Bergabunglah dengan Kami

>> Sunday, October 9, 2011


PPAB Merupakan kependekan dari Prosesi Penerimaan Anggota Baru yang dilakukan setiap dua tahun sekali. Kegiatan ini dirancang untuk memberikan kesempatan kepada segenap mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin untuk menggeluti kegiatan alam terbuka secara terorganisir yang berdasarkan standar operasional lapangan.

Dengan Menjadi Anggota UKM PA Edelweis FIB-UH, kita bisa melakukan aktifitas di alam terbuka tidak hanya di Sulawesi Selatan namun juga di luar Sulawesi Selatan bahkan tidak menutup kemungkinan di luar negeri. Sebagai mahasiswa fakultas Ilmu Budaya, kita bisa berinteraksi dengan masyarakat pedalaman untuk mengkaji khazanah budaya yang tersimpan di pelosok negeri ini.

Berapa lama proses PPAB Berlangsung?

PPAB berlangsung dari Oktober 2011-Februari 2012. Lamanya?.... bagi sebagian orang mungkin terbilang cukup lama. Namun dalam rentang waktu tersebut, ada banyak proses yang berlangsung yang bertujuan untuk mengenalkan dasar-dasar kepencintaalaman. Jangan khawatir akan mengganggu proses perkuliahan anda karena sebagian besar kegiatan dilaksanakan di akhir pekan.

Bagaimana cara mendaftarnya?

Caranya mudahji…. Anda tinggal mendatangi markas besar UKM PA Edelweis FIB-UH dan meminta formulir kepada panitia penerimaan. Isi formulir tersebut dan jangan lupa berdoa supaya keputusan yang anda ambil ini adalah keputusan yang tepat untuk masa depan anda.

Bergabunglah dengan kami, karena hidup ini akan sia-sia jika hanya secukupnya saja

Read more...

Suatu Ketika di Lembanna

>> Thursday, September 29, 2011


Lima cahaya lampu motor menembus kegelapan kota bunga Malino di sebuah malam yang dingin, sejenak kami menyeruput segelas kopi hitam di sebuah warung pinggir jalan yang harganya tak murah.....


Kami berada di sini, tepatnya perkampungan Lembanna, sekitar 2 kilo arah utara Malino. Perkampungan yang merupakan entri point para pendaki yang ingin mendaki gunung Bawakaraeng (2800mdpl). Kami sedang melakukan survey lokasi wisata edelweis yang akan dilaksanakan akhir bulan ini (baca: September 2011).

Tak banyak yang berubah dari perkampunag ini secara fisik. Yang mencolok hanya jalanan kampung yang dulunya hanya pengerasan kini telah menjelma menjadi aspal yang mulus. Rumah-rumah yang ada hanya mengalami perbaikan seadanya kecuali memang ada beberapa rumah yang sudah berstatus permanen. Yang nampak beda juga hanyalah papan nama yang menempel pada masing-masing rumah penduduk. Bentuknya seragam. Dengan dasar warna hijau dengan tulisan warna putih. Kami pikir, ini palingan kerjaan anak KKN. Sebuah warung bakso dan mi pangsit juga telah ada.

Tidak banyak memang perubahan yang kami amati, namun dalam hati kami pasti dengan pembangunan jalan ada banyak perubahan yang terjadi yang tidak mampu kami amati hanya dalam waktu tak lebih dari sehari. Perubahan itu menyangkut kebiasaan sosial yang ada. Dengan adanya jalan segala sesuatu akan mudah terakses. Pag-pagi sekali, tidak biasanya mobil sejenis Avanza mondar-mandir di jalan Lembanna. Biasanya hanya mobil pete-pete/angkot atau truk pengangkut sayur. Yang jelas kami pikir kondisi berubah akan nampak lima atau sepuluh tahun yang akan datang. Lebih cepat bisa jadi.

Terlepas dari semua itu, menurut kami perkampungan ini masih menyimpan pesona kesejukan yang menentramkan pikiran. walaupun pagi-pagi tak ada kicau burung, lantunan simfoni angin makin menenggelamkan kami kedalam sarung kami yang makin pagi makin terasa “hangat”. Pagi ini sedikit bergerimis. Dan itu terasa makin menggoda untuk memejamkan pikiran lebih dalam. Mencari posisi badan yang paling pas dalam balutan sarung. Namun kami harus bangun dan melaksanakan tugas kami.

Berjalan sejenak, hamparan perkebunan khas daerah pegunungan telah menyuguhkan pemandangan natural yang hanya biasa dibayangkan. Para petani memetik tomat yang ranum dalam kondisi yang masih berembun. Baling-baling air yang menyemprot tanaman nampak juga berlenggak-lenggok mengiring senyum petani. Ah... Tomat-tomat ini pernah kubeli dengan harga seribu per biji di Makassar. Suara bulir-bulir air pegunungan yang mengalir dengan derasnya makin menggodaku berlama-lama disini dan menghirup sebanyak-banyaknya udara yang tidak mungkin kami temui di Makassar. (E.078)

Read more...

Bergabunglah dalam PPAB XVI

>> Wednesday, September 28, 2011


Read more...

COMING SOON !! WISATA EDELWEIS 2011

>> Sunday, August 21, 2011






Read more...

COMING SOON.. WISATA EDELWEIS 2011

>> Thursday, August 18, 2011

FUN AND JOIN US IN " WISATA EDELWEIS 2011"

- nikmati indahnya alam bersama UKM PA EDELWEIS FIB-UH

Item Kegiatan :

* flying fox
* Games
*Hiking ( jalan-jalan rimba)
* Edelweis Night ( acara malam )

waktu pelaksanaan:
23-25 september 2011
Tempat:
Lembanna/ Malino Kab. Gowa

Read more...

Taman Victoria, Ambon Maluku

>> Thursday, July 28, 2011

Taman Victoria merupakan tempat yang bersejarah di kota ambon, sejak bangsa portugis taman ini telah ada namun namanya bukan taman Victoria hingga belanda memukul mundur bangsa portugis dan mengambil alih kota ambon, sejak saat itulah taman ini diberi nama taman Victoria. Taman Victoria terletak di pusat kota, tepatnya di kecamatan Sirimau berhadapan dengan pantai losari Mahardika.

Mendengar kata “taman” mungkin terbayang di benak kita suasana yang hijau, di tumbuhi bunga-bunga yang indah serta pepohonan yang sejuk dilengkapi dengan bangku-bangku yang tersusun rapih dan bersih. Sama dengan yang ada di ambon taman Victoria ini tumbuh rumput hias, dengan pepohonan yang rindang, bangku-bangku kecil, namun sayangnya taman ini tidak terawat sehingga terlihat sangat kotor. Bukan hanya gerobak yang mengisi taman ini melainkan juga sekumpulan kambing yang menjadi penghuni tetap taman ini. Sangat disayangkan tempat yang bersejarah ini dijadikan sebagai kandang kambing dan tidak dimanfaatkan sebagai mana mestinya.

Melihat taman Victoria yang memiliki tempat yang sangat strategis karena berdekatan dengan pantai, dan berada di pusat kota ambon. Sangat disayangkan jika hanya dibiarkan begitu saja tidak terurus layaknya sebuah taman yang bersejarah. Bisa kita bayangkan jika taman ini betul-betul terurus dapat kita nikmati suasana yang membuat hati nyaman, setelah seharian bekerja, dengan suasana kota yang panas, padat dan menyesakkan. Dengan adanya taman ini dapat mengurangi ketegangan dan rasa lelah.
Semoga masyarakat khususnya pemerintah kota ambon sadar akan keberadaan taman Victoria ini, agar dapat berbondong-bondong untuk merawat dan menjaga taman ini, sehingga taman Victoria berfungsi sebagai tempat yang sangat ingin dikunjungi jika ke kota ambon, dan tidak lagi menjadi kandang kambing seperti saat ini.
Ahmad Fuad Fathani...

Read more...

Gong Perdamaian Dunia ( World Peace Gong )

Menurut sejarahnya Word Peace Gong atau Gong Perdamaian Dunia yang biasa disingkat GPD diciptakan pada akhir tahun 2002 yaitu pasca “Bom Bali-I” oleh Komite Perdamaian Dunia, Djutoko Suntani, Gde Sumarjaya Linggih, anggota DPR RI, dan beberapa tokoh nasional lain seperti Esy Darmadi, Lieus Sungkharisma, dan ditabuh untuk pertamakalinya oleh Presiden dan Wakil Presiden RI di Bali pada tanggal 31 Desember 2002, tepat pukul 00.00 WITA di hadapan seluruh tokoh bangsa, untuk mencanangkan “Tahun 2003 sebagai Tahun Perdamaian Indonesia”. Gong Perdamaian Dunia (GPD) merupakan satu-satunya sarana Persaudaraan dan Pemersatu Umat Manusia di dunia. Dengan adanya Gong Perdamaian Dunia (GPD) dapat mempersatuakan umat manusia tanpa mengenal perbedaan ras, suku, bangsa, ideologi ataupun sekat-sekat pemisah lainya, melainkan umat manusia hanya mengenal satu kesatuan yang utuh dengan mengatas namakan satu keluarga yang tidak lain yaitu Keluarga Bumi.


Gong Perdamaian Dunia telah ada sebelumnya yang berasal dari desa planja-mlonggo-jepara-jawa tengah, Gong sakral ini telah berusia sekitar 450 tahun dan dijaga oleh Ibu Musrini yang merupakan pewaris milik gong generasi ketujuh, yang bertempat tinggal di desa Plajanlereng Barat gunung Muria. Gong ini dibuat oleh seorang wali yang berasal dari kerajaan demak dan gong ini digunakan sebagai sarana dakwah dalam mengajarkan agama Islam ke daerah pegunungan yang pada waktu itu masyarakat masih menganut kepercayaan animisme. Tokoh dunia peraih “Nobel Perdamaian” yang berkali-kali menjadi Perdana Menteri Israel, Shimon Perez, menyebut Gunung Muria di Jawa Tengah (Indonesia) memiliki kekuatan aura magik luar biasa. Yasser Arafat (Presiden Palestina), juga peraih “Nobel Perdamaian,” mengatakan: Muria merupakan gunung pilihan Allah untuk dijadikan “Gunung Perdamaian”. Kedua tokoh peraih nobel asal Timur Tengah itu berpendapat, GunungMuria di Jawa Tengah (Indonesia) merupakan “saudara kembar,” dengan Gunung Muria di Yerusalem (Palestina). Karena memiliki struktur ukuran tinggi dan besar yang sama. Nama Muria (Moria) berasal dari bahasa Ibrani (Ibrahim), berarti “pilihan Allah”.

Menurut sejarah yang ada di gunung Muriah (palestina) merupakan tempat yang sakral, mulai dari Nabi Ibrahim yang mendapatkan perintah langsung dari Allah di gunung Muria untuk menyebarkan agama kepada seluruh umat manusia mengenai ketauhidan (satu Tuhan). Kemudian Nabi Musa yang mendapat “10 Perintah Tuhan” namun Nabi Musa kembali ke gunug Muria untuk meminta penjelasan tentang “10 Perintah Tuhan” setelah Nabi Musa muncul Nabi Daud yang pada zamannya menjadi raja, ia mendapat perintah pertama dari Tuhan untuk membagun rumah ibadah di gunung Muriah, karena pembangunan rumah ibadah belum selesai kemudian dilanjutkan oleh anaknya Nabi Suleman (Solomon) yang juga sekaligus menjadi raja pada saatitu, ia melanjutkan pembangunan rumah ibadah hingga selesai secara sempurna di gunung Muriah. Pada generasi berikutnya muncul Nabi Isa setelah dibimbing oleh Nabi Yahya, ia mendapat wahyu untuk mengajarkan agama kepada Bani Israil, dan Nabi Isa memilih gunung Muria sebagai tempat pertama kali untuk mengajarkan ilmu agama. Kemudian yang terakhir Nabi Muhammad yang meakukan mi’raj dari Gunung Muria menuju sidratul-mutaha.

Berangkat dari latar belakang sejarah sebagaimana dipaparkan di atas, keberadaan Gunung Muria, secara kasat mata mendapat predikat “Gunung Perdamaian”, untuk menyatukan seluruh umat manusia di muka Bumi. Karena itu cikal bakal “Gong Perdamaian Dunia” (World Peace Gong) sebagai sarana yang mampu menyatukan umat manusia di seluruh dunia, berasal dari Gunung Muria di Jawa Tengah-Indonesia. Alasan mengapa bukan di Palestina (GunungMuria) karena di sana masih terjadi konflik pertikaian yang masih berlangsung hingga saat ini. Namun suatu saat nanti GPD akan di pasang secara permanen di Gunung Muria guna menghentikan pertikaan yang terjadi di yerusalem dengan harapan dapat mewujudkan perdamaian secara permanen di seluruh kawasan Timur Tengah.

Gong Perdamaian Dunia memiliki banyak simbol yang memiliki makna tersendiri yang dapat mengontrol atau mengakomodir aspirasi dan kepentingan umat manusia. Pada lingkaran tengah, terdapat tulisan “World Peace Gong”, gambar Bunga serta tulisan dalam Bahasa Indonesia ‘Gong Perdamaian Dunia’. Tulisan dan bunga, merupakan peneguhan identitas jati diri Gong Perdamaian. Bahasa Inggris ditampilkan karena bahasa komunikasi internasional. Sementara eksistensi Bahasa Indonesia untuk menegaskan sarana agung ini berasal dari Indonesia. Sedangkan Bunga merupakan lambang keindahan, kebahagiaan serta perdamaian di tempatkan pada sisi pemisahan antara dua tulisan. Posisi bunga ada pada dua tempat, berada di samping kiri dan kanan, memiliki arti simbol keseimbangan. Pada lingkaran dalam, menampilkan 10 simbol agama besar yang dianut mayoritas penduduk Dunia.Sepuluh (10) agama besar terdiri dari: Islam, Hindu, Yahudi, Kristen, Budha, Khonghuchu, Tao, Sikh, Shinto dan Bali. Di luar agama yang disebut di atas, masih ada agama maupun sekte-sekte lain yang dianut penduduk Bumi. Karena jumlah pemeluk tidak terlalu banyak, belum dimasukkan dalam struktur “GPD”. Ini hanya pertimbangan teknis saja. Sedangkan agama Yahudi, kendati memiliki pemeluk relative kecil, namun keberadaan mereka menyebar, memiliki jaringan pengaruh cukup signifikan pada dunia internasional. Karena itu, symbol agama Yahudi (BintangDaud/Star David) ada pada “GPD”. Selain itu, agama (Hindu) Bali, meski memiliki pemeluk relative sedikit, tapi symbol Swastika ditampilkan, karena GPD pertama kali dibunyikan di pulau Bali-Indonesia. Pada Lingkaran puncak, GPD menampilkan Bola Dunia, Planet Bumi atau Globe. Planet Bumi berada di puncak, yang menggambarkan semua manusia hidup dan berpijak di Planet Bumi. Semua penduduk Bumi berasal dari satu keluarga (satu keturunan). Seluruh manusia merupakan “satu keluarga” yaitu “Keluarga Bumi/Warga Dunia”.

Terpilihnya kota Ambon menjadi tempat dipasang duplikat Gong Perdamaian Dunia di Indonesia tidak lepas dari konflik yang terjadi di Maluku. Menurut kronologisnya konflik ini mulai memanas pada tahun 1998 dan mulai meredah hingga 2005 kemarin, konflik di Maluku merupakan civil war yang banyak menelan korban, menurut data yang ada selama dua tahun saja konflik ini berjalan telah menelan korban hampir 8.000 jiwa dan lebih dari 350 jiwa yang mengungsi. Isu agama yang menjadi titik pemicu yang dapat memecahkan persatuan yang ada di Maluku, tidak bisa dipungkiri adanya konspirasi politik yang ikut campur dalam konflik ini sehingga mempersulit dalam penyelesaiannya. Dengan adanya Gong Perdamaian yang diapasang secara permanen di Ibokota Maluku dapat menciptakan permadaian yang permanen pula sehingga tidak lagi meresahkan masyarakat Maluku pada khususnya. Serta dapat menjadi inspirasi bagi daerah konflik laiinya yang ada di Indonesia pada umumnya. Sehingga terjadi perdamaiian yang di iginkan.

Namun melihat kondisi sekarang makna GDP ini yang berada di kota Ambon mulai memudar, artinya GDP ini hanya menjadi hiasan kota. Tempat Gong Perdamaian Dunia yang dipasang secara permanen dijadikan sebagai tempat wisata, tempat untuk membuat even-even seperti pentas musik ataupun kegiatan lainnya. Walaupun demikian semoga semangat perdamaian yang dimiliki warga di Maluku tetap berkobar untuk menjalin sebuah perdamaian yang hakiki.

Read more...

Masyarakat dan Kebudayaan seram utara

>> Tuesday, July 26, 2011

Pulau Seram merupakan pulau terbesar di gugusan kepulauan Maluku, dengan luas wilayah ±18.625Km2. Di sebelah utara, pulau Seram berbatasan dengan propinsi Maluku Utara, dan di sebelah timurnya berbatasan dengan Pulau Irian. Pulau ini termasuk dalam wilayah kabupaten Maluku Tengah Propinsi Maluku, dengan Masohi sebagai Ibukota Kabupaten.

Nusa Ina, (pulau Ibu) merupakan nama dari pulau Seram. Menurut cerita, pulau Seram dahulu merupakan suatu pulau besar dan merupakan satu pulau bersama pulau Ambon, dan kepulauan Uliase (Pulau Saparua, Haruku, dan Nusa Laut) yang akhirnya terpisah menjadi beberapa bagian kepulauan. “Di pulau tersebut terjadi peperangan yang konstan, hingga orang yang berada di bagian Ambon memotong sebidang tanah yang besar lalu menariknya dengan sehelai rambut manusia, sehingga kini berada pada posisinya yang sekarang. Kemudian begitupun dengan Pulau Saparua, Haruku dan Nusalaut mengikuti”¹. Oleh karena itu, Pulau Seram disebut juga dengan Nusa Ina.


Penduduk di pulau ini bermukim di daerah pantai-pantai dan daerah pegunungan. Penduduk pulau ini pada umumnya lebih banyak yang bermukim di pantai-pantai dan merupakan penduduk campuran dari penduduk asli dan orang-orang pendatang yang berasal dari berbagai pulau, seperti oran Bugis, Makassar, Buton dan Jawa. Sedangkan penduduk yang bermukim di daerah pegunungan merupakan penduduk asli.
Secara adminstratif pulau ini terbagi menjadi Seram barat, tengah dan timur. Tulisan ini membahas sebahagian kecil mengenai penduduk pulau Seram di beberapa pedesaan di tengah (utara) dan desa di daerah pegunungan. Pembahasan ini mendeskripsikan desa-desa Huaulu, Kanikeh, Roho, serta Wahai.
Gambaran Umum
Daerah desa-desa yang dimaksud terletak di daerah Seram bagian tengah secara administratif berada dalam kabupaten daerah tingkat II Maluku Tengah, Propinsi Maluku. Dua desa terletak di areal taman Nasional Manusela (Kanikeh dan Roho), sedangkan dua desa lainnya (Huaulu dan Wahai terletak diluar daerah Taman Nasional Manusela.
Taman Nasional Manusela. Sedikit mengenai taman nasonal yang terdapat di daearah ini, Taman Nasional Manusela merupakan daerah konservasi yang ditetapkan melalui surat kementrian pada tahun 1982. Mempunyai luas 198.000ha (19%dari luas Pulau Seram). Terdiri artas cagar alam wai Noa dan wai Mual. Nama Taman Nasiona Manusela, atau arti kata Manusela sama dengan sebuah desa yang terdapat di dalamnya yaitu desa Manusela, Manu,(Manusia yang diumpamakan sebagai burung) dan sela (tempat yang dicari) jadi manusela berarti manusia yang mencari tempat berteduh/tempat tinggal.
Terdiri dari banyak wilayah kependudukan/ pedesaan, masyarakat Seram memiliki corak dan unsure-unsur kebudayaan yang pada dasarnya sama, pada desa-desa yang disebutkan diatas, terdapat beberapa unsure kebudayaan yang pada dasarnya sama, hanya saja perbedaan yang mencolok terdapat pada unsure religi, dan pengaruh wilayah, serta lokasi desa.
Bahasa dan kesenian yang digunakan oleh penduduk pada desa-desa tersebut adalah bahasa Tanah (penduduk desa menyebutnya sebagai bahasa Tanah). “tetapi secara umum, bahasa-bahasa yang digunakan di Maluku termasuk dalam bahasa Austronesia”².
Umumnya kesenian yang terkenal dari kepulauan kepulauan Maluku ialah tari cakalele (tari perang) dan alat musik berupa tifa. Sebenarnya masih terdapat banyak unsur kesenian lainnya yang belum digali dan dikenal secara umum.
Bentuk desa, rumah-rumah penduduk pada umumnya didirikan berdekatan dijalan utama/desa. Bentuk rumah pada desa-desa pedalaman/pegunungan berupa rumah bertiang/panggung dan rumah dengan lantai yang sejajar dengan tanah. Rupanya, rumah-rumah penduduk yang bertiang merupakan bentuk rumah penduduk asli. Sedangkan rumah-rumah penduduk yang lantainya sejajar dengan tanah merupakan rumah orang islam dan Kristen. Sedangkan bentuk rumah di daaerah pesisir pantai Wahai pada umumnya modern.
Bangunan lain yang terdapat di pedesaan ialah baileu (balai adat/desa), rumah kediaman raja, serta tempat-tempat ibadah. Sedangkan bangunan dan fasilitas lainnya pada daerah pedalaman berupa panel listrik tenaga surya yang hanya digunakan pada malam hari untuk keperluan penerangan minimum/seadanya saja. Fasilitas pendidikan di daerah pedalaman yang terdapat hanya banganunan sekolah dasar dengan ruang kelas paling banyak dua ruangan dengan tenaga pengajar dan fasilitas pendidikan yang minim. bahkan menurut informasi, fasilitas pendidikan di beberapa desa di pedalaman pulau Seram tidak ada. sedangkan untuk daerah pedalaman berupa fasilitas kesehatan juga tidak ada.
Aspek Tingkatan Pendidikan dan keahlian
Pada masyarakat pedalaman tingkat pendidikan pada umumnya tamat Sekolah dasar (SD). Fasilitas pendidikan untuk desa pedalaman hanya SD, sedangkan untuk tingkatan pendidikan SMP dan SMU hanya terdapat pada daerah pantai-pantai yang terpusat di daerah perkotaan, yang jaraknya sangat jauh dari desa pedalaman.
Tingkat keahlian masyarakat pedalaman pada corak pertanian dan perkebunan, coraknya masih penggunaan traditional yaitu membuka lahan dengan cara membakar dan kemudian mengolahnya dengan peralatan seadanya saja. Kehalian masyarakat juga pada berburu dan meramu.

Aspek sarana prasarana masyarakat
Sarana berupa fasilitas kesehatan pada masyarakat pedalaman tidak ada, Masyarakat rentan terkena penyakit Malaria, dan beberapa penyakit lainnya. Dalam hal pengobatan, mereka menggunakan pengobatan traditional.
Sedangkan pada akses informasi, pada pedesaan yang terletak di pedalaman pegunungan, aksesnya berupa radio dan pemiliknya terbatas. Di beberapa desa juga terdapat televisi, penggunaanya sangat terbatas karena faktor listrik yang terbatas.
Mata pencarian Hidup, mayarakat pada umumnya hidup dari bekerja sebagai petani ladang dan berburu serta mengumpulkan hasil-hasil hutan seperti sagu dan buah. Pekerjaan bertani ladang dilakukan secara traditional dan berpindah, biasanya menanam umbi-umbian, keladi serta kacang-kacangan. Ada juga yang memiliki kebun tetap seperti, pala, kopra, durian, cengkeh dan coklat.
Berburu dilakukan oleh masyarakat pedesaan yang tinggal di daerah hutan dan pegunungan. Populasi hewan buruan berupa babi rusa dan babi hutan cukup banyak terdapat didaerah tersebut. Masyarakat berburu dengan menggunakan panah dan tombak serta biasanya memasang jerat/perangkap.
Sedangkan untuk daerah pesisir pantai masyarakat hidup dengan berkebun kelapa (Kopra), sebagai nelayan, dan banyak pekerjaan lainnya berupa pegawai pemerintahan dan swasta.
Sagu merupakan makanan pokok masyarakat pedesaan di pedalaman, Makanan lainnya berupa umbi-umbian, dan sekarang mereka sudah biasa makan beras. cara mereka memakan sagu dengan cara memasukkan tepung sagu yang sudah diolah kedalam bambu kemudian dibakar (putupola) atau dengan cara dimasak menjadi bubur kental (papeda).
Kemasyarakatan dan organisasi desa.
Pada sistem kemasyarakat dan latar belakang sosial budaya masyarakat pulau Seram, sebenarnya mempunyai sejarah yang panjang dan cukup berpengaruh terhadap latar belakang sosial kemasyarakatnya. Yang dijelaskan dibawah ini hanyalah gambaran pada masyarakat dan organisasi desa saat ini saja.
Dalam kehidupan masyarakat di pulau ini terdapat sistem kemasyarakatan berupa klen/family/marga-marga. Fam/marga-marga tersebut biasaya mengatur perkawinan marganya dan penggunaan tanah.
Desa dinamakan negeri dan dikepalai oleh seorang raja (secara administratif sebagai kepala desa) suatu jabatan yang dlu turun temurun, tetapi sekarang secara resmi harus dipilih dari rakyatnya. Organisasi desa juga teridir atas:
• Kepala adat (seorang ahli adat yang menguasai hukum adat tanah desa/negeri)
• Kapitan ( pejabat adat yang dulu merupakan panglima perang.)
• Kewang (polisi Kehutanan)
• Marinyo (penyiar berita di desa)
Semua pejabat-pejabat desa tersebut tergabung dalam satu dewan desa, bernama badan Saniri Negeri atau saniri saja.
Religi. Pada umumnya penduduk pulau Seram ini beragama islam, nasrani, serta sisa-sisa kepercayaan lama. Tampaknya penduduk daerah pantai pada beberapa desa, penduduknya memeluk agama islam dan nasrani. Pada daerah pegunungan penduduknya rata-rata pemeluk agama keristen protestan, dan terdapat juga desa yang masih memluk sisa-sisa kepercayaan lama. Walaupun sudah beragama nasrani dan islam sejak lama, naumun sampai sekarang ini, masih tampak adanya sisa-sisa religi mereka yang asli/unsur-unsur kepercayaan dari zaman sebelum mereka memeluk agama nasrani dan islam.
Mereka masih percaya adanya roh-roh yang harus dihormati, dan juga nilai keadatan yang kental terhadap proses kedewasaan penduduk/ masyarakatnya. Serta hal-hal yang mempunyai kekuatan dan pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Utamanya kepercayaan seperti ini pada masyarakat yang bermukim di pegunungan.
Sisa-sisa aspek religi lama yang tampak pada bangungan ialah Baileu yang terdapat di desa-desa, baik pada desa yang memeluk nasrani dan islam. Baileu sebenarnya merupakan balai desa/adat, dahulu digunakan sebagai tempat kurban-kurban dan sajian, pada masyarakat pegunungan tempat ini masih digunakan untuk acara adat desa. Sedangkan di daerah pesisir bangunan baileu sudah terabaikan.
Adapun masih tampak pada masyarakat pedesaan yang masih memeluk kepercayaan lama, ialah:
- Penggunaan kain yang berwarna merah yang digunakan/diikatkan dikepala. Kain merah ini merupakan simbol kepercayaan lama, digunakan oleh laki-laki yang sudah dewasa dan telah melewati ritual proses pendewasaan(pataheri)³.
- pengasingan (lilipuso⁴), digunakan untuk pengasingan pada wanita desa yang mengalami puberitas (haid pertama)

Berikut deskripsi desa-desa yang dimaksud:

1. Desa Huaulu.
Desa Huaulu merupakan satu desa yang terletak di pulau Seram utara, Desa ini tidak termasuk dalam wilayah Taman Nasional Manusela. Untuk sampai ke desa ini jaraknya sekitar 3-4 Km dari jalan raya kabupaten (halte Bus Huaulu) aksesnya kini berupa jalanan pengerasan yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki dan kendaraan bermotor.
Menurut bahasa setempat, Huaulu yang artinya Hua (dua) dan Ulu (kepala aliran air/sungai) dapat diartikan sebagai desa yang bermukim di kepala dua arus sungai. Sungai Sapalewa dan sungai Salawai, desa ini dikenal sebagai desa komunitas adat yang masih memegang sisa-sia kepercayaan lama.




Bentuk Desa Huaulu Rumah Penduduk Huaulu Rumah penduduk (Panggung)




Rumah penduduk Dalam rumah Penduduk Dalam rumah penduduk


Dalam struktur social masyarakat (rukun desa), desa ini dikepalai oleh serang raja yang memimpin atau setara dengan kepala desa. ada juga ketua adat desa yang berperan dalam hal adat-istiadat.
Bentuk desa. Di desa ini rumah-rumah penduduk didirikan berdekatan, berjejer dan berhadapan di pinggir sepanjang jalan desa. Rumah-rumah penduduk merupakan rumah bertiang (panggung) tingginya ± satu meter, bagian bawah rumah biasanya digunakan sebagai kandang binatang ternak. Bentuk rumah pada umumnya segi empat dengan Serambi muka kecil dan terbuka di depannya. seperti teras rumah. Rumah-rumah penduduk terbuat dari batang-batang kayu, bamboo, papan, dan ada juga yang menggunakan pelapah sagu. Atapnya terbuat dari anyaman daun sagu.

Penduduk Desa
Di setiap rumah penduduk terdapat tiang-tiang yang dipasangi panel listrik tenaga surya di atap rumah. Alat ini hanya digunakan untuk keperluan penerangan di malam hari. Beberapa bangunan lain yang terdapat di desa ini ialah baileu atau balai desa/adat, terdapat antenna parabola dan atapnya terbuat dari seng. Juga terdapat sebuah sekolah dasar dengan dua ruangan untuk aktivitas pelajaran. Serta sebuah bak penampungan air sungai di ujung jalan desa.
Religi. Penduduk desa Huaulu dikenal sebagai desa komunitas adat. Atau desa yang masih memegang adat dan kepercayaan lama di pulau Seram ini. Tampak pada Ikat kepala dari kain merah yang digunakan laki-laki dewasa penduduk desa ini. Banyak orang dari luar desa menyebut komunitas adat ini sebagai komunitas dengan kepercayaan atheis, ada juga yang mengatakan Hindu sebab beberapa dari penduduk Huaulu dalam kartu penduduknya tertuliskan Hindu. Walaupun penduduk Desa Huaulu menolak dikatakan Hindu ataupun atheist. Sebenarnya kepercayaan yang dianut masyarakatnya termasuk animisme. Dan merupakan kepercayaan lama yang dianut penduduk pulau Seram pada umumnya.
Mata Pencarian. Tidak jauh dari desa, terdapat perkebunan penduduk berupa pepohonan durian. Dan di sekitarnya terdapat tanaman umbi-umbian (kasbi). Durian merupakan tanaman panen musiman penduduk dan hasilnya dijual keluar desa. Sedangkan Umbi-umbian dan keladi merupakan tanaman untuk konsumsi penduduk desa. Rupanya penduduk desa Huaulu juga ada yang berkebun buah pala. Penduduk menjemur buah pala di jalan desa depan rumah-rumah mereka. Di halte Huaulu terdapat beberapa orang penduduk desa yang membawa buah pala, dipinggir Jalan di halte tersebut, mereka menunggu pembeli/penampung.

2. Dusun Roho
Roho merupakan desa yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Manusela. Untuk bisa ke desa/dusun ini, dari desa Huaulu ditempuh jarak ±8Km dengan berjalan kaki, menyusuri daerah sungai-sungai yang mengalir dari daerah pegunungan. Lokasi desa/dusun ini berada di daerah bekas sungai yang pernah dijadikan camp oleh perusahaan penebangan yang telah berhenti beroprasi sejak tahun 2000. Jadi termasuk lokasi desa yang belum terlalu lama di diami penduduk Roho.
Roho dikenal sebagai pedesaan yang sering bermukim di daerah aliran sungai. Dalam bahasa setempat, Roho artinya sungai/bekas sungai. Menurut penduduk, desa ini telah mengalami perpindahan kampong beberapa kali, dikenal dengan nama Roho, Sorosiu, Maranata, dan Kini Roho. Awalnya desa ini bermukim di kaki Gunung Binaiya bersama desa Kanikeh. Tapi karena beberapa hal maka penduduk Roho berpindah ke daerah bawah.
Kependudukan. Walaupun jaraknya cukup jauh dari desa Kanikeh. Roho merupakan dusun yang berada dalam wilayah administratif negri dari Desa Kanikeh. Dan desa ini dikepalai oleh seorang kepala dusun. Penduduk desa ini terdiri dari ±63 jiwa dari 13 Kepala Keluarga (KK). Penduduk dusun terdiri dari orang Roho dan Kanikeh, di dusun ini terdapat marga Lekahana, Manutu, dan Maoki.



Desa/Dusun Roho

Bentuk Desa. Di desa ini rumah-rumah penduduk didirikan berdekatan berjejer, dan berhadapan di pinggir sepanjang jalan desa. Di belakang pumukiman penduduk /di sebelah utaranya terdapat aliran sungai besar (way’Umu). Rumah-rumah penduduk bentuknya pada umumnya lantainya sejajar dengan tanah/lantainya tanah, jadi bukan rumah panggung. Hanya saja masih terdapat dua rumah yang merupakan rumah panggung. Rumah-rumah yang berlantai tanah berbentuk segi empat. terbuat dari balok dan batang-batang kayu, dindingnya dari papan-papan kayu, sedangkan atapnya terbuat dari anyaman daun sagu. Di dalamnya terdapat ruang depan (tamu), kamar, ruang tengah, dan dapur di belakang. Rumah-rumah penduduk juga menggunakan panel surya yang dihubungkan dengan aki kendaraan/mobil untuk menyimpan listrik digunakan untuk penerangan seadanya pada malam hari.

Di desa ini, tidak terdapat fasilitas bangunan pendidikan, dan kesehatan. Yang ada hanya baileu yang digunakan warga berkumpul untuk kepentingan dusun, juga digunakan warga untuk menonton televise bersama. dan juga terdapat rumah yang dijadikan sebagai tempat ibadah.
Religi, di desa ini penduduknya beragama Kristen Protestan, dengan fasilitas ibadah berupa bangunan rumah seadanya yang digunakan penduduk untuk beribadah. Tampak penduduk desa laki-laki sudah tidak menggunakan kain berang merah (kain warna merah yang digunakan dikepala).
Mata Pencarian penduduk. masyarakat dusun Roho umumnya bermata pencarian berburu dan bertani ladang. Pekerjaan berburu rusa dan babi hutan dilakukan dengan berburu dan memasang jerat, hasilnya dijual ke luar desa. Sebelum memasuki desa ini, terdapat diantara aliran sungai lahan yang digarap penduduk dengan cara pengolahan membakar dan kemudian ditanami dengan umbi-umbian (ubi jalar dan kayu) keladi serta kacang-kacangan, yang hasilnya digunakan untuk keperluan konsumsi keluarga. Lahan garapan serupa banyak terletak di daerah sekitar pemukiman penduduk. Penduduk desa juga menanam tanaman musiman berupa durian. dan sebagian kecil keluarga juga melukukan pekerjaan rumah berupa membuat kerajinan tangan yang dijual ke pengunjung/tamu yang lewat didusun mereka.

3. Desa Kanikeh
Desa Kanikeh termasuk dalam wilayah Taman Nasional Manusela, Seram Utara. Untuk bisa sampai ke desa ini, ditempuh dengan berjalan kaki dengan jarak ±18Km dari Dusun Roho melalui hutan di daerah pegunungan. Juga bisa melalui Seram bagian selatan. Dari desa ini, terdapat sungai (Way Ule), di selatan desa terlihat Gunung Binaiya dan Pegunungan Morkele yang memanjang, tepatnya, desa ini berada di kaki gunung Binaiya bagian utara.


Desa Kanikeh



Desa Kanikeh dikenal juga dengan nama Nusamuele Ama Ina seperti yang tertulis di Baileu desa. dalam bahasa setempat yang artinya Tanah terang ibu bapak. Menurut cerita, desa kanikeh berawal dari masyarakat yang membangun rumah panggung lalu datanglah dua orang dari barat yang membantu tutup atap rumahnya, lalu dinamakanlah Kanikeh atau Nusamuele Ama Ina.


Kependudukan. Desa Kanikeh terdiri dari 56 Kepala Keluarga, dengan jumlah penduduk ±200 jiwa. di desa ini terdapat organisasi kerukunan desa (Saniri negri Kanikeh) didalamnya terhimpun raja negri, dan ketua adat desa. Terdapat dua marga besar di desa ini yaitu marga Berasa dan Lilimau.


Bentuk Desa. Berada di daerah kemiringan, rumah-rumah penduduk juga didirikan berjejer, berhadapan sepanjang jalan desa. terdapat sungai-sungai dan aliran air sebagai sumber air desa. diujung desa terdapat penampungan air bersih yang dialirkan dari sungai. Rumah-rumah penduduk terdiri atas rumah panggung dan rumah dengan lantai tanah yang terbuat dari balok, batang-batang kayu, papan dan atap dari anyaman daun sagu.
Tiap rumah juga menggunakan panel listrik tenaga surya untuk keperluan penerangan di malam hari. Bangunan dan fasilitas lainnya didesa ini terdapat Baileu, balai desa yang dugunakan untuk keperluan desa dan acara-acara adat, juga terdapat sekolah dasar yang didirikan oleh sebuah yayasan keagamaan. Serta sebuah fasilitas ibadah yaitu satu gereja Kristen Protestan. Baileu dan gereja dibangun dengan menggunakan semen dan atap seng. Sedangkan bangunan dan fasilitas kesehatan tidak ada.








Religi dan adat. Penduduk desa Kanikeh pada umumnya beragama Kristen Protestan, walaupun masih terdapat banyak hal yang berkaitan dengan adat istiadat lama mereka. Seperti penggunaan ikat kepala dari kain merah, upacara adat sirih-pinang, upacara adat sebelum pendakian gunung, upacara adat desa yang diadakan setiap akhir tahun, dan kepercayaan terhadap penggunaan warna merah, juga terhadap pohon-pohon ataupun benda-benda yang dianggap sacral.
Mata Pencaharian. Penduduk desa kanikeh pada umumnya bermata pencarian berburu dan bertani ladang. Berburu merupakan matapencarian penduduk yang utama, sedangkan bercocok tanam di ladang biasanya hanya untuk keperluan sehari-hari. Berburu dilakukan penduduk laki-laki pada saat musim kering. Hewan buruan berupa rusa dan babi hutan. Mereka menggunakan panah dan tombak serta biasanya memasang jerat/perangkap di daerah-daerah tertentu. Hasil buruan yang diperoleh kemudian dibagi rata kemudian diolah dengan cara, daging yang diperoleh kemudian dikeringkan dan diberi garam (dendeng), dan hasilnya mereka bawa ke daerah pantai atau pasar untuk dijual. Rusa menjadi hewan buruan yang dominan penyebarannyapun cukup tinggi hingga ke daerah ketinggian pegunungan serta dagingnya bisa cepat laku jika dijual.
Bercocok tanam yang dilakukan penduduk hanya berupa ladang ladang kecil atau bercocok tanam disekitar rumah mereka saja. Mereka menanam umbi-umbian (kasbi) dan keladi, hasilnya hanya untuk dugunakan untuk konsumsi sehari-hari. Ada juga penduduk yang mengelolah ladang yang cukup luas tetapi jaraknya cukup jauh dari desa berada diluar daerah taman Nasional Manusela. Sehingga kadang di telantarkan begitu saja.
Karena desa ini terletak di kaki gunung Binaiya dan biasanya dikunjungi untuk kegiatan pendakian. Mata pencaharian yang lainnya berupa penyediaan layanan inap untuk tamu desa dan penyediaan jasa guide dan porter untuk keperluan pendakian.

4. Desa Wahai
Desa ini lokasinya cukup jauh dari pedesaan-pedesaan yang dijelaskan sebelumnya diatas. Dari halte Huaulu dengan menggunakan kendaraan mobil ditempuh sekitar satu jam perjalanan. desa ini masih masuk dalam kecamatan Seram Utara.
Desa Wahai yang terletak di daerah pesisir tampak berbeda dengan desa-desa yang berada di daerah pedalaman Seram Utara. Baik dari sisi kependudukan, bentuk desa, dan mata pencarian penduduk.
Kependudukan, Penduduk desa Wahai merupakan penduduk campuran antara penduduk asli dan pendatang.
Bentuk Desa, Rumah-rumah penduduk dibangun disekitar jalan raya kabupaten. juga terdapat daerah yang berbukit-bukit banyak juga bangunan/rumah-rumah penduduk yang didirikan lebih tinggi dari rumah penduduk lainnya (dibukit). Sedangkan bentuk rumah-rumah penduduk dan bangunan lainnya merupakan tipe bangunan Moderen.
Di desa ini juga terdapat Baileu /balai desa tapi penggunaannya tampaknya sudah terabaikan seiring dengan perkembangan desa. Bangunan lainnya tampak sebuah Masjid, sekolah dasar dan sekolah Madrasah.
Religi. Penduduk pada umumnya memeluk agama islam dan nasrani.
Mata Pencarian Penduduk, Di daerah pesisir tanaman yang dominan terlihat di sepinggir jalan raya kabupaten ialah perkebunan kelapa (Kopra), selain itu penduduk desa ada juga bekerja sebagai Nelayan, di dekat desa juga terdapat pertambakan udang, pekerjaan lainnya berupa pegawai negeri dan swasta.



Referensi

Boulan-Smit, C., ‘Sharing the Earth, Dividing the Land; Land and territory in the Austronesian world : Chapter 7. Traditional Territorial Categories and Constituent Institutions in West Seram. The Australian National University, Canberra, Australia: ANU E Press 2006

Manaf Tubaka, Abdul., ‘Eksistensi Agama Suku Noaulu di Maluku, Universitas Kristen Satya Wacana, 2008.

Subyakto., Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia: ‘Kebudayaan Ambon, cet.15.- Jakarta: Djambatan, 1995

Endnote_________________________

¹ Nusa Ina, merupakan sebutan nama lain untuk Pulau Seram, cerita yang dimaksud bahwa Pulau Ambon, Saparua, Haruku dan Nusa laut dahulu merupakan satu pulau yang kemudian terpisah, merupakan kumpulan Narasi Alune yang dikumpulkan oleh A.D.E. Jensen. Jensen (1938: No. 73,126; Summarised translation). Lihat juga “Sharing the Earth,Dividing the Land and territory in the Austronesian world” by Thomas Reuter, 2006, Christine Boulan-Smit, hlm157

² Bahasa Austronesia, Pada umumnya bahasa-bahasa dari kepulauan Maluku termasuk bahasa Austronesia, kecuali bahasa-bahasa di Halmahera Utara, seperti misalnya Bahasa Ternate dan Tidore². Lihat Masyarakat dan kebudayaan di Indonesia, Subyakto, Kebudayaan Ambon, hal 173

³ Ritual Pataheri, merupakan contoh ritual di desa Nouaulu di Seram bagian selatan (desa yang juga masih memegang kepercayaan lama) lihat dalam EKSISTENSI AGAMA SUKU NOAULU DI MALUKU Pembicara: Abdul Manaf Tubaka, M.Si. 2008. Universitas Kristen Satya Wacana, hal 17, menyebutkan; Ritual Pataheri adalah ritual inisiasi bagi anak-anak laki-laki Noaulu yang telah berakal balik. Dalam tradisi Islam, hal ini dikenal dengan prosesi sunatan massal yang sebetulnya juga menjadi salah satu simbol identitas bagi orang Islam. Atau dalam tradisi Kristen, disebut dengan prosesi Sidi. Bagi masyarakat Noaulu, pemakaian Kainberang Merah di kepala merupakan simbol kematangan dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai masyarakat Noaulu.
Sebelum memulai ritual Pataheri, anak laki-laki harus berpuasa bersama gurunya selama satu hari dari jam 3 malam sampai jam 18.00, kain kecil yang berwarna merah (kein berang) diikatkan dileher dengan harapan dapat melindungi mereka dari gangguan setan (Soi). Setelah tahap ini selesai, anak-anak yang mau dipataheri dikumpulkan sebelum mereka mau berangkat ke hutan. Mereka berkumpul di rumah adat bersama dengan guru mereka, orang tua, tua-tua adat, kepala suku, dan kepala dusun. Di rumah adat, mereka kemudian memakai pakaian setengah yaitu kain batik (Karinunu Onate) sebagai pakaian pertama. Kemudian saudara perempuan atau ibunya bertanggung jawab untuk menyisir rambut (Sisi Unum) sebagai persiapan untuk menuju ke hutan atau gunung. Anak-anak yang dipataheri (Imatehennea) harus didampngi oleh seorang Kapitan menuju rumah tua Kapitan untuk untuk berdoa bersama agar anak-anak yang dipataheri menjadi pemberani. Segera setelah mereka selesai bersoa bersama di rumah Kapitan, mereka (Imatehennea) menuju ke rumah adat menemui gurunya dan mengambil alat-alat kelengkapan Pataheri seperti Parang, Tombak, Panah dan tas yang berisi siri pinang. Perlengkapan pataheri itu diberikan oleh guru mereka satu persatu dengan menghadap ke utara, setelah itu guru menuju pintu belakang arah timur untuk memimpin Imatehennea menuju hutan tempat acara ritual. Lokasi dimana anak-anak yang dipataheri, telah dipersiapkan para-para (Hantetane ). Para-para ini dibuat dengan posisi arah utara selatan, utara untuk pintu depan sedangkan selatan pintu belakang. Diatas para-para, anak-anak Pataheri diantar dan diarahkan untuk persiapan acara ritual pataheri. Semua prosesi ini dikomandoi oleh seorang guru yang dipercayakan karena pengetahuannya tentang acara ritual ini. Sambil menunggu acara puncak ritual pataheri, maka dipersialahkan para kepala Suku, Kepala Soa, Kepala Adat, Kepala Dusun, orang Tua dan undangan lainnya agar mengelilingi acara ritual Pataheri sambil menunggu posisi matahari menunjukan pukul 13.00 siang. Jika waktu sudah menunjukan tepat pukul 13.00 berarti acara ritual Pataheri mulai dilaksanakan. Dalam waktu tersebut anak-anak yang dipataheri turun dari para-parauntuk menginjakan kaki di atas tanah yang dipersiapkan lima potong bambu berukuran ¾ cm untuk beridiri di atasnya menghadap ke arah barat. Setelah itu guru membaca doa. Doanya adalah:
Yarisi iripi koku Upu kunuhatana atau oyang-oyang waupu waupu tampane kekuatan, asinena uruhu, inesi kupuwa hutuwate tanea larihoniki nesisia nesinima
Artinya:
Upu Kunatahan atau moyang-moyang, berikanlah kekuatan agar mereka terhindar dari segala malapetaka dan tumbuh menjadi sehat dan kuat, supaya segala macam penyakit terhindar dan cepat tumbuh dari yang lain.

⁴ liliPuso, lihat dalam EKSISTENSI AGAMA SUKU NOAULU DI MALUKU Pembicara: Abdul Manaf Tubaka, M.Si. 2008. Universitas Kristen Satya Wacana, hal 17, menyebutkan; Ritual Posune sebagai instrumen pengakuan sosial, sementara tempat bagi perempuan yang haid dan melahirkan adalah Posuno. Posuno ini adalah rumah kecil yang bahan-bahannya terbuat dari daun rumbia (pohon sagu), berukuran 2x2 meter dan tinggi tiang 1 setengah meter. Atap rumah dari daun sagu tidak boleh disambung-sambung. Hal ini melambangkan keutuhan seorang gadis Noaulu. Untuk berdirinya bangunan Posuno ini, ada syaratnya, yaitu tiang pertama harus didirikan oleh saudara laki-laki dari ibu, selanjutnya secara gotong royong oleh keluarga maupun masyarakat. Pengasingan ini dilakukan sebab pada saat itu, perempuan diangga kotor dan tidak boleh memperlihatkan diri. Setelah menjalani pengasingan selama lima hari, ia kemudia didoakan sebagai berikut:
“Upu Kunahatanna nante tuwawamane Uaupu Nuhun Aupua Mai Okataya Pinomou raini osiru ohena anunei aurana”
Artinya:
“Ya Tuhan yang menguasai seluruh alam, peliharalah dia dari godaaan setan yang menggoda dia sehingga ia menjalani Pinamou dengan baik”
Selama di dalam rumah kecil itu (Posuno), perempuan Pinamou hanya dibekali dengan bambu untuk tempat tidur (Hunisane), piring yang dibuat dari lembar sagu (Tanopae), tempat
masak dari ruas bambu untuk masak air, papeda, ikan dan kusu (wanate) dan yang tekhir adalah sarung untuk dipakai selama dalam Posuno yang tidak pernah diganti (Nipae). Begitu pula dengan ibu yang melahirkan. Ia diasingkan ke rumah posuno dan dibantu oleh seorang bidan dari keluarga mereka. Pertama ibu tersebut dibawah ke rumah tua, baru kemudian diantar ke Posuno. Tugas ibu bidan adalah memandikan, tetapi harus berpuasa dari jam 4 pagi sampai jam 4 sore. Ibu yang emalhirkan itu didoakan oleh keluarga. Bayi dimandikan tanpa sabun selama satu bulan. Doanya adalah:
Kabisa upu Kunahatana yamrai na sagala bae supaya subur laeng kare huru
Artinya
Semoga Upu Kunahatana memberikan yang baik supaya dia hidup dengan selamat.

Muh.Nur Amin, dkk




EKSPEDISI MANISE 2011 Collection
UKM PA EDELWEIS FIB-UH



Read more...

Juni di Rinjani

>> Thursday, July 21, 2011

Adalah puncak Gunung Rinjani dengan ketinggian 3726 mdpl yang menjadi target dari pendakian kali ini. Dengan inisiatif yang muncul secara personal dari personilnya, itulah yang menjadi dasar bergeraknya langkah kaki untuk segera mencapai puncak dari Gunung Rinjani. Berangkat dengan iringan semangat dan doa dari keluarga besar UKM PA EDELWEIS FIB-UH serta teman-teman yang lain, tim dengan dua personil menyeberang ke Pulau Lombok, tepatnya di Nusa Tenggara Barat. Meski hanya berdua, tapi semangat yang ada dalam sanubari dua anak muda ini tetap berkibar megah.

Berbekal ppat dan segala perlengkapan lain yang menunjang perjalanan ini, kami merasa sangat siap dan tidak ada lagi yang perlu diragukan dengan keberangkatan ini. Semua telah diatur sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah manajemen yang sangat tertata rapih. Meskipun bukan sebuah tim ekspedisi yang lengkap dengan segala personil dan peralatannya, namun kami merasa bahwa perjalanan kali ini tidak kalah dengan sebuah ekspedisi yang butuh persiapan matang mulai dari hal paling kecil sampai pada yang utama. Melihat Gunung yang akan kami susuri lerengnya itu cukup menarik, maka disiapkanlah berbagai hal yang mendukung untuk itu. Bukan itu saja, persiapan secara fisik dan mental juga jauh hari sebelumnya telah kami bangun. Semua agar kekuatan fisik yang prima bersama jiwa yang jernih dapat dipadu membentuk lembaran baru untuk mengukir pelajaran dan pengalaman baru pula. Seperti itulah riwayat singkat persiapan kami.

Tiba di pelabuhan Lembar, kami yang kebetulan dipertemukan secara tidak sengaja dengan dua orang mahasiswa dengan tujuan dan destinasi yang sama diajak beristirahat di sebuah rumah sekitar wilayah pelabuhan. Rumah itu tak lain adalah keluarga dari salah satu dari mereka. Patut disyukuri meskipun rencana awal tidaklah seperti itu. Berangkatnya kami ke tempat ini bukan hanya berjalan dengan mata buta, tapi telah lengkap dengan data serta jaringan yang akan kami datangi. Namun, karena situasi yang memaksa untuk bergerak lebih mudah, maka kami memilih untuk ikut bersama dua teman baru yang nantinya menjadi bagian dari tim kami selama pendakian. Sehari beristirahat di situ, kami baru tahu kalau teman baru kami itu sebenarnya berjumlah tiga orang. Satunya baru saja tiba, dan kebetulan ingin ikut bersama menjejaki punggungan Gunung Rinjani. Sekarang kami berjumlah lima orang, empat lelaki dan satu wanita. Sebuah tim yang lumayan ideal, tapi cukup menyulitkan.

Setelah menyepakati hari pendakian kami, tim berangkat ke Mataram menuju kampus Universitas Mataram. Tidak lain yang dituju adalah sekertariat Grahapala Rinjani Unram. Hal ini sudah menjadi kebiasaan antara sesama Mahasiswa Pecinta Alam yang melakukan perjalanannya. Selain memudahkan perjalanan, sumber informasi, jalinan kekeluargaan juga dapat dibina sesuai kode etik yang menjadi pedoman bersama. Di tempat ini, kami berbagi informasi dan kembali menetapkan hari untuk mulai perjalanan. Dengan ditemani beberapa organisasi termasuk tuan rumah itu sendiri, kami sepakat untuk berjalan beriringan dengan beberapa organ tersebut. Yang kami maksud adalah teman baru kami yang berasal dari MAHESA FE-UH, wanita yang kami maksud dari KALPATARU SMANSA, dua orang lagi dari INSTALASETA FKIP UNHALU, serta tiga orang dari GRAHAPALA RINJANI UNRAM itu sendiri. Satu hari sebelum berangkat kami memanfaatkan waktu untuk melengkapi logistik serta kebutuhan lainnya, dan melakukan last checking equipment pada malam harinya untuk memastikan semua alat dan perlengkapan telah beres.




Senin,27 juni 2011
Diawali dengan pelepasan dan doa bersama dihadapan sekretariat GRAHAPLA RINJANI UNRAM, kami berangkat dengan sebuah bus mini yang dikenal dengan nama engkel oleh masyarakat, bahkan khalayak suku sasak sebagai penduduk asli pulau indah ini. Dengan rute Mataram-Eikmel-sembalun, kami berangkat pada pukul 10.15 WITA. Belum sampai di Desa Sembalun, kami sempat kewalahan mendorong engkel yang tidak mampu melewati jalur becek di tanjakan menuju Desa Sembalun. Bukan bersungut, tapi malah menikmati momen itu, karena beberapa ekor monyet liar datang menghampiri kami sekaligus manjadi awal perkenalan dengan rimba Rinjani yang indah ini. Pukul 15.30, kami tiba di lembah yang cantik dikelilingi punggungan-punggungan indah, Desa Sembalun. Sejenak kami mampir di Rinjani Tracking Center guna melapor sekaligus melengkapi administrasi bersangkutan. Hujan mengguyur lembah ini sampai pada saat kami tiba di pintu rimba. Sementara menunggu hujan reda, kami beristirahat sejenak. Pukul 16.00 WITA, kami mulai berjalan menuju pos 2, yang memang menjadi target camp untuk hari ini. Beruntung pada waktu itu langit nampak cerah, dan sang agung Puteri Anjani tampak dari balik awan tebal. Sangat dekat, sungguh indah rupanya. Namun ia ada nun jauh disana dan terlalu melelahkan untuk menggapainya. Langkah yang masih prima sangat memacu kecepatan kami dan dalam waktu singkat kami tiba di pos satu dan menyusul pos 2 pada pukul 20.10 wita. Sebuah jembatan menjadi pondasi tenda-tenda kami. Menarik sekali momen yang baru kali ini kami rasakan. Menemukan jembatan beton di atas gunung bukan hal biasa bagi kami
.
Selasa,28 juni 2011
Dengan cekatan, pagi-pagi sekali kami bangun berpose dan mencari engel terbaik di selah-selah mentari terbit. Dikelilingi savanna luas, kami bergantian menjadi fotografer demi mencari kepuasan batin yang dahaga akan panorama indah seperti itu. Sulit ditemukan siluet dengan latar matahari terbit di padang savanna. Setelah packing, kami mulai beranjak. Agak terlambat gerakan kami pada waktu itu. Target hari ini adalah Plawangan Sembalun yang menjadi basecamp untuk semua pendaki sebelum menuju puncak. Sepanjang perjalanan, kami bertemu pendaki-pendaki dari berbagai Negara yang turut ingin menikmati indahnya Rinjani. Entah apa yang menimpa kami, langit mendung kala kami mendekati Pos 3. Akhirnya jatuh juga tetesan-tetesan air dan basahi savanna luas pelataran Rinjani. Kami berteduh di bawah bongkahan batu besar di Pos 3 sementara menunggu hujan reda untuk kembali fight menuju Plawangan Sembalun. Mendekati beberapa punggungan terakhir, hujan tidak lagi punya perasaan dan belas kasihan. Kami diguyur habis-habisan saat udara sudah mulai membuat tubuh menggigil. Basah kuyup di ketinggian dua ribuan bukan perkara mudah untuk dijalani. Gemetaran tubuh kami sambil tetap melangkahkan kaki mencapai Plawangan. Butiran pasir di jalur memaksa otot kaki mengeluarkan tenaga ekstra untuk beranjak dari satu titik ke titik yang lebih tinggi. Meski mencapai tingkat maksimal tenaga tetap kami pertahankan agar tiba dan segera memanjakan diri dalam hangatnya tenda. Dengan susah payah, kami mulai mendapat tanda bahwa kami sudah tiba di destinasi. Menyusuri Plawangan mencari tempat dimana tenda tangguh kami akan berdiri. Sungguh bukan momen biasa yang terjadi saat bersusah payah menembus puluhan punggungan dalam kondisi basah kuyup dan beban yang cukup meletihkan diakhiri dengan secangkir kopi dan jaket tebal berlapis-lapis. Kami tak henti-henti tersenyum meskipun letih tubuh ini tak bisa dipisahkan dari rona wajah.
Rabu, 29 juni 2011
Hari ini, kami tak beranjak dari Plawangan Sembalun. Beberapa teman yang tergabung dalam tim meminta menunda perjalanan menuju puncak, terlebih satu diantara kami adalah wanita. Pada waktu itu, kami hanya memindahkan lokasi camp ke sudut yang lebih dekat dengan sumber air karena tidak ada aktivitas yang kami lakukan. Sedikit melampaui target, namun ada baiknya karena kami dapat menikmati sehari di Plawangan Sembalun sebelum summit attack. Nuansa pagi hari di tempat ini bukan lagi sulit didapatkan. Tapi tak akan ada di tempat lain, kawan. Dataran memanjang dengan ketinggian tiga ribu meter di atas permukaan laut dan berlatar danau berbentuk huruf konsonan U dengan sebuah bukit kecil merapi di sudutnya. Beberapa tumpukan awan berarak-arak di atas bukit yang disebut Gunung baru melingkar dan terpancar bias matahari yang baru saja terbit dari timur. Warnanya biru, airnya tenang sekali memanggil-manggil untuk segera merasakan hawa dingin di lembah itu. Kami hanya bisa tersenyum dapat berdiri di tempat ini meski hanya untuk beberapa waktu saja. Bercanda dengan monyet-monyet nakalnya menjadi hiburan kami di sore hari saat kabut mulai menutupi jarak pandang sampai lima meter. Dingin menghambat rongga nafas normal. Pedis, perih dan beberapa kali tanpa sadar air tetesan embun mengalir dari rongga hidung. Mendadak influenza dan mulai malas bergerak.
Malam hari, kami lebih awal memasak makan malam. Esok dini hari, kami akan kembali berjuang melawan pasir-pasir menembus tanah paling tinggi Gunung Rinjani. Sesuai instruksi dari leader kami, segalanya kami persiapkan sejam sebelum berangkat. Dingin pagi itu merambah sekujur tubuh. Menggigil dan tidak sanggup menyentuh benda-benda. Berlapis-lapis jaket melekat pada tubuh kami. Tetap saja terasa dinginnya. Itulah angin Rinjani.!!
Kamis, 30 juni 2011
Pukul 02.18 wita ,kami mulai melangkah diterangi sinar headlamp masing-masing. Pagi itu, seperti lampu neon jalanan, terlihat dari kejauhan orang-orang sudah mulai beranjak menuju puncak, sama seperti kami. Bedanya kami sedikit lebih cepat karena memang camp kami deka dengan jalur. Menempuh jalur yang berpasir, tidak terlalu sulit rasanya bila berjalan dalam suasana gelap. Langkah kami lumayan cepat dan melewati beberapa rombongan yang ada di depan kami. Cukup jauh jaraknya dari plawangan. Meskipun tak dapat dilihat ujungnya, dapat diperkirakan jauhnya karena perjalanan normal empat jam adalah informasi terakhir bagi kami sebelum berangkat. Angin tidak berbelas kasihan. Kencang dan menusuk-nusuk masuk ke rongga-rongga windbreaker. Menyiksa kulit tipis yang sedari kemarin terus-terusan menderita kedinginan. Dibantu keringat kecil yang hasilkan sedikit suhu panas, kami melangkah perlahan menyusuri jalur pasir nan sempit diapit jurang di kiri dan kanan. Beberapa kali kami harus duduk istirahat meluruskan urat-urat kaki yang mulai kejang. Otot-otot betis berusaha melawan serangan balik dari pasir dan bebatuan lepas yang menurunkan tubuh ke posisi sebelumnya. Sangat menjengkelkan jalur ini, kawan. Akan muncul kedongkolan yang tidak sengaja dari setiap orang yang melewatinya.
Pukul 05.08 wita, Ichal tiba di puncak. Disusul Uchi pada pukul 05.30 wita dan teman-teman yang lain. Perkiraan kami sedikit melenceng. Langkah kami lebih cepat dari perkiraan, sehingga kami harus menunggu sekitar setengah jam matahari terbit. Cukup dingin menunggu matahari terbit, namun karena sudah berada di puncak Ketinggian 3726 mdpl, semua sirna begitu saja. Tubuh yang menggigil berbanding terbalik dengan perasaan yang meluap-luap bak air mendidih di atas tungku.
Bukan hanya kami yang ada di tempat itu. Ada beberapa manusia yang berdiri bersama dari berbagai belahan dunia merasakan dinginnya angin lembah Gunung Rinjani. Bahkan ada pula yang hanya sampai setengah perjalanan dan akhirnya tidak mampu malanjutkan lagi. Matahari terbit diawali bias sinar jingga kemerah-merahan. Tak banyak yang bicara pada waktu itu. Hanya diam menatapnya dan lupa jika tubuhnya sedang menggigil menahan dingin yang teramat sangat. Seperti itulah gambaran singkat momen indah di atas puncak. Saat mentari benar-benar bersinar dan terangi semesta, kami mulai mengibarkan bendera dan mengabadikannya dalam seberkas file mungil berformat “jpg”. Bukan hanya beberapa kali, tetapi berpuluh kali sampai kami harus turun mengingat badai akan segera tiba.
Tiba di Plawangan, kami langsung packing untuk turun ke danau. Masih hangat momen-momen puncak pada waktu itu sampai terkadang tanpa sengaja mengukir senyum sendiri-sendiri. Siang membahana saat kami beranjak turun ke danau. Lutut yang tadinya bergerak menopang tubuh ke atas kini beralih fungsi menahan beban ke bawah. Sakit dan ngilu rasanya. Ingin bergerak cepat tapi medan tidak mengizinkan untuk itu. Terlalu curam dan berbahaya. Kami tiba di danau sore hari. Beberapa jam yang lalu kami menatap senyap dan tenang airnya dari ketinggian tiga ribuan meter, dan kini kami berada sejajar dengannya, bahkan tidur di bibirnya. Danau Segara Anak yang menjadi buah bibir orang-orang. Pelengkap keindahan Gunung Rinjani terbentang luas bersama Gunung baru yang masih mengeluarkan sisa-sisa uap panas di lerengnya. Kabut bermain-main di permukaan airnya. Tenang dan bangkitkan gairah untuk terus berada di tepiannya menghirup udara segar dari pepohonan cemara. Desir angin tedengar menggesek-gesek senar dedaunan cemara memberika nuansa yang cukup berikan damai dalam jiwa. Salah satu momen yang membuat kami masih ingin berlama-lama berada di tempat sejuk ini. “terima kasih untuk indah panoramamu dan damainya belaian alam mu”….
Jumat, 31 juni 2011
Kami masih berada di tepian Segara Anak. Sampai pada siang hari, kami muali berkemas untuk segera menuju ke Plwangan Senaru. Disana kami akan menginap lagi semalam sebelum turun melewati pintu Senaru. Pukul 15.00 wita, kami menanjak lagi menuju Plawangan Senaru sekitar tiga jam. Lumayan meletihkan. Sepanjang jalan, kami disuguhi panorama Puncak Rinjani dari sebelah barat berbaris rapi dengan Gunung Baru di bawahnya. Kami tiba di Plawangan Senaru tepat saat sunset. Cukup mengobati letih tiga jam tracking. Setelah mendapatkan lokasi yang pas untuk mendirikan tenda, kami langsung bergerak dan beristirahat total. Malam itu, kami tidak dapat berbuat terlalu banyak karena persediaan air kami sangat terbatas. Belum lagi persiapan perjalanan unutk esok hari yang panas melewati savanna. Air menjadi tonggak utama sepanjang jalan yang terbuka dan panas. Malam itu, kami bercengkerama dengan teman-teman dalam tenda, sebagai wujud keakraban dan menandai akhir dari perjalanan kami.
Sabtu, 01 juli 2011
Pukul 09.10 wita, kami mulai menuruni punggungan berpasi dan berdebu. Matahari tidak mau surut dan terus pancarkan bias sinar bahangnya membakar kulit-kulit wajah kami. Terkelupas dan legam, tak perduli kami terus memacu langkah kami menuruni jalur yang agak terbuka. Sangat mudah dilewati dan kami dapat berlari-lari kecil mempercepat langkah.. persediaan air semakin menipis dan kami beruntung mendapat asupan air minum dari porter yang sedari tadi berpapasan dengan kami memikul beban dengan bakul seberat tiga kali carrier kami pada saat berangkat. Sebuah pekerjaan yang luar biasa dan menguras tenaga. Namun itulah kehidupan mereka. Gunung Rinjani menjadi wilayah mereka mencari nafkah dan pulang pergi sesuka hati tanpa kelihatan sedikit pun raut wajah penat luar biasa seperti kami. Mereka orangnya tegar dan bertenaga. Tangguh dari segi fisik dan mental, mengejutkan dalam berbahasa asing.
Kami tiba lebih awal dari teman-teman yang lain. Pukul 12.10 wita , kami sudah berada di Pintu rimba senaru dan beristirahat selama lima jam menunggu teman-teman yang lain sampai. Sesaat mereka tiba, leader kami memutskan untuk pulang ke Mataram dengan menumpangi engkel. Kami berangkat menuju kampus Unram pada pukul 19.30 wita dan tiba pada pukul 22.10 wita di secretariat GRAHAPALA RINJANI UNRAM.

Hari-hari berikutnya
Menikmati pulau Lombok menjadi pilihan kami menghapus lelah akibat menjajal Gunung Rinjani. Beberapa tempat kami kunjungi melengkapi indahnya perjalanan tim ini seperti Pulau Gili Trawangan, pantai senggigi dan Malimbu sebelum kembali ke Kota tercinta, Makassar. Terima kasih para pembaca, semoga terhibur dengan kisah kami… salam lestari! E.103 dan E.110

Read more...

  © e-production