Picnik ke Bulusaraung

>> Thursday, April 2, 2009


Panas sangat terik menyelimuti kampus Unhas siang hari jumat 20 maret 2009. Memang beberapa hari terakhir ini hujan mulai berhenti mengguyur kota Makassar. Tapi nampaknya cuaca tidak mempengaruhi sebagian mahasiswa untuk tetap beraktifitas. Termasuk beberapa anak Edelweis yang nampak sedang mengepack perlengkapan mendaki. Tujuh orang anak Edelweis memutuskan untuk mendaki Gunung Bulusaraung (1353 mdpl) yang berlokasi di kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Mereka adalah Ipul, Acha, Vandend, Dedy(Pimpinan Operasi), Noge, Mukhlis dan Rini.
Menurut rencana, tim akan meninggalkan Makassar tepat selepas shalat jumat. Namun beberapa anggota tim datang terlambat. Vandend menelepon setelah shalat jumat, tepat ketika dia baru bangun tidur. Dari rumahnya di dekat pantai Losari, Vandend harus menempuh waktu setidaknya satu jam. Namun, cuaca yang terik juga sedikit mengurungkan niat kami untuk berangkat terlalu cepat.
Kami meninggalkan mabes pukul 16.30 setelah melewati pelepasan kecil-kecilan di tangga mabes bersama beberapa anggota lain dan pak ketua. Dari mabes kami jalan kaki menuju pintu II Unhas untuk naik pete-pete menuju Kota Maros. Seorang supir langsung menghampiri kami setelah kami tiba di pintu II. Ia langsung menawarkan mobilnya untuk di carter ke tempat tujuan kami yakni di desa terakhir yang bernama Pabbunojuku. Ia member tarif Rp. 150.000. Namun kami ragu untuk memutuskan karena sepertinya sopirnya tidak tahu di mana tepatnya lokasi yang mau kita datangi. Kami pernah mengalami ketika itu ke tebing di Maros, kami menumpangi mobil yang tidak tahu tepat lokasi tujuan kami. Ia marah-marah ketika ternyata tujuan kami cukup jauh menurutnya, padahal tarifnya sudah disepakati. Terpaksa kami turun di tengah jalan. Kami memutuskan untuk naik mobil ke Maros kota saja dengan tarif Rp. 6000 per orang. Dari Maros kota kami melanjutkan perjalanan ke Pabbunojuku dengan tarif yang di minta Rp. 5000 per orang. Walaupun pada akhirnya setelah tiba di tempat, sopir minta Rp. 50.000 untuk tujuh orang. Tapi kami rasa wajar dengan jarak dan kondisi jalan yang sudah mulai rusak. Lagi pula perkiraan kami menyangka tarif ke sana paling randah Rp. 10.000 per orang.
Kami tiba di Pabbunojuku ketika adzan magrib sudah berkumandang dari sebuah masjid di desa yang terdapat sebuah pabrik pengolahan marmer yang cukup besar. Di belakangnya nampak bukit karst yang sudah terpotong oleh penambang marmer. Nampak satu per satu bola lampu mulai menyala di puncak bukit itu. Kami berjalan menyusuri pengerasan yang cukup panjang. Sesekali kami menemui penduduk yang sedang berdiri di pinggir jalan. Namun tak ada muka ramah nampak dari muka para penduduk seperti yang biasa kami jumpai di beberapa tempat. Sampai akhirnya kami menemui seorang anak muda yang mengajak kami untuk menginap di rumahnya. Anak itu namanya……….. Katanya, rumahnya sudah sering menjadi tempat anak-anak Mapala dari Makassar. Sebenarnya tawarannya tidak langsung kami terima. Kami sempat memutuskan untuk mendirikan tenda di tepi sebuah bendungan. Tapi kami berpikir, ada teman yang ingin menyusul dari Makassar, sementara tenda hanya pas untuk tujuh orang. Ternyata betul, kak Eman, Indra dan Wawan datang menyusul. Tapi mereka datang bukan untuk ikut mendaki, tapi hanya untuk sekedar refreshing. Cerita Bawang Merah Bawang Biru melepas perginya kami ke dunia mimpi.
Esoknya kami meninggalkan kampung pukul 9.30. Cuaca sangat cerah dan suhu pegunungannya masih belum terasa. Maklum, ketinggiannya masih sekitar 20-an mdpl. Ipul adalah satu-satunya anggota tim yang pernah melewati jalur ini tahun 2004 silam. Ingatannya tentang jalur sudah sangat kabur. Ipul menjadi leader, memimpin tim menapaki jalur setapak. Sesekali kami beristirahat meneguk air sungai yang telah dimasukkan ke dalam botol sambil melemparkan lelucon yang membuat kami sesekali tertawa terkekeh-kekeh. Teriknya sinar matahari membuat keringat kami keluar sangat deras. Udara kembali segar ketika kami kembali memasuki rimbunan beranekaragam pohon. Terlihat banyak pohon aren yang sedang di sadap untuk di ambil nirahnya. Tim bergerak lumayan cepat meliuk-liuk memotong hutan yang lama-kelamaan menjadi rimbun. Sesekali kami kehilangan jalur, tapi peta yang kami bawa sangat membantu memandu perjalanan kami hingga akhirnya kami menemukan sebuah tempat yang kelihatannya seperti bekas sebuah kampung. Di sana ada beberapa pohon kelapa yang tumbuh rapat. Ada selokan air dan sebuah rumah bekas yang tampaknya tidak lama lagi akan roboh. Di depan rumah itu kami memutuskan untuk makan siang. Mi instant dan potongan-potongan nudget kami santap dengan lahapnya. Belum sempat kami merapikan segala perlengkapan kami, hujan mulai rintik. Untungnya ada rumah tadi. Kami berteduh di bawah kolongnya walaupun masih ada saja air yang berhasil lolos mengenai kami.
Kami melanjutkan perjalanan setelah hujan reda walaupun kembali turun ketika kami sedang jalan. Hanya Acha dan Vandend yang menyempatkan diri memakai pelindung hujan (raincoat). Tim sudah mulai harus banyak memeras otak untuk menganalisa jalur karena banyak sekali percabangan jalur penduduk. Tim memburu salah satu titik ketinggian yang harus dilewati yang katanya bernama Timpalaja. Kami membuat kesalahan fatal ketika mengambil jalur kanan pada sebuah percabangan. Seharusnya kami mengambil jalur kiri, namun kami menempuh jalur kanan karena kami melihat beberapa tapak sepatu yang kelihatannya masih sangat baru. Kami baru sadar ketika kami menemukan sang pemilik bekas sepatu. Mereka adalah anak Mapala UIM Makassar yang sedang melakukan pendidikan dasar. Hamper saja kami kembali menuju Leang-leang, mengikuti jalan tersebut. Karena hari sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk mencari tempat camp. Setelah makan dan main kartu remi, kami segera tidur setelah sebelumnya terjadi perang kentut antara Dedi dan Vandend. Rini yang setenda dengan mereka menjadi korbannya.
Seperti kemarin, kami meninggalkan camp sekitar pukul 9. Kami harus memburu keterlambatan kami akibat ketersesatan kami. Di jalan ada kejadian lucu, di tengah perjalanan, Rini minta izin untuk buang air besar. Ia pun menuju tempat yang tersembunyi. Tak lama Noge juga mau. Entah sadar atau tidak, Noge mengambil arah yang sama dengan arah yang di ambil Rini. Kami yang sedang asyik cerita langsung kaget ketika mendengar teriakan Rini. Pikir kami Noge melihat Rini sedang buang air. Ternyata kejadiannya sebaliknya. Bukan lantas berdiri dan memakai celana, Noge malah dengan santainya meneruskan hajatannya. Dasar Noge Buta Hati!
Tak lama, untuk pertamakalinya, puncak Bulusaraung mulai Nampak. Kelihatanya masih sangat jauh. Beberapa kali kami mem-plot lokasi untuk keperluan menggambar jalur. Selanjutnya kondisi medan bertambah berat. Selain beberapa kali harus membuka jalur, kami harus melewati medan dengan kemiringan yang cukup terjal yang di penuhi dengan tumbuhan pohon rotan yang berduri. Tiba-tiba di tengah hutan yang begitu lebat, kami mendengar teriakan orang. Kamipun membalasnya. Ipul mencoba mengikuti di mana asal suara tadi. Ternyata, suara itu berasal dari dua orang anak mapala UIM. Ketika bertemu anak Mapala UIM kemarin, memang mereka bilang ada dua orang temannya yang kembali mengantar seorang peserta diksarnya yang mengundurkan diri.
Akhirnya setelah melewati perjalanan yang melelahkan, kami sampai di puncak Timpalaja. Kami lama duduk memandangi puncak Bulusaraung yang tampak kokoh seperti sebuah tumpukan batu besar. Dari jauh tampak tak ada jalur untuk naik ke punvcaknya. Terbayang kasus anak Korpala Unhas yang meninggal terjatuh beberapa bulan yang lalu ketika mendaki puncak yang sama. Walaupun kami tidak tahu persis dimana tempat jatuhnya.
Selanjutnya kami berjalan menuju lembah. Hari sudah mulai beranjak sore ketika kami menemukan sebuah tempat camp yang cukup luas. Kami berdebat apakah tim melanjutkan perjalanan menuju puncak karena air yang kami punya tinggal setengah jergen ukuran lima liter. Setelah survey lokasi sekeliling, Acha menemukan sebuah mata air yang cukup jauh dari tempat camp. Akhirnya kami memutuskan untuk camp. Artinya, perjalanan kami tidak sesuai dengan perencanaan kami. Rencananya kami camp di Pos 9 Bulusaraung pada malam ketiga. Itu artinya jumlah total hari perjalanan bertambah. Hal itu tidak ada masalah dengan beberapa anggota tim yang memang sudah tidak memiliki mata kuliah bahkan yang sudah sarjana seperti Vandend. Tapi untuk Rini dan Mukhlis itu artinya mereka harus bolos kuliah.
Mungkin malam berlangsung kelam menurut Vandend, Dedi, Ipul dan Noge. Persedian rokok mereka sudah sangat tipis. Hanya Vandend yang memiliki stock. Vandendpun memberi jatah satu batang per orang untuk satu malam hingga pagi. Muncul cerita kalau anak-anak yang datang menyusul pada camp pertama hanya datang menghabiskan rokok tanpa ada salam tempel. Kenna dech….
Pagi hari kami bergerak sangat lambat. Pikiran kami puncak sudah dekat dan tak perlu terburu-buru. Kami meninggalkan camp sekitar pukul 10. Perjalanan menanjak kembali di depan mata. Dengan nafas terengah-engah kami melangkah pelan. Kabut mulai menutupi pandangan kami. Sedikit menguntungkan karena kita tidak melihat dasar jurang yang begitu dalam. Kami melewati punggungan tipis yang di samping kiri dan kanannya jurang. Hingga akhirnya jalan kami terpotong pada sebuah batu besar yang harus kami lewati. Beberapa langkah di depannya sudah ada jurang yang dalam. Acha mensurvey ke atas duluan tanpa memakai ranselnya. Bongkahan batu setinggi kira-kira empat meter harus dipanjat. Setelah itu melewati tanjakan (scrambling) dengan hanya memegang rumput. Dapat dibayangkan jika pegangan lepas dan terguling jatuh, tidak ada pohon yang menahan kita. Setelah memastikan jalur sudah benar, Acha menginstruksikan untuk lanjut. Barang-barang di transfer dengan menggunakan tali webbing. Begitupun orangnya di perutnya dililitkan pengaman di badan. Di pikiran kami, untung tidak ada badai pada saat itu.
Tapak demi tapak sedikit lagi mencapai puncak. Rombongan sudah terpisah menjadi dua rombangan karena memang jalur sudah sangat kentara. Nafas masih tetap terengah-engah hingga akhirnya kami mencapai puncak yang ditandai dengan sebuah triangulasi. Kami mengabadikan dengan kamera yang batterainya kami hemat demi untuk mengambil gambar di puncak. Kami sempat ngopi dan lagi Vandend memberikan jatah rokok satu batang Dji Sam Soe untuk setiap anggota tim yang merokok. Sekitar satu jam kami berada di puncak tapi kabut tidak beranjak dari pandangan kami. Kami lanjutkan perjalanan turun melewati jalur yang berbeda yaitu ke jalur Camba.
Perjalanan turun kami alui dengan sangat cepat. Tanpa terasa kami sudah berjalan menjauhii puncak. Masih sangat banyak didapati jalanan bercabang sampai ada yang bercabang lima. Tempat tujuan kami adalah desa Burung, sesuai dengan yang ada di peta. Sebenarnya kita bisa saja melanjutkan pulang ke Makassar pada saat itu juga. Namun beberapa di antara kami masih ingin menikmati bermalam di tengah hutan di bawah naungan tenda. Tapi lagi-lagi tidak untuk Mukhlis dan Rini. Sesekali mereka protes, tapi semuanya berjalan dengan lancar dan menikmati malam terakhir sambil main kartu dan ada juga sambil biskal sampai jam dua malam.
Tidur telat, tidak menghalangi kami untuk bangun pagi. Kami segera sarapan dengan rangsum terakhir. Semuanya serba terakhir. Lauk, beras, bahan bakar, gula, susu. Kecuali kopi yang kemarin dibeli di sebuah warung di desa Galung-galung. Dengan sarapan nasi, mi goreng dan martabak telur kami menikmati suasana pegunungan di tengah berisiknya suara airsungai yang mengalir cukup deras.
Setelah membersihkan badan dan semua barang bawaan kami, kami bergegas meninggalkan tempat itu sebelum matahari kembali membakari kulit kami. Perlahan-lahan kami mulai mendengar suara kendaraan bermotor. Itu tandanya kami sudah dekat dengan jalan raya poros makassar Bone. Dengan sebuah pete-pete kami meninggalkan Camba dengan perasaan lelah yang amat sangat. Selamat datang kembali dunia kampus. Semangkuk coto Makassar menyambut kedatangan kami di kantin Sastra.

Read more...

  © e-production