3 Tahun Setelah Longsor Bawakaraeng

>> Monday, May 28, 2007

3 Tahun Setelah Longsor Bawakaraeng

(sebuah Laporan Perjalanan)

Minggu siang tanggal 26 Maret 2006, cuaca di sekitar pegunungan Bawakaraeng cerah. Namun sesekali kabut tiba-tiba mengubah suasana menjadi gelap, tak lama kemudian matahari kembali bersinar dengan teriknya. Nampak di puncak Bawakaraeng, kabut tipis lalu-lalang sementara tidak jauh disebelahnya nampak kabut tebal menyelimuti puncak Lompobattang. Suasana Ramma hari itu sama seperti biasanya, damai dan sejuk. Yang terdengar hanya riak-riak air yang mengalir dari mata air di puncak gunung menuju aliran sungai Jene’berang. Suara lain yang terdengar hanya suara beberapa pendaki yang naik bersama kami. Mereka berjumlah sekitar 20-an orang dari Mapala Teknik Sipil Politeknik Ujung Pandang (SKALA).

Tampa kami sadari sebelumnya, peristiwa dahsyat terjadi kurang lebih 500 meter dari tenda kami tiga tahun lalu. Tepatnya tanggal 26 Maret 2003. Kami baru tahu hari itu dari tata[1] Mandong _satu-satunya orang yang menetap di Ramma. Pada hari itu hari Jum’at. Longsor dahsyat menimpa pegunungan Bawakaraeng. Puluhan orang meninggal tertimbun tanah. Mereka adalah kebanyakan perempuan karena sebagian besar laki-laki sedang menunaikan ibadah shalat Jum’at di luar perkampungan mereka. Maklum di sana belum tersedia sarana shalat berjamaah seperti mushallah ataupun masjid.

Tata Mandong adalah salah satu warga desa lokasi longsor yang selamat. Tata Mandong adalah petugas penjaga hutan Bawakaraeng. Dia harus rela kehilangan rumahnya. Untunglah Pihak dinas Kehutanan masih membangunkan gubuk kecil di Ramma. Gubuk dengan ukuran sekitar 4 x5 meter. Berbekal pelita kecil dari botol minuman berenergi, Tata Mandong hidup sendiri di tengah hutan. Istrinya telah tiada sewaktu dia berumur 30 tahun. Dia memutuskan untuk tidak mencari pengganti untuk istri tercintanya.

Tata Mandong menceritakan peristiwa 3 tahun lalu kepada kami dengan suara lirih. Puncak musim hujan pada saat itu memang berdampak pada daerah aliran air hujan. Apalagi jenis tanah daerah itu merupakan jenis tanah tidak padu (berpasir). Ditambah lagi kurangnya pohan yang bisa menyerap air hujan. Menurutnya hutan bawakaraeng tidak seperti yang dulu lagi. Sudah banyak perbuatan yang bisa merusak hutan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Kerusakan hutan Bawakaraeng paling banyak disebabkan oleh kebakaran hutan.

Kami rasa apa yang disampaikan oleh tata’ Mandong sangat benar. Betapa tidak, dalam perjalanan, banyak kami jumpai hutan-hutan yang habis terbakar. Bagian yang paling parah yang pernah kami dapati yaitu pada pos 5 Bawakaraeng. Banyak bagian yang dulunya rimbun kini terlihat agak gundul.

Kita di Makassar mungkin tidak pernah menyadari bahwa air yang kita gunakan untuk keperluan sehari-hari berasal dari mata air pegunungan Bawakaraeng. Air Bawakaraeng mengalir melalui aliran-aliran kecil kemudian membentuk satu aliran yang besar sampai kepada aliran yang lebih besar yaitu sungai Jene’berang. Dari sungai Jene’berang air diolah kemudian didistribusikan ke kota Makassar dan sekitarnya.

Yang disayangkan, sebagian besar dari kita tidak pernah memberikan perhatian kepada bawakaraeng. Do’a pun mungkin tidak pernah diberikan untuk kekokohan Bawakaraeng. Bawakaraeng hanya dijadikan tempat ritual yang seharusnya tidak ada. Sudah saatnya kita sadar akan banyaknya kerusakan yang terjadi di muka bumi. (orangHuT@nE.078)



[1] tata’: sebutan untuk orang yang dituakan pada suku Makassar

Read more...

  © e-production