersama. Setelah merasa matang akan semangat dan tenaga, 14 orang pendaki termasuk saya meminta pamit kepada empunya rumah dan berjanji 3 hari lagi jika diberi keselamatan maka kami akan berjumpa lagi.

Nampak gunung Lompobattang yang akan kami daki begitu konservatif dan terorganisir secara manual. Posko wajib lapor yang terletak tak jauh dari pintu rimba atas banner SAR UNHAS menjadi tempat kami melapor jika seandainya terjadi sesuatu dengan kami di atas gunung nantinya.

Di pos pertama kami disambut dengan aliran sumber air yang segar, seakan memamerkan bahwa inilah salah satu daya tarik gunung tersebut. Setelah merasa cukup siap, perjalanan untuk petualangan kami mulai.

Mendaki, licin dan terjal. Mungkin demikian kondisi medan yang dilalui. Memang pada awal melangkah ketika kaki masih dalam posisi normal, perjalanan begitu enteng sembari memandangi hijaunya daerah itu. Yang nampak hanya pohon, kayu atau daun. Sedikit ku mulai merasa kewalahan memijakkan kaki dan melekukkannya untung menopang ke atas badan yang digunduki oleh carrier yang berat. Agak gelisah memang menanti pos II sebagai tempat istirahat, pasalnya perjalanan yang telah ku tempuh sejak 45 menit tadi tak juga menunjukkan keberadaan pos tersebut. Sembari merunduk dan menarik nafas, ku menatap sekilas ke atas. Dan, masih pendakian dan pendakian lagi..

Begitu merasa terselamatkannya diriku ketika tiba di pos II, tanpa aba-aba langsung ku mengambil posisi duduk sambil menghela nafas melonggarkan pedal carrier yang sedari tadi membuatku gerah. Setelah ku bisa berfikir tenang, baru kusadari bahwa tim masih baru berada di pos II, belum di top destinasi yaitu pos X. aahhh…!!!

Setiap langkah adalah perjuangan, setiap inci pijakan ke atas ialah tantangan. Tak ku sangka ku begitu kocar-kacir menjaga keseimbangan tubuh yang telah kedodoran tenaga. Belum lagi beratnya beban yang diberikan carrier, membuatku sempat merancau ingin membuangnya dan terbebas dari bebannya. Tak dipungkiri ku menaruh emosi dengan tumpangan isi carrier ku itu, kini ia tak bersahabat dan makin membutku muak menggendongnya dengan terseok-seok. Begitu banyak per-andai-an yang terlintas dikepala ku. Seandinya di sini ada ojek, seandainya ku punya ilmu meringankan tubuh, seandainya ku bisa langsung tiba di puncak, bahkan sempat ku berfikir seandainya ku tak ikut pendakian itu yang belakangan ku menyesal karena sempat berfikir seperti itu..


Perjalanan ku tempuh dengan penuh benci dengan carrier ku hingga emosi-emosi itu membuat ku tak sadar jika saya telah dekat dengan puncak. Puluhan cerita yang telah ku depak selama perjalanan kian membuat ku takjub dengan gunung itu. Dari punggungan sempit, hembusan kabut yang dingin, flora unik hingga berbahaya, dinding tebing yang ber-tetangga-kan jurang, rotasi angin yang menghuyungkan badan, lembah pintu angin hingga pemandangan ke bawah seakan ku berada di atas awan, berada di atas dunia dan segala kerancuannya, berada di tempat yang membuatku sadar bahwa di puncak gunung sekalipun masih dinaungi langit yang berarti ku tak pernah bisa menjadi yang “tertinggi”.

Klausa “tertinggi” yang digunakan ialah sebagai pencitraan cita-cita manusia yang bersifat absurb, dominasi nafsu dan pragmatis. Secara tak langsung ku pahami bahwa Alam berusaha mengajarkan manusia untuk memposisikan dirinya sebagai mahluk. Maksudnya, Alam memberi manusia gambaran akan salah satu ciptaan Tuhan yaitu keindahan dan kemegahannya. Tak satupun manusia menciptkan gunung, hujan, hutan dan komposisi Alam liar lainnya.

Kerasnya rintangan alam dan kejutan yang diberikan seperti hujan, badai serta menurunnya suhu kian menambah kesan sebagai oleh-oleh kami pulang nantinya. Kendati disuguhi berbagai tantangan, tim pendakian tak menganggapnya sebagai halangan untuk berhenti bertualang, untuk mencaritahu atau untuk berbagi kesan dengan Alam. Hingga akhirnya saya sadar bahwa kendala yang menghadang bukanlah alasan untuk tidak bertualang, justru sebagai pedoman agar lebih dewasa menghadapi persoalan. Determinasi energi yang terus tertekan ialah hal yang lumrah bagi diri ku pribadi.

Sadar akan hal itu, justru merambah keinginan ku semula yang takluk akan rasa lelah dari diri ku sendiri menjadi kian bernafsu mengayunkan kaki lebih panjang dan lebar mendaki terjalnya medan. Walhasil, sesampainya di puncak, menyentuh tranggulasi serta (tentu saja, berfoto-foto. Hehhee..) terbayar semua kepenatan selama perjalan tadi. Tak dapat dijelaskan dengan kata-kata apa yang membuat ku merasa puas, namun ada kebanggaan tersendiri yang ku dapatkan. terlebih lagi tim pendakian tak hanya sekedar pergi mendaki. Kami lebih di fokuskan untuk membuat informasi tentang gunung tersebut yang berbentuk laporan ilmiah, tersusun dan terarah. Tak lepas bakti kami dengan memasang plat di tiap pos yang berisi informasi tentang jalur dan medan berupa kordinat Utara dan Selatan, Elevasi dari dasar permukaan laut serta jarak ke pos berikutnya.

Sepulangnya kami dari pendakian Lompobbattang, dengan puluhan mungkin ratusan cerita telah disimpan secara permanen dalam memori kami. Dan jawaban dari cemohan yang orang paparkan kepada para Pencinta Alam kini terjawab. Tentu karena mereka BELUM MAU menengok ke sana. Jelaslah kini saya dan kami tak perlu merasa risih lagi dengan anggapan buram tersebut..

Read more...

Tentang Desa Kamiri

>> Wednesday, March 17, 2010

(Sebuah reportase Dari Kec. Ballusu Kab.Barru)

oleh ipul
Desa kamiri terletak di kecamatan Balusu kabupaten Barru. Untuk sampai di desa ini, dari Rata PenuhTakkalasi (KM 12 utara kota Barru) tepatnya setelah jembatan Takkalasi terdapat pertigaan jalan yang akan mengantar kita sampai ke Desa kamiri. Jarak dari pertigaan tersebut 4 KM dan jalannya pun cukup bagus. Desa Kamiri di huni sebanyak 631 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 2075. Desa Kamiri terdiri dari empat dusun di antaranya Dusun Baera, Tanru tedong, Rumpia dan Kamiri dengan jumlah RT sebanyak 12. Di dalam dusun itu terdapat lagi kampung seperti di Dusun Rumpia ada kampung Panasa, Bainang’e, begitu juga dengan dusun Kamiri di dalamnya ada kampung Labimpa dan Sere’e.

Lingkungan alam desa Kamiri tidak jauh berbeda dengan desa-desa yang ada di Sulawesi Selatan, khususnya desa yang berada pada lerang dan lembah pegunungan. Desa kamiri merupakan desa dengan topografi gunung, diantara empat dusun yang ada, dusun Baera dan Tanru Tedong berada pada daerah datar yang luas dan letaknya jauh lebih rendah dibanding dusun Rumpia dan Kamiri. “lihat saja area persawahan yang ada, sawah di dua dusun tersebut jauh lebih luas dibanding dusun Kamiri dan Rumpia, bahkan beberapa kampung yang ada di kedua dusun tersebut tidak memiliki area persawahan, sebut saja Panasa di dusun Rumpia dan Sere’e di dusun Kamiri”.
Menuju Dusun Rumpia dan Kamiri

Sekarang jalan menuju kedua dusun tersebut dalam tahap penyelesaian, jadi wajar saja jika sebagian jalan yang kita lalui telah ditaburi pasir. Jalan tersebut untuk ukuran desa pegunungan terbilang sangat baik jika dibanding jalan desa-desa pegunungan yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan. Mungkin ini salah satu pembuktian keseriusan pemerintah daerah membuat masyarakatnya menuju kehidupan yang lebih baik” pikirku. Jadi, jika melewati jalan ini kita tidak akan bosan sebab selain dapat melihat hutan yang hujau pekat, kita juga diajak lebih berhati-hati melewati tanjakan dan penurunan yang terjal serta tikungan-tikungan yang mengharuskan kendaraan kita melaju dengan pelan. Belum lagi monyet-monyetnya yang akan memperhatikan kita dari pinggir jalan.

Sore Hari di Dusun Rumpia
Tak terasa setelah kurang lebih 15 menit berada di atas kendaraan dari dusun Tanru Tedong, akhirnya tiba juga di Dusun Rumpia, tepatnya di kampung Panasa. Cuaca hari itu cukup cerah, saat memasuki perkampungan terlihat deretan rumah panggung mengapit ruas kiri-kanan jalan, beberapa rumah terlihat sepi dan pintunya tertutup rapat, ada juga rumah yang terlihat ramai, di teras rumah mereka beberapa orang duduk berkumpul. Perhatikan saja yang ada, mulai dari ibu-ibu, nenek-nenek, sampai anak-anak memenuhi teras rumah tersebut.

Masih di kampung Panasa, tidak jauh dari rumah yang ramai itu kami menghentikan kendaraan lalu menuju pada satu rumah yang suasananya hampir sama dengan rumah yang kami lihat tadi. Di rumah itu kami banyak berbincang dengan penduduk, mereka begitu bersemangat menjawab saat kami menayakan tentang keadaan desa dan keadaan mereka sendiri. Tapi ada yang lain dari mereka, saat kami menyanjung bahwa desanya itu hijau sekali, hutannya lebat, tidak ada ladang yang terlihat dari jalan, cukup berbeda dengan desa-desa lainnya. Sanjungan yang kami sampaikan itu tidak membuatnya tersenyum, justru dibalas dengan berbagai keluhan. “Ternyata hijau itu belum tentu membuat masyarakat menjadi tentram yah..” pikirku saat mendengar keluhannya.

Dari kampung Panasa kami lanjutkan perjalanan menuju kampung Rumpia. Boleh di kata Kampung Rumpia ini merupakan pusat dusun. Di Rumpia terdapat beberapa bangunan seperti Mesjid, Sekolah Dasar dan SLTP. Rumpia terletak di tengah-tengah dusun, karena diapit antara kampung Panasa dan Bainang’e. Kami tidak berlama-lama berada di kampung itu, Dari Rumpia kami menuju Bainang’e, letaknya lebih jauh dan lebih tinggi lagi, “ada yang lain di desa ini, semakin kita menuju tempat yang lebih jauh, jalannya semakin bagus, tapi medannya…waoow… semakin membuat kita ekstra hati-hati”.

Langit gelap menutupi kampung Bainang’e sore itu, gerimis pun membuat alunan suara berdentik dari atap rumah. Beberapa warga duduk diteras rumahnya menyelimuti dirinya dengan sarung sambil memperhatikan kami yang sedang lewat, gadis-gadis Bainang’e terlihat ayu saat meraka tiba-tiba beranjak dari duduknya ketika kami menuju padanya lalu menanyakan salah satu rumah warga di kampung itu. Ia lalu menunjuk rumah yang kami tanyakan, dari telunjuknya terlihat bahwa ia itu adalah gadis yang tekun. “sudah cantik, tekun lagi..jangan-jangan anaknya kepala kampung”..hehe

Kami menuju rumah yang kami cari, rumah itu berada pada lereng gunung, letaknya tidak jauh dari rumah gadis itu,jaraknya mungkin sekitar 50 meter. Setelah menyeberangi sungai dan menyusuri pematang, tiba juga kami dirumah itu. Kopi panas serta kacang goreng menghangatkan perbincangan kami dengan penghuni rumah, banyak hal yang kami tanyakan padanya, mulai dari aktifitasnya sampai pada hal-hal yang mendasar menyangkut kehidupannya. “kalu musim begini, dirumah saja tinggal tidak ada yang bisa dikerjakan, ka tidak ada juga sawah, kemiri juga tidak berbuah” tutur ayah La hatta salah seorang penghuni rumah..

Semalam di Dusun Kamiri
Di teras rumah anak dari bapak kepala dusun Kamiri, sebut saja Akin dan seorang temannya Battu kami bertiga duduk saling mengenalkan diri hingga gelap memaksa pelita-pelita bekerja. Dua pelita yang terbuat dari kaleng susu dan botol minyak menerangi saat itu, perbincanganpun terasa hangat seketika Akin banyak menyoal keadaan kampung. Gula dan kemiri jadi perbincanagan panjang. Di kampung Kamiri, gula dan Kemiri adalah komoditi andalannya, meskipun mereka menggarap sawah, hasilnya tidak untuk dijual melainkan untuk kebutuhan makan dalam setahun.

Kemiri dan Gula merupakan sumber pendapatan utamanya, tapi tentu tidak satiap saat ia dapat menghasilkan pendapatan dari dua jenis komoditi tersebut, sebab keduanya memiliki musim tersendiri hingga dapat memperolah hasil yang memuaskan ”bulan Sembilan baru musim panen kemiri” tutur Akin “kalo gula bulan tujuh sampai Sembilan” lanjut Akin menjawab saat ditanya kapan produksi gula biasanya melimpah. Harga kemiri dalam satu liter mereka jual dengan Rp 15.000, tapi itu tanpa kulit, sedangkan yang berkulit ia jual dengan menghitung jumlah biji. 1000 biji kemiri di hargai dengan Rp 20.000. Lain lagi dengan gula, harga gula perbutir biasa ia jual dengan Rp 2.000 sampai Rp 2.400. Gula ia jual setelah mengumpulkan hasil produksinya dalam jangka waktu seminggu, sebulan, tapi ada juga yang mengumpulnya dalam jangka waktu setahun. Ujar battu “saya pernah kumpul gulaku satu tahun lamanya, baru saya jual”, “tidak rusakji itu?” Tanya aku, jawabnya “tidak, kalau disimpan baik-baik, selalu di asapi”. jumlah gula Battu yang terkupul dalam setahun saat itu sebanyak 10.000 butir. Waooow banyak pahatu..

Bulan tujuh sampai Sembilan merupakan musim panen gula begi masyarakat Kamiri, di bulan tersebut pohon aren banyak menghasilkan nira. Dalam sehari mereka dapat menghasilkan gula 30- 70 butir “ kalau kita tidak pernah istirahat bisa dapat 70 butir, tapi kalau santai paling 30 butir” Ujar Akin. Di bulan tersebut para penadah gula berdatangan membeli gula mereka, apa lagi di bulan Sembilan, buah kemiri turut serta menambah jumlah pendapatannya. Di bulan itu juga mereka kerap kali melakukan upacara pesta panen.

Malam pun menelan suara penghuni kampung itu. Semakin larut, yang terdengar hanya celoteh kami bertiga, kini saatnya mengakhiri perbincangan itu, lalu menuju salah satu tempat kemudian tenggelam dalam istirahat panjang.

Upacara Panen di Dusun Kamiri
Buat masyarakat Dusun Kamiri, bulan sembilan merupakan bulan yang bernuansa kemeriahan. Di bulan itu seusai panen gula dan kemiri mereka akan melakukan upacara adat atau pesta panen. Saat seperti itu pastinya selalu dinantikan oleh setiap warganya karena di saat itu mereka menikmati secara bersama hasil penennya, meluapkan kegembiraan, kumpul bersama sanak keluarga dan yang paling penting merayakan kesyukurannya.

Upaca pesta panen di kampung kemiri berlangsung selama lima hari. Dalam lima hari itu masyarakat melakukan acara Mappadendang, Kunjungan ke gunung Tille, dan sabung ayam. Mappadendang dilakukan selama tiga hari tiga malam, setelah acara Mappadendang dilanjutkan dengan kunjungan ke salah satu puncak gunung yang terletak di kampung tersebut. Mereka akan berbondong-bondong datang ke Gunung Tille melakukan ritual. Setelah acara naik gunung selesai mereka akan jedah selama seminggu dan selanjutnya merayakan acara sabung ayam. Acara sabung ayam tidak dilakukan dalam kampung melainkan di tempat lain, tapi masih merupakan lingkungan dusun Kamiri. Nama tempat tersebut Jompi, sebelah utara pemukiman warga. Lama perjalanan dari kampung ke tempat tersebut kurang lebih satu jam. Di Jompi terdapat makam Tua, di tempat tersebut mereka melakukan sabung Ayam dan ayam yang telah disabung kemudian di makan secara bersama-sama, baik itu yang tua, muda serta anak-anak.

Kearifan Lingkungan Yang Masih Terjaga
Lihat saja lingkungan desa Kamiri, pandangan kita pasti akan dihujani oleh hutan yang tumbuh rimbun. Pemandangan seperti itu akan kita saksikan ketika pertama kali masuk di dusun Tanru tedong sampai pada dusun paling terjauh di desa tersebut, sebut saja dusun Kamiri. Hutan desa Kamiri begitu lebat, terlebih lagi ketika telah memasuki Dusun Kamiri. Jalan begitu rindang untuk dilalui, pepohonan terlihat saling berlomba menjorokkan tangkainya di atas jalan lalu membentuk sebuah kanopi.

Jika kita melewati sepanjang jalan itu, kita pasti akan bertanya mengapa tidak ada ladang yang menelanjangi gunung-gunung di kampung tersebut. Setelah mencari informasi ada tiga jawaban yang mungkin bisa menjawabnya untuk sementara. Pertama karena masyarakat Kamiri sudah terbiasa atau merasa nyaman dengan hidup membuat gula dan kemiri, kedua karena aturan dari dinas kehutanan setempat, dan ketiga adalah budaya yang masih bertahan atau aturan kampong yang ada.

Di Dusun Kamiri masyarakat masih memegang suatu aturan kampung yang sangat berkaitan dengan hutan dan pertanian. “jika musim tanam tiba, saat pertama kali bibit padi telah tertanam di sawah, maka mulai saat itu masyarakat kampung Kamiri tidak boleh melakukan aktifitas tebang pohon, baik itu pohon yang dapat dijadikan tiang rumah maupun pohon yang hanya dapat dijadikan tongkat”. Ujar kepala Desa “biarpun ada kayu yang sudah di senso tapi kalau sudah menanammi penduduk, kayu itu tidak di senso lagi, dibiarkan begitu saja, nanti setelah panen baru dilanjut di senso dan diambil kayunya”.

Dari penjelasan Akin aturan itu sudah berlangsung lama dan dilakuakan secara turun temurun. “tidak boleh dilanggar” ujar akin. “kalau dilanggar mungkin akan terjadi bencana” lanjut akin dengan ragu-ragu sebab ia kurang terlalu tahu tentang sebab musabab aturan itu, “orang tua yang banyak tahu itu” ujarnya padaku

Mungkinkah aturan itu berlaku dalam satu desa atau hanya di Dusun Kamiri saja. Jika melihat konteks waktu yang digunakan yaitu berkaitan dengan musim tanam padi, maka di kampong Panasa itu tidak berlaku, sebab dipanasa tidak ada sawah. Hal itu bisa menguatkan pernyataanku, karena saat berada di tempat itu suara senso begitu nyaring terdengar membelah batang-batang pohon. ujar Yunus, itu temanku yang ma’sesnso, dia ma’senso karena di suruh sama pa’desa, ada pohon yang habis ditebang waktu buat jalan, nanti rusakki kalau dibiarkan begitu” lanjut Yunus menjelaskan.

Keluhan Masyarakat Dusun Rumpia dan Kamiri
Sore itu tak pelak setelah mengunjungi beberapa kampung di desa Kamiri, termasuk kampung paling jauh dan terpencil, sebut saja Labimpa dan Sere’e, banyak informasi yang kami peroleh berdasarkan kenyataan yang ada. Masyarakat banyak yang merasa senang dengan apa yang telah mereka alami, merasa bangga tinggal di tanah kelahirannya, tapi dibalik itu semua terpendam keluhan yang membuat mereka merasa kekurangan.

Desa kamiri bisa dikatakan sebagai desa hijau, hutannya sangat luas, namun dibalik hujau hutannya masyarakat di desa itu tidak mampu berbuat banyak selain menikmati hasil alam, berupa buah kemiri dan aren. Mereka tidak dapat menikmati bukan karena mereka tidak mau atau tidak mampu, bukan juga karena aturan kampung yang berlaku, melainkan karena mereka dibatasi oleh aturan dari dinas pemerintah setempat. Ujar Yunus “kita tidak bisa buka kebun karena patok batas wilayah yang tidak bisa diganggu sampai pinggir jalan”, “seandainya agak kedalam, jauh dari jalan. Bisa!, kayak dulu”. Lanjut Yunus. “dulu waktu masih kecil saya punya kebun, itu kebunnya orang tua, tapi sekarang diambil sama pemerintah karena tidak ada PBB-nya” tutur Yunus dengan nada keluh. Mereka tidak berani untuk membuka lahan karena mereka takut dengan sanksi yang akan diterima jika mereka melanggar aturan. Seperti yang telah dialami Yunus, ujarnya “saya pernah dipenjara 1,2 tahun, gara-gara ma’senso”.

Sekarang ini semenjak aturan pemerintah cukup ketat masyarakat Panasa keluar kampung menambah pendapatannya. Ujar istri Yunus ”jadi kita kodong sekarang biasa pergi ma’sangki di pangkajene atau di segeri”, “kalau tidak begitu di mana mau dapat uang lagi” lanjutnya. Ujar istri Yunus kembali “di sini susah sekali, serba di beli, beras kita beli, kadang-kadang sayur juga harus dibeli’”.

Lain lagi dengan keluhan yang terjadi di kampung Sere’e. soal kebutuhan hidup, seperti makanan tidak dipersoalkan saat itu, walaupun mungkin itu adalah masalah juga. Ujar I Mase “rumahku tinggal di ganjal-ganjal saja tiang kah mau jatuh”, saat kami tanya kenapa tidak diganti, padahal disini banyak kayu? Jawabnya “takut, nanti ditangkap”. Apa yang dilontarkan I Mase tidak berbeda dengan seorang ibu yang kami temui saat dalam perjalanan menuju kampung tersebut, tuturnya tanpa di Tanya “datangki liat rumahku, maumi jatuh, hancur tiangnya”, pikirku saat itu “mungkin ibu itu mengira kami orang dari Dinas Sosial”.he he he

Potensi desa Kamiri untuk menjadi desa yang lebih baik lagi cukup besar, selain punya budaya yang masih hidup, desa itu juga punya hutan yang lebat, masyarakatnya juga cukup taat pada aturan. Tapi jika sebuah desa dengan sumber daya alam yang melimpah tetapi masyarakatnya sengsara, itu sungguh ironis. Kita dapat berpikir, masyarakat Kamiri sebut saja Panasa dan Kamiri, mereka orang-orang yang telah hidup sekian tahun di tempat itu, mereka penduduk asli ditempat itu, mereka jauh lebih banyak mengetahui keadaan di tempat itu, tapi apa yang ada disekitarnya tak mampu dicicipinya hanya persoalan karena mereka tidak punya PBB. Apa yang mereka tahu tentang PBB!, mereka orang yang tidak sempat menikmati pendidikan. Andaikan pemerintah lebih dekat dengan masyarakatnya, ini tidak akan terjadi karena pemerintah adalah manusia yang juga punya anggukan universal.

Read more...

Tentang Desa Kamiri

oleh ipul


Desa kamiri terletak di kecamatan Balusu kabupaten Barru. Untuk sampai di desa ini, dari Rata PenuhTakkalasi (KM 12 utara kota Barru) tepatnya setelah jembatan Takkalasi terdapat pertigaan jalan yang akan mengantar kita sampai ke Desa kamiri. Jarak dari pertigaan tersebut 4 KM dan jalannya pun cukup bagus. Desa Kamiri di huni sebanyak 631 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 2075. Desa Kamiri terdiri dari empat dusun di antaranya Dusun Baera, Tanru tedong, Rumpia dan Kamiri dengan jumlah RT sebanyak 12. Di dalam dusun itu terdapat lagi kampung seperti di Dusun Rumpia ada kampung Panasa, Bainang’e, begitu juga dengan dusun Kamiri di dalamnya ada kampung Labimpa dan Sere’e.

Lingkungan alam desa Kamiri tidak jauh berbeda dengan desa-desa yang ada di Sulawesi Selatan, khususnya desa yang berada pada lerang dan lembah pegunungan. Desa kamiri merupakan desa dengan topografi gunung, diantara empat dusun yang ada, dusun Baera dan Tanru Tedong berada pada daerah datar yang luas dan letaknya jauh lebih rendah dibanding dusun Rumpia dan Kamiri. “lihat saja area persawahan yang ada, sawah di dua dusun tersebut jauh lebih luas dibanding dusun Kamiri dan Rumpia, bahkan beberapa kampung yang ada di kedua dusun tersebut tidak memiliki area persawahan, sebut saja Panasa di dusun Rumpia dan Sere’e di dusun Kamiri”.
Menuju Dusun Rumpia dan Kamiri

Sekarang jalan menuju kedua dusun tersebut dalam tahap penyelesaian, jadi wajar saja jika sebagian jalan yang kita lalui telah ditaburi pasir. Jalan tersebut untuk ukuran desa pegunungan terbilang sangat baik jika dibanding jalan desa-desa pegunungan yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan. Mungkin ini salah satu pembuktian keseriusan pemerintah daerah membuat masyarakatnya menuju kehidupan yang lebih baik” pikirku. Jadi, jika melewati jalan ini kita tidak akan bosan sebab selain dapat melihat hutan yang hujau pekat, kita juga diajak lebih berhati-hati melewati tanjakan dan penurunan yang terjal serta tikungan-tikungan yang mengharuskan kendaraan kita melaju dengan pelan. Belum lagi monyet-monyetnya yang akan memperhatikan kita dari pinggir jalan.

Sore Hari di Dusun Rumpia
Tak terasa setelah kurang lebih 15 menit berada di atas kendaraan dari dusun Tanru Tedong, akhirnya tiba juga di Dusun Rumpia, tepatnya di kampung Panasa. Cuaca hari itu cukup cerah, saat memasuki perkampungan terlihat deretan rumah panggung mengapit ruas kiri-kanan jalan, beberapa rumah terlihat sepi dan pintunya tertutup rapat, ada juga rumah yang terlihat ramai, di teras rumah mereka beberapa orang duduk berkumpul. Perhatikan saja yang ada, mulai dari ibu-ibu, nenek-nenek, sampai anak-anak memenuhi teras rumah tersebut.

Masih di kampung Panasa, tidak jauh dari rumah yang ramai itu kami menghentikan kendaraan lalu menuju pada satu rumah yang suasananya hampir sama dengan rumah yang kami lihat tadi. Di rumah itu kami banyak berbincang dengan penduduk, mereka begitu bersemangat menjawab saat kami menayakan tentang keadaan desa dan keadaan mereka sendiri. Tapi ada yang lain dari mereka, saat kami menyanjung bahwa desanya itu hijau sekali, hutannya lebat, tidak ada ladang yang terlihat dari jalan, cukup berbeda dengan desa-desa lainnya. Sanjungan yang kami sampaikan itu tidak membuatnya tersenyum, justru dibalas dengan berbagai keluhan. “Ternyata hijau itu belum tentu membuat masyarakat menjadi tentram yah..” pikirku saat mendengar keluhannya.

Dari kampung Panasa kami lanjutkan perjalanan menuju kampung Rumpia. Boleh di kata Kampung Rumpia ini merupakan pusat dusun. Di Rumpia terdapat beberapa bangunan seperti Mesjid, Sekolah Dasar dan SLTP. Rumpia terletak di tengah-tengah dusun, karena diapit antara kampung Panasa dan Bainang’e. Kami tidak berlama-lama berada di kampung itu, Dari Rumpia kami menuju Bainang’e, letaknya lebih jauh dan lebih tinggi lagi, “ada yang lain di desa ini, semakin kita menuju tempat yang lebih jauh, jalannya semakin bagus, tapi medannya…waoow… semakin membuat kita ekstra hati-hati”.

Langit gelap menutupi kampung Bainang’e sore itu, gerimis pun membuat alunan suara berdentik dari atap rumah. Beberapa warga duduk diteras rumahnya menyelimuti dirinya dengan sarung sambil memperhatikan kami yang sedang lewat, gadis-gadis Bainang’e terlihat ayu saat meraka tiba-tiba beranjak dari duduknya ketika kami menuju padanya lalu menanyakan salah satu rumah warga di kampung itu. Ia lalu menunjuk rumah yang kami tanyakan, dari telunjuknya terlihat bahwa ia itu adalah gadis yang tekun. “sudah cantik, tekun lagi..jangan-jangan anaknya kepala kampung”..hehe

Kami menuju rumah yang kami cari, rumah itu berada pada lereng gunung, letaknya tidak jauh dari rumah gadis itu,jaraknya mungkin sekitar 50 meter. Setelah menyeberangi sungai dan menyusuri pematang, tiba juga kami dirumah itu. Kopi panas serta kacang goreng menghangatkan perbincangan kami dengan penghuni rumah, banyak hal yang kami tanyakan padanya, mulai dari aktifitasnya sampai pada hal-hal yang mendasar menyangkut kehidupannya. “kalu musim begini, dirumah saja tinggal tidak ada yang bisa dikerjakan, ka tidak ada juga sawah, kemiri juga tidak berbuah” tutur ayah La hatta salah seorang penghuni rumah..

Semalam di Dusun Kamiri
Di teras rumah anak dari bapak kepala dusun Kamiri, sebut saja Akin dan seorang temannya Battu kami bertiga duduk saling mengenalkan diri hingga gelap memaksa pelita-pelita bekerja. Dua pelita yang terbuat dari kaleng susu dan botol minyak menerangi saat itu, perbincanganpun terasa hangat seketika Akin banyak menyoal keadaan kampung. Gula dan kemiri jadi perbincanagan panjang. Di kampung Kamiri, gula dan Kemiri adalah komoditi andalannya, meskipun mereka menggarap sawah, hasilnya tidak untuk dijual melainkan untuk kebutuhan makan dalam setahun.

Kemiri dan Gula merupakan sumber pendapatan utamanya, tapi tentu tidak satiap saat ia dapat menghasilkan pendapatan dari dua jenis komoditi tersebut, sebab keduanya memiliki musim tersendiri hingga dapat memperolah hasil yang memuaskan ”bulan Sembilan baru musim panen kemiri” tutur Akin “kalo gula bulan tujuh sampai Sembilan” lanjut Akin menjawab saat ditanya kapan produksi gula biasanya melimpah. Harga kemiri dalam satu liter mereka jual dengan Rp 15.000, tapi itu tanpa kulit, sedangkan yang berkulit ia jual dengan menghitung jumlah biji. 1000 biji kemiri di hargai dengan Rp 20.000. Lain lagi dengan gula, harga gula perbutir biasa ia jual dengan Rp 2.000 sampai Rp 2.400. Gula ia jual setelah mengumpulkan hasil produksinya dalam jangka waktu seminggu, sebulan, tapi ada juga yang mengumpulnya dalam jangka waktu setahun. Ujar battu “saya pernah kumpul gulaku satu tahun lamanya, baru saya jual”, “tidak rusakji itu?” Tanya aku, jawabnya “tidak, kalau disimpan baik-baik, selalu di asapi”. jumlah gula Battu yang terkupul dalam setahun saat itu sebanyak 10.000 butir. Waooow banyak pahatu..

Bulan tujuh sampai Sembilan merupakan musim panen gula begi masyarakat Kamiri, di bulan tersebut pohon aren banyak menghasilkan nira. Dalam sehari mereka dapat menghasilkan gula 30- 70 butir “ kalau kita tidak pernah istirahat bisa dapat 70 butir, tapi kalau santai paling 30 butir” Ujar Akin. Di bulan tersebut para penadah gula berdatangan membeli gula mereka, apa lagi di bulan Sembilan, buah kemiri turut serta menambah jumlah pendapatannya. Di bulan itu juga mereka kerap kali melakukan upacara pesta panen.

Malam pun menelan suara penghuni kampung itu. Semakin larut, yang terdengar hanya celoteh kami bertiga, kini saatnya mengakhiri perbincangan itu, lalu menuju salah satu tempat kemudian tenggelam dalam istirahat panjang.

Upacara Panen di Dusun Kamiri
Buat masyarakat Dusun Kamiri, bulan sembilan merupakan bulan yang bernuansa kemeriahan. Di bulan itu seusai panen gula dan kemiri mereka akan melakukan upacara adat atau pesta panen. Saat seperti itu pastinya selalu dinantikan oleh setiap warganya karena di saat itu mereka menikmati secara bersama hasil penennya, meluapkan kegembiraan, kumpul bersama sanak keluarga dan yang paling penting merayakan kesyukurannya.

Upaca pesta panen di kampung kemiri berlangsung selama lima hari. Dalam lima hari itu masyarakat melakukan acara Mappadendang, Kunjungan ke gunung Tille, dan sabung ayam. Mappadendang dilakukan selama tiga hari tiga malam, setelah acara Mappadendang dilanjutkan dengan kunjungan ke salah satu puncak gunung yang terletak di kampung tersebut. Mereka akan berbondong-bondong datang ke Gunung Tille melakukan ritual. Setelah acara naik gunung selesai mereka akan jedah selama seminggu dan selanjutnya merayakan acara sabung ayam. Acara sabung ayam tidak dilakukan dalam kampung melainkan di tempat lain, tapi masih merupakan lingkungan dusun Kamiri. Nama tempat tersebut Jompi, sebelah utara pemukiman warga. Lama perjalanan dari kampung ke tempat tersebut kurang lebih satu jam. Di Jompi terdapat makam Tua, di tempat tersebut mereka melakukan sabung Ayam dan ayam yang telah disabung kemudian di makan secara bersama-sama, baik itu yang tua, muda serta anak-anak.

Kearifan Lingkungan Yang Masih Terjaga
Lihat saja lingkungan desa Kamiri, pandangan kita pasti akan dihujani oleh hutan yang tumbuh rimbun. Pemandangan seperti itu akan kita saksikan ketika pertama kali masuk di dusun Tanru tedong sampai pada dusun paling terjauh di desa tersebut, sebut saja dusun Kamiri. Hutan desa Kamiri begitu lebat, terlebih lagi ketika telah memasuki Dusun Kamiri. Jalan begitu rindang untuk dilalui, pepohonan terlihat saling berlomba menjorokkan tangkainya di atas jalan lalu membentuk sebuah kanopi.

Jika kita melewati sepanjang jalan itu, kita pasti akan bertanya mengapa tidak ada ladang yang menelanjangi gunung-gunung di kampung tersebut. Setelah mencari informasi ada tiga jawaban yang mungkin bisa menjawabnya untuk sementara. Pertama karena masyarakat Kamiri sudah terbiasa atau merasa nyaman dengan hidup membuat gula dan kemiri, kedua karena aturan dari dinas kehutanan setempat, dan ketiga adalah budaya yang masih bertahan atau aturan kampong yang ada.

Di Dusun Kamiri masyarakat masih memegang suatu aturan kampung yang sangat berkaitan dengan hutan dan pertanian. “jika musim tanam tiba, saat pertama kali bibit padi telah tertanam di sawah, maka mulai saat itu masyarakat kampung Kamiri tidak boleh melakukan aktifitas tebang pohon, baik itu pohon yang dapat dijadikan tiang rumah maupun pohon yang hanya dapat dijadikan tongkat”. Ujar kepala Desa “biarpun ada kayu yang sudah di senso tapi kalau sudah menanammi penduduk, kayu itu tidak di senso lagi, dibiarkan begitu saja, nanti setelah panen baru dilanjut di senso dan diambil kayunya”.

Dari penjelasan Akin aturan itu sudah berlangsung lama dan dilakuakan secara turun temurun. “tidak boleh dilanggar” ujar akin. “kalau dilanggar mungkin akan terjadi bencana” lanjut akin dengan ragu-ragu sebab ia kurang terlalu tahu tentang sebab musabab aturan itu, “orang tua yang banyak tahu itu” ujarnya padaku

Mungkinkah aturan itu berlaku dalam satu desa atau hanya di Dusun Kamiri saja. Jika melihat konteks waktu yang digunakan yaitu berkaitan dengan musim tanam padi, maka di kampong Panasa itu tidak berlaku, sebab dipanasa tidak ada sawah. Hal itu bisa menguatkan pernyataanku, karena saat berada di tempat itu suara senso begitu nyaring terdengar membelah batang-batang pohon. ujar Yunus, itu temanku yang ma’sesnso, dia ma’senso karena di suruh sama pa’desa, ada pohon yang habis ditebang waktu buat jalan, nanti rusakki kalau dibiarkan begitu” lanjut Yunus menjelaskan.

Keluhan Masyarakat Dusun Rumpia dan Kamiri
Sore itu tak pelak setelah mengunjungi beberapa kampung di desa Kamiri, termasuk kampung paling jauh dan terpencil, sebut saja Labimpa dan Sere’e, banyak informasi yang kami peroleh berdasarkan kenyataan yang ada. Masyarakat banyak yang merasa senang dengan apa yang telah mereka alami, merasa bangga tinggal di tanah kelahirannya, tapi dibalik itu semua terpendam keluhan yang membuat mereka merasa kekurangan.

Desa kamiri bisa dikatakan sebagai desa hijau, hutannya sangat luas, namun dibalik hujau hutannya masyarakat di desa itu tidak mampu berbuat banyak selain menikmati hasil alam, berupa buah kemiri dan aren. Mereka tidak dapat menikmati bukan karena mereka tidak mau atau tidak mampu, bukan juga karena aturan kampung yang berlaku, melainkan karena mereka dibatasi oleh aturan dari dinas pemerintah setempat. Ujar Yunus “kita tidak bisa buka kebun karena patok batas wilayah yang tidak bisa diganggu sampai pinggir jalan”, “seandainya agak kedalam, jauh dari jalan. Bisa!, kayak dulu”. Lanjut Yunus. “dulu waktu masih kecil saya punya kebun, itu kebunnya orang tua, tapi sekarang diambil sama pemerintah karena tidak ada PBB-nya” tutur Yunus dengan nada keluh. Mereka tidak berani untuk membuka lahan karena mereka takut dengan sanksi yang akan diterima jika mereka melanggar aturan. Seperti yang telah dialami Yunus, ujarnya “saya pernah dipenjara 1,2 tahun, gara-gara ma’senso”.

Sekarang ini semenjak aturan pemerintah cukup ketat masyarakat Panasa keluar kampung menambah pendapatannya. Ujar istri Yunus ”jadi kita kodong sekarang biasa pergi ma’sangki di pangkajene atau di segeri”, “kalau tidak begitu di mana mau dapat uang lagi” lanjutnya. Ujar istri Yunus kembali “di sini susah sekali, serba di beli, beras kita beli, kadang-kadang sayur juga harus dibeli’”.

Lain lagi dengan keluhan yang terjadi di kampung Sere’e. soal kebutuhan hidup, seperti makanan tidak dipersoalkan saat itu, walaupun mungkin itu adalah masalah juga. Ujar I Mase “rumahku tinggal di ganjal-ganjal saja tiang kah mau jatuh”, saat kami tanya kenapa tidak diganti, padahal disini banyak kayu? Jawabnya “takut, nanti ditangkap”. Apa yang dilontarkan I Mase tidak berbeda dengan seorang ibu yang kami temui saat dalam perjalanan menuju kampung tersebut, tuturnya tanpa di Tanya “datangki liat rumahku, maumi jatuh, hancur tiangnya”, pikirku saat itu “mungkin ibu itu mengira kami orang dari Dinas Sosial”.he he he

Potensi desa Kamiri untuk menjadi desa yang lebih baik lagi cukup besar, selain punya budaya yang masih hidup, desa itu juga punya hutan yang lebat, masyarakatnya juga cukup taat pada aturan. Tapi jika sebuah desa dengan sumber daya alam yang melimpah tetapi masyarakatnya sengsara, itu sungguh ironis. Kita dapat berpikir, masyarakat Kamiri sebut saja Panasa dan Kamiri, mereka orang-orang yang telah hidup sekian tahun di tempat itu, mereka penduduk asli ditempat itu, mereka jauh lebih banyak mengetahui keadaan di tempat itu, tapi apa yang ada disekitarnya tak mampu dicicipinya hanya persoalan karena mereka tidak punya PBB. Apa yang mereka tahu tentang PBB!, mereka orang yang tidak sempat menikmati pendidikan. Andaikan pemerintah lebih dekat dengan masyarakatnya, ini tidak akan terjadi karena pemerintah adalah manusia yang juga punya anggukan universal.

Read more...

Dasar-dasar survival

>> Thursday, March 11, 2010

Survival adalah suatu tindakan yang paling awal yang dilakukan oleh setiap makhluk yang hidup untuk mempertahankan hidupnya dari berbagai ancaman, survival adalah perjuangan agar tetap hidup.Rata PenuhDilihat dari kondisi alam Indonesia maka pengetahuan survival ini harus disesuaikan, juga dengan iklim tropis yang ada di negara kita. Di Indonesia daerah yang akan ditemui adalah : hutan belantara, rawa, sungai, padang ilalang, gunung berapai dan lain sebagainya.
Ada beberapa permasalahan yang akan kita hadapi, yaitu masalah / bahaya yang ada di alam (bahaya obyektif), masalah yang menyangkut diri kita sendiri (bahaya subyektif). Ada beberapa aspek yang akan muncul dalam menghadapi survival:
1. Psikologis : panik, takut, cemas, kesepian, bingung, tertekan, dll.
2. Fisiologis : sakit, lapar, haus, luka, lelah, dll.
3. Lingkungan : panas, dingin, kering, hujan, angin, vegetasi, fauna, dll.
Ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam melakukan survival, selain faktor keberuntungan (nasib baik/pertolongan Tuhan tentunya), yaitu:
• Semangat untuk mempertahankan hidup.
• Kesiapan diri.
• Alat pendukung.
Beberapa kebutuhan yang harus dipenuhi dalam menghadapi survival :
Perlindungan terhadap ancaman :
• cuaca,
• binatang,
• makanan/minuman
• penyakit
Untuk mengatasi keadaan cuaca yang dingin atau panas adalah dengan membuat bivak atau tempat berlindung sebagai sarana perlindungan yang nyaman bagi kita dari ancaman faktor-faktor alam yang ekstrim, selain itu agar badan kita tetap nyaman, usahakan selalu memakai pakaian yang kering.
Makanan dan minuman juga sangat penting yang harus didapatkan dalam menghadapi keadaan yang genting dimana kita butuh tenaga / kalori untuk melakukan aktifitas. Ciri-ciri dan karakteristiknya harus kita kenali agar tidak membahayakan. Untuk lebih jelasnya silahkan lihat Zoologi dan Botani praktis.
• Galilah lubang sedalam kira-kira 30-50 cm dengan diameter yang lebih besar dari misting / rantang (apa pun yang dapat digunakan untuk menampung air)
• Potonglah ranting kering dengan panjang kira-kira 50 cm, siapkan selembar plastik yang cukup lebar (bisa juga menggunakan ponco / jas hujan).
• Letakkan misting / rantang di dasar lubang, tegakkan batang / ranting tadi dan tutupi dengan pastik, jangan lupa letakkan batu disekelilingnya agar tidak mudah bergeser. (lihat gambar 1)
• Tunggulah air menguap dari permukaan tanah.
Tindakan dalam menghadapi survival :
Ingat semboyan ‘STOP’ :
S = Stop (berhenti).
T = Thinking (mulailah berpikir, dengan ketenangan berpikir akan mudah bertindak)
O = Observe (amati keadaan disekitar kita, apa yang bisa kita kerjakan)
P = Planning (buat perencanaan mengenai tindakan yang akan kita lakukan)
Sumber : Diambil dari beberapa situs dan buku tentang Teknik dasar Alam bebas

Read more...

  © e-production