Pulau Seram merupakan pulau terbesar di gugusan kepulauan Maluku, dengan luas wilayah ±18.625Km2. Di sebelah utara, pulau Seram berbatasan dengan propinsi Maluku Utara, dan di sebelah timurnya berbatasan dengan Pulau Irian. Pulau ini termasuk dalam wilayah kabupaten Maluku Tengah Propinsi Maluku, dengan Masohi sebagai Ibukota Kabupaten.
Nusa Ina, (pulau Ibu) merupakan nama dari pulau Seram. Menurut cerita, pulau Seram dahulu merupakan suatu pulau besar dan merupakan satu pulau bersama pulau Ambon, dan kepulauan Uliase (Pulau Saparua, Haruku, dan Nusa Laut) yang akhirnya terpisah menjadi beberapa bagian kepulauan. “Di pulau tersebut terjadi peperangan yang konstan, hingga orang yang berada di bagian Ambon memotong sebidang tanah yang besar lalu menariknya dengan sehelai rambut manusia, sehingga kini berada pada posisinya yang sekarang. Kemudian begitupun dengan Pulau Saparua, Haruku dan Nusalaut mengikuti”¹. Oleh karena itu, Pulau Seram disebut juga dengan Nusa Ina.
Penduduk di pulau ini bermukim di daerah pantai-pantai dan daerah pegunungan. Penduduk pulau ini pada umumnya lebih banyak yang bermukim di pantai-pantai dan merupakan penduduk campuran dari penduduk asli dan orang-orang pendatang yang berasal dari berbagai pulau, seperti oran Bugis, Makassar, Buton dan Jawa. Sedangkan penduduk yang bermukim di daerah pegunungan merupakan penduduk asli.
Secara adminstratif pulau ini terbagi menjadi Seram barat, tengah dan timur. Tulisan ini membahas sebahagian kecil mengenai penduduk pulau Seram di beberapa pedesaan di tengah (utara) dan desa di daerah pegunungan. Pembahasan ini mendeskripsikan desa-desa Huaulu, Kanikeh, Roho, serta Wahai.
Gambaran Umum
Daerah desa-desa yang dimaksud terletak di daerah Seram bagian tengah secara administratif berada dalam kabupaten daerah tingkat II Maluku Tengah, Propinsi Maluku. Dua desa terletak di areal taman Nasional Manusela (Kanikeh dan Roho), sedangkan dua desa lainnya (Huaulu dan Wahai terletak diluar daerah Taman Nasional Manusela.
Taman Nasional Manusela. Sedikit mengenai taman nasonal yang terdapat di daearah ini, Taman Nasional Manusela merupakan daerah konservasi yang ditetapkan melalui surat kementrian pada tahun 1982. Mempunyai luas 198.000ha (19%dari luas Pulau Seram). Terdiri artas cagar alam wai Noa dan wai Mual. Nama Taman Nasiona Manusela, atau arti kata Manusela sama dengan sebuah desa yang terdapat di dalamnya yaitu desa Manusela, Manu,(Manusia yang diumpamakan sebagai burung) dan sela (tempat yang dicari) jadi manusela berarti manusia yang mencari tempat berteduh/tempat tinggal.
Terdiri dari banyak wilayah kependudukan/ pedesaan, masyarakat Seram memiliki corak dan unsure-unsur kebudayaan yang pada dasarnya sama, pada desa-desa yang disebutkan diatas, terdapat beberapa unsure kebudayaan yang pada dasarnya sama, hanya saja perbedaan yang mencolok terdapat pada unsure religi, dan pengaruh wilayah, serta lokasi desa.
Bahasa dan kesenian yang digunakan oleh penduduk pada desa-desa tersebut adalah bahasa Tanah (penduduk desa menyebutnya sebagai bahasa Tanah). “tetapi secara umum, bahasa-bahasa yang digunakan di Maluku termasuk dalam bahasa Austronesia”².
Umumnya kesenian ya
ng terkenal dari kepulauan kepulauan Maluku ialah tari cakalele (tari perang) dan alat musik berupa tifa. Sebenarnya masih terdapat banyak unsur kesenian lainnya yang belum digali dan dikenal secara umum.
Bentuk desa, rumah-rumah penduduk pada umumnya didirikan berdekatan dijalan utama/desa. Bentuk rumah pada desa-desa pedalaman/pegunungan berupa rumah bertiang/panggung dan rumah dengan lantai yang sejajar dengan tanah. Rupanya, rumah-rumah penduduk yang bertiang merupakan bentuk rumah penduduk asli. Sedangkan rumah-rumah penduduk yang lantainya sejajar dengan tanah merupakan rumah orang islam dan Kristen. Sedangkan bentuk rumah di daaerah pesisir pantai Wahai pada umumnya modern.
Bangunan lain yang terdapat di pedesaan ialah baileu (balai adat/desa), rumah kediaman raja, serta tempat-tempat ibadah. Sedangkan bangunan dan fasilitas lainnya pada daerah pedalaman berupa panel listrik tenaga surya yang hanya digunakan pada malam hari untuk keperluan penerangan minimum/seadanya saja. Fasilitas pendidikan di daerah pedalaman yang terdapat hanya banganunan sekolah dasar dengan ruang kelas paling banya
k dua ruangan dengan tenaga pengajar dan fasilitas pendidikan yang minim. bahkan menurut informasi, fasilitas pendidikan di beberapa desa di pedalaman pulau Seram tidak ada. sedangkan untuk daerah pedalaman berupa fasilitas kesehatan juga tidak ada.
Aspek Tingkatan Pendidikan dan keahlian
Pada masyarakat pedalaman tingkat pendidikan pada umumnya tamat Sekolah dasar (SD). Fasilitas pendidikan untuk desa pedalaman hanya SD, sedangkan untuk tingkatan pendidikan SMP dan SMU hanya terdapat pada daerah pantai-pantai yang terpusat di daerah perkotaan, yang jaraknya sangat jauh dari desa pedalaman.
Tingkat keahlian masyarakat pedalaman pada corak pertanian dan perkebunan, coraknya masih penggunaan traditional yaitu membuka lahan dengan cara membakar dan kemudian mengolahnya dengan
peralatan seadanya saja. Kehalian masyarakat juga pada berburu dan meramu.
Aspek sarana prasarana masyarakat
Sarana berupa fasilitas kesehatan pada masyarakat pedalaman tidak ada, Masyarakat rentan terkena penyakit Malaria, dan beberapa penyakit lainnya. Dalam hal pengobatan, mereka menggunakan pengobatan traditional.
Sedangkan pada akses informasi, pada pedesaan yang terletak di pedalaman pegunungan, aksesnya berupa radio dan pemiliknya terbatas. Di beberapa desa juga terdapat televisi, penggunaanya sangat terbatas karena faktor listrik yang terbatas.
Mata pencarian Hidup, mayarakat pada umumnya hidup dari bekerja sebagai petani ladang dan berburu serta mengumpulkan hasil-hasil hutan sepe
rti sagu dan buah. Pekerjaan bertani ladang dilakukan secara traditional dan berpindah, biasanya menanam umbi-umbian, keladi serta kacang-kacangan. Ada juga yang memiliki kebun tetap seperti, pala, kopra, durian, cengkeh dan coklat.
Berburu dilakukan oleh masyarakat pedesaan yang tinggal di daerah hutan dan pegunungan. Populasi hewan buruan berupa babi rusa dan babi hutan cukup banyak terdapat didaerah tersebut. Masyarakat berburu dengan menggunakan panah dan tombak serta biasanya memasang jerat/perangkap.
Sedangkan untuk daerah pesisir pantai masyarakat hidup dengan berkebun kelapa (Kopra), sebagai nelayan, dan banyak pekerjaan lainnya berupa pegawai pemerintahan dan swasta.
Sagu merupakan makanan pokok masyarakat pedesaan di pedalaman, Makanan lainnya berupa umbi-umbian, dan sekarang mereka sudah biasa makan beras. cara mereka memakan sagu dengan cara memasukkan tepung sagu yang sudah diolah kedalam bambu kemudian dibakar (putupola) atau dengan cara dimasak menjadi bubur kental (papeda).
Kemasyarakatan dan organisasi desa.
Pada sistem kemasyarakat dan latar belakang sosial budaya masyarakat pulau Seram, sebenarnya mempunyai sejarah yang panjang dan cukup berpengaruh terhadap latar belakang sosial kemasyarakatnya. Yang dijelaskan dibawah ini hanyalah gambaran pada masyarakat dan organisasi desa saat ini saja.
Dalam kehidupan masyarakat di pulau ini terdapat sistem kemasyarakatan berupa klen/family/marga-marga. Fam/marga-marga tersebut biasaya mengatur perkawinan marganya dan penggunaan tanah.
Desa dinamakan negeri dan dikepalai oleh seorang raja (secara administratif sebagai kepala desa) suatu jabatan yang dlu turun temurun, tetapi sekarang secara resmi harus dipilih dari rakyatnya. Organisasi desa juga teridir atas:
• Kepala adat (seorang ahli adat yang menguasai hukum adat tanah desa/negeri)
• Kapitan ( pejabat adat yang dulu merupakan panglima perang.)
• Kewang (polisi Kehutanan)
• Marinyo (penyiar berita di desa)
Semua pejabat-pejabat desa tersebut tergabung dalam satu dewan desa, bernama badan Saniri Negeri atau saniri saja.
Religi. Pada umumnya penduduk pulau Seram ini beragama islam, nasrani, serta sisa-sisa kepercayaan lama. Tampaknya penduduk daerah pantai pada beberapa desa, penduduknya memeluk agama islam dan nasrani. Pada daerah pegunungan penduduknya rata-rata pemeluk agama keristen protestan, dan terdapat juga desa yang masih memluk sisa-sisa kepercayaan lama. Walaupun sudah beragama nasrani dan islam sejak lama, naumun sampai sekarang ini, masih tampak adanya sisa-sisa religi mereka yang asli/unsur-unsur kepercayaan dari zaman sebelum mereka memeluk agama nasrani dan islam.
Mereka masih percaya adanya roh-roh yang harus dihormati, dan juga nilai keadatan yang kental terhadap proses kedewasaan penduduk/ masyarakatnya. Serta hal-hal yang mempunyai kekuatan dan pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Utamanya kepercayaan seperti ini pada masyarakat yang bermukim di pegunungan.
Sisa-sisa aspek religi lama yang tampak pada bangungan ialah Baileu yang terdapat di desa-desa, baik pada desa yang memeluk nasrani dan islam. Baileu sebenarnya merupakan balai desa/adat, dahulu digunakan sebagai tempat kurban-kurban dan sajian, pada masyarakat pegunungan tempat ini masih digunakan untuk acara adat desa. Sedangkan di daerah pesisir bangunan baileu sudah terabaikan.
Adapun masih tampak pada masyarakat pedesaan yang masih memeluk kepercayaan lama, ialah:
- Penggunaan kain yang berwarna merah yang digunakan/diikatkan dikepala. Kain merah ini merupakan simbol kepercayaan lama, digunakan oleh laki-laki yang sudah dewasa dan telah melewati ritual proses pendewasaan(pataheri)³.
- pengasingan (lilipuso⁴), digunakan untuk pengasingan pada wanita desa yang mengalami puberitas (haid pertama)
Berikut deskripsi desa-desa yang dimaksud:
1. Desa Huaulu.
Desa Huaul
u merupakan satu desa yang terletak di pulau Seram utara, Desa ini tidak termasuk dalam wilayah Taman Nasional Manusela. Untuk sampai ke desa ini jaraknya sekitar 3-4 Km dari jalan raya kabupaten (halte Bus Huaulu) aksesnya kini berupa jalanan pengerasan yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki dan kendaraan bermotor.
Menurut bahasa setempat, Huaulu yang artinya Hua (dua) dan Ulu (kepala aliran air/sungai) dapat diartikan sebagai desa yang bermukim di kepala dua arus sungai. Sungai Sapalewa dan sungai Salawai, desa ini dikenal sebagai desa komunitas adat yang masih memegang sisa-sia kepercayaan lama.
Bentuk Desa Huaulu Rumah Penduduk Huaulu Rumah penduduk (Panggung)
Rumah penduduk Dalam rumah Penduduk Dalam rumah penduduk
Dalam struktur social masyarakat (rukun desa), desa ini dikepalai oleh serang raja yang memimpin atau setara dengan kepala desa. ada juga ketua adat desa yang berperan dalam hal adat-istiadat.
Bentuk desa. Di desa ini rumah-rumah penduduk didirikan berdekatan, berjejer dan berhadapan di pinggir sepanjang jalan desa. Rumah-rumah penduduk merupakan rumah bertiang (panggung) tingginya ± satu meter, bagian bawah rumah biasanya digunakan sebagai kandang binatang ternak. Bentuk rumah pada umumnya segi empat dengan Serambi muka kecil dan terbuka di depannya. seperti teras rumah. Rumah-rumah penduduk terbuat dari batang-batang kayu, bamboo, papan, dan ada juga yang menggunakan pelapah sagu. Atapnya terbuat dari anyaman daun sagu.
Penduduk Desa
Di setiap rumah penduduk terdapat tiang-tiang yang dipasangi panel listrik tenaga surya di atap rumah. Alat ini hanya digunakan untuk keperluan penerangan di malam hari. Beberapa bangunan lain yang terdapat di desa ini ialah baileu atau balai desa/adat, terdapat antenna parabola dan atapnya terbuat dari seng. Juga terdapat sebuah sekolah dasar dengan dua ruangan untuk aktivitas pelajaran. Serta sebuah bak penampungan air sungai di ujung jalan desa.
Religi. Penduduk desa Huaulu dikenal sebagai desa komunitas adat. Atau desa yang masih memegang adat dan kepercayaan lama di pulau Seram ini. Tampak pada Ikat kepala dari kain merah yang digunakan laki-laki dewasa penduduk desa ini. Banyak orang dari luar desa menyebut komunitas adat ini sebagai komunitas dengan kepercayaan atheis, ada juga yang mengatakan Hindu sebab beberapa dari penduduk Huaulu dalam kartu penduduknya tertuliskan Hindu. Walaupun penduduk Desa Huaulu menolak dikatakan Hindu ataupun atheist. Sebenarnya kepercayaan yang dianut masyarakatnya termasuk animisme. Dan merupakan kepercayaan lama yang dianut penduduk pulau Seram pada umumnya.
Mata Pencarian. Tidak jauh dari desa, terdapat perkebunan penduduk berupa pepohonan durian. Dan di sekitarnya terdapat tanaman umbi-umbian (kasbi). Durian merupakan tanaman panen musiman penduduk dan hasilnya dijual keluar desa. Sedangkan Umbi-umbian dan keladi merupakan tanaman untuk konsumsi penduduk desa. Rupanya penduduk desa Huaulu juga ada yang berkebun buah pala. Penduduk menjemur buah pala di jalan desa depan rumah-rumah mereka. Di halte Huaulu terdapat beberapa orang penduduk desa yang membawa buah pala, dipinggir Jalan di halte tersebut, mereka menunggu pembeli/penampung.
2. Dusun Roho
Roho merupakan desa y
ang masuk dalam kawasan Taman Nasional Manusela. Untuk bisa ke desa/dusun ini, dari desa Huaulu ditempuh jarak ±8Km dengan berjalan kaki, menyusuri daerah sungai-sungai yang mengalir dari daerah pegunungan. Lokasi desa/dusun ini berada di daerah bekas sungai yang pernah dijadikan camp oleh perusahaan penebangan yang telah berhenti beroprasi sejak tahun 2000. Jadi termasuk lokasi desa yang belum terlalu lama di diami penduduk Roho.
Roho dikenal sebagai pedesaan yang sering bermukim di daerah aliran sungai. Dalam bahasa setempat, Roho artinya sungai/bekas sungai. Menurut penduduk, desa ini telah mengalami perpindahan kampong beberapa kali, dikenal dengan nama Roho, Sorosiu, Maranata, dan Kini Roho. Awalnya desa ini bermukim di kaki Gunung Binaiya bersama desa Kanikeh. Tapi karena beberapa hal maka penduduk Roho berpindah ke daerah bawah.
Kependudukan. Walaupun jaraknya cukup jauh dari desa Kanikeh. Roho merupakan dusun yang berada dalam wilayah administratif negri dari Desa Kanikeh. Dan desa ini dikepalai oleh seorang kepala dusun. Penduduk desa ini terdiri dari ±63 jiwa dari 13 Kepala Keluarga (KK). Penduduk dusun terdiri dari orang Roho dan Kanikeh, di dusun ini terdapat marga Lekahana, Manutu, dan Maoki.
Desa/Dusun Roho
Bentuk Desa. Di desa ini rumah-rumah penduduk didirikan berdekatan berjejer, dan berhadapan di pinggir sepanjang jalan desa. Di belakang pumukiman penduduk /di sebelah utaranya terdapat aliran sungai besar (way’Umu). Rumah-rumah penduduk bentuknya pada umumnya lantainya sejajar dengan tanah/lantainya tanah, jadi bukan rumah panggung. Hanya saja masih terdapat dua rumah yang merupakan rumah panggung. Rumah-rumah yang berlantai tanah berbentuk segi empat. terbuat dari balok dan batang-batang kayu, dindingnya dari papan-papan kayu, sedangkan atapnya terbuat dari anyaman daun sagu. Di dalamnya terdapat ruang depan (tamu), kamar, ruang tengah, dan dapur di belakang. Rumah-rumah penduduk juga menggunakan panel surya yang dihubungkan dengan aki kendaraan/mobil untuk menyimpan listrik digunakan untuk penerangan seadanya pada malam hari.
Di desa ini, tidak terdapat fasilitas bangunan pendidikan, dan kesehatan. Yang ada hanya baileu yang digunakan warga berkumpul untuk kepentingan dusun, juga digunakan warga untuk menonton televise bersama. dan juga terdapat rumah yang dijadikan sebagai tempat ibadah.
Religi, di desa ini penduduknya beragama Kristen Protestan, dengan fasilitas ibadah berupa bangunan rumah seadanya yang digunakan penduduk untuk beribadah. Tampak penduduk desa laki-laki sudah tidak menggunakan kain berang merah (kain warna merah yang digunakan dikepala).
Mata Pencarian penduduk. masyarakat dusun Roho umumnya bermata pencarian berburu dan bertani ladang. Pekerjaan berburu rusa dan babi hutan dilakukan dengan berburu dan memasang jerat, hasilnya dijual ke luar desa. Sebelum memasuki desa ini, terdapat diantara aliran sungai lahan yang digarap penduduk dengan cara pengolahan membakar dan kemudian ditanami dengan umbi-umbian (ubi jalar dan kayu) keladi serta kacang-kacangan, yang hasilnya digunakan untuk keperluan konsumsi keluarga. Lahan garapan serupa banyak terletak di daerah sekitar pemukiman penduduk. Penduduk desa juga menanam tanaman musiman berupa durian. dan sebagian kecil keluarga juga melukukan pekerjaan rumah berupa membuat kerajinan tangan yang dijual ke pengunjung/tamu yang lewat didusun mereka.
3. Desa Kanikeh
Desa Kanikeh termasuk dalam wilayah Taman Nasional Manusela, Seram Utara. Untuk bisa sampai ke desa ini, ditempuh dengan berjalan kaki dengan jarak ±18Km dari Dusun Roho melalui hutan di daerah pegunungan. Juga bisa melalui Seram bagian selatan. Dari desa ini, terdapat sungai (Way Ule), di selatan desa terlihat Gunung Binaiya dan Pegunungan Morkele yang memanjang, tepatnya, desa ini berada di kaki gunung Binaiya bagian utara.
Desa Kanikeh
Desa Kanikeh dikenal juga dengan nama Nusamuele Ama Ina seperti yang tertulis di Baileu desa. dalam bahasa setempat yang artinya Tanah terang ibu bapak. Menurut cerita, desa kanikeh berawal dari masyarakat yang membangun rumah panggung lalu datanglah dua orang dari barat yang membantu tutup atap rumahnya, lalu dinamakanlah Kanikeh atau Nusamuele Ama Ina.
Kependudukan. Desa Kanikeh terdiri dari 56 Kepala Keluarga, dengan jumlah penduduk ±200 jiwa. di desa ini terdapat organisasi kerukunan desa (Saniri negri Kanikeh) didalamnya terhimpun raja negri, dan ketua adat desa. Terdapat dua marga besar di desa ini yaitu marga Berasa dan Lilimau.
Bentuk Desa. Berada di daerah kemiringan, rumah-rumah penduduk juga didirikan berjejer, berhadapan sepanjang jalan desa. terdapat sungai-sungai dan aliran air sebagai sumber air desa. diujung desa terdapat penampungan air bersih yang dialirkan dari sungai. Rumah-rumah penduduk terdiri atas rumah panggung dan rumah dengan lantai tanah yang terbuat dari balok, batang-batang kayu, papan dan atap dari anyaman daun sagu.
Tiap rumah juga menggunakan panel listrik tenaga surya untuk keperluan penerangan di malam hari. Bangunan dan fasilitas lainnya didesa ini terdapat Baileu, balai desa yang dugunakan untuk keperluan desa dan acara-acara adat, juga terdapat sekolah dasar yang didirikan oleh sebuah yayasan keagamaan. Serta sebuah fasilitas ibadah yaitu satu gereja Kristen Protestan. Baileu dan gereja dibangun dengan menggunakan semen dan atap seng. Sedangkan bangunan dan fasilitas kesehatan tidak ada.
Religi dan adat. Penduduk desa Kanikeh pada umumnya beragama Kristen Protestan, walaupun masih terdapat banyak hal yang berkaitan dengan adat istiadat lama mereka. Seperti penggunaan ikat kepala dari kain merah, upacara adat sirih-pinang, upacara adat sebelum pendakian gunung, upacara adat desa yang diadakan setiap akhir tahun, dan kepercayaan terhadap penggunaan warna merah, juga terhadap pohon-pohon ataupun benda-benda yang dianggap sacral.
Mata Pencaharian. Penduduk desa kanikeh pada umumnya bermata pencarian berburu dan bertani ladang. Berburu merupakan matapencarian penduduk yang utama, sedangkan bercocok tanam di ladang biasanya hanya untuk keperluan sehari-hari. Berburu dilakukan penduduk laki-laki pada saat musim kering. Hewan buruan berupa rusa dan babi hutan. Mereka menggunakan panah dan tombak serta biasanya memasang jerat/perangkap di daerah-daerah tertentu. Hasil buruan yang diperoleh kemudian dibagi rata kemudian diolah dengan cara, daging yang diperoleh kemudian dikeringkan dan diberi garam (dendeng), dan hasilnya mereka bawa ke daerah pantai atau pasar untuk dijual. Rusa menjadi hewan buruan yang dominan penyebarannyapun cukup tinggi hingga ke daerah ketinggian pegunungan serta dagingnya bisa cepat laku jika dijual.
Bercocok tanam yang dilakukan penduduk hanya berupa ladang ladang kecil atau bercocok tanam disekitar rumah mereka saja. Mereka menanam umbi-umbian (kasbi) dan keladi, hasilnya hanya untuk dugunakan untuk konsumsi sehari-hari. Ada juga penduduk yang mengelolah ladang yang cukup luas tetapi jaraknya cukup jauh dari desa berada diluar daerah taman Nasional Manusela. Sehingga kadang di telantarkan begitu saja.
Karena desa ini terletak di kaki gunung Binaiya dan biasanya dikunjungi untuk kegiatan pendakian. Mata pencaharian yang lainnya berupa penyediaan layanan inap untuk tamu desa dan penyediaan jasa guide dan porter untuk keperluan pendakian.
4. Desa Wahai
Desa ini lokasinya cukup jauh dari pedesaan-pedesaan yang dijelaskan sebelumnya diatas. Dari halte Huaulu dengan menggunakan kendaraan mobil ditempuh sekitar satu jam perjalanan. desa ini masih masuk dalam kecamatan Seram Utara.
Desa Wahai yang terletak di daerah pesisir tampak berbeda dengan desa-desa yang berada di daerah pedalaman Seram Utara. Baik dari sisi kependudukan, bentuk desa, dan mata pencarian penduduk.
Kependudukan, Penduduk desa Wahai merupakan penduduk campuran antara penduduk asli dan pendatang.
Bentuk Desa, Rumah-rumah penduduk dibangun disekitar jalan raya kabupaten. juga terdapat daerah yang berbukit-bukit banyak juga bangunan/rumah-rumah penduduk yang didirikan lebih tinggi dari rumah penduduk lainnya (dibukit). Sedangkan bentuk rumah-rumah penduduk dan bangunan lainnya merupakan tipe bangunan Moderen.
Di desa ini juga terdapat Baileu /balai desa tapi penggunaannya tampaknya sudah terabaikan seiring dengan perkembangan desa. Bangunan lainnya tampak sebuah Masjid, sekolah dasar dan sekolah Madrasah.
Religi. Penduduk pada umumnya memeluk agama islam dan nasrani.
Mata Pencarian Penduduk, Di daerah pesisir tanaman yang dominan terlihat di sepinggir jalan raya kabupaten ialah perkebunan kelapa (Kopra), selain itu penduduk desa ada juga bekerja sebagai Nelayan, di dekat desa juga terdapat pertambakan udang, pekerjaan lainnya berupa pegawai negeri dan swasta.
Referensi
Boulan-Smit, C., ‘Sharing the Earth, Dividing the Land; Land and territory in the Austronesian world : Chapter 7. Traditional Territorial Categories and Constituent Institutions in West Seram. The Australian National University, Canberra, Australia: ANU E Press 2006
Manaf Tubaka, Abdul., ‘Eksistensi Agama Suku Noaulu di Maluku, Universitas Kristen Satya Wacana, 2008.
Subyakto., Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia: ‘Kebudayaan Ambon, cet.15.- Jakarta: Djambatan, 1995
Endnote_________________________
¹ Nusa Ina, merupakan sebutan nama lain untuk Pulau Seram, cerita yang dimaksud bahwa Pulau Ambon, Saparua, Haruku dan Nusa laut dahulu merupakan satu pulau yang kemudian terpisah, merupakan kumpulan Narasi Alune yang dikumpulkan oleh A.D.E. Jensen. Jensen (1938: No. 73,126; Summarised translation). Lihat juga “Sharing the Earth,Dividing the Land and territory in the Austronesian world” by Thomas Reuter, 2006, Christine Boulan-Smit, hlm157
² Bahasa Austronesia, Pada umumnya bahasa-bahasa dari kepulauan Maluku termasuk bahasa Austronesia, kecuali bahasa-bahasa di Halmahera Utara, seperti misalnya Bahasa Ternate dan Tidore². Lihat Masyarakat dan kebudayaan di Indonesia, Subyakto, Kebudayaan Ambon, hal 173
³ Ritual Pataheri, merupakan contoh ritual di desa Nouaulu di Seram bagian selatan (desa yang juga masih memegang kepercayaan lama) lihat dalam EKSISTENSI AGAMA SUKU NOAULU DI MALUKU Pembicara: Abdul Manaf Tubaka, M.Si. 2008. Universitas Kristen Satya Wacana, hal 17, menyebutkan; Ritual Pataheri adalah ritual inisiasi bagi anak-anak laki-laki Noaulu yang telah berakal balik. Dalam tradisi Islam, hal ini dikenal dengan prosesi sunatan massal yang sebetulnya juga menjadi salah satu simbol identitas bagi orang Islam. Atau dalam tradisi Kristen, disebut dengan prosesi Sidi. Bagi masyarakat Noaulu, pemakaian Kainberang Merah di kepala merupakan simbol kematangan dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai masyarakat Noaulu.
Sebelum memulai ritual Pataheri, anak laki-laki harus berpuasa bersama gurunya selama satu hari dari jam 3 malam sampai jam 18.00, kain kecil yang berwarna merah (kein berang) diikatkan dileher dengan harapan dapat melindungi mereka dari gangguan setan (Soi). Setelah tahap ini selesai, anak-anak yang mau dipataheri dikumpulkan sebelum mereka mau berangkat ke hutan. Mereka berkumpul di rumah adat bersama dengan guru mereka, orang tua, tua-tua adat, kepala suku, dan kepala dusun. Di rumah adat, mereka kemudian memakai pakaian setengah yaitu kain batik (Karinunu Onate) sebagai pakaian pertama. Kemudian saudara perempuan atau ibunya bertanggung jawab untuk menyisir rambut (Sisi Unum) sebagai persiapan untuk menuju ke hutan atau gunung. Anak-anak yang dipataheri (Imatehennea) harus didampngi oleh seorang Kapitan menuju rumah tua Kapitan untuk untuk berdoa bersama agar anak-anak yang dipataheri menjadi pemberani. Segera setelah mereka selesai bersoa bersama di rumah Kapitan, mereka (Imatehennea) menuju ke rumah adat menemui gurunya dan mengambil alat-alat kelengkapan Pataheri seperti Parang, Tombak, Panah dan tas yang berisi siri pinang. Perlengkapan pataheri itu diberikan oleh guru mereka satu persatu dengan menghadap ke utara, setelah itu guru menuju pintu belakang arah timur untuk memimpin Imatehennea menuju hutan tempat acara ritual. Lokasi dimana anak-anak yang dipataheri, telah dipersiapkan para-para (Hantetane ). Para-para ini dibuat dengan posisi arah utara selatan, utara untuk pintu depan sedangkan selatan pintu belakang. Diatas para-para, anak-anak Pataheri diantar dan diarahkan untuk persiapan acara ritual pataheri. Semua prosesi ini dikomandoi oleh seorang guru yang dipercayakan karena pengetahuannya tentang acara ritual ini. Sambil menunggu acara puncak ritual pataheri, maka dipersialahkan para kepala Suku, Kepala Soa, Kepala Adat, Kepala Dusun, orang Tua dan undangan lainnya agar mengelilingi acara ritual Pataheri sambil menunggu posisi matahari menunjukan pukul 13.00 siang. Jika waktu sudah menunjukan tepat pukul 13.00 berarti acara ritual Pataheri mulai dilaksanakan. Dalam waktu tersebut anak-anak yang dipataheri turun dari para-parauntuk menginjakan kaki di atas tanah yang dipersiapkan lima potong bambu berukuran ¾ cm untuk beridiri di atasnya menghadap ke arah barat. Setelah itu guru membaca doa. Doanya adalah:
Yarisi iripi koku Upu kunuhatana atau oyang-oyang waupu waupu tampane kekuatan, asinena uruhu, inesi kupuwa hutuwate tanea larihoniki nesisia nesinima
Artinya:
Upu Kunatahan atau moyang-moyang, berikanlah kekuatan agar mereka terhindar dari segala malapetaka dan tumbuh menjadi sehat dan kuat, supaya segala macam penyakit terhindar dan cepat tumbuh dari yang lain.
⁴ liliPuso, lihat dalam EKSISTENSI AGAMA SUKU NOAULU DI MALUKU Pembicara: Abdul Manaf Tubaka, M.Si. 2008. Universitas Kristen Satya Wacana, hal 17, menyebutkan; Ritual Posune sebagai instrumen pengakuan sosial, sementara tempat bagi perempuan yang haid dan melahirkan adalah Posuno. Posuno ini adalah rumah kecil yang bahan-bahannya terbuat dari daun rumbia (pohon sagu), berukuran 2x2 meter dan tinggi tiang 1 setengah meter. Atap rumah dari daun sagu tidak boleh disambung-sambung. Hal ini melambangkan keutuhan seorang gadis Noaulu. Untuk berdirinya bangunan Posuno ini, ada syaratnya, yaitu tiang pertama harus didirikan oleh saudara laki-laki dari ibu, selanjutnya secara gotong royong oleh keluarga maupun masyarakat. Pengasingan ini dilakukan sebab pada saat itu, perempuan diangga kotor dan tidak boleh memperlihatkan diri. Setelah menjalani pengasingan selama lima hari, ia kemudia didoakan sebagai berikut:
“Upu Kunahatanna nante tuwawamane Uaupu Nuhun Aupua Mai Okataya Pinomou raini osiru ohena anunei aurana”
Artinya:
“Ya Tuhan yang menguasai seluruh alam, peliharalah dia dari godaaan setan yang menggoda dia sehingga ia menjalani Pinamou dengan baik”
Selama di dalam rumah kecil itu (Posuno), perempuan Pinamou hanya dibekali dengan bambu untuk tempat tidur (Hunisane), piring yang dibuat dari lembar sagu (Tanopae), tempat
masak dari ruas bambu untuk masak air, papeda, ikan dan kusu (wanate) dan yang tekhir adalah sarung untuk dipakai selama dalam Posuno yang tidak pernah diganti (Nipae). Begitu pula dengan ibu yang melahirkan. Ia diasingkan ke rumah posuno dan dibantu oleh seorang bidan dari keluarga mereka. Pertama ibu tersebut dibawah ke rumah tua, baru kemudian diantar ke Posuno. Tugas ibu bidan adalah memandikan, tetapi harus berpuasa dari jam 4 pagi sampai jam 4 sore. Ibu yang emalhirkan itu didoakan oleh keluarga. Bayi dimandikan tanpa sabun selama satu bulan. Doanya adalah:
Kabisa upu Kunahatana yamrai na sagala bae supaya subur laeng kare huru
Artinya
Semoga Upu Kunahatana memberikan yang baik supaya dia hidup dengan selamat.
Muh.Nur Amin, dkk
EKSPEDISI MANISE 2011 Collection
UKM PA EDELWEIS FIB-UH